Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“BANYAK YANG INGIN KUUCAP”

“BANYAK YANG INGIN KUUCAP”

Banyak yang ingin kuucap

meski tak selalu cakap

dan cenderung gagap

 

Banyak, namun selalu gagal

Kamu membuat nyaliku mental

Kadang aku sebal

 

Banyak, hingga kini masih saja

terkunci, namun liar bergerilya di hati dan kepala

Ada rasa benci pada diri yang tak berdaya

 

Banyak yang ingin kuucap

terutama kata cinta

khusus untukmu saja…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“5 KEBIASAAN PENGGUNA ATM YANG PALING GANGGU”

“5 KEBIASAAN PENGGUNA ATM YANG PALING GANGGU”

Terlepas dari mulai banyaknya pengguna e-banking untuk kemudahan transaksi, ATM (Anjungan Tunai Mandiri) ternyata masih banyak dicari. Termasuk buat yang hingga kini belum juga mengaktifkan e-banking mereka. (Ke mana aja? Jangan tanya saya.)

Terus, apa aja sih, kebiasaan pengguna ATM yang menurut saya paling ganggu? Percaya deh, dari lima (5) yang akan saya sebut di bawah ini, lelet karena gaptek justru nggak termasuk.

  1. Kelamaan ngegosip sama temen di dalam bilik ATM.

Ini sering kejadian bila bilik ATM ada depan atau parkiran minimarket atau gedung lain. Apalagi kalau siang lagi panas-panasnya.

Memang, ada AC di bilik ATM yang adem dan enak banget. Meski kapasitasnya nggak muat untuk lebih dari tiga orang, kadang suka ada gerombolan yang memaksa masuk. Alamat umpel-umpelan di dalam, atas nama ‘ingin ngadem’.

Saking asyiknya, lama-lama ngegosip, deh. Kalo lagi sepi mah, nggak masalah. Lain cerita kalo udah yang narik tunai hanya seorang, tapi jadi lama gara-gara diajak ngobrol sama pengiringnya. Sementara itu, antrian di luar makin mengular, berpotensi menciptakan murka…

2. Tarik tunai sambil ngemil.

Ini pernah saya lihat pas lagi antri ATM di salah satu mal di ibukota. Dandan sih, keren. Es krim yang lagi dimakan juga mahal punya. Pas narik uang tunai, masa kayak gini:

Pencet-pencent-pencet…nunggu…suap es krim…trus pencet-pencet lagi…nunggu…kembali suap es krim…begitu terus…

Andai nggak inget malu, dosa, atau keduanya, saat itu juga saya gemas ingin menawarkan bantuan berupa salah satu dari tiga (3) alternatif di bawah ini:

  • Menarik tunai (kalau perlu sekalian menguras isi tabungannya).
  • Menghabiskan es krimnya.
  • Menguras isi tabungannya, lalu menghabiskan es krimnya sebelum melenggang suka-suka…

Lapar? Mending duduk dulu, deh. Kelarin makannya. Nggak perlu sok multi-tasking kalo buntutnya bikin lama.

3. Multi-transaksi…nggak berhenti-berhenti.

Iya, ngerti. Kita semua punya kewajiban yang harus dilunasi, mulai dari tagihan bulanan, gaji karyawan, hingga masih banyak lagi.

Meskipun ada beberapa bank yang secara otomatis memberlakukan limit otomatis (seperti transaksi debit maksimal tiga kali sehari), mending buru-buru aktifin e-banking, deh. Nggak perlu ngantri dan nggak perlu bikin yang nunggu giliran keki.

4. Tukang ngintip dengan kepo akut.

Kadang suka nggak nyaman dengan ATM yang letaknya lebih ‘terbuka’ dan berjajar dengan beberapa ATM lain kayak di mal. Potensi berurusan dengan tukang ngintip berkepo akut di belakang Anda lebih besar, terutama pas jam-jam sepi dan malam hari. Serem banget, ‘kan?

Kalo berani, boleh liatin balik si tukang ngintip (kalo perlu dengan tatapan ‘ingin membunuh’. Silakan cari versi Anda sendiri.) Kalo takut, Anda bisa minta temen, kakak, atau pacar jadi pengawas atau pengawal. Bilik terpisah juga lebih aman, karena biasanya orang lain lebih tahu diri untuk nggak asal masuk dan nimbrung. (Kenal aja enggak.)

