Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Tirani Itu Bernama Patriarki dan Hierarki

Tirani Itu Bernama Patriarki dan Hierarki

Bodyshaming
Foto: freepik.com

Seperti apa sih, rata-rata nasib perempuan Indonesia sesudah menikah? Pastinya bermacam-macam. Mengingat kebudayaan yang masih sangat patriarkal, kebanyakan istri otomatis mengikuti suami tanpa banyak bacot. (Biasa, ancaman disebut durhaka dan dimasukkan ke dalam neraka menurut agama). Pokoknya, keinginan suami nomor satu. Kalau bisa, istri tidak usah punya mau kecuali manut.

Hell hath no fury like a woman’s scorned. Tiada yang bisa melampaui murkanya perempuan.

Dulu, aku pernah bangga dengan pepatah itu. Kesannya keren dan gagah. Hati-hati bila perempuan sudah marah. Semua yang di depannya pun bisa habis seketika.

Sayangnya, pepatah di atas juga bisa jadi bahan ejekan. Kata mereka, perempuan kalau marah itu lebay. Histeris seperti orang gila. Emosional, tidak masuk akal.

Itulah persepsi tirani sosial bernama patriarki yang sangat kubenci. Bila yang marah lelaki, mereka menganggapnya tegas dan berani. Pokoknya, jantan sekali. Tak peduli mereka kasar, pakai memukul dan memaki.

Sementara perempuan? Bah, jangan harap dapat nilai sama. Kalau tidak disebut bawel, banyak maunya, tidak sopan, hingga…ahem, melawan suami. Tidak peduli bila perempuan itu kemudian terbukti benar. Pasti ada saja alasan mereka semua untuk pura-pura tidak sadar. Benar-benar minta ditampar!

Intinya, jangan sampai laki-laki kelihatan atau dituding salah di depan khalayak. Bisa ambyar harga diri dan ego mereka.

Duh, celakalah bila suami pilihanku seperti itu…

-***-

Bagaimana bila suami belum bisa punya rumah sendiri, alias masih tinggal bersama orang tuanya? Otomatis, istri harus ikhlas mengurus mereka semua. Apalagi, ibu adalah perempuan paling pertama dalam hidup suami. Jangan pernah sekali-sekali memintanya memilih antara ibu dan istri. Sama saja cari mati atau minta cerai.

Respect the elders, always.

Aku tidak bodoh. Aku bisa hormat dan sopan sama yang lebih tua. Tak perlu mengancamku dengan kata ‘durhaka’, ‘dosa’, hingga ‘masuk neraka’.

Tapi, apa kabar dengan mereka yang lebih tua – tapi hobi semena-mena dengan sesama? Gila hormat dan selalu minta diperlakukan seperti dewa. Lupa kalau masih sama-sama manusia. Bisa juga berbuat salah.

Oh, tidak, tidak. Jangan pernah permalukan mereka yang lebih tua. Kasihan, sudah uzur. Mereka lebih sensitif, sayangnya hanya bila menyangkut perasaan mereka sendiri. Tak peduli mereka hobi mendamprat yang lebih muda, lebih kecil, atau bahkan lebih miskin daripada mereka – di depan umum pula. Maklumi saja. Sudah, jangan membantah. Meskipun memang kamu yang (terbukti) benar, yang ada malah tetap dianggap kurang ajar sama mereka. Tidak punya adat. Tidak tahu sopan santun. Okay, boomers.

Tirani sosial ini bernama hierarki. Aku benci sekali, karena banyak orang tua yang terlalu menuruti ego mereka sendiri. Anak yang tadinya punya potensi jadi tidak kenal diri sendiri gara-gara orang tuanya berperan sebagai pengendali. Tidak terbayangkan bila suatu saat orang tuanya pergi. Bisa tidak, anak itu menentukan nasibnya sendiri?

Ah, aku kok jadi jahat begini, sih? Tapi beneran, deh. Bagaimana kamu bisa menghormati mereka yang justru malah tak layak untuk dihormati, tapi merasa berhak?

-***-

Kebetulan, aku beruntung sekali menikahi laki-laki yatim piatu yang baik sekali. Selain tidak perlu berurusan dengan mertua yang belum tentu berkenan dengan pendamping hidup pilihan putranya, suamiku untungnya juga lebih menghargai keluargaku. Dia tak punya ibu lagi, makanya dia sangat memanjakan mamaku.

Amara, kembaranku, ternyata tidak seberuntung itu. Setelah menikah, dia langsung ikut suaminya ke luar kota. Tinggal bersama keluarga mertua.

Awalnya, semua baik-baik saja. Sikap mertua mulai berubah saat usaha suaminya bangkrut. Sayangnya, suami Amara kurang cepat tanggap dan gigih dalam menyikapi perubahan ekonomi keluarganya, sehingga Amara harus ikut mencari nafkah. Namun, urusan pengasuhan anak dan rumah tangga pun tetap dibebankan padanya.

Intinya, sejak saat itu, Amara lebih banyak diperlakukan seperti babu. Sering dibentak-bentak dan dimarahi, bahkan untuk kesalahan paling remeh sekali pun. Semua harus serba sempurna. Selalu diingatkan bahwa Amara dan suaminya hanya ‘menumpang’. Tahu dirilah, jangan merepotkan.

