Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Ellipsism

Ellipsism

Foto: Senja

Jika usia hanyalah angka,

mengapa semakin pendek waktu kita?

Alam raya tak lagi seluas

yang dulu kita rasa.

Sebelum digit bertambah,

hidup seakan memberi lebih pada kita

hingga bermewah-mewah      

meski barang semenit saja.

Sesudahnya,

waktu mulai mengambil kembali

semua yang kita kira        

akan selamanya di sini.

Tahu-tahu,

kita tertinggal dengan cemas

soal kemungkinan akan masih bernapas

untuk melihat esok tiba.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Selamat Datang di Pertemanan Dewasa

Selamat Datang di Pertemanan Dewasa

Foto: Saat Dewasa, Pertemanan Tak Lagi Sama

Bagi yang tumbuh di era pra-internet, mungkin televisi pernah menjadi hiburan dominan kalian. Saya tumbuh sebagai remaja canggung di pergaulan, yang lebih banyak mengurung diri di rumah dan kamar. Televisi dan radio pernah menjadi sahabat saya. Selain itu, saya juga terbiasa banyak membaca buku dan menulis catatan harian.

Siapa sangka, kebiasaan-kebiasaan yang dulu dianggap cupu dan nggak gaul ini lumayan menyelamatkan kewarasan saya di kemudian hari. Bahkan, sebelum pandemi #Covid19 terjadi, saya sudah lama belajar untuk beradaptasi hingga berkawan dengan sepi. Semua hobi ini sangat membantu saya.

Begitu pula dalam hal pertemanan.

Beda Pertemanan Masa Kecil, Remaja, Dengan Dewasa

Mungkin ini nggak bisa dipukul rata, ya. Saya yakin, setiap orang mempunyai kisahnya masing-masing mengenai pertemanan, baik sejak kecil, remaja, hingga dewasa. Kepribadian setiap manusia juga ikut berpengaruh dalam dinamika pertemanan. Mohon maaf, saya hanya bisa berbagi berdasarkan pengalaman pribadi saya di sini.

  • Pertemanan masa kecil.

Jujur, saya tidak begitu ingat pertemanan masa kecil saya. Saya hanya lebih banyak ingat dianggap sebagai anak aneh dan sangat berbeda dengan kakak perempuan saya yang kebetulan satu sekolah. Ada beberapa teman yang cukup dekat, namun begitu lulus tidak bertahan lama.

  • Pertemanan masa remaja.

Sama seperti saat SD, SMP adalah saat-saat tercanggung bagi saya. Ya, saya akhirnya punya sekelompok anak lain yang bisa saya sebut teman dekat dan baik. Begitu pula saat SMA. Namun, mungkin karena masih banyak yang menganggap saya aneh, saya masih lebih banyak menyendiri. Akhir pekan pun jarang keluar rumah seperti remaja normal pada umumnya.

Mungkin karena hobi menulis saya terasa lebih menarik saat itu. Saya lebih ingat buku-buku yang pernah saya baca atau film-film yang pernah saya tonton. Saya hapal hampir semua lagu favorit di radio. Saya pernah mengoleksi kaset-kaset dan CD-CD para musisi favorit saya.

Saya juga mulai banyak menulis. Buku harian, puisi, cerpen, hingga novelet. Pernah sih, menulis novel sekali. Waktu itu belum kepikiran untuk menerbitkannya di penerbit lokal. Buat senang-senang saja. Plotnya juga masih acak-adul dan tidak masuk akal.

Saya juga senang menonton film di bioskop dan konser musik. Meskipun cerita masa remaja saya tidak seseru film-film remaja Hollywood, setidaknya saya ingat saya cukup bahagia.

  • Pertemanan dewasa.

Anehnya, bila banyak yang bilang kalau pertemanan masa remaja itu paling indah, saya malah tidak sepakat. Saya malah lebih suka pertemanan dewasa, meskipun dinamikanya tidak pernah benar-benar stabil. Setiap saat bisa saja tiba-tiba berubah atau berganti.

