Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“AKU YANG BARU”

“AKU YANG BARU”

Aku yang baru

tak lagi mencintaimu

Bersyukurlah

karena aku mengalah

meski bukan pasrah

apalagi merasa kalah

 

Tiada lagi amarah

Hanya lelah

Kumohon, menjauhlah

Biar kau yang bedebah

Aku ingin tetap waras

Kali ini lebih tegas

 

Aku yang baru

tak lagi mencintaimu

Benci juga percuma

Buang-buang tenaga

Biar kau jauh-jauh sana

menjaja cinta ke mana-mana

Kalau perlu sampai banting harga!

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“TRAGEDI JENAZAH DI DALAM MOBIL TETANGGA”

“TRAGEDI JENAZAH DI DALAM MOBIL TETANGGA”

Ini bukan cerita horor maupun kasus pembunuhan, meskipun judulnya mungkin lumayan bikin Anda bergidik. Ini hanyalah satu dari sekian banyak kejadian tragis akibat minimnya pemahaman maupun penanganan masalah kesehatan mental.

Saya mendengar cerita ini dari Ibu saat pulang ke rumah liburan Lebaran kemarin:

Salah satu tetangga ada yang punya anggota keluarga dengan kebutuhan sangat khusus. Sebut saja A. Lelaki berusia di atas 40 tahun ini tidak hanya tuna rungu (tuli) dan tuna wicara (bisu), namun juga menderita gangguan mental. A tidak bekerja dan diurus oleh kedua kakaknya. Karena merasa malu dengan kondisinya, A sangat jarang keluar rumah.

Kedua kakak A sama-sama bekerja, bahkan kadang hingga larut malam. Seorang tetangga lain sering datang suka rela untuk memberi A makan sebelum pulang lagi sorenya.

Satu malam, kedua kakak sama-sama terkena lemburan dan belum pulang. Satu-dua tetangga sekilas melihat A keluar rumah sendirian, namun tidak begitu memperhatikan.

Keesokan harinya, kedua kakak A yang pulang larut malam dan langsung tidur tanpa mengecek kamar adiknya panik. Setiap tetangga yang ditanyai mengenai keberadaan A hanya menggeleng. Tidak ada yang tahu.

Barulah, sorenya terjadi kehebohan. Seorang tetangga lain, sebut saja B, hendak menyalakan mobilnya. Saat membenarkan kaca spion tengah, B melihatnya dan menjerit kaget.

A ditemukan telah tak bernyawa…di bangku belakang mobilnya. Mulutnya menganga dan kemejanya terbuka.

Rekonstruksi TKP

Polisi pun dihubungi dan sekompleks heboh. Sesuai rekonstruksi TKP (Tempat Kejadian Perkara), kejadiannya kira-kira begini:

Malam itu A gelisah. Entah apa yang membuatnya memutuskan untuk masuk ke dalam mobil B yang kebetulan diparkir di luar pagar rumah pemiliknya. Pintunya juga tidak terkunci.

Menurut kesaksian B, pukul satu pagi dia terbangun. Khawatir lupa mengunci pintu mobilnya, B memencet tombol kunci elektronik dari balik jendela rumahnya. Klik. Setelah itu, B kembali tertidur.

Paginya, B mengajak anaknya pergi. Karena sang anak sedang malas, akhirnya B memilih naik sepeda motornya ke pasar seorang diri. Barulah sorenya B memutuskan untuk menggunakan mobil. Namun, bau bangkai yang tercium membuatnya was-was.

“Jangan-jangan kaleng berisi cacing untuk umpan ikan tertinggal di mobil,” pikir B, yang kebetulan juga punya hobi memancing ikan. Di situlah B kemudian menemukan jenazah A. Sepertinya, A tewas karena kehabisan napas sekaligus kepanasan setelah 12 jam terkurung di dalam mobil. Setengah hari! Selain panik, mungkin A tidak tahu cara membuka kunci mobil dan tidak bisa berteriak minta tolong…terutama di malam yang sepi.

Merasa kasihan dengan keluarga A, B akhirnya membantu membayar biaya pemakaman dan memberi santunan. Setelah itu, B bahkan langsung memutuskan untuk menjual mobilnya sekalian. Alasannya?

“Saya trauma.”

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“TIDAK SEMUA HARUS TENTANGMU”

“TIDAK SEMUA HARUS TENTANGMU”

 

Masih banyak topik lain

yang jauh lebih seru

Silakan merasa

aku menulis tentangmu

 

Ayo, marahlah

Aku akan tertawa

Kau tak punya bukti nyata

Kaulah yang sedang kubahas

 

Apa kau sepenting itu?

