Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Lelucon Usang Tentang Perempuan

Lelucon Usang Tentang Perempuan

Sepertinya kau masih terjebak di zaman batu,

demi kenyamanan egomu

Kau paksakan lelucon usang

anggapan klisemu tentang semua perempuan

 

Mengapa perempuan cenderung diam,

namun seakan selalu ingin dimengerti?

Jangan-jangan selama ini

malah kau yang tak tahu diri

menuntut mereka selalu paham dan menuruti

semua inginmu tanpa henti

atas nama ‘ego laki-laki’

 

Silakan,

teruslah berlagak bak komedian

membodohi semua orang

agar terus menertawakan yang sudah usang

tanpa peduli melihat di balik kenyataan

yang selama ini selalu kau remehkan

 

Masih ingin di zaman batu,

demi kian rapuhnya egomu

seiring waktu

atau memilih maju?

Bisa ‘kan, kau mulai lebih mendengarkan,

tanpa tuduhan maupun penghakiman?

 

Tanyakan

Jangan selalu berasumsi seenaknya

atau meremehkan ucapan mereka

sehingga kembali mereka diam

hanya untuk kau jadikan

lelucon usang yang memuakkan…

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

5 Alasan Saya Lebih Suka Menulis yang Panjang Daripada Bikin dan Komen di Status

5 Alasan Saya Lebih Suka Menulis yang Panjang Daripada Bikin dan Komen di Status

Ada yang bilang, sekarang orang pada makin sibuk. Saking sibuknya, mereka udah nggak sempet lagi baca-baca yang (menurut mereka, sih) terlalu panjang.

Ah, masa? Yakin bukan karena males aja? (Maaf, saya jadi nyinyir, nih. Hihihi.)

Intinya, untuk konten digital, saya sering diminta agar kalo bikin tulisan tuh, mbok ya yang pendek-pendek aja gitu. Soalnya kalo kepanjangan malah jadi ngebosenin. Orang malah jadi pada males baca. Apalagi, konten digital emang sengaja dibikin ringkas dan efektif. Capek juga kelamaan liat layar ponsel atau laptop.

Makanya, udah nggak mengherankan lagi kalo banyak yang lebih suka bikin status (alias micro-blogging) dan meme. Foto-foto dan video-video pendek? Itu juga pasti.

Komentar? Apalagi. Biasanya malah jauh lebih semangat (bahkan sampai suka lupa baca artikelnya gara-gara judul sudah ‘heboh’ atau statusnya dulu baik-baik. Hehe, suka pada gitu, ah.)

Nah, ini dia lima (5) alasan saya lebih suka menulis yang panjang daripada bikin dan komen di status:

  1. Sudah menjadi kebiasaan.

Bagi yang suka menulis buku harian seperti saya dari kecil pasti sudah tahu rasanya. Menulis itu bukan beban. Nggak hanya hobi, tapi udah lebih kayak panggilan. Sehari nggak nulis apa-apa aja rasanya ada yang kurang.

  1. Dapat mengumpulkan data lebih lengkap dan menyusun argumen lebih jelas.

Oke, saya memang bukan mahasiswa S2. Menulis esai saja jarang-jarang dan masih perlu banyak latihan. Mungkin juga ini masalah kecepatan berpikir yang kadang nggak selalu sama. Pada kenyataannya, memang nggak semua masalah bisa diselesaikan secepat mungkin.

Kita bisa lihat sendiri. Kebanyakan yang suka bikin maupun komen di status media sosial sering nggak siap dengan respons yang didapat. Buntutnya lebih banyak yang main pakai emosi daripada berargumen secara cerdas dan lebih beradab. Lebih mudah melontarkan makian, hingga menyerang kepribadian lawan bicara yang bahkan dikenal pun belum tentu.

Malah tambah riweuh, ‘kan?

  1. Malas berdebat terlalu panjang.

Sebenarnya saya nggak anti-anti amat bikin sama komen di status. Kalau yang berdebat cenderung keras kepala dan merasa paling benar sendiri, kok rasanya percuma, ya? Buang-buang waktu saja. Selain itu, yang model begini biasanya juga nggak peduli sama argumen orang yang bahkan sudah dilengkapi dengan data valid sekali pun.