Mungkin karena sejak kecil saya sudah terbiasa untuk bermain sendiri bila tidak ada teman. (Bukan berarti nggak butuh teman loh, ya. Ada bedanya.) Selain itu, saya sempat terheran-heran dengan beberapa contoh pertemanan masa remaja yang menurut saya malah “nggak masuk akal”.

Contohnya: ke mana-mana harus selalu bareng, pakai baju kembar, harus menyukai hal-hal yang sama. (Kecuali untuk urusan pacar, kalau nggak mau alamat rebutan.) Bahkan, kalau bisa punya musuh yang sama. Satu orang di grup pertemanan lagi slek sama si A, yang lain harus ikutan benci atas nama solidaritas.

Hahaha … sampai sini, saya mau tertawa. Sebentar dulu, ya … hahaha …

Lalu, apa yang terjadi bila kamu yang termasuk grup itu tiba-tiba punya keinginan beda? Misalnya, bosan pakai aksesoris sama, suka sama film atau musisi yang berbeda, hingga nggak selalu ingin ke mana-mana bareng mereka? Ada kalanya kamu ingin jalan sendiri, berteman dengan orang-orang lain juga, dan melakukan hal-hal yang hanya kamu yang suka – namun belum tentu disenangi mereka juga …

Bagaimana soal musuh? Nah, ini juga yang paling saya nggak suka. Okelah, mungkin orang yang disebut si teman memang terbukti menyebalkan. Tapi, kalau orang itu belum pernah berbuat salah sama saya, kenapa saya harus ikut-ikutan memusuhinya – hanya atas nama solidaritas dengan teman?

(Sekadar catatan: ketentuan di atas tidak berlaku untuk kasus kekerasan – termasuk pelecehan seksual. Bila teman saya menjadi korban perbuatan kriminal macam itu sehingga membuatnya membenci orang itu, tentu saja saya berdiri bersama korban. Setidaknya sampai terbukti sebaliknya.)

Selain itu, biasanya saya akan merasa gerah bila seorang teman yang tidak suka sama seseorang, lalu sampai mengatur-atur saya agar ikut memusuhinya juga. Bahkan, mereka sampai marah bila tahu saya masih bicara dengan orang yang mereka benci.

Tidak hanya itu. Pertemanan dewasa mengajarkan kita bahwa yang namanya adil itu belum tentu selalu 50 – 50. Misalnya: teman selalu punya waktu luang dan uang, sehingga sering ngajak nongkrong bareng atau ketemuan. Padahal, bisa saja kamu sedang sibuk, bokek, atau keduanya. Bila memang berpikiran dewasa, teman tidak akan mudah baperan bila kita sedang tidak bisa sering nongkrong bareng mereka.

Oke, mungkin ucapan saya terdengar agak kejam. Namun, intinya pertemanan masa dewasa tidak bisa disamakan dengan pertemanan masa remaja. Kita semua telah berkembang menjadi pribadi masing-masing, dengan ciri khas yang tidak mungkin bisa disamakan. Sebagai manusia, kita pun niscaya berubah. Bisa jadi dulu menyukai hal yang sama, kini sudah sulit untuk sepaham.

Merasa sedih, kehilangan, dan kesepian itu memang wajar. Namun, rasanya kekanak-kanakan bila kita berharap bahwa semuanya tidak akan berubah dan tetap sesuai kemauan kita. Namanya juga hidup. Bila memberi kebaikan, siap-siap untuk tidak selalu mendapatkan balasan yang sama maupun lebih baik. Kemungkinan itu selalu di luar kendali kita.

Ada seorang kawan lama yang sempat merasa bersalah. Menurutnya, saya terlalu baik. Saya selalu menyempatkan waktu untuk menanyakan kabarnya, sementara kadang dia ingat untuk melakukan hal yang sama untuk saya tidak. Menurutnya, saya layak mendapatkan teman yang jauh lebih baik darinya.

