“MENCARI SENYUMMU DI TENGAH KEKACAUAN DUNIA…”
Aku mencari senyummu
di antara kekacauan dunia
Mungkin saja,
senyum itu senjata terampuh
seperti mata bersorot teduh
yang mampu membunuh
semua angkara di dada
kalau perlu tanpa sisa…
R.
“MENCARI SENYUMMU DI TENGAH KEKACAUAN DUNIA…”
Aku mencari senyummu
di antara kekacauan dunia
Mungkin saja,
senyum itu senjata terampuh
seperti mata bersorot teduh
yang mampu membunuh
semua angkara di dada
kalau perlu tanpa sisa…
R.
“JATUH. BANGUN. JATUH. BANGUN LAGI.”
Sebenarnya saya enggan terlalu banyak bercerita tentang diri sendiri, meskipun ini blog pribadi. Tapi, bisa dibilang, 1-2 bulan terakhir ini adalah saat-saat penuh cobaan. Nggak perlu secara spesifik disebut. Intinya saya lagi lumayan struggling banget akhir-akhir ini.
Kali ini, saya memutuskan untuk nggak cerita ke semua orang. Takutnya (terutama mengingat saya masih lajang dan tinggal sendirian pula), yang datang kebanyakan komentar “nggak banget” – terlalu menghakimi sekaligus menggampangkan, seperti:
1. Mereka akan menyarankan saya untuk kembali pulang dulu, dengan dua alasan berbeda yang sama-sama nggak enak didengar:
“‘Kan masih ada keluarga ini. Ngapain sih, sok-sok tinggal sendiri?”
“Cewek gak bisa hidup mandiri. Kalo ampe ada, berarti bukan cewek atau aneh.”
Grrr…grrr…grrrh…izinkan saya menimpuk muka mereka pake kamus, meski dengan risiko batal puasa. (Untung saya tetap lebih mempertahankan puasa ampe waktu buka.)
2. Mereka akan berkomentar dengan nada meremehkan:
“Udah, nyante aja. Elo ‘kan cewek. Ntar pas married juga udah gak perlu lagi terlalu pusing mikirin duit. Tinggal nodong suami.”
Astaga, naif sekali. Udah gitu, bahasanya itu, lho. Selain memperlakukan pernikahan bagai solusi kilat finansial, suami hanya dianggap mesin ATM sementara istri dianggap cuma tukang belanja dan morotin suami doang. Huekk!
3. Mereka akan cenderung menyalahkan dan menuduh yang enggak-enggak:
“Elo juga sih, jadi cewek keras kepala dan egois banget. Gak pernah dengerin orang lain.”
Ahem, yakin segitu kenalnya sama saya? Gak pernah dengerin orang lain, apa cuma Anda doang?
Berdasarkan beberapa pengalaman di atas, saya memutuskan untuk nggak sembarangan bercerita. Nggak semua orang bisa dipercaya. Yang niatnya paling baik pun belum tentu bisa memberi solusi, bukannya kritikan doang – terlepas emang saya yang salah atau bukan. (Gak perlu juga selalu bermanis-manis ama saya, tapi nyinyir juga gak ada gunanya.)
Intinya, gak semua orang se-suportif itu. Kenyataannya memang demikian.
Banyak orang yang merasa sudah tahu segalanya tentang kita. Saat kita jatuh, belum tentu mereka bakalan ikut jatuh kasihan dan tergerak untuk membantu. Bisa saja mereka malah menuduh, menyalahkan, dan menghakimi dengan mudah. Nggak bisa atau nggak mau bantuin gak apa-apa, serius.
Asal mulut gak jadi jahat aja.
“Elo gak hati-hati, sih. Makanya ketipu. Baik ama orang boleh, tapi jangan gak pake otak gitu, dong.”
“Elo terlalu percaya ama dia sih, makanya dimanfaatin.”
“Elo itu gak pernah bener-bener mandiri, karena elo selalu ikut kata orang.”
“Elo ‘kan gak pernah traveling maupun hidup sendiri. Emang bisa?”
Padahal, dari mana bisa tahu saya bakalan gagal kalo gak nyoba? Lalu, apakah jumlah kegagalan seseorang lantas sah membuat mereka dicap sebagai pecundang?
Banyak yang lupa, hidup ini selalu penuh dengan proses ‘jatuh-bangun’. Bahkan, orang paling cerdas, kuat, dan berhati-hati sekali pun mengalaminya. Pilihan juga selalu banyak.