  1. Muak dengan tukang komen yang kasar dan hobinya mengancam.

Mereka ini termasuk yang paling ‘meramaikan’ media sosial, suka nggak suka. Topik paling receh pun bisa jadi viral banget berkat kejulidan mereka. (Yang mau kasih mereka award, wis monggo. Saya mah ogah.)

Semakin kasar semakin seru? Buat saya mah, nggak level, tahu.

Gambar: https://unsplash.com/photos/RdmLSJR-tq8
  1. Takut kebiasaan baik hilang.

Ada rasa tenang setiap kali menulis. Ibarat terapi begitu.

 

Kalau Anda termasuk yang juga suka menulis, kira-kira lebih milih yang mana? Apa alasannya?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tidak!

Tidak!

Tidakkah kau dengar?

Aku bilang tidak

Apa?

Otakmu pengar, ya?

Tidak?

 

Aku tidak mengerti

tabiatmu, wahai lelaki

yang suka semaunya sendiri

merayu perempuan di sana-sini

namun masih menuntut calon istri

yang harus tetap suci

 

Masih tidak dengar?

Kubilang tidak

Aku tidak sedang sok jual mahal

Otakmu yang bebal

 

Mungkin sudah banyak yang mau

serahkan semua untukmu

Bukan aku

Ada rasa benci yang menunggu

waktu untuk meledak, tepat di mukamu

 

Masih tidak dengar kubilang tidak?

Baiklah.

Selamat kecewa.

Aku sudah lelah

dengan kamu yang menganggap semua perempuan

bisa dipermainkan,

sebelum dibuang seperti sampah!

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Jangan Pernah Menyerah, Meskipun Muak

Jangan Pernah Menyerah, Meskipun Muak

Ada mimpi-mimpi yang terasa sangat mahal. Rasanya jadi lebih mahal begitu seseorang mensabotase mimpi-mimpi tersebut. Mereka melakukan sesuatu yang buruk dan – sayangnya – Anda terlalu baik untuk menjauh secepatnya dari mereka.

Setelah itu, mereka masih akan bebas bicara apa pun tentang Anda, padahal Anda sudah cukup baik dan bijak dengan tidak banyak bicara. Mau membalas mereka? Tidak ada gunanya.

Ya, anggap saja mereka tidak tahu berterima kasih. Yah, memang ada orang yang cukup gila untuk bersikap seperti itu. Padahal, Anda sudah baik-baik menjaga jarak demi perdamaian. Seharusnya mereka lebih sadar dan tahu diri. Mengapa ada saja orang yang begitu cinta drama sehingga mau repot-repot mencari perhatian seperti itu?

Berurusan dengan orang-orang seperti itu memang kesalahan, namun masih selalu bisa dipelajari. Bukannya sombong dan ingin memutus tali silaturahmi, namun ada kalanya Anda memang lebih baik tanpa mereka. Mereka telah menghancurkan impian dan rencana Anda, meskipun untungnya tidak semuanya.

Jangan pernah menyerah pada impian Anda, tidak peduli seberapa muaknya Anda saat ini. Merasa muak itu normal. Rasaanya, apa pun yang Anda lakukan, Anda tetap kalah. Menyebalkan bukan, kalau yang jahat sepertinya menang terus?

Entah kenapa, mereka yang hobi mempermainkan perasaan orang lain selalu lebih cepat punya pasangan baru. Sementara itu, Anda yang serius selalu sendirian. Rasanya tidak adil, bukan? Kok, kayaknya mereka terus ya, yang dapat perhatian banyak orang? Anda kapan?

Pada kenyataannya, mereka tidak mampu mendapatkan cinta sejati. Bahkan, mereka hanya tahu dan peduli cara mencintai diri sendiri. Menyedihkan, bukan? Tidak peduli berapa banyak orang yang tertarik pada mereka di awal pertemuan, akhirnya semua sama saja.

