Categories
#catatan-harian #menulis

Tentang Diam yang Mencelakakan:

Tentang Diam yang Mencelakakan:

Sejak kecil, ada satu hal yang takkan kusetujui dari Mama. Mohon tidak langsung menyederhanakan hal ini sebagai perilaku anak durhaka. Silakan baca dulu sampai selesai.

Aku paham, Mama dibesarkan sebagai anak perempuan yang (diharapkan selalu) penurut, tidak cari masalah, dan sebisa mungkin menjaga hubungan baik dengan orang lain. Gak ada yang salah dengan ini, kok. Menjaga perdamaian itu bagus.

Namun, ada kalanya kita perlu – dan bahkan wajib – bicara. Ada saatnya diam itu bukan emas. Malah, ada diam yang sebenarnya mencelakakan …

 

“Kamu Gak Boleh Marah!”

Gak ada manusia waras mana pun yang ingin dan suka marah, apalagi mudah dan terus-terusan. Aku juga tahu itu. Bersabar itu baik.

Namun, ada kalanya kita wajib bicara. Ada saatnya kita berhak marah, terutama bila kita sudah terlalu sering disakiti. Hak-hak kita terus-terusan dilanggar. Ini tidak sama dengan membalas dendam lho, ya.

Sabar juga tidak sama dengan diam saja dan tidak melawan. Sabar bukan berarti membiarkan ketidakadilan dan penyelewengan. Memang sih, Tuhan Maha Adil dan akan membalas perbuatan jahat yang menurut-Nya pantas dibalas. Tapi, Tuhan ‘kan, juga ingin melihat usaha kita dulu. Jangan apa-apa lantas menunggu Dia terus.

 

Kepedulian di Balik Kemarahan

Mengapa amarah itu harus selalu dipandang sebagai sesuatu yang buruk? Kalo marah-marahnya gak jelas atau karena hal sepele, apalagi sampai terus-terusan, memang gak baik. Mudah marah itu juga bukan pertanda sehat. Coba cek dulu tekanan darahmu bila kamu punya kebiasaan ini. Jangan-jangan hipertensi.

Namun, amarah juga bisa berupa tanda kepedulian. Coba bayangin, kalo seumur hidup kamu gak pernah merasakan ditegur, padahal jelas-jelas perbuatanmu salah. Bisa-bisa kamu menjadi pribadi yang narsisistik. Gak pernah merasa dan sudi mengaku salah. Selalu mencari-cari alasan, pembenaran, dan bahkan kambing hitam.

Yang paling parah, kamu jadi hobi bermain sebagai ‘si paling tersakiti, korban sejuta tuduhan’.

Bersyukurlah bila ada yang menegurmu saat berbuat salah atau melanggar hak-hak orang lain, baik sengaja maupun tidak. Jangan lantas merengek, terus bawa-bawa alasan basi macam “manusia gak ada yang sempurna”. Justru karena gak sempurna, sesama manusia harus saling mengingatkan. Ya, biar brengsek-mu gak kebangetan, apalagi sampai keterusan!

Kalo udah diingatkan berkali-kali tapi gak juga ada perubahan? Ya, berarti mereka memang pribadi yang bermasalah. Jangan merasa percuma. Yang penting ‘kan, kita gak diam dan membiarkan. Kita udah berusaha mengingatkan dan menegur sekalian.

 

Agar Tidak (Mudah) Disepelekan

“Elo terlalu baik, sih … “

Ada nada menghina dan merendahkan yang kerap terdengar dari ucapan di atas. Memangnya ada yang salah dengan berbuat baik? Tentu tidak. Yang salah adalah mereka yang tidak menghargai kebaikan orang dan malah cenderung menyepelekan. Yang salah juga mereka yang memilih diam saja saat terjadinya ketidakadilan dan penyelewengan di depan mata dengan alasan “ogah cari drama” atau “malas ribut”.

Dengan kata lain, kita hanya mau cari aman untuk diri sendiri. Kesulitan orang lain yang disebabkan penindasan sama sekali bukan urusan/masalah kita. Sebodo amat!

Diam seperti itulah yang mencelakakan. Gak perlu nunggu jadi korban dulu, sih. Sebagai korban, diammu malah membuatmu semakin disepelekan orang. Kamu takut melawan atau gak berani protes, makanya dianggap gampangan.

Sebagai saksi, diammu bikin kamu jadi manusia egois dan gak berguna, kecuali buat dirimu sendiri. Kamu hanya mau cari aman, padahal bisa saja mereka berharap bantuan darimu – terutama saat mereka terlalu lemah untuk membela diri sendiri.

Mungkin inilah penyebab aku sudah malas cerita apa-apa lagi pada Mama, terutama soal alasan aku marah. Beliau tidak akan mengerti dan aku tak bisa memaksa beliau untuk mengerti.

Mulai sekarang, aku hanya cukup membela diri sendiri …

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

Mau Survive Sebagai Perempuan Lajang Usia 40-an di Jakarta Hari Gini?

Mau Survive Sebagai Perempuan Lajang Usia 40-an di Jakarta Hari Gini?

  1. Semoga keluargamu gak termasuk toksik, ya? (Dan semoga kamu juga gak toksik buat mereka.)

Kalo belum bisa punya rumah sendiri, apalagi nyewa, seenggaknya masih bisa tinggal bareng mereka dulu sembari nabung. Beruntunglah kamu tinggal di Jakarta, Indonesia, bukan di negara Barat – tempat kamu bakal diketawain hanya gara-gara udah dewasa tapi masih tinggal sama nyokap.