Ada juga seorang mantan teman yang mungkin hingga kini masih menganggap saya teman yang jahat. Menurutnya, saya sama sekali bukan teman yang pengertian. Saya bukan teman yang tahan mendengarnya curhat setiap saat, bahkan meskipun isi curhatannya selalu lebih banyak mengenai orang-orang yang dia pergunjingkan hanya karena dia tidak suka mereka. Di matanya, mereka selalu salah.

Intinya, dia bersikap seakan-akan seluruh dunia selalu memusuhinya. Berhubung bukan terapis berlisensi, saya pernah menyarankannya untuk mendapatkan bantuan. Eh, saya malah dimaki-maki sebagai teman yang jahat dan tidak pengertian. Padahal, sama seperti dirinya, saya manusia biasa yang juga bisa lelah.

Untuk kedua jenis teman tersebut, kadang saya hanya ingin berkata: “Selamat datang di pertemanan orang dewasa.” Tidak semua hal selalu tentangmu. Tidak ada yang statis dalam interaksi kita. Semua bergerak dinamis, seiring perubahan kita saat berhadapan dengan realita.

Tidak ada manusia yang 100 persen baik maupun jahat. Kita adalah kombinasi dari keduanya. Tapi, kita juga selalu dibekali pilihan untuk berbuat yang terbaik …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Adronitis

Foto: Freepik.com

Adronitis

Jangan terlalu cepat menyimpulkan cinta.

Kita baru saja berjumpa.

Ini belum apa-apa.

Dongeng hanya untuk anak-anak.

Kita sudah dewasa.

Tak ada cinta pada pandangan pertama.

Itu mitos belaka.

Yang ada napsu saja.

Bukan aku sok jual mahal.

Berhentilah bersikap bebal.

Boro-boro cinta.

Obsesimu akan hubungan kita

yang bahkan belum tentu akan tercipta

dan sepertinya takkan pernah

karena aku enggan membuatnya ada

malah membuatmu tampak gila.

Sebaiknya kamu mundur …

… atau aku yang kabur …

R.

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis

“STRINGS ATTACHED: Kunjungan Singkat Serial Pendek Komedi Romantis”

REVIEW BUKU:

“STRINGS ATTACHED: Kunjungan Singkat Serial Pendek Komedi Romantis”

Untuk ukuran orang yang tengah skeptis akan romansa, saya tidak pernah mengira akan benar-benar menikmati membaca antologi fiksimini ini. Ditulis oleh Firnita Taufick, “Strings Attached” membawa saya kembali ke masa remaja.

Bagi banyak orang, masa remaja adalah masanya percaya akan cinta. Ini masanya cerita roman remaja, serial sinetron, dan komedi romantis Ini masanya kita lebih peduli apakah orang yang kita suka menyukai kita juga atau tidak.

Masa remaja adalah masa-masa patah hati nyaris terasa seperti akhir dunia … setidaknya pada awalnya. Seperti kata orang-orang: masih banyak ikan di laut. Tak peduli kamu bilang ke mereka kalau kamu vegetarian. (Bercanda!)

Ngomong-ngomong, saya merasa ‘dekat’ dengan banyak cerita di buku ini. Pada “Chapter I: Hope”, kita tahu rasanya debar-debar itu. Tahu ‘kan, seperti banyaknya kupu-kupu yang terbang menari-nari di dalam perut – saat melihat sosok yang kita taksir di sekolah / kampus. Bisa teringat – atau mungkin terbayangkan – saat berpapasan dengan mereka – di perpustakaan maupun di kedai kopi.

Pada “Chapter II: The Bliss”, saya teringat akan keajaiban, semua kemungkinan yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Apakah perasaan ini nyata? Apakah si dia juga merasakan yang saya rasakan?

Seberapa lama perasaan ini akan berlangsung? Akankah saya patah hati saat fantasi ini berakhir? Bisakah saya merelakan orang itu secepat mungkin? Apakah saya akan menemukan seseorang yang lain lagi bila hal itu sampai terjadi?

