“MASKULINITAS NAIF VERSUS REALITA”
Saya ingat salah satu episode serial “Rizzoli and Isles”. Angela Rizzoli (yang diperankan oleh Lorraine Bracco) seorang bartender sekaligus ibu tunggal dari ketiga anak yang sudah dewasa. Begitu beliau ketahuan tengah berusaha melanjutkan pendidikannya yang sempat terputus saat menikah, putrinya, Detektif Jane Rizzoli (yang diperankan oleh Angie Harmon) langsung shock.
“Hah, jadi Mama belum kelar SMA?”
“Habis kata papamu nggak usah,” kata Angela dengan wajah malu. “Buang-buang waktu dan nggak ada gunanya.”
Jika saya Jane, reaksi saya pasti akan sama dengan karakter favorit saya di film itu: “Kok Papa tega?” Gimana enggak? Dalam beberapa episode awal, tokoh Angela digambarkan sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk suami dan ketiga anaknya. Nggak ada yang salah sih, dengan hal itu. Namun, suaminya kemudian menceraikannya dengan alasan paling menyakitkan: terpikat oleh perempuan lain, yang lebih muda pula.
Jadilah Angela yang tadinya nggak pernah bekerja di luar rumah kelabakan. Apalagi, sang mantan suami langsung otomatis berhenti menafkahi, sehingga Angela terpaksa menjual rumah lama mereka dan pindah untuk tinggal bersama dr. Maura Isles (yang diperankan oleh Sasha Alexander), rekan sekaligus sahabat putrinya. Memang sih, ketiga anaknya yang sudah dewasa mau dan bisa membiayai ibunya. Namun, walau bagaimana pun, Angela tetap ingin mandiri dan tidak terlalu bergantung pada orang lain.
Singkat cerita, Angela akhirnya bekerja tetap sebagai bartender di “The Dirty Robber”, sebuah usaha milik Detektif Vincent Korsak (yang diperankan oleh Bruce McGill), rekan sekaligus sahabat putrinya.
Oke, mungkin contoh kasus di atas hanya fiksi. Namun, hal serupa banyak terjadi di dunia nyata: perempuan (sengaja?) dihambat pendidikannya dengan janji-janji manis surgawi dari laki-laki bahwa dia akan selalu dijagain. Nggak usah mikir yang berat-berat seperti politik dan ekonomi, cukup jadi ibu rumah tangga saja meski sekolah nggak selesai. Nggak usah kerja di luar rumah, nanti kecapekan dan anak-anak nggak keurus. (Padahal parenting kerjaan dua orang, lho.)
Di Indonesia? Wuih, contohnya banyak sekali. Bahkan, sebisa mungkin anak-anak perempuan segera dinikahkan. Alasannya? Ya, agar nggak terus jadi beban ekonomi keluarga sekaligus menghindari zina. Solusi pragmatis? Biar diurus suaminya.
Sedih, ya? Ternyata, hanya sampai situ kita menilai anak-anak perempuan kita: sekadar beban ekonomi keluarga sekaligus sumber potensi zina. Semoga Anda tidak ikut-ikutan berlaku demikian pada putri-putri Anda. Kasihan mereka.
Saya pernah terlibat percakapan ‘super ajaib’ dengan seorang kenalan laki-laki. Menurutnya, dalam keluarga kelas menengah ke bawah, wajar saja bila anak laki-laki yang mendapat prioritas (atau privilege?) dalam hal pendidikan setinggi-tingginya, sementara anak perempuan lebih baik segera dinikahkan saja. Alasannya juga super standar:
“’Kan laki-laki yang nanti akan mencari nafkah untuk keluarga, menjadi kepala rumah tangga, dan imam untuk istri dan anak-anaknya.”
Okelah kalau dia berpendapat demikian. Lalu, saya tantang lagi dengan pertanyaan berikut:
“Kalo anaknya perempuan semua gimana?”
“Ya, yang sulung yang dikorbankan, dinikahkan duluan.”
Dikorbankan. Ya, kata itulah yang dia gunakan waktu itu. Jujur, saya ngeri membayangkan laki-laki macam ini menikah dan punya anak perempuan yang banyak suatu saat nanti. Demi perempuan-perempuan itu, saya masih mau berdoa agar rezekinya selalu lancar. Kalau tidak? Yah, silakan tebak sendiri gimana nasib anak-anak perempuan mereka nantinya.
Mungkin Anda akan menganggap saya sinis sekaligus pesimis. Nggak semua laki-laki seperti itu? Iya, saya percaya dan ada buktinya. Cuma, masa iya lantas saya hanya akan bersikap cuek dengan realita yang ada? Belum tentu semua perempuan seberuntung Angela, yang akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan berkat kebaikan teman-teman anaknya. Ada yang sulit mendapatkan pekerjaan sehingga akhirnya terus bergantung pada orang lain, menunggu calon suami baru, atau…nah, yang ini yang seram – terjebak dalam perdagangan manusia. Jika dari awal mentalitas anak perempuan tidak didukung untuk belajar mandiri, jangan heran kalau akhirnya banyak yang jadi begini.
Sekali lagi, nggak ada yang salah dengan menginginkan istri Anda menjadi ibu rumah tangga dan anak perempuan Anda selalu dijaga. Nggak ada yang salah dengan menjadi laki-laki yang selalu melindungi perempuan. Bagus sekali, malah.
Namun, mau sampai kapan Anda terus bersikap naif akan realita yang ada? Mungkin Anda bukan tipe laki-laki brengsek seperti mantan suami Angela dan berjanji akan selalu setia pada istri Anda. Tapi, Anda ‘kan, nggak akan selalu bisa jadi superhero untuknya dan semua orang. Gimana kalau tiba-tiba Anda di-PHK atau Anda jatuh sakit hingga tidak bisa lagi bekerja di luar rumah, sementara istri Anda minim atau nihil pengalaman kerja dan anak-anak masih terlalu kecil untuk membantu mencari nafkah? Masa iya Anda tega mau menyuruh mereka turun ke jalan dan mengemis? Masa iya Anda mau terus tergantung pada belas kasihan orang lain?
Gimana kalo maut menjemput Anda duluan dan meninggalkan istri dan anak-anak dalam kondisi demikian? Hanya berpasrah pada takdir tanpa melakukan apa-apa juga tidak baik bagi kelangsungan hidup mereka.
Anda nggak bisa selalu jadi superhero bagi istri dan anak perempuan Anda…and it’s okay. Karena Anda nggak harus selalu menanggung semuanya sendirian. Bukankah istri harusnya adalah partner dalam bahtera rumah tangga yang setara? Jika memang benar-benar sayang, perlindungan terbaik yang harus Anda berikan pada mereka adalah membiarkan mereka untuk menjadi sosok yang kuat dan mandiri, bukan yang selalu tergantung pada laki-laki. Ini termasuk hak mereka untuk mendapat pendidikan tertinggi, pekerjaan terbaik, hingga hak anak perempuan untuk memutuskan kapan dan dengan siapa dia mau serta siap menikah…
R.