Mau terus mengasihani diri sendiri atau bangkit lagi? Mau break sebentar atau langsung ganti strategi?
Mau gengsi – atau menerima tawaran dan bantuan dari mereka yang benar-benar peduli, bahkan sebelum Anda memintanya? Mau terus dengerin berisiknya para bully atau mengingat ucapan mereka yang selalu menyemangati?
Banyak ya, pilihannya? Mau yang mana?
Jatuh. Bangun. Jatuh? Ya, bangun lagi. Saatnya ganti strategi dan belajar kembali.
R.
“SAAT SALAH MENJADI MOMOK SEKALIGUS BAHAN TERTAWAAN…”
“Sebenernya pengen sih, belajar sekaligus praktik. Cuma takut salah.”
“Kenapa takut salah?”
“Ntar diketawain dan dibilang bodoh.”
—//—
“Bego amat, sih. Baru gini doang gak bisa.”
Salah. Takut salah. Takut kelihatan bodoh dan jadi bahan tertawaan.
Kedengaran familiar? Pernah mengalami? Mungkin perasaan ini jauh lebih parah daripada kena marah. Tapi, apa hubungan contoh kejadian pertama di atas dengan yang kedua?
Jadi bully bagi sebagian orang emang enak. Ada perasaan kuat, berkuasa, hingga ‘lebih’ lainnya saat bisa menertawakan atau merendahkan orang lain. Agar perasaan kuat itu terus ada, mereka butuh ‘pembanding’.
Biar terus menang, jangan cari pembanding yang seimbang atau lebih berkualitas dari mereka. (Halah, anak kecil juga tau kali! Eh, tuh ‘kan, saya jadi ikutan.) Kalo bisa yang ‘lebih rendah’ atau ‘di bawah banget’ dari mereka. Semakin aneh atau cupu, semakin seru dijadiin bahan tertawaan. Lumayan, hiburan gratisan. Receh banget deh, pokoknya.
Lalu, gimana kalo yang bermental bully ini mendadak harus belajar hal yang baru banget, alias belum mereka kuasai sama sekali?
Bisa jadi mereka malah berani namun cenderung meremehkan atau malah ketar-ketir cari alasan buat mundur. Gengsi dong, kalo ketauan punya kekurangan. Namanya juga bully. Kalo gak sok sibuk, mereka bakalan ngeles, bilang kalo kegiatan itu nggak ada gunanya atau “Bukan gue banget.”
Padahal, mencoba saja belum pernah. Dari mana bisa tahu kalau itu ‘bukan mereka banget’?
Masalah masih berlanjut bagi yang berani mencoba terus melakukan kesalahan. Contoh: belajar bahasa asing. Dari segi teori sih, oke banget. Kosakata hapal mati.
Tapi, giliran praktiknya kebat-kebit. Alasannya? Ya, takut salah. Takut diketawain. Kalo ampe beneran kejadian, biasanya mereka malah marah atau jadi malu. Gengsi dan ogah nyoba lagi, deh. Game over.
Kadang takut salah belum tentu ada hubungannya sama kurangnya kepercayaan diri. Bisa jadi, sadar nggak sadar, selama ini kita udah kepedean dan cepet puas, makanya malah jadi sombong namun enggan berkembang. Ngeliat orang jatuh aja masih suka refleks ngetawain. Padahal, kalo kita sendiri yang ngalamin pasti sakitnya dua kali. Ya, sakit badan karena jatuh plus sakit hati karena yang ngeliat gak punya empati.
Gimana caranya supaya cepat bisa mempelajari sesuatu? Ya, coba dulu baru tahu. Kalo salah? Ya, belajar dari situ.
Intinya, jika pernah atau masih punya rasa takut salah saat mempelajari sesuatu yang baru, coba cek dulu. Jangan-jangan selama ini kita masih hobi ngetawain kesalahan orang lain – dan alam bawah sadar sedang getol-getolnya ngingetin pas kita gantian di posisi mereka…
R.
“SELAMAT DATANG DI ALAM MIMPIKU”
Semalam aku kembali melihatmu
muncul di luar kendaliku
Haruskah aku terganggu?
Aku tak tahu
Rasa ini masih ambigu
Bagaimana ini?
Kenapa kau bisa di sini?
Padahal, gerbang ini sudah lama kukunci
Tidak sembarang orang bisa kemari
Lagi-lagi diri mengkhianati
Akankah kau kembali ada
di malam-malam berikutnya?
