Percaya atau tidak, pertama kali aku naik bus kota adalah saat tahun keduaku kuliah. (Maaf, bus sekolah tidak ikut dihitung.) Ini gara-gara aku muak jadi bahan tertawaan anak-anak lain di kampusku waktu itu. Kata mereka, aku anak manja, anak mami. Ini gara-gara mereka sering melihatku selalu diantar dan dijemput mamaku sendiri, meskipun usiaku sudah 18 tahun.
Singkat cerita, tadinya aku ingin segera ngekos seperti anak-anak lainnya pas mulai kuliah. Bayangan seru petualangan anak kos dekat kampus sudah memenuhi benak. Sudah kubayangkan banyak ide cerita yang bisa kutulis.
Apa daya, orang tua waktu itu melarang. Saat ingin naik bus, Mama juga keberatan. Alasan beliau, selama masih bisa diantar-jemput keluarga sendiri, kenapa mau repot-repot mengeluarkan ongkos naik bus? Hhh…pokoknya sulit membuat beliau memahami maksudku saat itu – hingga jujur saja…sempat bikin frustrasi.
Tahun kedua di kampus, akhirnya Mama mengalah. Namun, beliau mengajukan satu syarat: seminggu pertama, aku harus ditemani oleh teman kuliah yang sudah pernah naik bus dan kebetulan jurusannya searah. Wita, salah seorang teman sekelasku saat itu, mengajukan diri. Kebetulan, Mama dan ibunya Wita juga teman lama. Maka, jadilah Wita dipercaya Mama untuk “mendampingi”-ku naik bus kota.
Setelah merasakan manfaatnya, barulah Mama mengakui bahwa keputusan beliau membiarkanku naik bus sendiri memang tepat. Apalagi, beliau kemudian sudah mulai lelah dan berhenti mengantar dan menjemputku. Beliau juga bahkan belajar naik angkot dan bus dariku seiring waktu. Padahal, dulu waktu beliau seumurku boro-boro. Almarhum Aki sangat melindungi anak-anak perempuan beliau di rumah.
-//-
Setelah bekerja, naik bus sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Santai, meski kadang lelah juga. Banyak pengalaman aneh-aneh juga, mulai dari dirayu penumpang laki-laki yang entah kenapa menginginkan nomor ponselku, pernah kecopetan karena jatuh tertidur di bus, jadi korban pelecehan seksual (sialan, memang banyak penumpang laki-laki yang sebiadab ini sama perempuan!), hingga kesasar karena salah naik bus.
Bahkan, pernah juga malam-malam bus mendadak menurunkan semua penumpangnya di pinggir jalan, padahal tujuan kami belum sampai. Alhasil, aku pernah nekat jalan kaki barang 1 – 2 kilometer hingga sampai rumah. Kenapa tidak naik angkot? Selain jalanan sudah mulai sepi di atas jam sepuluh, kadang suka ngeri juga naik angkot yang sudah sepi. Apalagi, pernah ada kasus perampokan dan pemerkosaan di angkot. Tidak, terima kasih.
Pernah juga aku berhadapan dengan pengamen yang mengerikan. Kalau hanya menyanyi-nyanyi dengan suara sumbang terus meminta sumbangan dengan paksa sih, masih bisa tahan. Masalahnya, kadang mereka suka bikin demo yang seram-seram, seperti menyilet tangan sendiri dan mengisap darahnya. Lalu, mereka bernarasi semacam: “Beginilah kami bila terdesak karena lapar…”
Jangan tanya sebanjir apa keringat dinginku saat selesai demo, salah satunya duduk pas di sampingku di bangku belakang. Ya, masih sambil memamerkan tangannya yang luka-luka. Cara intimidasi paling ampuh untuk membuat penumpang – terutama yang perempuan – terpaksa memberikan uang. Iya kalau hanya tangan mereka yang disayat. Kalau…
Ah, sudahlah…
Aku bersyukur sudah tidak dianggap anak cemen lagi sama teman-teman kampus atau siapa pun begitu mereka tahu akhirnya aku bisa naik bus sendiri. Saat Trans-Jakarta mulai beroperasi, kuputuskan untuk lebih mengutamakan naik Trans-Jakarta bila memungkinkan. Setelah dipikir-pikir, kenapa harus membuktikan diri ke siapa pun dengan menderita berjejalan di dalam bus – hanya biar nggak dibilang anak manja? Manusia berhak memilih yang paling nyaman buat mereka, bukan?
-//-
Saat akhirnya pindah rumah untuk ngekos sendirian di tengah kota, frekuensi naik busku jadi berkurang. Ya, kadang masih suka naik Trans-Jakarta. Namun, bila sedang terburu-buru, aku lebih memilih menggunakan jasa ojek – apalagi saat kemacetan di Jakarta semakin menggila. Kadang bila sedang manja-manjanya, aku memilih naik taksi.
Ya, kamu sudah bisa menebak alur cerita berikutnya saat era ojek dan taksi online muncul. Sekali lagi, bila memang ada pilihan yang lebih nyaman dan menguntungkan, kenapa tidak? Kenapa harus bertahan sama yang menyiksa, bila bisa mendapatkan kenyamanan lebih?
Kini, aku lebih banyak bekerja dari rumah. Bahkan sebelum pandemi, aku sudah mulai membiasakan ritme hidup seperti ini. Hanya sesekali aku menggunakan bus sebelum pandemi.
Apakah aku kangen naik bus? Hmm, mungkin hanya Trans-Jakarta. Kalau suruh balik lagi naik bus kota yang biasa, ogah. Selain suka ngetem lama, mereka juga ngebut gila-gilaan, menjejalkan penumpang seperti ikan sarden kalengan, hingga…suka menyuruh penumpang turun di pinggir jalan seenaknya, padahal tujuan belum sampai. Belum lagi kernet bus yang tiba-tiba suka memaki-maki, marah-marah nggak keruan. Siapa yang tahan?
Daripada berusaha menjegal sama yang bikin penumpang merasa lebih aman dan nyaman, mendingan mereka usaha meningkatkan kualitas pelayanan…
…sebelum keburu dijual kiloan kayak yang sudah terjadi…