Categories
#catatan-harian #menulis

Yang Tak Terlihat …

 

Foto: https://unsplash.com/photos/xdGigMgUwaQ

Yang Tak Terlihat …

Coba bayangkan situasi ini:

Seorang lelaki dan perempuan pergi makan berdua di resto. Resto-nya mewah dan mahal. Saat selesai, si lelaki inisiatif berdiri dan menghampiri meja kasir untuk membayar. Si perempuan tetap duduk menunggu di meja.

Tak lama kemudian, keduanya beranjak meninggalkan resto. Sekilas, pemandangan itu terlihat biasa saja.

 

Yang tak terlihat:

Ada beberapa skenario yang memungkinkan. Pertama, bisa saja sebenarnya itu bukan uang si lelaki, melainkan si perempuan. Perempuan itu telah memberikannya kepada si lelaki sebelum mereka tiba di resto. Entah apa tujuannya, paling hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.

Kedua, jika kamu melihat si perempuan tengah mengecek ponselnya sembari menunggu lelaki yang sedang di meja kasir, bisa jadi dia tengah mengakses m-banking dan membayar bagiannya dengan cara mentransfer uang ke akun si lelaki. Makan berdua ‘kan, nggak berarti harus si lelaki yang bayar terus. Siapa tahu mereka bukan pasangan.

Kalau pun pasangan, siapa tahu mereka lagi memutuskan untuk bayar patungan. Bisa juga saling gantian bayarin.

Pokoknya, banyak deh, kemungkinan yang bisa terjadi.

 

Kenapa aku tiba-tiba menulis soal ini? Seperti biasa, aku ingin menantang persepsi kita semua. Benarkah selama ini kita telah melihat segalanya dengan utuh? Ingat, bisa jadi persepsi dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan latar belakang budaya.

Yakin tidak ada cerita lain di balik yang kita lihat? Mau cari tahu? Eits, kata siapa harus?

R.

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

Personal Branding #NaikLevel: Harus Konsisten Meskipun Sibuk

Sebelum bercerita, izinkan saya sedikit mengaku dosa:

Kesibukan saya di dunia nyata (yaitu pekerjaan purnawaktu utama) sempat membuat saya membiarkan blog ini terbengkalai. Bahkan, hanya sesekali saya menulis di blog ini. Itu pun hanya berupa cerita fiksimini untuk menjawab tantangan menulis di Instagram.

Apakah lantas saya tidak serius sama sekali dalam menggarap blog ini? Belum tentu. Apalagi demi personal branding. Tentu saja saya ingin #NaikLevel bersama Rumahweb. Apalagi, Hosting di sini murah dan mudah.

Awal Mula Saya Menulis Blog:

Jujur, awalnya saya tidak pernah terpikir untuk mempunyai domain blog sendiri seperti sekarang ini. Saya memilih menulis blog untuk senang-senang. Ya, curhat soal masalah sehari-hari hingga mendokumentasikan kejadian menarik yang saya lihat. Hitung-hitung latihan menulis setiap hari agar terbiasa.

Awalnya saya hanya menulis di blog dalam bahasa Inggris. Saya juga tengah berlatih menulis dalam bahasa tersebut, sembari mencari teman internasional yang seminat di dunia maya. Makanya, blog saya setting terbuka untuk publik. Meskipun tidak blak-blakan bercerita tentang jati diri saya sebenarnya, waktu itu saya belum terlalu paham maupun sadar akan bahaya ‘terlalu terbuka’ di ranah digital.

Beruntunglah, selama ini saya mendapatkan kenalan yang cukup baik di dunia maya. Ada beberapa yang jadi teman beneran dan ada yang cukup dekat secara personal selama beberapa waktu. Namun, tak ayal, ada juga yang tidak suka dan menganggap tulisan saya sampah. Ah, sudahlah. Namanya juga sudah risiko.

Berlanjut ke Blog Bahasa Indonesia:

Namun, lama-lama saya merasa karir menulis mandek meskipun sudah menulis banyak entri berbahasa Inggris. Saat itu, saya mulai melirik blog-blog berbahasa Indonesia yang mulai menjamur. Bahkan, makin tergelitik saat melihat banyak penulis Indonesia yang berhasil menerbitkan buku sendiri berkat blog mereka yang banyak dibaca orang.