Tak sudi aku kehilangan daya
Setengah mati kuhindari satu kata
khawatir merasa bodoh dan berakhir kecewa
kembali pada bencana yang sama
seperti semua kisah lama
Ah, sepertinya waktuku telah tercuri
bahkan saat lelap sendiri
Mungkin kau memang harus di sini
meski entah sampai kapan…atau akankah kau juga pergi
dan aku kembali sendiri
Selamat datang di alam mimpiku
meski kau sendiri tidak tahu…
R.
“5 BERKAH DARI MENJADI SOSOK CHUBBY”
Seperti yang selalu saya percaya, hak otonomi tubuh seharusnya milik masing-masing orang. Mau kurus terserah, mau gemuk juga. Sayangnya, masih saja ada orang yang kurang kerjaan dan mengurusi tubuh orang lain.
Nah, daripada kesel dengerin mulut-mulut usil yang seakan tiada henti (bahkan termasuk mereka yang bertanya-tanya apakah berat Anda akan turun banyak di bulan puasa ini), boleh jadi 5 berkah di bawah ini dapat menghibur hati Anda:
1. Nggak gampang diculik.
Ya, meme semacam ini sempat bertebaran di media sosial. Boleh dianggap lucu, boleh enggak. Kecuali pelakunya emang ‘niat banget’ (seperti sampai mengerahkan sekompi hanya buat menciduk Anda seorang), kayaknya banyak yang lebih milih mundur atau mikir ribuan kali sebelum punya niat jelek ini.
2. Nggak gampang diceburin ke kolam renang saat dikerjain.
Sesungguhnya poin ini hampir mirip dengan yang pertama. Dua kali ultah, saya sendiri pernah dikerjain dengan cara yang sama. Kalo cuma berdiri di tepi kolam sih, gampang banget. Tinggal dorong dan byur!
Tapiii, coba bayangin kalo orang yang mau Anda kerjain begitu kebetulan chubby…dan meronta-ronta setengah mati.
Berdasarkan pengalaman pribadi, butuh seenggaknya enam orang laki-laki berbadan besar (entah kekar atau gempal, terserah) untuk mengangkut saya sebelum sukses menceburkan saya ke kolam renang. Catet ya: ENAM LAKI-LAKI KEKAR atau GEMPAL. Not just any guys.
Mengapa demikian? Terakhir kali ada satu yang kurus di antara mereka, dia malah sukses ikut tercebur. Ya, selain fakta bahwa waktu itu saya juga ikut menariknya.
3. Lebih kreatif dalam urusan berbusana.
Kata siapa cewek chubby gak bisa atau gak boleh kelihatan gaya? Hare gene. Come on. Udah ada toko-toko baju khusus plus-size, mau yang tinggal disamperin atau online. Perpaduan fashion untuk si chubby juga udah banyak. Tinggal pilih sesuai selera dan kenyamanan masing-masing.
Di Amrik aja juga udah biasa ada fashion show khusus untuk plus-size models. Kalo di toko langganan nggak jual outfit incaran? Tinggal andelin penjahit langganan buat bikin versi besarnya.
4. Dari semua bully yang hobi ‘cuap-cuap’ soal tubuh Anda yang menurut mereka ‘enggak banget’, masih ada teman-teman sejati yang bener-bener sayang sama Anda.
Nggak usah main kuantitas, yang penting kualitas. Berterima kasihlah pada ‘mulut-mulut kurang ajar’ itu. Anda bisa tahu siapa saja yang layak dijadikan teman dan disayang, siapa yang enggak. Kalo yang mulutnya reseh anggota keluarga sendiri? Yah, interaksi seperlunya aja. Tetap sopan, tapi gak usah deket-deket amat juga nggak apa-apa.
5. Sama seperti nomor empat, ada beda antara beneran mendukung dengan yang sebenernya cari-cari alasan – dan bahkan pembenaran – untuk menjatuhkan.
“Kurusin, dong. Mau ‘kan, punya pacar?”
“Kita olahraga, yuk. Biar lebih sehat.”
Ngerti bedanya? Kalo masih enggak, kebangetan namanya.
Nah, itu dia lima (5) berkah dari menjadi sosok chubby. Masih ada yang nggak suka? Tantang aja ke mereka, berani nggak protes ke Sang Pencipta? Wong yang punya badan siapa, kok yang ribut siapa?
R.