Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Lachesism

Foto: Freepik.com

Lachesism

Sepertinya ada yang datar

dari hidupmu yang tawar

hingga kau ingin membakar

bersikap kurang ajar

hingga siap meladeni yang barbar.

Namun, untung kau masih sayang nyawa

sehingga jarak dan rem masih ada

agar meski sesudah celaka,

kau masih bisa pulang – bukan hanya tinggal nama …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

REVIEW BUKU: Yang Tak Kunjung Reda

REVIEW BUKU: Yang Tak Kunjung Reda

Akhir 2020 kemarin, saya mendapat kehormatan untuk menghadiri acara peluncuran buku kumpulan puisi berjudul “Yang Tak Kunjung Reda” karya Azwar Aswin. Buku ini adalah kumpulan puisi keduanya, sesudah “Perpanjangan Waktu”. Mewakili komunitas Malam Puisi Jakarta, saya juga beruntung mendapatkan kepercayaan untuk membacakan dua puisi beliau berjudul “Yang Belum Kuceritakan Padamu” dan “Yang Tak Kunjung Reda”. Acara ini berlangsung di Zoom pada satu akhir pekan – Malam Minggu – yang menurut saya sangat berkesan.

Sesuai janji saya pada Azwar Aswin, inilah review bukunya dari saya:

Membaca kumpulan puisi “Yang Tak Kunjung Reda” ini telah menjadi pelarian menyenangkan bagi saya. Saya yakin, saya bukan satu-satunya yang mencari hiburan semacam ini di era pandemi #Covid19. Bahkan, membaca buku sudah lama saya lakukan sejak kecil dan semakin terasa manfaatnya sekarang.

Bolehlah menyebut pendapat saya subjektif. Puisi-puisi Azwar Aswin dalam buku ini begitu mudah dicerna, namun tidak sampai jatuh pada kualitas ‘receh’. Banyak tema kekinian yang dikemas dengan jujur, ringkas, dan tanpa terkesan sok tahu. Setiap baitnya penuh dengan permainan kata yang ringan, bahkan terkesan jenaka dalam beberapa puisi.

Salah satu puisi yang menurut saya cukup jenaka adalah “Receh”:

Kau masih saja rebahan

sambil menikmati jajanan rasa mecin

dan berulang kali tertawa karena hal-hal receh.

Sangat relevan, bukan? Bukankah itu gambaran sehari-hari masyarakat kita hari ini, terutama di daerah pinggiran perkotaan? Apalagi dengan semakin mudahnya akses ke makanan ringan berbahan MSG (yang disebut jajanan rasa mecin dalam puisi “Receh”) dan teknologi digital. Sudah pemandangan lumrah saat melihat pengguna teknologi digital beragam usia tertawa-tawa karena konten video receh di TikTok sambil mengunyah sebungkus keripik kentang.

Lalu, apa yang waktu itu membuat saya memilih puisi “Yang Belum Kuceritakan Padamu”? Saat itu, isi puisi tersebut tengah terasa sangat relevan dengan situasi yang sedang saya alami. Tanpa harus bercerita lebih banyak dan detail mengenai yang saya alami dan rasakan saat itu, bagian terakhir puisi ini sepertinya sudah cukup mewakili:

Di antara derita dan gempitanya suasana

ada sederetan sisa hidup

yang belum kuceritakan padamu …

Saat sempat, semoga saya masih bisa mendapatkan buku kumpulan puisi perdana Azwar Aswin yang berjudul “Perpanjangan Waktu”. Terima kasih atas kesempatannya untuk mengenal karya-karya Azwar Aswin. Terima kasih juga kepada Malam Puisi Jakarta yang telah mengenalkan saya pada penyair Indonesia yang hingga kini masih produktif menulis puisi dan opini.

Semoga Yang Tak Kunjung Reda adalah semangat untuk terus berkarya …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Kuebiko

Kuebiko

Foto: Freepik

Kadang ingin rasanya

pura-pura tak peduli

pada kejahatan di luar sana.

Hanya pikirkan diri sendiri.

Kau mungkin tertawa,

menganggapku aneh sekali.