Mereka akan selalu merasa sendiri. Boleh saja mereka berpura-pura pada dunia, namun alam bawah sadar akan selalu jadi pengingat yang mengganggu mereka. Mereka tidak akan pernah merasa cukup baik untuk siapa pun.

Drama, drama, drama.

Yang Anda butuhkan hanyalah orang-orang yang tepat – cukup beberapa – yang benar-benar menyayangi Anda. Mereka jauh lebih penting daripada orang-orang yang hanya memperhatikan Anda selama masih menguntungkan bagi mereka.

Jangan pernah menyerah, meskipun muak. Tidak peduli berapa banyak orang yang mencoba menjatuhkan Anda / menghancurkan impian Anda / menghancurkan hati dan jiwa / melanggar hak Anda.

Karena Anda juga berharga.

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Belum Usai

Belum Usai

Pertarungan belum usai

hingga tak ada sisa lagi

Lihat, masih tegak kau berdiri

Siapa yang perlu dikasihani?

 

Justru mereka yang tak tahu diri

terus menindasmu tanpa henti

Akan ada nasib berganti

saat mereka membayar semua pedih

dan kau menjulang lebih tinggi

 

Lihat saja nanti…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Alasan Logis Sebaiknya Tidak Buru-buru Saat Memulai Hubungan Baru

5 Alasan Logis Sebaiknya Tidak Buru-buru Saat Memulai Hubungan Baru

Baru putus atau malah ditinggal nikah? Pastinya menyakitkan. Ada perasaan marah, kalah, sekaligus gundah. Bahkan, meski sudah termasuk pihak yang berusaha keras mempertahankan hubungan, risiko ditinggal sayangnya tetap ada.

Mungkin sudah banyak yang menyarankan Anda untuk segera move on. Bahkan, banyak juga yang langsung berusaha menjodohkan Anda dengan siapa pun yang mereka kenal. (Semoga masih sama-sama single juga, ya. Kalo nggak, percuma.)

Harapan mereka? Tentu saja agar Anda tidak sedih lagi dan segera punya pasangan hidup (yang syukur-syukur bisa langgeng hingga akhir hayat).

Nggak apa-apa, sih. Mungkin ada yang langsung berhasil dengan cara itu. Ya, kira-kira secepat anak kecil yang gembira lagi, karena ada yang membelikannya mainan baru setelah yang lama hilang.

Oh, saya kedengaran nyinyir ya, barusan? Maaf, saya sebenarnya hanya mau bilang bahwa cara di atas belum tentu berhasil untuk semua orang. Jangan langsung menuduh mereka kurang berusaha dulu, karena ini dia lima (5) alasannya:

  1. Anda memulai hubungan dengan alasan salah.

Klise memang, tapi ini beneran. Mulai dari takut kesepian, cari pelarian, hingga ngikutin omongan orang (mulai dari perkara umur, permintaan ortu soal cucu, dan entah apa lagi.) Masalahnya, Anda yang nanti akan menjalani hubungan itu, bukan mereka. Pastikan Anda melakukannya karena murni keinginan dan kesiapan pribadi, bukan kata orang.

  1. Anda masih sering terbayang-bayang atau bahkan ngomongin mantan.

Mungkin ini sering Anda lakukan tanpa sadar. Bahkan, saat akhirnya ‘jadian’ lagi sama yang baru, Anda masih melakukannya. Jangan salahkan si dia bila akhirnya malah menjauh. Siapa sih, yang sudi saingan sama masa lalu?

Gambar: thedesignerprotraitstudio.com
  1. Si mantan udah punya yang baru dan Anda merasa ‘kalah’.

Haduh, masih zaman yah, soal beginian? Jangan kayak anak kecil, ah. Apalagi, menikah itu komitmen serius lho, bukan soal balapan atau ‘laku’ duluan. Janganlah suka membandingkan diri dengan barang dagangan di pertokoan. Nggak ada istilah diskon-diskonan, apalagi sampai banting harga!