  1. Apa pun perasaanmu, pertahankan dulu pekerjaanmu saat ini.

Serius. Lowongan kerja di Indonesia saat ini udah makin gak ngotak, saking seksis dan ageist-nya. Gak usah dengerin para misoginis fakir kemampuan yang mencoba membohongi kamu. Fakta di lapangan tetap sama: masih lebih banyak lowongan pekerjaan untuk laki-laki. Bahkan, pihak HRD banyak yang memajang iklan lowongan pekerjaan dengan kriteria ‘di luar nurul’ macam ini:

 

  • Usia maks. 21/25/27/30/35/40. (Yang dua terakhir jarang banget, loh!)
  • Pengalaman kerja maks. 3 tahun (diutamakan di bidang yang sama.)
  • lulusan S1.

Tuh, ‘kan? Coba hitung sendiri, deh.

Meskipun dipanggil untuk wawancara, siap-siap saja dapat pertanyaan seksis seputar status pernikahan. Mengapa belum menikah juga? Apakah ada waktu akan menikah dalam waktu dekat ini?

Apa pun jawabanmu, gak usah berharap terlalu banyak, deh. Entah kamu bisa ditolak dengan alasan “overqualified” (berkualifikasi terlalu tinggi), mereka lebih berharap kamu segera menikah saja.

Intinya, mereka berasumsi bahwa semua perempuan berusia 30 ke atas harusnya sudah menikah dan cukup mengandalkan nafkah suami saja – dengan harapan suami mereka berpenghasilan cukup … atau malah kaya raya sekalian!

  1. Carilah pekerjaan lepas (freelance) atau coba buka bisnis sendiri.

Pilih bidang yang paling kamu suka, tapi pastikan juga risikonya gak terlalu besar. Contoh: aku juga berprofesi sebagai penulis dan penerjemah lepas. Bukannya gak mau bersyukur, tapi kenyataannya … hari gini penghasilan dari satu pekerjaan fulltime sudah gak cukup lagi.

Pastinya bakalan lebih capek sih, cuma … hari gini, kerjaan apa sih, yang gak capek? Apa pun bisa terjadi.

Tip tambahan: sebisa mungkin jangan sampai kamu ‘colongan’ ngerjain kerjaan freelance pas lagi jam kantor. Bukan apa-apa, serem aja kalo sampai kepergok. Gak adil dan gak profesional juga.

  1. Nongkrong demi berjejaring.

Udah bukan saatnya lagi kamu hangout hanya buat senang-senang tapi berujung foya-foya belaka. Senang-senangnya sih, boleh. Tapi jangan lupa juga untuk mendapatkan manfaatnya. Menjaga silaturahmi dengan orang-orang terdekat itu memang penting.

Berjejaring itu juga penting. Memang sih, kata orang, semakin tua, lingkaran pertemanan kita biasanya semakin mengecil. Tapi ‘kan, itu hanya untuk hubungan dekat/pribadi. Contoh: sistem dukungan kamu berupa teman-teman dan kerabat dekat.

Ya, gak berarti kamu gak boleh juga bikin lingkaran-lingkaran kecil baru. Cuma ya, pastikan juga isinya bermanfaat dan membuat hidupmu terasa lebih berarti.

Gak cuma soal keuangan, hati-hati juga saat kamu menginvestasikan waktu, tenaga, dan kewarasanmu.

  1. Baik-baik sama orang.

Serius. Kita gak pernah tahu dari mana pertolongan akan datang, bila suatu saat kita membutuhkannya. Etapi, gak usah langsung ngarep balasan dulu, ya.

Kalo orangnya emang asli toksik sampai bikin lelah hati, ya gak usah sampai dibenci. Kasihan kamu-nya nanti. Mereka sih, bodo amat, ya. Hihihihi …

Cukup jauhi. Interaksi seperlunya saja. Gak semua orang layak kamu dekati. Cukup fokus sama yang terbaik bagi diri sendiri.

Hmm, mungkin segitu aja dulu. Kalo kepikiran ide lain, nanti aku tambahin lagi …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Perenungan di Perjalanan

PERENUNGAN DI PERJALANAN

Maaf, aku sudah lama tidak menulis di sini. Aku akan berusaha lebih rajin lagi, meskipun akhir-akhir ini sangat sulit.

Sebelumnya, mengapa aku hampir tidak pernah lagi menulis di sini? Pertama, aku sibuk sekali. Sejak kantorku pindah ke Jakarta Timur, aku agak kesulitan membagi waktuku. Pekerjaan fulltime-ku sebagai guru Bahasa Inggris sangat menyita waktu, belum lagi jarak yang sangat jauh dari rumahku di Jakarta Selatan. Bayangkan, aku harus naik bus Trans-Jakarta, LRT, dan Gojek untuk ke sana selama sekitar dua hingga tiga jam. Begitu pula saat pulang. Tak jarang aku ketiduran di perjalanan.

Kedua, aku masih punya pekerjaan sampingan sebagai penulis lepas. Faktanya, banyak sekali kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Harga-harga kebutuhan pokok hidup kian melonjak. Biaya ongkos transportasiku sehari-hari juga tidak bisa dibilang murah.

Mana pemerintah ingin menaikkan ongkos transportasi public, tapi malah ingin mensubsidi mobil-mobil listrik dan hibrida milik orang-orang kaya. Bukankah itu sungguh gila?

Ketiga, maaf. Akhir-akhir ini aku lebih banyak aktif di Instagram (IG) @rubyastari . Apalagi, aku juga tengah menyuarakan anti genosida yang kian terjadi di tanah Palestina selama 76 tahun terakhir. Selain itu, banyak sekali tantangan menulis selama 30 hari yang ada di Instagram. Bohong bila aku bilang aku tidak tergoda untuk ikutan.

Sekali lagi, maaf bila aku sudah terlalu lama mengabaikan tempat ini. Agar tidak jadi mubazir, aku akan mulai lebih rajin mengisinya lagi.

 

R.