 “Chapter III: The Despair” mungkin yang terberat untuk saya baca. Tidak ada orang waras pun yang mau mengalami hal ini. Hubungan bisa saja berakhir. Pasangan bisa putus. Kadang kamu terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada apa pun dan seorang pun yang kamu harap bisa tinggal lebih lama. Cinta sejati adalah konsep kekanak-kanakan, abstrak, dan mustahil. Kita sadar dan belajar akan hal itu seiring bertambahnya usia.

Tetap saja, mengenai romantika remaja, inilah semua fase yang mungkin akan kita semua lewati. Tidak ada tawar-menawar. Sudah bagian dari risiko.

Membaca “Strings Attached” akan membuatmu merasa pahit dan manis. Bahkan untuk pembaca yang skeptic akan roman seperti saya selesai membacanya dengan senyum. Siapa tahu? Mungkin keajaiban lama bernama cinta masih ada, bahkan meskipun kita masih ingin memastikan bahwa kita tetap berpegangan pada realita …

Eh, buku keduanya Firnita – “The Short Stories”sudah ada di Gramedia, lho!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Liberosis

Foto: freepik.com

Liberosis

Tanpa payung,

Nirpelindung.

Mereka mungkin akan bilang

bajumu teramat tanggung.

Tak perlu bermuram durja,

apalagi sampai banjir air mata segala

saat dia memilih yang lain,

bukan kamu yang apa adanya.

Terus kenapa?

Kabar buruk: ini hanya realita.

Kamu bisa bertahan,

berusaha sabar

melihat sikap yang kian barbar,

sebelum kendali ambyar

dan ingin berkata kasar,      

mungkin juga sekalian bersikap brutal.

Tetapkan batasan.

Jangan biarkan mereka mendekat,

merusak aman dan damai yang telah kau buat.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Alasan Wajib Pikir-pikir Lagi Sebelum Oversharing Kehidupan Pribadimu di Dunia Maya

3 Alasan Wajib Pikir-pikir Lagi Sebelum Oversharing Kehidupan Pribadimu di Dunia Maya

Foto: https://www.freepik.com/free-vector/influencer-woman-social-media-landing-page_5481523.htm#page=1&query=social%20media%20influencer&position=1

Mungkin saya terdengar julid, tapi saya yakin bukan saya saja yang berpendapat begini. Saya juga enggan menyebut nama influencer siapa pun sebagai contoh kasus. Tinggal Google atau cek yang lagi trending di medsos, kalian pasti langsung nemu.

Terserah sih, berhubung itu bukan akun atau platform saya. Apalagi kalau cara itu bisa bikin mereka dapat uang lebih banyak dari kerja kantoran biasa. Saya juga nggak mau mengatur-atur cara orang mencari nafkah, selama masih halal dan tidak merugikan orang lain.

Tapi, setelah melihat banyaknya contoh kasus oversharing kehidupan pribadi seorang influencer di dunia maya yang berujung ricuh, mungkin saya hanya bisa kasih saran untuk yang baru kepikiran untuk ikutan jadi influencer. Terserah sih, mau diikuti atau tidaknya.

Kenapa sih, kamu harus pikir-pikir lagi sebelum terlalu banyak berbagi soal kehidupan pribadimu di dunia maya? Ini dia tiga (3) alasan utamanya:

  • Nggak semua orang tertarik untuk mengetahui hidupmu.

Mungkin ini terdengar kejam seperti omongan julid mereka yang sirik. Pada kenyataannya, nggak semua orang tertarik untuk mengetahui hidupmu. Apalagi, bisa jadi yang kamu lakukan itu belum tentu seistimewa itu di mata mereka. Lain cerita kalau kontenmu menghibur, tapi lebih mendidik dan menginspirasi.

Misalnya: kamu suka banget sama satu jenis makanan tertentu, terus kepikiran bikin beragam menu dari bahan makanan tersebut. Atau kamu bisa memposting video parodi film-film lucu favoritmu. (Khusus ini, kamu memang harus jago akting beneran.) Atau kamu bisa bikin eksperimen sosial yang lain daripada yang lain. Misalnya: sehari pakai wig rambut warna pelangi di ruang publik.