  1. Punya harapan tidak realistis pada calon pasangan baru.

Ini bukan hanya soal mencari ‘ganti’ yang mirip dengan mantan, baik dari segi penampilan hingga kepribadian. (Berhubung nggak mungkin ada manusia yang 100% sama dengan yang lainnya, siap-siap aja kecewa. Kembar identik aja juga punya perbedaan.)

Ini juga bukan soal mencari sosok yang (menurut Anda nih, ya) jauh lebih baik daripada mantan. (Duile, segitu dendamnya. Lagi-lagi main perbandingan!) Sadar atau enggak, Anda pasti punya harapan bahwa hubungan berikutnya jangan sampai putus lagi.

Nggak salah sih, berharap yang terbaik. Namun, jangan sampai jadi obsesi. Yang ada malah stres sendiri dan ini juga mempengaruhi pasangan. Ingat, semua perlu proses dan pembelajaran, disertai dengan sabar. (Padahal yang nulis ini juga lagi belajar sabar, hihihi.)

Kalo sukses, syukurlah. Kalo enggak, anggep aja sebagai bahan pembelajaran atau pengalaman. Boleh usaha, tapi jangan lupa santai dan berbahagia.

  1. Belum bisa atau bahkan lupa berbahagia saat sedang sendiri.

Oke, saya sedang tidak menyangkal. Ya, kadang-kadang memang suka ada rasa sepi. Namun, inilah bahayanya bila Anda sampai segitu butuhnya punya pasangan, biar nggak kesepian dan merasa bahagia:

Anda jadi cenderung menggantungkan seluruh kebahagiaan Anda pada si dia. Yang ada, si dia malah jadi terbebani dan Anda jadi kayak lepas tanggung jawab sama perasaan sendiri.

Klise sih, tapi bahagia itu sebenarnya pilihan. Mau sedang sendiri atau bersama orang lain (terutama pasangan, hehe), bahagia itu perlu. Lagipula, orang yang bahagia akan memancarkan aura menyenangkan. Jadinya, mereka lebih mudah didekati, karena auranya positif. Percaya, deh.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Selepas Impian Sang Cinderella Urban

Selepas Impian Sang Cinderella Urban

Impian Cinderella-mu sudah lama berakhir, sayang.

Mengapa masih saja berharap keajaiban?

Dia telah lama pergi.

Kini kau kembali sendiri.

 

Mungkin dia akan kembali,

tapi apakah semua akan sama lagi?

Hidup terlalu singkat untuk sekedar berharap dan menunggu.

Saatnya kembali memikirkan dirimu.

 

Kata mereka, saat itu akan datang.

Kapan?

Hanya Tuhan yang Maha Tahu.

Kau hanya perlu terus berdoa dan berusaha.

Tak perlu menjelaskan pada siapa-siapa.

 

Hidup ini bukan dongeng anak-anak.

Tak perlu berharap semua akan mengerti kelak.

Ini hidupmu, bukan tentang mereka.

Hanya kamu yang bisa menentukan arti ‘bahagia’…

 

R.

(Jakarta, 25 September 2015 – 10:24)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Cewek Merokok Dianggap Nakal, Giliran Nolak Cowok Perokok Dibilang Picky

Cewek Merokok Dianggap Nakal, Giliran Nolak Cowok Perokok Dibilang Picky

Sumber: https://unsplash.com/photos/zXQdgHr2KIw

Gini, saya tumbuh di keluarga besar yang mayoritas laki-lakinya merokok semua. Tahu sendiri deh, kadang kalo udah arisan, beranda depan rumah nggak beda sama isi bar atau night-club. (Lebay? Biarin.)

Yang masih bisa saya apresiasi, seenggaknya Adik, para om, hingga sepupu yang laki-laki nggak merokok deket anak kecil atau ibu hamil. (Kecuali siap diganyang emak-emak pake penggorengan.)

Bahkan, dulu saya sendiri juga sempat ikutan merokok. Adik sama sekali nggak keberatan. Dia bukan tipe cowok patriarki pencinta standar ganda yang bakal protes melihat cewek merokok. (Hmm, nggak tahu juga ya, kalo ama pacarnya sendiri. Dulu nggak pernah kepikiran nanya, sih.)