Contoh: Trinity dengan kisah-kisah traveling-nya yang unik. Ada juga Bena Kribo dan masih banyak lagi. Jujur, saya juga sangat ingin seperti mereka. Punya buku sendiri yang dibaca banyak orang dan tulisan-tulisan saya disukai mereka. Masalahnya?

Pertama, saya merasa tidak istimewa. Diri dan kisah hidup saya biasa-biasa saja. Saya juga bukan orang yang suka melucu. Bahkan, banyak yang (pernah saya bikin keki) bilang kalau saya orangnya terlalu serius dan kaku. Saya terbilang lemot menanggapi bercandaan. (Padahal, yang bilang begini kemudian terbukti jauh lebih sensitif dan baperan daripada saya, hehehe.)

Sempat Tidak Konsisten Hingga Mengabaikan Blog Ini

Jika ada yang bertanya mengenai ciri khas tulisan saya, hanya ada satu kata: JUJUR. Saya tidak tahu cara mengesankan orang banyak. Saya benci berpura-pura. Saya tidak mau sok edgy dengan selalu menulis yang gelap-gelap dan marah-marah terus. Saya juga tidak mau sok asik dan melucu.

Sejak dulu, itulah personal branding yang kubawa. Kadang saya bisa melucu, meskipun bukan komedian profesional. Kadang saya tidak mau berpura-pura bahagia dan memilih menulis apa adanya. Sedih ya, sedih. Bahagia ya, bahagia. Bukankah wajar bila manusia sesekali merasakan salah satu atau keduanya sekaligus?

Maka itulah, sekali lagi saya ingin mengaku dosa:

Saya sempat tidak konsisten, bahkan hingga mengabaikan blog ini. Selain mencoba peruntungan menulis di platform lain, saya juga sibuk dengan kerjaan utama, lepasan, serta proyek lain di dunia nyata. Akibatnya, saya sempat beberapa kali kelelahan dan blog ini pun terbengkalai. Sayang, sudah dibayar tidak rajin diisi juga.

Berusaha Kembali Konsisten Menulis Blog

Pandemi 2020 menyadarkan saya bahwa sudah saatnya saya kembali menulis blog. Sudah saatnya saya kembali memperkuat personal branding saya, yaitu sebagai penulis isu perempuan, fiksi, dan puisi. Hanya dengan cara itu saya bisa #NaikLevel , terutama dengan blog ini yang sudah saya miliki dari Rumahweb sejak 2016. Hosting Murah dan caranya juga mudah. Silakan dicoba.

Semoga tulisan ini dapat menjadi pembakar semangat saya untuk kembali konsisten menulis blog, meskipun di tengah kesibukan yang kembali menggila. Aamiin …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Kesadaran (Menjelang) Ber-Lebaran

Aku mulai melihat banyaknya orang yang mulai ‘sadar’ akan hal ini (menjelang) ber-Lebaran. Ya, mulai banyak yang cukup ‘sadar diri’ untuk mengganti template ragam pertanyaan ‘basa-basi’ usang yang kerap bikin yang ditanya meradang. Syukur-syukur tidak sampai ada keinginan menendang. (Jangan, alamat bisa kembali musuhan!)

“Kapan nikah?”

“Kok gendutan?”

“Udah isi belum?”

“Gak nambah?”

(Oke, khusus pertanyaan yang terakhir, mari berasumsi bahwa mereka tengah menawarkan kita untuk makan lagi. Jadi, cukup segera ke meja prasmanan sambil dengan ceria membalas: “Beneran boleh nambah nih, Tante/Om/Kak? Asiiik, porsi keduaaa!”)

Hehe, tentu saja ini tidak terjadi dalam semalam. Masih banyak sih, mereka yang keukeuh beranggapan bahwa daftar pertanyaan di atas itu  “B AJA. ELU KALI YANG BAPERAN!” Jujur, argumen macam ini juga sudah teramat membosankan. Untung semakin banyak juga yang melawan dengan edukasi dan argumen cerdas sekaligus berkelas. Tak perlu panas kayak cuaca akhir-akhir ini.

 

“Kapan Nikah?”