Emang, untuk saran-saran di atas effort-nya lebih gede. Jadi gak asal nge-prank orang tapi gak berfaedah atau pun pamer barang-barang mahal tanpa tujuan jelas.

  • Kamu nggak bisa menyenangkan semua orang – dan nggak semua kritikus itu benci secara pribadi sama kamu.

Ayolah, bahkan sebenarnya kamu sudah tahu saat berinteraksi dengan sesama manusia lain di dunia nyata. Kamu nggak akan bisa menyenangkan semua orang, meskipun kamu sudah berusaha mengambil hati mereka. Namanya juga hidup. Cukup fokus sama hal-hal yang bisa kamu kendalikan dalam hidup ini.

Memang, nggak menutup kemungkinan bakal ada juga yang gerah dengan kontenmu. Apalagi bila menurut mereka konten kamu itu ‘enggak banget’. Nah, di sini kamu harus bisa menekan egomu dan bijak dalam menyeleksi: mana kritikus yang sebaiknya kamu dengerin dan mana yang asli haters.

Belum bisa bedain? Hei, nggak semua kritikus itu benci secara pribadi sama kamu, kok. Bisa jadi, tadinya mereka followers kamu yang kemudian merasa kecewa dengan mutu kontenmu. Kalau mereka memang punya saran yang bagus, kenapa nggak hargai mereka yang mungkin hanya ingin melihat kamu menjadi content creator yang lebih baik lagi? Toh, pada akhirnya, keputusan tetap ada di tanganmu.

Kalau mereka hanya mengkritik tanpa memberi solusi, apalagi ditambah dengan menghina menggunakan makian kasar, berarti mereka memang benci sama kamu. Nggak perlu membela diri atau menjelaskan apa-apa kalau memang kamu nggak merasa salah. Toh, meskipun kamu sudah berusaha menjadi lebih baik, kalau mereka masih begitu, berarti memang asli sentimen aja.

Bisa jadi, mereka lama-lama risih juga dengan kehidupan pribadimu yang terlalu sering kamu jadikan konten. Dengan semakin berkurangnya ruang untuk privasimu, kamu bisa rentan mengalami alasan berikut ini:

  • Demi menyenangkan semua orang, kamu rentan dikendalikan oleh followers-mu sendiri.

Memang menyenangkan rasanya disukai banyak orang, meskipun nggak semuanya kamu kenal secara langsung. Rasanya ngartis (jadi artis) dengan banyak penggemar. Rasanya kayak punya banyak teman.

Cuma, hati-hati aja. Kamu bisa kejebak dalam kondisi ini: jadi diatur-atur sama banyak orang lewat komentar-komentar followers kamu. Gara-gara takut kekurangan likes dan views hingga kehilangan followers, kamu jadi rela – bahkan mati-matian – mengubah dirimu menjadi sosok yang berbeda.

Kalau memang kamu-nya ingin berubah menjadi lebih baik demi kenyamananmu sendiri sih, nggak masalah. Lain cerita kalau kamu justru melakukannya demi menyenangkan dan memenuhi tuntutan orang lain. Apalagi, orang-orang ini statusnya orang-orang asing buatmu, bukan keluarga maupun teman.

Diatur-atur keluarga sendiri atau teman saja belum tentu semua mau. Ini, kamu malah menuruti orang-orang yang sama sekali nggak kamu kenal dan hanya kenal kamu lewat “pencitraan” di dunia maya.

Makanya, banyak yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk bikin konten dari kehidupan pribadimu. Jangankan sampai oversharing, berbagi sedikit saja juga belum tentu akan disukai semua orang. Kamu juga akan mudah tertekan secara mental bila tujuan utamamu bikin konten adalah biar disenangi banyak orang sekaligus monetisasi.

Jangan lupa juga untuk bersenang-senang, selama tidak merugikan diri sendiri maupun sesama. Jadilah inspirasi, alih-alih hanya “biar dilihat”. Sudah terlalu banyak influencer lokal yang melakukan hal serupa.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Lachesism

Foto: Freepik.com

Lachesism

Sepertinya ada yang datar

dari hidupmu yang tawar

hingga kau ingin membakar

bersikap kurang ajar

hingga siap meladeni yang barbar.