Astaga, aku geli

Masih banyak cerita lain yang lebih bagu

Sementara kamu pusing sendiri

 

Tak perlu tersinggung

Aku tidak sedang memberimu panggung

Tanggung

Lebih baik kutonton kera menggaruk punggung

 

Puisi ini bukan tentangmu

Sayang, kamu tidak sepenting itu

Namun, bila itu perasaanmu,

itu sama sekali bukan urusanku.

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“MENULIS: Sebuah Katarsis”

“MENULIS: Sebuah Katarsis”

Bagi sebagian orang, menulis tidak hanya soal menulis. Ada proses panjang dan alasan tertentu di baliknya. Sama seperti menggambar atau melakukan hal lain yang dianggap hobi.

Bagi saya, menulis adalah pelarian sejati dari banyak hal di dunia ini. Terlalu banyak yang tertampung di dalam hati dan otak, sehingga kadang sulit sekali untuk keluar dan membicarakannya dengan orang lain. Kalau pun bisa, kadang disertai rasa sakit secara emosional yang sebenarnya cukup mengganggu dan menakutkan.

Maka itulah, saya memutuskan untuk terus menulis.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“TERSEOK-SEOK KEMBALI PADA-MU”

“TERSEOK-SEOK KEMBALI PADA-MU”

Aku tak perlu cerita

pada mereka

mengenai perjuanganku

terseok-seok kembali pada-Mu

 

Semoga Engkau tahu

semua usahaku

meski gagal berkali-kali

aku enggan undur diri

 

Aku ingin kembali

meraih ketenangan itu lagi

tanpa perdebatan

tanpa penghakiman

 

Makanya,

akhir-akhir ini

aku lebih banyak diam.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“5 CARA MEMINTA MAAF YANG PAYAH”

“5 CARA MEMINTA MAAF YANG PAYAH”

Hei, udah mau Lebaran lagi, nih. Saatnya bertemu dan berkumpul dengan keluarga lagi. Mari sama-sama kembali ke yang fitri…

…dan bukan sekadar basa-basi. (Ups!) Hehe, tapi lagi-lagi itulah manusia. Berbuat salah, lalu menyesal. Ada yang berubah lebih baik. Ada yang belum kapok dan mengulanginya lagi.

Yah, memang nggak semua manusia cukup berbesar hati untuk mengakui kesalahan diri sendiri. Makanya sampai keluar istilah ‘half-assed apology’ alias permintaan maaf yang payah, yaitu setengah hati atau nggak niat. Lima (5) contohnya ada di bawah ini:

  1. Minta maaf karena didesak.

Entah gengsi atau ogah mengalah, meski udah ketahuan salah, masih harus didesak-desak dulu agar maju dan meminta maaf. Jadinya? Udah ucapan nggak jelas, jatuhnya juga nggak ikhlas.

Biasanya banyak yang malah jadi malas nerima yang model beginian. Mending nggak usah sekalian.

2. Minta maaf tapi juga banyak alasan.

“Gue tahu gue salah. Tapi gue berbuat begitu karena…bla-bla-bla…”

Memang, pasti selalu ada alasan di balik setiap perbuatan baik atau pun buruk. Masalahnya, kalau habis minta maaf langsung bikin alasan demi pembenaran atau pemakluman atas perbuatannya, sama juga bohong. Apalagi ketahuan banget kalau alasannya dibuat-buat banget. Gimana yang denger nggak malah balik dongkol lagi?

3. Minta maaf tapi sambil usaha ‘menyeimbangkan skor’.

Maksudnya? “Gue tahu gue salah, tapi elo juga sih, yang…” Minta maaf tapi pakai ngungkit-ngungkit kesalahan lawan bicara, apalagi bila kesalahannya udah duluuu banget dan sama sekali nggak relevan dengan masalah saat ini? Bahkan, yang paling sering kejadian adalah menjadikan kelakuan si lawan bicara sebagai alasan atau pembenaran Anda berbuat jahat sama mereka.

Mending nggak usah ngomong, deh. Serius. Minta maaf kok, ngajak berantem lagi?

4. Minta maaf tapi nggak mau bertanggung jawab membereskan kerusakan yang sudah terlanjur ada karena ulah Anda.

Kabar buruk. Nggak semua masalah bisa selesai hanya dengan maaf doang. Kalau ternyata ada kerusakan yang harus diperbaiki akibat ulah Anda, ya jangan mangkir dengan 1001 alasan. (Satu aja udah enggak banget, apalagi pake nambah sisanya yang berjibun itu!) Entah gimana caranya, tunjukkanlah itikad baik Anda.

Niat mau bertanggung jawab aja udah bagus banget, apalagi kalau benar-benar dikerjakan.

5. Minta maaf, tapi kesalahan yang sama diulang-ulang terus…dan nambah parah pula.

Nah, jangan keki kalau mereka kemudian banyak yang jadi nyinyir:

“Minta maaf melulu. Kapan berubahnya?”