Beberapa kali semobil, kita bisa buka jendela, dengerin lagu-lagu metal, sambil ikut ngebulin asap dari mulut. Nggak jauh beda ama knalpot.

Temen-temen SMA aja (terutama cowok-cowok yang jadi langganan guru BP gara-gara ketauan merokok di kantin sekolah) pada kaget begitu tahu saya juga perokok. Ini kejadiannya pas bikin buku tahunan.

Pas mereka bilang: “Kok kita nggak pernah tahu? Kok lo nggak pernah ketahuan guru?”, dengan enteng saya jawab aja: “Mangnya elu-elu pade, merokok harus pamer-pamer?” Toh, merokok juga pilihan dan urusan pribadi saya.

Makanya, saya juga heran apa yang mau coba dibuktiin sama bapak-bapak, mas-mas, maupun adek-adek yang hobi banget kebal-kebulin asep di tempat umum. Biar kelihatan jantan? Nganggep laki yang nggak merokok itu nggak jantan, bahkan malah ada yang menyamakannya dengan trans?

Padahal trans juga banyak yang merokok dan santai-santai aja. Nilai kejantanan sebenernya juga relatif, sih. Yang jualan rokok juga nggak pernah mendiskriminasi pelanggan, selama dibayar terus.

Hmm, sesekali coba baca-baca artikel kesehatan, deh. Menurut pakar kesehatan Lily Sulistyowati dan Budi Wiweko, kondisi sperma perokok kualitasnya lebih rendah daripada yang enggak. Akibatnya, tingkat kesuburan laki-laki itu bisa bermasalah.

“Ah, enggak kok. Temen saya yang perokok anaknya bisa empat.”

Mungkin benar, tapi coba perhatiin anak-anaknya, deh. Apakah mereka cenderung punya alergi akut, seperti asma (itu lho, yang sering bikin sesak napas)? Bila tiga dari empat aja udah positif kena asma, kira-kira itu salah siapa? Jangan bilang salah Bunda mengandung lho, apalagi bila bunda-nya nggak ikutan merokok.

Terus apa yang kemudian bikin saya sendiri akhirnya berhenti merokok? Bukan, bukan karena saya perempuan trus takut dicap nakal sama orang. Laringitis keburu mengancam pita suara, jadi mending rokoknya udahan aja. Sayang ‘kan, kalo saya nggak bisa nyanyi lagi? Hihihihi…

Nolak Cowok Perokok Demi Kesehatan Sendiri

Sumber: Isaiah Rustad

Nah, ada satu lagi problem terkait urusan merokok ini. Lucunya, udah cewek dicap nakal gara-gara merokok, giliran si cewek nggak merokok tapi nolak cowok yang perokok, standar ganda berlaku lagi, nih. Si cewek langsung dicap picky alias pemilih atau standarnya dalam memilih pasangan dianggep ketinggian.

“Susah kamu cari laki yang gak merokok di Indonesia. Ntar nemu jodohnya makin lama.”

Tuh, ‘kan? Saya malah ditakut-takutin. Ini nggak beda dengan pakem khas patriarki selama ini, yang nuntut perempuan harus nrimo laki-laki apa adanya – kali ini dengan risiko jadi perokok pasif. (Yang sebenernya justru lebih bahaya.)

Sementara itu, laki boleh suka-suka. Toh, kalo mau mikirnya sadis, bila si istri yang justru wafat karena kanker, suaminya tinggal kawin lagi. Menuntut cewek jangan merokok, tapi sendirinya merokok. Giliran cintanya ditolak cewek gara-gara rokok, si cewek langsung dituduh terlalu milih.

Sama seperti para perokok yang menggunakan hak pilih mereka untuk tetap merokok, sebagai perempuan saya juga boleh dong, picky dalam memilih pasangan yang enggak. Toh, ini juga demi kesehatan kami bersama, nggak saya aja. (Jiahh!)