Namun, untung kau masih sayang nyawa

sehingga jarak dan rem masih ada

agar meski sesudah celaka,

kau masih bisa pulang – bukan hanya tinggal nama …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

REVIEW BUKU: Yang Tak Kunjung Reda

REVIEW BUKU: Yang Tak Kunjung Reda

Akhir 2020 kemarin, saya mendapat kehormatan untuk menghadiri acara peluncuran buku kumpulan puisi berjudul “Yang Tak Kunjung Reda” karya Azwar Aswin. Buku ini adalah kumpulan puisi keduanya, sesudah “Perpanjangan Waktu”. Mewakili komunitas Malam Puisi Jakarta, saya juga beruntung mendapatkan kepercayaan untuk membacakan dua puisi beliau berjudul “Yang Belum Kuceritakan Padamu” dan “Yang Tak Kunjung Reda”. Acara ini berlangsung di Zoom pada satu akhir pekan – Malam Minggu – yang menurut saya sangat berkesan.

Sesuai janji saya pada Azwar Aswin, inilah review bukunya dari saya:

Membaca kumpulan puisi “Yang Tak Kunjung Reda” ini telah menjadi pelarian menyenangkan bagi saya. Saya yakin, saya bukan satu-satunya yang mencari hiburan semacam ini di era pandemi #Covid19. Bahkan, membaca buku sudah lama saya lakukan sejak kecil dan semakin terasa manfaatnya sekarang.

Bolehlah menyebut pendapat saya subjektif. Puisi-puisi Azwar Aswin dalam buku ini begitu mudah dicerna, namun tidak sampai jatuh pada kualitas ‘receh’. Banyak tema kekinian yang dikemas dengan jujur, ringkas, dan tanpa terkesan sok tahu. Setiap baitnya penuh dengan permainan kata yang ringan, bahkan terkesan jenaka dalam beberapa puisi.

Salah satu puisi yang menurut saya cukup jenaka adalah “Receh”:

Kau masih saja rebahan

sambil menikmati jajanan rasa mecin

dan berulang kali tertawa karena hal-hal receh.

Sangat relevan, bukan? Bukankah itu gambaran sehari-hari masyarakat kita hari ini, terutama di daerah pinggiran perkotaan? Apalagi dengan semakin mudahnya akses ke makanan ringan berbahan MSG (yang disebut jajanan rasa mecin dalam puisi “Receh”) dan teknologi digital. Sudah pemandangan lumrah saat melihat pengguna teknologi digital beragam usia tertawa-tawa karena konten video receh di TikTok sambil mengunyah sebungkus keripik kentang.

Lalu, apa yang waktu itu membuat saya memilih puisi “Yang Belum Kuceritakan Padamu”? Saat itu, isi puisi tersebut tengah terasa sangat relevan dengan situasi yang sedang saya alami. Tanpa harus bercerita lebih banyak dan detail mengenai yang saya alami dan rasakan saat itu, bagian terakhir puisi ini sepertinya sudah cukup mewakili:

Di antara derita dan gempitanya suasana

ada sederetan sisa hidup

yang belum kuceritakan padamu …

Saat sempat, semoga saya masih bisa mendapatkan buku kumpulan puisi perdana Azwar Aswin yang berjudul “Perpanjangan Waktu”. Terima kasih atas kesempatannya untuk mengenal karya-karya Azwar Aswin. Terima kasih juga kepada Malam Puisi Jakarta yang telah mengenalkan saya pada penyair Indonesia yang hingga kini masih produktif menulis puisi dan opini.

Semoga Yang Tak Kunjung Reda adalah semangat untuk terus berkarya …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Kuebiko

Kuebiko

Foto: Freepik

Kadang ingin rasanya

pura-pura tak peduli

pada kejahatan di luar sana.

Hanya pikirkan diri sendiri.

Kau mungkin tertawa,

menganggapku aneh sekali.

Mungkin kau terbiasa

merasa tahu segalanya.

