Katanya Kalo Perempuan Jadi Pemimpin Negara Mainnya Ngambekan
Bagi yang ngaku netizen di jagad medsos, barangkali pernah lihat meme kayak gini:

Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1017747711763149&set=gm.1963006487120565&type=3&theater&ifg=1
“If women ruled the world, there would be no wars – just a bunch of jealous countries not talking to each other.”
Nih, saya bantu pake terjemahan, ya:
“Jika perempuan jadi penguasa dunia, nggak akan ada perang – hanya sekelompok negara yang nggak saling komunikasi karena sirik/iri.”
Intinya, meme ini lagi-lagi ngeledek perempuan dengan premis “Gimana ya, kalo perempuan yang jadi pemimpin negara?” Seperti biasa, yang nggak gampang baperan (atau mungkin malah nggak pedulian) hanya menanggapinya dengan ringan. Ya, namanya juga perempuan. Hobinya ngambekan, bukan ngomong terang-terangan.
Bahkan, sesama perempuan sendiri juga mengamini fakta tersebut. Iya sih, memang rata-rata perempuan kalo lagi marah suka milih diem-dieman. Waktu zaman remaja aja, saya kenal cukup banyak teman laki-laki yang bangga berkoar-koar – hingga hampir mendekati pongah:
“Kayak cowok, dong. Biarpun berantem ampe babak belur, yang penting kita masih fair-fair-an. Abis itu urusan kelar. Lebih sportif-lah.”
Hahahaha, yakin?
Cuma, kalo kita lihat lagi meme barusan, ketimbang langsung ngejadiin bahan ledekan buat perempuan, mari baca dan pikirin lagi konteksnya:
“Nggak akan ada perang…karena lebih milih diem-dieman…”
Apa iya, kesannya sejelek itu? Apa iya, memilih untuk menghindar selalu tindakan pengecut, bukan kesatria yang kapan aja harus siap maju ke medan pertempuran? Agak miris juga sih, mengingat kultur patriarki yang kental dengan maskulinitas beracun bikin lebih banyak yang mendukung penyelesaian masalah pake kekerasan.
Saya termasuk orang (bukan hanya spesifik nyebut diri perempuan) yang memilih sebisa mungkin semua masalah diselesaikan segera. Jadi, nggak ada lagi rasa segan atau keberatan yang masih ‘ngegantung’ di udara. Jangan ampe diem-diem masih menyimpan dendam, trus di lain waktu baru nyerang lagi. Ya, judulnya nggak kelar-kelar.
Kadang ada alasan kenapa dua orang yang mungkin tadinya saling bicara (entah kamu sama gebetan atau kamu sama si dia sebelum jadi mantan, aih!) mendadak jadi diem-dieman. Apakah selalu rasa iri yang jadi alasan? Yakin bukan karena keegoisan atau kekeraskepalaan satu atau kedua belah pihak?
Padahal, bisa jadi ajang diem-dieman ini karena satu pihak enggan mendengar dan selalu merasa paling benar. Ya udah, ketimbang debat terus nggak kelar-kelar, mending cukup sampai di sini aja. (Kalimat khas orang kalo putus.)
Abis itu, bisa jadi sama-sama move on dan berusaha nggak saling ganggu lagi. Bisa jadi salah satu atau keduanya diem-diem masih saling ngomongin sesamanya di belakang. Ini bukan kerjaan perempuan doang lho, ya. (Nggak mau ngaku juga nggak apa-apa. Nggak perlu pembuktian. Saya bicara dari pengalaman.)
Lha, terus kenapa demikian? Bisa aja masih ada kesal mengganjal. Bisa aja kedua belah pihak sebenernya masih saling sayang (mau teman atau pacar, ya), namun emang lagi selisih paham aja. Siapa tahu pihak luar yang mereka curhatin bisa kasih solusi atau minimal jadi pendengar yang nggak menghakimi. ‘Kan hitung-hitung lumayan nenangin hati. Yakeun?
Terus, kata siapa mereka akan selalu musuhan? Klise sih, tapi kadang waktu emang nyembuhin luka. Abis itu begitu ketemuan lagi (minimal Lebaran kalo sesama Muslim), saling bermaaf-maafan, dan masalah selesai. Ada juga yang sama-sama beritikad baik ngomongin solusi buat masalah mereka sebelumnya biar nggak dendaman lagi.
Kalo enggak? Ya, udah. Tinggal move on aja. Gitu aja kok repot?
Nah,balik lagi kita ke ngebandingin cara laki-laki sama perempuan biasanya ngelarin perselisihan. Padahal, kalo dalam dunia politik, ajang diem-dieman ini juga dikenal dengan sebutan “putus hubungan diplomasi”. Jadi, kedua negara yang tadinya saling bekerja sama memutuskan untuk udahan. Ya, kayak kamu ama si dia yang sekarang jadi mantan, meski prosesnya nggak gampang.
Contohnya: kemaren Taiwan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan El Savador. Ini juga gara-gara salah satu negara Amerika Selatan itu memutuskan untuk membangun relasi diplomatik dengan Tiongkok. Lha, tau sendiri ‘kan, kalo Taiwan sama Tiongkok nggak akur, meski sama-sama Asia Timur?
Meskipun Presiden Taiwan kebetulan juga perempuan, yaitu Tsai Ing Wen, pastilah keputusan diplomatik ini nggak hanya dari beliau seorang. Jadi, bukan perempuan doang kok, yang hobi diem-dieman.
Kalo mau cek zaman dulu pun, Ratu Elizabeth yang pertama pun turut berperang. Jadi, kata siapa perempuan selalu mainnya ngambekan?
Lagipula, emang perang itu enak? Bolehlah berbangga-bangga bikin lawan babak belur biar dianggap lebih kuat, ditakutin, dan – secara kasar – keluar sebagai pemenang. Tapi, pernah mikir nggak, kalo cara ini juga bisa nyasar orang-orang yang nggak mau ikutan? Belum lagi banyak korban berjatuhan – dari yang luka sampai meninggal, lokasi perang rusak, dan biaya perbaikan yang nggak murah. Siapa yang rugi? Dua-duanya bukan?
Nggak usah jauh-jauh ngomongin perang, deh. Suporter sepakbola aja udah bisa saling bunuh-bunuhan, bahkan untuk perkara yang menurut saya – maaf nih ya, buat yang baperan soal tim jagoan mereka di lapangan – remeh banget. Remeh, karena sebenernya bisa diselesain tanpa harus ada yang mati.
Emang abis itu masalah selalu kelar? Belum tentu. Bisa jadi lawan yang kalah mewariskan dendam dan sakit hati ke generasi berikutnya. Jadi, siap-siap aja terima balasan. Beda dengan diem-dieman. Nggak ada yang harus mati, nggak harus merusak lahan orang, ampe nggak harus bayar biaya reparasi yang pasti mahal sekali. Hiii…
Jadi, enaknya yang mana, sih? Hmm, apa pun jenis kelamin pemimpin negara, kalo bisa sih, lebih banyak pake dialog damai, ya. Capek soalnya, mau itu perang terus atau diem-dieman hingga saya kurus. (Eh, itu kapan, ya?)
R.