5. Tukang serobot.

Model begini emang paling (bikin) celaka dalam antrian apa pun. Mulai dari tingkat verbal seperti bikin naik darah hingga celaka beneran, karena udah main dorong-dorongan.

Hmm, bila dikasih tahu baik-baik nggak mempan, enaknya mereka semua diapain, ya? Masa mau diperlakukan kayak badak?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“SAHABAT SEMPURNA”

“SAHABAT SEMPURNA”

Sampai kapan pun,

kau takkan menemukannya

sosok yang selalu santun

sahabat sempurna

 

Kau ingin dia tanpa cela

selalu membuatmu bahagia

seiya sekata

tiada bantah maupun usul berbeda

 

Selamat mencari

meski lupa berkaca diri

karena kamu pun manusia

yang tak luput dari cela…

 

R.

(Jakarta, 15/10/2017 – 22:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“RAGAM ILUSI DI MEDIA SOSIAL”

“RAGAM ILUSI DI MEDIA SOSIAL”

Sering menonton siaran ulang (rerun) serial TV bikin saya cepat hapal plot, adegan, maupun dialog. Salah satunya adalah “NCIS”, musim tayang ke-14 dengan episode ke-13.

Singkat cerita, salah seorang karakter utama, Asisten Forensik dr. James Palmer (yang diperankan oleh aktor Brian Dietzen), mencoba mencegah seorang pemuda bunuh diri. Merasa bersalah karena kematian mendadak ayahnya, pemuda yang putus asa itu mencoba melompat dari langkan di lantai teratas sebuah gedung.

Untuk cerita lengkapnya, silakan tonton sendiri, ya. Namun, percakapan dr. Palmer dengan Ryan, pemuda itu (dalam rangka membujuknya agar tidak mengakhiri hidupnya), sangat menarik. Saat Ryan membandingkan kegagalan dalam hidupnya dengan kesuksesan orang lain yang tampak di media sosial, Palmer langsung mengingatkan:

“They only post the greatest hits. There are no B-sides.”

Intinya: mereka hanya posting yang bagus-bagus.

The Greatest Hits di Media Sosial

Inilah ilusi yang sering kita lihat lewat media sosial mereka yang kita kenal. Kadang, yang mereka tampilkan bisa sangat indah, hingga menipu mata. Kita terjebak dalam ilusi tersebut, sehingga sibuk merasa iri dengan kelebihan mereka semua. Ada yang kariernya sukses, traveling ke banyak kota dan negara, populer karena fotonya selalu dikelilingi banyak teman (apalagi kalau ada pesohor atau selebriti di sana), punya pacar keren, menikah, punya anak…

…dan daftarnya bisa lebih panjang, mengalahkan niat saya menulis entri kali ini…

Seperti biasa, yang melihat ilusi keindahan hidup orang lain lewat media sosial nggak semuanya ‘siap mental’. Ada yang kemudian mulai membanding-bandingkan diri sendiri dengan mereka. Yang ada malah stres, gara-gara selalu merasa kurang.

Ada yang buntutnya nyinyir dan menyebut mereka sebagai “the humble brags” (istilah untuk orang yang sok kelihatan merendah di media sosial, padahal sebenarnya sedang pamer). Memang sih, pada kenyataannya banyak yang begitu. Kalau memang benar, lalu kenapa? Meributkan yang di luar kendali kita, kok konyol rasanya?

Yang terlihat dari luar belum tentu sempurna seperti perkiraan kita. (Pada kenyataannya, memang nggak akan ada yang bisa sempurna.) Bisa saja yang kariernya sukses butuh pengorbanan yang tidak sedikit, mulai dari: mengurangi acara jalan-jalan yang memboroskan uang hingga harus siap terima keluhan dari orang-orang terdekat gara-gara jarang berkumpul dengan mereka.

Bisa saja kawan Anda yang gemar traveling itu memang giat menabung, getol berburu tiket promo, beruntung menangin kuis, hingga menjaga hubungan baik dengan kawan-kawan (yang kemudian rela membiayai perjalanan mereka.) Bisa jadi, pacar keren yang tampak mesra di foto berdua ternyata abusive atau doyan selingkuh. Hiii…

Kenapa Anda bersikap seakan-akan mereka berutang penjelasan pada Anda? Memangnya Anda siapa?