Bukan urusanku?

Mungkin memang benar.

Tak semua bisa kita kendalikan.

Terlalu banyak yang brengsek dan barbar.

Ada yang lebih parah

dari sejahat-jahatnya manusia:

Manusia yang merasa baik,

namun sebenarnya hanya mementingkan diri sendiri.

Selama bukan mereka yang korban,

untuk apa peduli?           

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Sudahlah, Tidak Ada Resep ‘Saklek’ Untuk Cinta

Sudahlah, Tidak Ada Resep ‘Saklek’ Untuk Cinta

Foto: https://www.freepik.com/free-vector/broken-hearts-set-3d-realistic-icons_10718904.htm#page=1&query=broken%20hearts&position=1

Loh, kok gitu? Mungkin banyak yang akan bereaksi seperti itu saat membaca judul tulisan ini. Kaget, kesal, atau malah nggak suka? Ah, itu mah, sudah biasa.

Bahkan, saya nggak akan heran kalau sampai ada yang bilang saya sinis. Nggak apa-apa, ngomong aja. Emang suka ada batas tipis-tipis kok, antara yang sinis dengan yang realistis.

Oke, saya akan langsung menjelaskan alasan judul tulisan kali ini bisa sampai begini depresifnya:

  • Cerita dongeng dan komedi romantis itu hanya obat penenang sementara.

Cerita dongeng tentang putri, pangeran, dan cinta sejati memang hanya cocok untuk anak kecil. Gak, sama sekali nggak ada yang salah dengan cinta sejati. Bagus malah. Sah-sah saja kalau masih mau percaya, terutama hari gini.

Cuma, jangan lupa untuk tetap melek dengan realita, ya. Boleh sih, memberi harapan pada si kecil kalau kebaikan biasanya juga akan berbalas dengan kebaikan. Bisa sama, bisa lebih baik lagi.

Saat cinta tak berbalas sesuai harapan, pasti semuanya akan merasa kecewa. Nggak apa-apa, butuh waktu juga untuk merasa sedih sampai puas. Nggak perlu buru-buru, meskipun orang lain pada bilang kamu kelamaan nggak move on.

Bila cerita dongeng cocok untuk anak kecil, maka komedi romantis cocok untuk remaja. Saya tidak sedang menghina. Saya sendiri juga pernah remaja, jadi tahu rasanya.

Andai saja cinta semudah dan seklise rom-com (romantic comedy), mungkin akan semakin lebih banyak yang ingin menikah. Di Indonesia, sekarang aja udah banyak banget yang menikah – entah karena ingin atau didorong-dorong sama society, bahkan meski tanpa bantuan finansial yang berarti. (Iye, nyuruh doang, bantuin kagak!)

Pada kenyataannya, tidak semudah itu. Tidak semua orang mendapatkan keuntungan semudah itu. Ada kalanya, kamu bukan tokoh utama yang selalu bisa mendapatkan segalanya. Bahkan meskipun banyak teman yang bilang kamu baik pun, belum tentu hal itu akan terjadi. Kadang itu hanya ilusi.

Bila kamu bukan tokoh utama, siap-siap saja untuk lebih sering patah hati. Siap-siap bila hampir setiap saat dipaksa kembali menelan kekalahan yang sama – bahkan sampai muak semuak-muaknya:

Si dia selalu memilih yang lain. Maaf, kamu hanya bisa jadi teman. Lebih baik daripada tidak sama sekali, alias tidak jadi siapa-siapa-nya si dia. Kamu sama sekali bukan tipenya.

Makanya, baik cerita dongeng maupun komedi romantis hanya obat penenang sementara. Lebih baik sering-sering saling mengingatkan, bahwa kebahagiaan diri sejatinya tanggung jawab dan usaha pribadi.

  • Kadang kamu hanya bisa berusaha sebaik mungkin, apa pun hasilnya nanti.