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Keringat, Darah, dan Hambatan si Jelata

Keringat, Darah, dan Hambatan si Jelata

Namaku Jelata,

bukan Jelita

Aku bekerja

berharap upah

seperti janji mereka

 

Keringat menetes

Urusan belum beres

Darah naik ke kepala

seiring murka

 

Namaku Jelata,

bukan Jelita

Aku tak lagi bekerja

gara-gara mereka

Alasan mereka,

kerjaku payah

Padahal, lebih payah mereka

yang ingkar janji

soal membayar gaji

 

Haruskah mereka

terus berjaya

memfitnah si Jelata

yang kian merana?

Sungguh tak rela

 

Mengapa tega berdusta?

Fitnah keji luar biasa

sukses membungkam si Jelata

dalam menuntut haknya

yang hingga kini belum diterima

 

Mau sampai kapan berpura-pura?

Hingga dusta dan pongah

balas menampar mereka

tepat di muka?

Hingga mereka kalah

oleh sumpah-serapah

si Jelata yang penuh amarah

karena kian terjajah?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Katanya Kalo Perempuan Jadi Pemimpin Negara Mainnya Ngambekan

Katanya Kalo Perempuan Jadi Pemimpin Negara Mainnya Ngambekan

Bagi yang ngaku netizen di jagad medsos, barangkali pernah lihat meme kayak gini:

Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1017747711763149&set=gm.1963006487120565&type=3&theater&ifg=1

“If women ruled the world, there would be no wars – just a bunch of jealous countries not talking to each other.”

Nih, saya bantu pake terjemahan, ya:

“Jika perempuan jadi penguasa dunia, nggak akan ada perang – hanya sekelompok negara yang nggak saling komunikasi karena sirik/iri.”

Intinya, meme ini lagi-lagi ngeledek perempuan dengan premis “Gimana ya, kalo perempuan yang jadi pemimpin negara?” Seperti biasa, yang nggak gampang baperan (atau mungkin malah nggak pedulian) hanya menanggapinya dengan ringan. Ya, namanya juga perempuan. Hobinya ngambekan, bukan ngomong terang-terangan.

Bahkan, sesama perempuan sendiri juga mengamini fakta tersebut. Iya sih, memang rata-rata perempuan kalo lagi marah suka milih diem-dieman. Waktu zaman remaja aja, saya kenal cukup banyak teman laki-laki yang bangga berkoar-koar – hingga hampir mendekati pongah:

“Kayak cowok, dong. Biarpun berantem ampe babak belur, yang penting kita masih fair-fair-an. Abis itu urusan kelar. Lebih sportif-lah.”

Hahahaha, yakin?

Cuma, kalo kita lihat lagi meme barusan, ketimbang langsung ngejadiin bahan ledekan buat perempuan, mari baca dan pikirin lagi konteksnya:

“Nggak akan ada perang…karena lebih milih diem-dieman…”

Apa iya, kesannya sejelek itu? Apa iya, memilih untuk menghindar selalu tindakan pengecut, bukan kesatria yang kapan aja harus siap maju ke medan pertempuran? Agak miris juga sih, mengingat kultur patriarki yang kental dengan maskulinitas beracun bikin lebih banyak yang mendukung penyelesaian masalah pake kekerasan.

Saya termasuk orang (bukan hanya spesifik nyebut diri perempuan) yang memilih sebisa mungkin semua masalah diselesaikan segera. Jadi, nggak ada lagi rasa segan atau keberatan yang masih ‘ngegantung’ di udara. Jangan ampe diem-diem masih menyimpan dendam, trus di lain waktu baru nyerang lagi. Ya, judulnya nggak kelar-kelar.

Kadang ada alasan kenapa dua orang yang mungkin tadinya saling bicara (entah kamu sama gebetan atau kamu sama si dia sebelum jadi mantan, aih!) mendadak jadi diem-dieman. Apakah selalu rasa iri yang jadi alasan? Yakin bukan karena keegoisan atau kekeraskepalaan satu atau kedua belah pihak?

Padahal, bisa jadi ajang diem-dieman ini karena satu pihak enggan mendengar dan selalu merasa paling benar. Ya udah, ketimbang debat terus nggak kelar-kelar, mending cukup sampai di sini aja. (Kalimat khas orang kalo putus.)

