
“TERIMA KASIH KARENA TIDAK MEMINTAKU UNTUK BERCERITA”
Terima kasih.
Terima kasih atas kejujuranmu.
Karena itu,
kali ini kuputuskan untuk tidak buang-buang waktu.
Aku bisa menghemat napasku.
Aku tidak perlu bercerita
bila jelas-jelas kamu enggan mendengar
entah karena lelah
atau tiada lagi sabar.
Aku takkan bersuara
bila hanya sunyi yang kau damba.
Pandemi ini telah memberi yang kau minta:
“Jarak … antara … kita … “
Terima kasih.
Terima kasih, karena telah menyuruhku diam.
Jangan takut, aku takkan dendam.
Aku belajar untuk lebih sering memendam
daripada membuang.
Diri ini takkan merasa malang
apalagi sampai kalap meradang.
Aku bahkan akan berhenti mengirim pesan
yang takkan pernah lagi kalian baca.
Mungkin kau akan hapus semua
seakan tidak pernah ada kita
apalagi sampai ada artinya.
Sekali lagi,
terima kasih.
Memang,
tak semua sanggup berempati.
Ada yang lebih senang bicara,
namun untuk bergantian mendengar sepertinya tak sudi.
Tenang,
takkan kutuduh kau egois setengah mati.
Kapasitasmu hanya sampai di sini.
Taka da yang ingin kau lakukan lagi.
Aku cukup berhenti peduli
dan memilih pergi.
Sepertinya,
aku juga harus berterima kasih
pada pandemi kali ini.
Kurasa,
aku telah melihat dirimu yang sejati.
R.
(Jakarta, 14 Maret 2021, 9:00 AM di Kopi Kroma, Cipete, Jakarta Selatan)