The B-Sides di Media Sosial

Sebenarnya, saya kurang setuju dengan ucapan dr. Palmer. Buktinya, ada juga yang hobi posting yang negatif. Misalnya: status curhatan putus cinta, nyinyir menyindir, hingga yang paling parah…foto-foto orang sakit dan korban kecelakaan.

Terlepas dari niatan yang mem-posting, silakan bebas berspekulasi. Yang bersimpati mungkin akan mencoba menghibur sebisa mungkin. Yang enggak, ya mana peduli.

Yang segan atau malah muak dengan ragam status negatif? Banyak. Sebelum langsung menuduh mereka semua sebagai sosok sinis dan nggak simpatik, bisa jadi ada alasan lain yang kita belum tentu tahu maupun paham.

Bisa jadi, mereka kenal dengan si pembuat status. Jangan-jangan, hidupnya nggak semalang yang dia gembar-gemborkan di media sosial. Jangan-jangan dia hanya cari perhatian.

Misalnya: ada yang merasa kesepian dan tidak dicintai siapa-siapa, hanya karena merasa dicuekin teman-temannya dan belum juga punya pasangan. Padahal, bisa saja keluarganya sangat menyayanginya tanpa syarat, namun dia tidak melihatnya. Kalau Tuhan nggak sayang, bagaimana mungkin dia masih hidup berkecukupan hingga saat ini?

Baik di dunia nyata maupun maya, ilusi hadir untuk menipu mata. Lagipula, bukankah terus membanding-bandingkan diri dengan orang lain pekerjaan melelahkan? Mau sampai kapan?

Bisakah bahagia bila hidup dengan cara demikian?

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“CUKUP UNTUKMU”

“CUKUP UNTUKMU”

Terima kasih

Kau tidak berharap

aku harus secantik bidadari

Tuntutanmu tak pernah kalap

 

Kau biarkan aku melihat

kilasan-kilasan lampau

dalam bait-bait sajak

berisi semua lukamu

 

Aku tidak bisa berjanji

akan sempurna setengah mati

Yang kutahu,

kuingin kau merasa aman di hatiku

Begitu pula aku di hadapanmu

 

Semoga aku cukup baik untukmu

seperti kamu yang telah baik padaku

dan ada dari-Nya, berupa restu…

 

R.

(Jakarta, 26 Februari 2018 – 11:15)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“MENJADI (PENULIS) NYINYIR”

“MENJADI (PENULIS) NYINYIR”

Apa sih, untungnya menjadi (penulis) yang suka nyinyir? Apa bedanya sama tukang gosip yang pakai mulut?

Entah apa saya termasuk penulis yang suka nyinyir. Kalau pun ya, memangnya kenapa? Bisa jadi, saya nyinyir untuk alasan yang tepat. Bisa jadi, selama ini saya (merasa?) kurang didengar atau bahkan tidak dianggap. Tapi, ah…namanya juga beda pendapat. Boleh sepakat maupun tidak.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“TAKUT YANG NYATA”

“TAKUT YANG NYATA”

Aku tidak ingat
kapan terakhir kali menangis di pelukan seseorang.
Mungkin aku hanya berusaha lupa
agar selalu kuat.
Ada kalanya, semua harus dijalani sendirian.

Mungkin kamu akan bertanya-tanya
apakah aku sedingin ini adanya.
Aku bukan orang yang mudah
apalagi terbuka untuk urusan cinta.
Ada takut yang nyata
seperti kembali ditinggal saat mulai merasa.

Semoga kamu nyata
bukan cuma janji dan akhirnya sama
atau malah lebih parah dari mereka.

#puisiJanuari2018
#tentangakudanpujangga
#takutyangnyata

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“BEDA KRITIK SAMA HINAAN”

“BEDA KRITIK SAMA HINAAN”

“Baru dikritik doang udah baperan. Ngambekan amat sih, jadi orang?”

“Boleh aja elo gak suka ama cara gue. Tapi gak usah hina-hina gue segala!”

Kenapa ada orang yang begitu mudahnya tersinggung dengan kritikan, sehingga langsung menyamakannya dengan serangan untuk merendahkan atau hinaan? Kenapa ada orang yang merasa hanya mengkritik, padahal jelas-jelas ucapannya dibarengi dengan makian dan sumpah serapah?

