Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Diamnya

Diamnya

Ada kecewa dalam diamnya.

Kau tahu apa?

Hanya bisa mengira-ngira

sesuatu yang belum tentu benar adanya.

 

Kapan terakhir kali kalian bicara?

Benar-benar bicara, bukan sekedar basa-basi belaka.

Rasanya sudah terlalu lama atau mungkin saat itu tak pernah ada.

Mengapa baru sekarang kau merasakan jurang pemisah yang kian menganga?

 

Dia masih saja kecewa dalam diamnya.

Yakin tidak ada apa-apa?

Kapan terakhir kali kau benar-benar jadi pendengar,

selain hanya terus menuntutnya agar senantiasa bersabar?

 

Siapkah kau saat dia tiba-tiba berhenti bicara,

karena terlalu lama kau bersikap bagai dinding tanpa telinga?

 

R.

(Jakarta, 12 Juli 2014)

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Terlalu Baik?

Terlalu Baik?

Elo jadi orang terlalu baik, sih. Makanya dimanfaatin orang terus.”

Sering banget denger ucapan kayak gini? Jangan-jangan Anda yang malah rajin ngomong begini atau ditegur begini sama orang lain. Mungkin gara-gara gemas sama temen yang diem aja meski udah tahu pacarnya selingkuh. Mungkin juga karena ada temen yang kesel saat Anda memilih ikhlas, meski jelas-jelas hak Anda dirampas.

Tapi, kapan sih, perbuatan seseorang itu dianggap ‘terlalu baik’? Apakah terus memberi namun nggak pernah dihargai sama yang menerima? Bagaimana bila yang memberi sama sekali enggak berharap balasan apa pun, alias ikhlas? Yang penting udah niat memberi, terus selesai. Bila yang menerima justru nggak tahu terima kasih atau malah bersikap kurang ajar, itu lain cerita. Case closed.

“Hari gini mana ada orang sebaik itu? Bego aja kali, mau dikerjain orang lain terus.”

Apakah melakukan kebaikan tanpa pamrih itu identik dengan kebodohan? Bayangkan Nabi Besar Muhammad SAW yang rajin memberi makan pengemis buta yang saban hari mencelanya, tanpa tahu sosok yang berbaik hati memberinya sedekah.

Okelah bila ada rasa kecewa karena kebaikan tidak dihargai. Itu manusiawi. Wajar. Tapi, kenapa kita lantas harus ‘membunuh’ keinginan untuk berbuat baik dengan komentar-komentar merendahkan seperti: “Jangan terlalu baik, nanti dimanfaatin orang lain” ?

Bayangkan jadinya bila semua orang selalu penuh perhitungan dan rasa curiga terhadap sesama. Menolong sesama dengan harapan akan dibalas dengan cara yang sama – atau minimal dihargai-lah. Bila tidak, lain kali tidak usah menolong orang itu. Bahkan, kalau perlu balaslah sekalian dengan perbuatan yang menyakitkan.

Yang lebih ekstrim, ada yang sampai jadi takut untuk membuka hati dan berbuat baik pada sesama. Takut ditipu, takut disakiti, hingga takut dianggap bodoh bila ternyata yang dibantu malah tidak tahu diri.

Lama-lama, semua orang jadi berhenti saling peduli. Apatis dan sibuk dengan urusan sendiri.

Jangan pernah meremehkan mereka yang rela berbuat baik pada sesama, meski dengan risiko disakiti atau ditipu mentah-mentah. Yang bodoh adalah mereka yang nggak pernah menghargai kebaikan, sekecil apa pun di mata mereka.

Karena mereka-lah yang nanti baru menghargai arti kebaikan, saat tidak lagi memperolehnya secara cuma-cuma. Lalu, bagaimana dengan yang rajin berbuat baik? Meski belum tentu mendapatkan balasan dari mereka yang pernah menerima kebaikannya, seisi dunia bisa melihat betapa berartinya sosok ini.

Lalu, kebaikan akan berbalas kebaikan berkali lipat, meski belum tentu dari tangan yang sama…

R.