Tentang si Gemuk di Gym dan Polusi Visual
Sebenarnya saya males ikut-ikutan bahas soal si R, ‘sang influencer’ (diucapkan dengan nada sarkastis – dan maaf, saya juga nggak sudi menyebut namanya) yang ngatain bodi orang lain ‘polusi visual’ segala. Namun, entah kenapa saya malah jadi teringat zaman-zamannya saya ikut kelas aerobik-nya Berty Tilarso. (Yap, ketahuan umur saya berapa, hehehe. Bodo amat, ah.)
Waktu itu, saya disuruh Ibu untuk mengambil kelas aerobik dan body language (BL) di kelas sanggar senam Berty Tilarso (yang menurut saya sih, bisa disebut sebagai gym juga). Tentu saja, khusus kelas, kami berada di studio yang tertutup. Kebetulan, saat itu pesertanya perempuan semua dalam berbagai usia, hingga ukuran badan.
Pakaian olahraganya tentu saja pakaian senam yang serba ketat. Keliatan perutnya? Sudah pasti. Bahkan, sports bra sudah pemandangan lumrah di kelas beliau. Awalnya, saya sempat merasa risih harus memakai atasan super pendek dan celana panjang yang sama-sama ketat. Tahu sendiri ‘kan, saya bukan termasuk sosok kurus. (Kalau mau bayangin yang aneh-aneh tentang saya, silakan. Bukan urusan saya, jadi nggak perlu bilang-bilang juga.)
Namun, kemudian setelah dijelaskan, saya baru tahu alasan di balik baju senam yang serba pendek itu. Selain biar keringat cepat terserap dan nggak menghambat gerak, trainer perlu melihat apakah otot-otot perut murid-muridnya berkontraksi sesuai instruksi. Kalau perutnya ketutupan, udah pasti nggak kelihatan, hehehe.
Jadi, bukan sekadar pamer bodi.
Bisa dibilang, selama ikut kelas BL itu dulu, saya diam-diam merasa bersyukur penggunaan ponsel berkamera dan media sosial belum semarak sekarang. Lagipula, kalo pun udah ada, waktu itu kami semua nggak kepikiran buat iseng diam-diam ngeliatin bodi sesama peserta, terus laporan ke netizen se-dunia lewat postingan di Twitter atau Instagram.
Selama di sana, saya malah melihat betapa bangganya emak-emak saat saling bertukar cerita soal stretchmark dan sebangsanya. Ya, ibarat dengerin cowok-cowok pamer bekas luka atau battle scars, meski penyebabnya beda:
“Oh iya, ini abis sesar anak gue yang ketiga.”
“Jeng, kalo mau, saya ada krim buat menyamarkan stretchmark…”
Begitu pula saat mereka mengobrol dengan saya yang masih lajang, tapi kebetulan gemuk. Begitu mereka tahu, mereka malah menyemangati:
“Nggak apa-apa, Dek. Yang penting kamu sehat dan nggak gampang kecapekan.”
“Kalo mau langsing masih muda lebih gampang, soalnya metabolisme biasanya masih lebih cepat daripada kalo udah tua.”
Intinya, waktu itu kami udah mempraktikkan #womensupportingwomen sebelum tagar itu jadi tren di media sosial. Saking fokusnya ikut instruksi trainer di depan, enggak ada tuh, yang sampai menyempatkan diri merhatiin sesamanya. Jangan tanya saya apakah saya inget siapa saja yang pake sports bra doang dan pamer perut…atau siapa saja yang pantatnya hitam. Mana sempat?
Lagipula, Berty Tilarso sendiri waktu itu juga pernah bilang, porsi latihan boleh sama, hasilnya pasti akan berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang bisa langsung terlihat lebih ramping dalam tiga bulan pertama sesudah rutin latihan. Ada yang tetap terlihat sama, namun saat mencoba pakaian lama yang semula tidak muat jadi pas. Selain itu, tubuh terasa lebih bugar dan ringan.
Kalo mau membahas polusi visual, saya malah kepikiran sampah yang menggunung di Bantar Gebang, limbah di sungai maupun pantai dan laut…pokoknya semacam itulah. Yang bikin bingung dari cuitan si R buat saya hanya satu:
Orang macam apa yang masih sempat-sempatnya merhatiin sports bra dan pantat orang lain saat di gym, terus masih punya waktu buat mengomentarinya di media sosial? Saya kira gym itu hanya tempat untuk berolahraga, bukan sibuk mencari-cari mana saja yang masuk kategori ‘polusi visual’.
Mungkin saya hanya terlalu cuek sebagai perempuan…chubby pula. Mungkin juga setelah bertahun-tahun dihina sedemikian rupa oleh para pelaku #bodyshaming, lama-lama saya seperti mati rasa…
R.