Anehnya, suami Amara tidak pernah kena marah karena belum punya penghasilan tetap lagi. Menurut pengakuan Amara, di sana laki-laki diperlakukan seperti raja. Selalu dimanja, seakan-akan tidak pernah salah. Bahkan, ibu mertuanya sendiri sampai pernah bilang begini:

“Kalau sama laki-laki, ngomongnya harus lembut.” Astaga, selemah itu-kah mereka? Alasan basi mereka, istri-lah yang harus selalu lebih sabar dan kuat. Lucunya, laki-laki tetap harus dianggap sebagai pemimpin keluarga dan dijaga wibawanya. Benar-benar standar ganda menjijikan!

Lalu, apa yang terjadi bila Amara marah dan membela diri? Gaslighting pun terjadi. Amara dibilang gagal paham dan sensi. Padahal, jelas-jelas mereka-lah yang gemar memaki.

Makanya, aku tidak heran ketika suatu hari, Amara pulang dengan koper seadanya dan mata sembab. Wajahnya tampak lelah dan lebih tua, padahal kami kembar identik. Amara datang tanpa suaminya. Aku tak perlu bertanya. Bibirnya yang tampak pucat gemetar.

“Anita…”

Tangisnya pun pecah. Kami berpelukan. Dua istri yang sama-sama sadar, ini masih Indonesia yang sama. Mendewakan patriarki dan senioritas, namun tak pernah sungguh-sungguh dengan jargon ‘memuliakan perempuan’.

Seperti biasa, paling mereka hanya menuntut bahwa istri harus selalu sabar, ikhlas, dan lebih banyak menurut dalam diam. Tidak hanya pada suami, namun pada keluarga suami. Bila memang tidak setuju dengan perempuan pilihan putra mereka untuk menjadi istri, kenapa tidak dari dulu melarang? Kenapa tetap merestui, bila pada akhirnya hanya untuk bebas menyakiti?

Di Indonesia, kamu sedikit lebih beruntung sebagai perempuan dengan beberapa privilege ini: lebih tua, lebih kaya, dan lebih berkuasa. Sayangnya, kamu bisa terjebak kultur patriarki sehingga tetap misoginis secara internal. Akhirnya kamu pun bisa sama saja, malah ikut menindas sesama perempuan…

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Daftar Resolusi

Daftar Resolusi

Gambar: https://unsplash.com/photos/RdmLSJR-tq8

Kertas itu masih kosong.

Yang lalu belum tergenapi.

Sama juga bohong.

Terlalu banyak ingin yang tak sampai.

Tak mungkin aku memintamu.

Tak boleh aku sebodoh itu.

Cinta hanya ada,

bila dua hati sama-sama merasa.

Satu saja,

yang ada hanya derita dan luka.

Harapan kosong belaka.

Percuma.

Apa resolusiku?

Berhenti meminta yang belum tentu nyata:

Kamu, dia…siapa saja.

Kata mereka,

ada satu untuk setiap jiwa di dunia.

Dongeng macam apa yang (ingin) mereka percaya?

Kertas itu masih kosong.

Mungkin aku hanya akan menulis satu pinta:

Aku harus selalu baik-baik saja,

dengan atau tanpa

kamu, dia…siapa saja.

Tak perlu berduka,

apalagi sampai terlalu lama.

PERCUMA!

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

#CSWC: Sekilas Tentang “TIRANI”

#CSWC: Sekilas Tentang “TIRANI”

#CSWC

Benarkah tirani sudah tiada lagi? Siapa sajakah yang mengalami tirani? Siapa yang tidak keberatan, meskipun ini berarti berkurangnya – atau bahkan kehilangan – kebebasan diri sendiri, terutama untuk berekspresi?

Inilah topik sekaligus tantangan menulis bagi Jakarta Couchsurfing Writers’ Club pada hari Kamis, 10 Januari 2020, pukul 21:00 di Chickro, m-Bloc, Blok M, Jakarta Selatan. Peserta yang datang kemudian menulis interpretasi mereka mengenai topik malam itu.

Tirani adalah kekuasaan yang digunakan secara sewenang-wenang (meskipun bagi beberapa pihak, cara ini kadang diperlukan demi kebaikan bersama. Setidaknya, itulah menurut pandangan mereka). Sama seperti rantai makanan dalam pelajaran Biologi, mereka yang berada di atas atau mendapatkan keuntungan dari cara ini tidak akan pernah memprotes tirani.

Yang berada di bawah atau (merasa) dirugikan tentu saja tidak sudi. Bagi mereka, tirani adalah sistem yang membelenggu kebebasan mereka sebagai manusia seutuhnya. Zaman Orde Baru (sebelum 1998) di Indonesia merupakan salah satu contoh nyata yang masih menjadi momok banyak orang.

Tapi, apakah yang di bawah tirani selalu berarti tertindas?

Untuk mereka yang berada di atas tirani sepertinya banyak yang merasa mendapatkan keuntungan. Tapi, apakah yang di bawahnya selalu berarti tertindas?