Yah, semoga permintaan maaf kali ini benar-benar dari hati, ditunjukkan dengan aksi penuh tanggung jawab, dan nggak hanya formalitas kala Lebaran.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“PENGECUT”

“PENGECUT”

Aman di balik akun palsu

Hina sesama sesukamu

Membawa agama dengan sumpah serapah

Saya lelah

 

Menghujat pelaku bunuh diri

Peduli setan dengan keluarga yang (makin) tersakiti

Apa gunanya mencaci-maki?

Mereka takkan kembali

 

Korban pelecehan kau serang

Pelaku kalian agung-agungkan

Memang,

sulit bila adil tidak sejak dalam pikiran

 

Celaka

Dengan mulut yang berisik suaranya,

kalian banyak bercokol di Indonesia!

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“YANG SUKA TERLUPAKAN DI ERA MEDIA SOSIAL”

“YANG SUKA TERLUPAKAN DI ERA MEDIA SOSIAL”

Ada dua contoh kasus nyata. Setelah membaca tulisan saya di Facebook mengenai perjalanan saya ke Sydney kemarin, seorang sahabat menegur kesalahan saya. Lewat japri (jalur pribadi) di WA, dia menulis:

“Beberapa nama restonya ada yang salah.”  Lalu dia langsung mengurutkan nama-nama yang harus segera saya ganti.

Apakah saya merasa malu, tersinggung, atau marah? Ya, enggaklah. Selain memang benar harus dikoreksi, cara menegurnya juga masih sopan. Baik-baik, tidak merendahkan, dan tidak di depan orang-orang.

Ini yang suka terlupakan di era media sosial. Saat semuanya serba mudah, kita suka kebablasan. Asal pasang status, komen, hingga buntutnya berantem.

Padahal, di setiap platform media sosial, ada yang namanya japri alias fitur messenger atau DM (Direct Message). Tinggal dipake buat yang masih cukup sadar untuk nggak berusaha mempermalukan sesamanya, meskipun mungkin menurut mereka memang salah.

Namun, ada juga yang mendebat dengan alasan klise:

“Suka-suka gue dong, mau nulis / komen apa.”

“Kita nggak bisa ngendaliin reaksi orang atas postingan kita.”

“Orang yang nggak siap dikritik di depan umum itu cengeng. Nggak beda sama yang maksa UU anti kritik itu disahkan!”

Ups, yang terakhir kayaknya agak nyerempet-nyerempet…ah, sudahlah.

Untuk komen pertama dan kedua, saya setuju. Sebagai manusia berakal dan tahu cara pakai media sosial, harusnya kita memang sama-sama sadar bahwa manusia itu beragam.

Untuk yang ketiga? Saya kurang setuju. Selain kasar dan subjektif, ada beberapa pertimbangan lain hal tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan:

  1. Kayak yang udah disebutin tadi, pake fitur japri juga gampang, kok. Sama gampangnya dengan langsung klik buat komen biasa. Bedanya cuma pesan itu khusus untuk orang yang ditujukan, bukan sejuta umat. Ya, nggak?
  2. Gak mau di-bully di depan umum? Ya, jangan lakukan yang sama ke orang lain. Jangan juga pake standar ganda. Buat Anda, itu hanya kasih pendapat, meski caranya kasar ngalahin preman pasar. Siapa juga sih, orang waras beradab yang tahan? Giliran kebalik, Anda malah merasa dihakimi. Lha, piye?
  3. Ingat HRD. Zaman sekarang, perusahaan nggak hanya ngandelin CV. Mereka juga mengecek riwayat media sosial calon karyawan. Meskipun Anda bukan tukang curhat, melihat cara Anda berdebat dengan orang kayak abis makan bon cabe level 10, yang baca apa nggak ngeri? Daripada kantor tambah drama, mending nggak usah ambil risiko hire orang yang berpotensi selalu jadi petasan cabe.

Semua orang memang bebas menggunakan media sosial sesuai keinginan masing-masing. Ya, asal siap bertanggung jawab aja dengan pilihannya sendiri.

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“PARA PENDOSA”

“PARA PENDOSA”

Izinkan aku bertepuk tangan

sebagai kekaguman

atas hidup kalian

yang seakan bebas cobaan

lolos dari godaan

tanda sempurnanya iman

 

Selamat, ya

Hidup kalian sudah sempurna

hingga memilih mencela

mereka yang dianggap pendosa

berharap mereka masuk neraka

 

Kita memang selalu lebih mudah

menghujat sesama pendosa

enggan membantu mereka

memperbaiki kekurangan yang ada

sehingga lupa

kita juga harus berkaca

 

Ada racun di lidah

Ada semangat menyakiti

dalam jari-jemari

yang mengetik pesan penuh benci

yang menjauhkan semua dari iman sejati

 

Kalian berharap mereka

selamanya di neraka

meski belum ada

yang memberi kabar

takdir kalian di surga

 

Mari, saling mengingatkan

akan kebaikan

tanpa perlu bersikap seperti bajingan

 

Salam,

Sesama Pendosa

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis

“OH, JAKARTA!”