Kalau yang ditanya sudah punya pacar/pasangan (dengan waktu cukup lama, misalnya setahun), bolehlah ditanya seperti ini. Tentu saja, dengan catatan kamu tidak langsung sok-sok menasehati mereka agar jangan lama-lama menunda. Woy, orang tinggal tunggu undangan kok, malah sok ngatur? Kecuali kalau kamu sudah siap membayari akad, resepsi, dan DP rumah untuk mereka selepas ijab kabul. Ada?

Yang pasti, pertanyaan di atas sangat tidak disarankan untuk ditanyakan pada yang masih lajang. Itu sama saja menyindir orang miskin yang belum punya tabungan milyaran dolar atau rumah bertingkat tiga di tengah kota. Jangan salahkan si lajang yang kemudian jadi malas berurusan sama kamu. Jangan juga sok-sok mengatur perasaan mereka dengan ucapan macam: “Gak boleh kesel, ‘kan cuman nanya.”

Eh, gimana kalo mulutmu yang diatur dulu? Sesekali perhatikanlah gajah di pelupuk mata, alih-alih sibuk meributkan semut di seberang lautan.

 

“Udah isi belum?”

Seorang teman pernah ditanya ibunya soal temannya yang sudah menikah: “Itu si A udah hamil apa belum?”

Jawaban teman tentu saja diplomatis sekaligus menohok. Teman enggan bertanya soal itu dan memilih menunggu temannya bercerita. Siapa tahu, temannya teman sedang berusaha dan merasa tidak perlu laporan ke siapa-siapa. Siapa tahu temannya teman baru saja keguguran dan bisa trauma karena terpicu pertanyaan yang niatnya ‘hanya basa-basi’ itu. Siapa tahu dia malah baru saja ditinggal wafat anaknya.

Dan siapa tahu-siapa tahu lainnya …

 

Tanya-tanya Hal Pribadi Tanpa Paham Konteks dan Sikon

Sayangnya, netizen Indonesia sudah terlanjur terkenal sebagai netizen paling nggak sopan se-internasional. Lihat saja, mereka hobi membanjiri media sosial dengan komentar keji dan hujatan tanpa henti saat tengah menggunjingkan yang lagi viral – entah itu sesuatu atau seseorang.

Tidak usah memungkiri bila di dunia nyata pun demikian. Saking banyaknya yang kepo nggak perlu, sampai nggak (mau?) sadar kalo sebenarnya kebiasaan itu nggak sopan dan nggak berguna. Bahkan, orang yang nggak kenal-kenal kita amat bisa lancang bertanya hal pribadi, tanpa tahu jelas manfaatnya. Contohnya, seorang driver ojol (ojek online) pernah bertanya begini padaku: “Ibu/Mbak udah nikah?”

“Sebentar,” balasku. “Bapak nanya itu ke saya tujuannya apa?”

“Ya, nanya aja.”

“Iya, tapi mau tahu soal itu untuk apa?”

“Ya, ngobrol aja.”

DUH, GREGETAN!! “Iyaa, tapi manfaat dari mengetahui informasi itu soal saya apa untuk Bapak?”

Krik … krik … krik … sampai sini, rupanya baru sadar dia. Entah sadar kalau pertanyaannya tidak berguna … atau sadar kalau yang ditanya ternyata perempuan galak. Ada sih, yang kemudian berkilah dengan alasan: “Saya cerita-cerita ke orang soal saya sudah menikah biasa saja” atau “Ada penumpang yang nggak keberatan cerita.”

HHH … “Ya, itu ‘kan, Bapak sama mereka. Tidak semua orang sama. Ada yang tidak mau cerita dan kita harus menghargai pilihan dan privasi mereka.”

Semoga jadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk percakapan dengan penumpang berikutnya.

“Ih, anak-anak zaman sekarang ribet amat. Apa-apa nggak boleh ditanya.”

Yee, kok ngambek doang bisanya? Sekarang udah era digital. Informasi melimpah. Kalo pun males baca, cukup tanya kabar dan biarkan mereka bercerita.

Yuk, bisa yuk. Mulai variasikan basa-basimu agar saat Hari Raya, tidak ada yang kesal lalu balas menyindir: “Kamu nanyeak?”

 

R.