Mungkin kau terbiasa

merasa tahu segalanya.

Bukan urusanku?

Mungkin memang benar.

Tak semua bisa kita kendalikan.

Terlalu banyak yang brengsek dan barbar.

Ada yang lebih parah

dari sejahat-jahatnya manusia:

Manusia yang merasa baik,

namun sebenarnya hanya mementingkan diri sendiri.

Selama bukan mereka yang korban,

untuk apa peduli?           

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Sudahlah, Tidak Ada Resep ‘Saklek’ Untuk Cinta

Sudahlah, Tidak Ada Resep ‘Saklek’ Untuk Cinta

Foto: https://www.freepik.com/free-vector/broken-hearts-set-3d-realistic-icons_10718904.htm#page=1&query=broken%20hearts&position=1

Loh, kok gitu? Mungkin banyak yang akan bereaksi seperti itu saat membaca judul tulisan ini. Kaget, kesal, atau malah nggak suka? Ah, itu mah, sudah biasa.

Bahkan, saya nggak akan heran kalau sampai ada yang bilang saya sinis. Nggak apa-apa, ngomong aja. Emang suka ada batas tipis-tipis kok, antara yang sinis dengan yang realistis.

Oke, saya akan langsung menjelaskan alasan judul tulisan kali ini bisa sampai begini depresifnya:

  • Cerita dongeng dan komedi romantis itu hanya obat penenang sementara.

Cerita dongeng tentang putri, pangeran, dan cinta sejati memang hanya cocok untuk anak kecil. Gak, sama sekali nggak ada yang salah dengan cinta sejati. Bagus malah. Sah-sah saja kalau masih mau percaya, terutama hari gini.

Cuma, jangan lupa untuk tetap melek dengan realita, ya. Boleh sih, memberi harapan pada si kecil kalau kebaikan biasanya juga akan berbalas dengan kebaikan. Bisa sama, bisa lebih baik lagi.

Saat cinta tak berbalas sesuai harapan, pasti semuanya akan merasa kecewa. Nggak apa-apa, butuh waktu juga untuk merasa sedih sampai puas. Nggak perlu buru-buru, meskipun orang lain pada bilang kamu kelamaan nggak move on.

Bila cerita dongeng cocok untuk anak kecil, maka komedi romantis cocok untuk remaja. Saya tidak sedang menghina. Saya sendiri juga pernah remaja, jadi tahu rasanya.

Andai saja cinta semudah dan seklise rom-com (romantic comedy), mungkin akan semakin lebih banyak yang ingin menikah. Di Indonesia, sekarang aja udah banyak banget yang menikah – entah karena ingin atau didorong-dorong sama society, bahkan meski tanpa bantuan finansial yang berarti. (Iye, nyuruh doang, bantuin kagak!)

Pada kenyataannya, tidak semudah itu. Tidak semua orang mendapatkan keuntungan semudah itu. Ada kalanya, kamu bukan tokoh utama yang selalu bisa mendapatkan segalanya. Bahkan meskipun banyak teman yang bilang kamu baik pun, belum tentu hal itu akan terjadi. Kadang itu hanya ilusi.

Bila kamu bukan tokoh utama, siap-siap saja untuk lebih sering patah hati. Siap-siap bila hampir setiap saat dipaksa kembali menelan kekalahan yang sama – bahkan sampai muak semuak-muaknya:

Si dia selalu memilih yang lain. Maaf, kamu hanya bisa jadi teman. Lebih baik daripada tidak sama sekali, alias tidak jadi siapa-siapa-nya si dia. Kamu sama sekali bukan tipenya.

Makanya, baik cerita dongeng maupun komedi romantis hanya obat penenang sementara. Lebih baik sering-sering saling mengingatkan, bahwa kebahagiaan diri sejatinya tanggung jawab dan usaha pribadi.

  • Kadang kamu hanya bisa berusaha sebaik mungkin, apa pun hasilnya nanti.