Sudahlah, tidak ada resep ‘saklek’ untuk cinta. Kadang ini bukan masalah kamu kurang cantik / kurang kaya / terlalu gemuk / terlalu pintar / kurang atau terlalu baik dan entah apa lagi. Lagipula, hanya tiga (3) hal pasti terkait perkara cinta:

  • Hati manusia mudah berubah.
  • Setiap manusia punya pengalaman berbeda.
  • Manusia tidak tahu segalanya.

Lupakan kepercayaan basi: “Kalau kamu baik dan menarik, orang yang kamu suka akan balas menyukaimu secara otomatis.” Paham menyesatkan ini malah akan menumbuhkan sikap pamrih dan sok baik – pokoknya self-entitled sekali. Tahu, ‘kan? Contohnya, laki-laki yang marah saat ditolak oleh perempuan yang sama sekali tidak tertarik sama dia suka ngomel begini:

“Udah gue baik-baikin malah ditolak. Emang dasar ceweknya aja yang sok kecakepan, sok laku!”

Kadang kamu memang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa … ya, hidup ini memang tidak adil. Bisa jadi, orang baik kadang kalah dengan yang (dianggap) ‘menang tampang / tajir doang’. Kadang, yang suka bikin banyak orang patah hati justru malah yang lebih menarik – karena dianggap lebih menantang. Yang sudah baik dan bersedia meluangkan waktu malah dianggap membosankan – bahkan cenderung … murahan.

Beginilah serba salah hidup di tengah society yang gemar mempermainkan emosi sesamanya. Bagi mereka, yang penting kamu baru dianggap laku dan menarik kalau ada pasangan. Yang tadinya baik dan sabar lama-lama jadi terkena efek negatif dan mulai bersikap sok baik tapi pamrih, seakan perhatiannya wajib dibalas dengan baik juga. Yang bejad tapi banyak penggemar semakin merasa di atas angin, selalu mempermainkan perasaan para penggemar mereka.

Sedih, ya?

Sedih? Ngapain jadi (dibawa) sedih? Silakan pikir dan putuskan sendiri: mau kuantitas apa kualitas? Mau pasangan yang benar-benar sayang atau yang hanya menganggapmu pelarian, mainan, atau bahkan sasaran untuk ditaklukkan? Situ bangga jadi rebutan, kayak barang diskonan?

Makanya, nggak usah terlalu pusingin omongan julid orang soal “Jangan terlalu baik kalo nggak mau dimanfaatin orang dan dianggep membosankan, karena kurang menantang.”  Tetap jadi diri sendiri saja yang baik dan tidak menyakiti orang lain. Jangan lupa selalu berhati-hati dan belajar dari pengalaman.

  • Pada kenyataannya, tidak ada yang abadi di dunia ini.

Terserah saja bila ada orang-orang yang mengejekmu dengan sebutan ‘tak laku’, hanya karena kesannya kamu lajang melulu. Toh, kamu bukan barang dagangan – di toko diskon pula. Jangan mau dianggap serendah itu. Kamu manusia, sama seperti mereka.

Ya, kamu manusia biasa yang hanya bisa berusaha sebaik mungkin. Biar saja mereka mengasihanimu yang cintanya ditolak melulu. Setidaknya, kamu jadi belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain.

Pada kenyataannya, tidak pernah ada resep ‘saklek’ untuk cinta. Sudahlah, yang kebetulan sudah diberikan jodoh oleh Tuhan tidak usah sok ‘paling bahagia’ di dunia. Biasa aja. Bukan berarti kamu yang beruntung lebih baik daripada yang masih lajang.

Ingat, apa pun masih bisa terjadi. Hati manusia mudah berubah, jadi nggak usah terlalu percaya diri. Yang pacaran masih bisa putus, yang menikah pun bisa cerai. Kalau tidak, bisa juga ditinggal mati. Tidak ada yang abadi.

Lagipula, namanya juga rezeki. Setiap orang dapatnya berbeda-beda. Jangan sampai kesombonganmu yang merasa terlalu bahagia karena sudah punya pasangan bikin Tuhan memutuskan untuk mengambil rezekimu kembali.

Bukannya mau nakutin atau nyumpahin loh, ya. #Sekadarmengingatkan …

R.