Berdasarkan diskusi dan acara berbagi cerita semalam, ternyata jawabannya tidak selalu seperti itu. Mereka yang tidak keberatan berada di bawah tirani ternyata juga bisa merasa mendapatkan keuntungan, karena: tidak perlu ribet berpikir sendiri dan semua sudah disediakan penguasa, selama mereka menurut dan tidak menjelek-jelekkan penguasa.

Bila sampai melawan, siap-siap saja masuk penjara atau pun hukuman berupa pengasingan.

Tentu saja, siapa pun berhak memilih lingkungan yang menurut mereka paling aman dan nyaman. Tidak semua orang cocok dengan model sistem sosial tirani.

Ingin bergabung dengan kami?

Jakarta Couchsurfing Writers’ Club berkumpul setiap Kamis malam, dimulai dari pukul 19:30. Tinggalkan pesan di halaman CS kami, DM Ruby Astari, atau join grup Facebook kami: http://bit.ly/304ujKE

Sampai jumpa lagi di meetup berikutnya.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tak Penting

Tak Penting

Terlalu banyak:

  • Ancaman kosong di social media
  • Keangkuhan dan angkara

Merasa paling benar berpendapat,

namun tak sudi didebat.

Terlalu, terlalu banyak

hingga bikin muak

Nasihat tanpa diminta

dari mereka yang lupa berkaca

gagal melihat diri pun bercela.

Terlalu, terlalu, dan terlalu

banyak hingga bikin halu.

Hei, kata siapa ada yang membicarakanmu?

Kau bukan pusat semesta.

Biasa sajalah.

Tak perlu bukti.

Sedikit bicara, banyak aksi.

Biar dunia lihat sendiri

yang bisa pegang omongan

dan yang hanya cari perhatian

hingga…yang gila hormat dan pujian.

Tak penting.

Semua orang punya masalah masing-masing!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Jenis Orang yang Menyambut Anda Kembali Setelah Lama Pergi

3 Jenis Orang yang Menyambut Anda Kembali Setelah Lama Pergi

3 Jenis Orang yang Menyambut Anda Kembali Setelah Lama Pergi
Foto: unsplash.com

Pernah tiba-tib mutusin menjauh dari semua orang, bahkan tanpa mau menyebutkan alasannya? Atau mungkin sebaliknya. Ada teman yang tadinya dekat, tahu-tahu menjauh dan seakan menghilang dari peredaran.

Reaksi Anda gimana? Pastinya khawatir dan mungkin…sedikit kecewa. Bahkan, bisa jadi Anda sampai bertanya-tanya:

“Gue salah apa, ya?”

Wajar saja bila reaksi manusia ada yang begini. Gimana enggak? Pesan-pesan Anda tidak dijawab oleh mereka. Padahal, sebelumnya nggak ada apa-apa. Berantem pun enggak.

Saat Anda sempat lama pergi tiba-tiba kembali, ada tiga (3) jenis orang yang menyambut Anda kembali:

  • Mereka yang menyambut seakan Anda nggak pernah pergi.

Bersyukurlah bila sudah punya teman-teman seperti ini. Mereka tahu cara menghargai privasi Anda. Kalau mau curhat sama mereka, silakan. Kalau enggak juga nggak masalah. Intinya, nggak ada pemaksaan.

Saat kembali, Anda bisa melihat mereka menyambut dengan suka cita. Nggak masalah bila sebelumnya Anda sempat lama menghilang dari peredaran. Yang penting, kalian sudah kembali berteman.

  • Mereka yang bersikap datar-datar saja soal Anda.

Sekilas tipe ini mungkin terdengar kejam. Ada atau nggak ada Anda, bagi mereka sama saja. Bukannya jahat, mereka hanya nggak punya ikatan emosional (apalagi sampai mendalam) dengan Anda. Itu saja.

Meskipun demikian, mereka masih penasaran dengan alasan Anda menghilang. Nah, sampai di sini terserah Anda, mau cerita atau tidak. Mereka memang penasaran dengan kabar terakhir Anda, tapi hanya untuk update, kok. Nggak bakal terlalu kepo, apalagi sampai punya niat jahat seperti tipe berikutnya ini:

  • Mereka yang sengaja memancing-mancing kabar demi gosip tak sedap.

Nah, kudu hati-hati kalau ketemu sama model begini. Sekilas mereka tampak peduli, ingin tahu kabar terakhir dari Anda. Mengapa sih, akhir-akhir ini Anda menghilang dari lingkaran pergaulan yang biasa?

Sayangnya, begitu Anda bercerita, mereka langsung memanfaatkan info tersebut untuk kemudian menyebarkan gosip tak sedap tentang Anda. Menyebalkan memang, apalagi bila selama ini Anda tidak pernah mau cari gara-gara sama mereka.

Tipe terakhir ini emang paling toksik dan nakutin, sih. Tapi, kalau sudah menemukan orang-orang di tipe pertama, semoga Anda merasa cukup aman dan nyaman untuk lebih terbuka. Anda berhak kok, mendapatkan cinta dan bahagia.

R.