Susah, memang. Sekarang sudah makin banyak yang pandai beralasan. Usia tua bukan jaminan tambah bijak, sabar, dan dewasa. Yang ada makin jumawa dan yang waras disuruh mengalah.

Mau mengalah sampai kapan? Sampai jumlah orang brengsek di dunia bertambah dan keluhan saja nggak lagi berguna? Mau sampai ikutan gila karena kalah suara?

Saya akui, saya sendiri termasuk pribadi sensitif. Menurut saya, ini sama sekali bukan hal buruk atau pun hina. Nggak harus juga selalu dikaitkan dengan gender saya, karena laki-laki ada juga yang perasa. (Kalo enggak, ngapain mereka sampai bikin rusuh di stadion hanya gara-gara tim sepak bola andalan mereka kalah?)

Namun, apakah lantas saya jadi gagal paham, sulit bedain antara kritik dengan hinaan? Apakah semuanya mau saya pukul rata demi ego saya? Apakah lantas saya akan menyerang semua orang, hanya gara-gara mereka nggak suka dengan cara saya bekerja?

Saya kasih contoh, ya. Sebagai sosok chubby di Indonesia, bodi saya nggak pernah jauh-jauh dari bahan ledekan, bahkan sama mereka yang nggak kenal tapi merasa sok lebih dekat sama saya. Entah kenapa, ada aja mulut usil yang gatal rajin ‘ngingetin’ betapa gendutnya saya dan bila kurus, mungkin bakal lebih banyak cowok yang mau sama saya.

Padahal, saya nggak pernah merasa menyewa mereka semua sebagai AP (Asisten Pribadi), ahli nutrisi, maupun personal trainer saya. (Kemungkinan besar, saya juga belum tentu mau meski sanggup membayar mereka semua. *sombong*) Saya juga tahu cara pakai cermin, yang berarti nggak sebego itu sampai harus terus diingetin. Lucu, ya?

Maunya sih, nyebut itu sebagai #basabasibusukbedebah , tapi nanti saya dituduh menghina. Padahal yang mulai duluan juga siapa? Hahaha.

Mereka bikin saya kesal, itu pasti. Yang punya badan siapa, kok yang ribut mereka? Tapi, apakah lantas saya akan balas menyakiti mereka semua, biar puas ego saya? Rasanya konyol sekali, seolah-olah komentar mereka semua penting harga mati. Toh, mau saya segede truk atau seramping manekin toko (iya kalo bisa!), itu urusan saya.

Oke, sekarang saya kasih satu contoh lagi, ya. Gimana kalo kerjaan saya yang dikritik? Ya, seperti lazimnya semua orang (yang harusnya bijak dan benar-benar dewasa), ada dua (2) pilihan, sih:

  1. Anggap aja kritikan itu teguran agar kerja kita lebih baik berikutnya.
  2. Ngambek, terus merasa yang mengkritik berusaha merendahkan kita di depan umum. Bahkan, nggak jarang sebagian dari kita memilih untuk balas dendam dengan berusaha menyusahkan si pemberi kritik. Bela harga diri sampai mati.

Idealnya sih, semua orang (yang katanya dewasa) ya milih nomor satu. Sayangnya nggak gitu. Banyak juga yang baperan dan milih nomor dua. Dewasa nggak penting, kuasa yang utama.

Hmm, jika gini caranya, saya khawatir bila Anda menjabat sebagai pemimpin apa pun. Bisa-bisa bawahan Anda bakalan ada yang stres, kena gangguan jiwa, hingga bunuh diri. Serius, tapi jangan-jangan Anda memang nggak peduli.

Mungkin juga bakalan ada yang nggak tahan dan akhirnya berusaha menjatuhkan Anda beneran, seperti paranoia Anda selama ini. Habis gimana? Menuntut respek mereka pake cara preman, sih. Dikit-dikit ngancem.

Semoga tulisan saya ini bisa jadi pencerahan mengenai cara membedakan dan menyikapi kritikan dan hinaan. Kalo enggak, anggap saja saya gagal bikin orang paham, terutama mereka yang kebetulan (merasa) punya kuasa.