Abis itu, bisa jadi sama-sama move on dan berusaha nggak saling ganggu lagi. Bisa jadi salah satu atau keduanya diem-diem masih saling ngomongin sesamanya di belakang. Ini bukan kerjaan perempuan doang lho, ya. (Nggak mau ngaku juga nggak apa-apa. Nggak perlu pembuktian. Saya bicara dari pengalaman.)

Lha, terus kenapa demikian? Bisa aja masih ada kesal mengganjal. Bisa aja kedua belah pihak sebenernya masih saling sayang (mau teman atau pacar, ya), namun emang lagi selisih paham aja. Siapa tahu pihak luar yang mereka curhatin bisa kasih solusi atau minimal jadi pendengar yang nggak menghakimi. ‘Kan hitung-hitung lumayan nenangin hati. Yakeun?

Terus, kata siapa mereka akan selalu musuhan? Klise sih, tapi kadang waktu emang nyembuhin luka. Abis itu begitu ketemuan lagi (minimal Lebaran kalo sesama Muslim), saling bermaaf-maafan, dan masalah selesai. Ada juga yang sama-sama beritikad baik ngomongin solusi buat masalah mereka sebelumnya biar nggak dendaman lagi.

Kalo enggak? Ya, udah. Tinggal move on aja. Gitu aja kok repot?

Nah,balik lagi kita ke ngebandingin cara laki-laki sama perempuan biasanya ngelarin perselisihan. Padahal, kalo dalam dunia politik, ajang diem-dieman ini juga dikenal dengan sebutan “putus hubungan diplomasi”. Jadi, kedua negara yang tadinya saling bekerja sama memutuskan untuk udahan. Ya, kayak kamu ama si dia yang sekarang jadi mantan, meski prosesnya nggak gampang.

Contohnya: kemaren Taiwan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan El Savador. Ini juga gara-gara salah satu negara Amerika Selatan itu memutuskan untuk membangun relasi diplomatik dengan Tiongkok. Lha, tau sendiri ‘kan, kalo Taiwan sama Tiongkok nggak akur, meski sama-sama Asia Timur?

Meskipun Presiden Taiwan kebetulan juga perempuan, yaitu Tsai Ing Wen, pastilah keputusan diplomatik ini nggak hanya dari beliau seorang. Jadi, bukan perempuan doang kok, yang hobi diem-dieman.

Kalo mau cek zaman dulu pun, Ratu Elizabeth yang pertama pun turut berperang. Jadi, kata siapa perempuan selalu mainnya ngambekan?

Lagipula, emang perang itu enak? Bolehlah berbangga-bangga bikin lawan babak belur biar dianggap lebih kuat, ditakutin, dan – secara kasar – keluar sebagai pemenang. Tapi, pernah mikir nggak, kalo cara ini juga bisa nyasar orang-orang yang nggak mau ikutan? Belum lagi banyak korban berjatuhan – dari yang luka sampai meninggal, lokasi perang rusak, dan biaya perbaikan yang nggak murah. Siapa yang rugi? Dua-duanya bukan?

Nggak usah jauh-jauh ngomongin perang, deh. Suporter sepakbola aja udah bisa saling bunuh-bunuhan, bahkan untuk perkara yang menurut saya – maaf nih ya, buat yang baperan soal tim jagoan mereka di lapangan – remeh banget. Remeh, karena sebenernya bisa diselesain tanpa harus ada yang mati.

Emang abis itu masalah selalu kelar? Belum tentu. Bisa jadi lawan yang kalah mewariskan dendam dan sakit hati ke generasi berikutnya. Jadi, siap-siap aja terima balasan. Beda dengan diem-dieman. Nggak ada yang harus mati, nggak harus merusak lahan orang, ampe nggak harus bayar biaya reparasi yang pasti mahal sekali. Hiii…

Jadi, enaknya yang mana, sih? Hmm, apa pun jenis kelamin pemimpin negara, kalo bisa sih, lebih banyak pake dialog damai, ya. Capek soalnya, mau itu perang terus atau diem-dieman hingga saya kurus. (Eh, itu kapan, ya?)

R.