Sudahlah, tidak ada resep ‘saklek’ untuk cinta. Kadang ini bukan masalah kamu kurang cantik / kurang kaya / terlalu gemuk / terlalu pintar / kurang atau terlalu baik dan entah apa lagi. Lagipula, hanya tiga (3) hal pasti terkait perkara cinta:

  • Hati manusia mudah berubah.
  • Setiap manusia punya pengalaman berbeda.
  • Manusia tidak tahu segalanya.

Lupakan kepercayaan basi: “Kalau kamu baik dan menarik, orang yang kamu suka akan balas menyukaimu secara otomatis.” Paham menyesatkan ini malah akan menumbuhkan sikap pamrih dan sok baik – pokoknya self-entitled sekali. Tahu, ‘kan? Contohnya, laki-laki yang marah saat ditolak oleh perempuan yang sama sekali tidak tertarik sama dia suka ngomel begini:

“Udah gue baik-baikin malah ditolak. Emang dasar ceweknya aja yang sok kecakepan, sok laku!”

Kadang kamu memang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa … ya, hidup ini memang tidak adil. Bisa jadi, orang baik kadang kalah dengan yang (dianggap) ‘menang tampang / tajir doang’. Kadang, yang suka bikin banyak orang patah hati justru malah yang lebih menarik – karena dianggap lebih menantang. Yang sudah baik dan bersedia meluangkan waktu malah dianggap membosankan – bahkan cenderung … murahan.

Beginilah serba salah hidup di tengah society yang gemar mempermainkan emosi sesamanya. Bagi mereka, yang penting kamu baru dianggap laku dan menarik kalau ada pasangan. Yang tadinya baik dan sabar lama-lama jadi terkena efek negatif dan mulai bersikap sok baik tapi pamrih, seakan perhatiannya wajib dibalas dengan baik juga. Yang bejad tapi banyak penggemar semakin merasa di atas angin, selalu mempermainkan perasaan para penggemar mereka.

Sedih, ya?

Sedih? Ngapain jadi (dibawa) sedih? Silakan pikir dan putuskan sendiri: mau kuantitas apa kualitas? Mau pasangan yang benar-benar sayang atau yang hanya menganggapmu pelarian, mainan, atau bahkan sasaran untuk ditaklukkan? Situ bangga jadi rebutan, kayak barang diskonan?

Makanya, nggak usah terlalu pusingin omongan julid orang soal “Jangan terlalu baik kalo nggak mau dimanfaatin orang dan dianggep membosankan, karena kurang menantang.”  Tetap jadi diri sendiri saja yang baik dan tidak menyakiti orang lain. Jangan lupa selalu berhati-hati dan belajar dari pengalaman.

  • Pada kenyataannya, tidak ada yang abadi di dunia ini.

Terserah saja bila ada orang-orang yang mengejekmu dengan sebutan ‘tak laku’, hanya karena kesannya kamu lajang melulu. Toh, kamu bukan barang dagangan – di toko diskon pula. Jangan mau dianggap serendah itu. Kamu manusia, sama seperti mereka.

Ya, kamu manusia biasa yang hanya bisa berusaha sebaik mungkin. Biar saja mereka mengasihanimu yang cintanya ditolak melulu. Setidaknya, kamu jadi belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain.

Pada kenyataannya, tidak pernah ada resep ‘saklek’ untuk cinta. Sudahlah, yang kebetulan sudah diberikan jodoh oleh Tuhan tidak usah sok ‘paling bahagia’ di dunia. Biasa aja. Bukan berarti kamu yang beruntung lebih baik daripada yang masih lajang.

Ingat, apa pun masih bisa terjadi. Hati manusia mudah berubah, jadi nggak usah terlalu percaya diri. Yang pacaran masih bisa putus, yang menikah pun bisa cerai. Kalau tidak, bisa juga ditinggal mati. Tidak ada yang abadi.

Lagipula, namanya juga rezeki. Setiap orang dapatnya berbeda-beda. Jangan sampai kesombonganmu yang merasa terlalu bahagia karena sudah punya pasangan bikin Tuhan memutuskan untuk mengambil rezekimu kembali.

Bukannya mau nakutin atau nyumpahin loh, ya. #Sekadarmengingatkan …

R.