“OH, JAKARTA”

Sekembalinya aku dari liburan Sydney, aku tidak pernah sama lagi. Banyak yang telah terjadi.

Apa rasanya kembali ke Jakarta, ke semua kekacauan yang familiar? Polusi, macet, ketidakteraturan di jalan, orang-orang yang berlaku sembarangan, gundukan sampah, pelaku cat-calling yang berkeliaran bak hewan lepas (berisik dan ganggu banget soalnya)…

Mungkin ini rasanya terlalu lama berada di satu tempat yang sama. Setiap kali mendapatkan kesempatan traveling ke tempat lain (yang buatku jarang terjadi), hanya satu yang selalu kurasakan saat liburan (harus) berakhir:

Aku tidak mau pulang.

Namun, seperti biasa, akhirnya aku pulang juga. Kembali ke kamar kosku yang sempit namun nyaman, dengan AC, koneksi wifi, dan TV kabel berlangganan. Hanya sesekali aku keluar, entah untuk mencari makan, bertemu teman, hingga kerja. Oh, satu lagi: pulang ke keluarga. Satu hal yang pasti, aku tidak mau dituduh tidak sayang atau mulai lupa sama mereka hanya gara-gara jarang berkunjung.

Hhh, kadang mereka enggan mengerti, ada batas tipis antara peduli dengan menghakimi. Meskipun Mama sudah lama mengerti dengan pilihanku, tidak berarti seluruh dunia harus setuju. Semesta masih menunjukkan warna-warni untukku, lebih beragam dari lampu-lampu dari sekitar Jakarta.

“Kadang elo emang harus belajar diam dan cuek sama mereka,” kata Wina, sahabatku di Sydney. Sudah sembilan tahun dia tinggal di sana bersama suaminya, Ant. “Tapi nggak enaknya, di sini kalo enggak biasa ama sepi elo bisa garing juga, Ri. Jam lima toko-toko udah banyak yang tutup. Nggak banyak temen-temen yang beneran bisa lo andelin di sini.”

Ya, bisa dibilang berbeda dengan Jakarta. Lebih dari tiga dekade aku hidup di sini. Aku menjadi saksi hidup geliat perkembangan (dan kemunduran) ibukota negeri ini. Mulai dari semakin banyaknya mal dan hotel, penggusuran paksa pemukiman rumah penduduk (rata-rata secara kasar atau sabotase berupa pembakaran yang disengaja), dan kursi politik yang kerap jadi rebutan.

Saat baru pulang, Mama seperti bisa melihat sesuatu di wajahku. Bahkan, sebelum aku berani menyebut yang sudah kudiskusikan dengan Wina, Ant, dan Toby (sahabatku yang satu lagi di sana), mendadak Mama menyahut:

“Kamu kalo mau coba aja apply pekerjaan di sana. Siapa tahu…”

Yeah, siapa tahu…

— // —

Semula aku sempat tidak (mau) terlalu memikirkannya. Takut kecewa bila tidak kesampaian. Jadi, untuk beberapa saat, aku hanya kirim CV ke pekerjaan menulis apa pun yang bisa kukirimkan. Bahkan, meski tidak pernah jadi mahasiswa teladan, kucoba juga berburu beasiswa ke sana. Short course tiga – enam bulan pun juga tidak masalah.

Hidup memang lucu. Kadang Tuhan mengujimu dengan cara yang tak pernah kau duga.

Saat Adam mengajakku menikah dan berhasil meraih restu keluargaku, aku tidak menolak. Namun, saat Adam mendapat kabar bahwa pekerjaan barunya mengharuskan dia berada di Sydney, perutku mendadak mulas setengah mati. Antara bahagia…dan sedih.

Bahagia, karena petualangan baru yang kunanti-nantikan akhirnya terkabul. Aku juga akan bertemu Wina, Ant, dan Toby lagi. Menjelajahi Sydney dan sekitarnya. Belajar budaya dan kebiasaan di sana…

Namun, aku juga akan merindukan Jakarta. Bukan, bukan polusi, macet, ketidakteraturan di jalan, orang-orang yang berlaku sembarangan, gundukan sampah, pelaku cat-calling yang berkeliaran bak hewan lepas, dan mal-mal yang tinggi menyesakkan.

Tidak ada lagi jalan-jalan sama Mama, memeluk para keponakan, makan sate ayam di pinggir jalan, datang ke perkumpulan puisi, dan…ah, masih banyak lagi.

Oh, Jakarta. Ternyata jeratmu masih kuat juga…

R.