Dengan kata lain, anggap saja pendapat saya ini tiada artinya. Ah, sudah biasa.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“MARI BERPRASANGKA”

“MARI BERPRASANGKA”

 

Mari berprasangka

demi seiya dan sekata

dengan pemangku kebijakan

dengan pembuat aturan

 

Mari berprasangka

meski terkecoh tampak luarnya

Telanjangi mereka

Permalukan pada dunia

 

Mari berprasangka

agar jiwamu yang beringas

bisa semakin puas

bagai monster haus darah nan buas

 

Anggap saja privasi

apalagi hak asasi

hanyalah alasan para bedebah

yang sengaja dicari-cari

 

Mari,

tanpa peduli

bila suatu saat nanti

semua dapat gilirannya sendiri

 

Hiii…

 

R.

(Jakarta, 7 Februari 2018 – 18:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

TERKESAN REMEH TAPI FATAL – ETIKET DI GRUP WA

“TERKESAN REMEH TAPI FATAL: CUEK SAMA ETIKET MEMBER GRUP WA”

Siapa yang Whatsapp-nya berat akibat banyak grup di dalamnya? (Saya pun tunjuk tangan.)

Mungkin ini karena pada dasarnya, orang Indonesia masih paling senang ngumpul. Biar kata orang yang tinggal di kota sudah makin individualistis, ternyata masih banyak juga komunitas yang bikin grup di media sosial, termasuk messenger app kayak Whatsapp. Mulai dari grup keluarga, temen se-geng, reuni sekolah, kantor, komunitas…pokoknya banyak banget, deh. Sampai ada yang harus punya dua ponsel biar semua grup bisa diakses tanpa bikin layar mendadak ‘mogok’ (screen-freeze).

Selain mengurangi rasa sepi akibat kesibukan (dan macet di jalan) yang bikin sulit janji temu, banyak hal yang bisa jadi bahan obrolan. Banyak hal yang bisa di-share langsung ke satu grup itu. Tinggal klik dan jadilah.

Sayangnya, saking hebohnya mau share ini-itu, kadang kita suka kebablasan.

Mungkin karena merasa keluarga sendiri akan selalu menerima kita apa adanya, lama-lama suka ada yang asal share postingan yang belum tentu bikin semua orang merasa nyaman. Entah itu joke cabul atau seksis, foto-foto seram, hingga opini politik.

Begitu pula dengan grup lain, baik itu bisnis, komunitas, hingga teman-teman se-geng dan grup reunian.

“Tapi ‘kan, kita maunya santai. Nggak mau terlalu banyak aturan.”

Okelah bila grup itu isinya hanya teman-teman se-geng yang kebetulan hampir selalu sepaham sama Anda. Namun, pada kenyataannya nggak akan pernah ada yang 100% demikian.

Saya sendiri salah satu admin sebuah grup WA berisi para penulis (dan pencinta dunia tulis-menulis). Suatu waktu, saya iseng reshare kasus kematian seorang gadis akibat tertidur sambil mendengarkan musik lewat ponsel. Entah karena radiasi atau apa (sori, saya lupa), ponsel itu kemudian membunuhnya dalam tidur…sampai kondisinya cukup ‘mengerikan’ untuk dilihat.

Reaksi anggota grup beragam. Saya langsung ditegur sesama admin. Reaksi saya? Ya, minta maaf dan buru-buru menghapus postingan seram tersebut. Masalah selesai. Nggak perlu pakai gengsi, apalagi bikin drama segala.

Selain itu, saya juga bisa belajar untuk lebih peka. Biar katanya ‘bebas dan santai’, belum tentu semua orang di dalam grup nyaman dengan postingan kita.

Lagipula, sebagai salah satu admin, harusnya saya bisa kasih contoh lebih baik.

“Ya, ‘kan nggak semua orang bisa gitu.”

Ya, ya, ya. Buktinya, selang beberapa tahun kemudian, giliran saya yang nggak tahan dan memilih keluar dari satu grup WA lain. Alasannya? Saya paling benci dan nggak bisa toleransi dengan lelucon cabul dan seksis. Selain merendahkan perempuan, jatuhnya juga sangat menjijikan. Ajaib kalau sesama perempuan masih bisa tertawa dan menganggapnya lucu. Lebih aneh lagi bila pelakunya mengaku masih beragama dan merasa masih menghargai perempuan.

Karena sudah menegur berkali-kali dan malah dikatain ‘baperan’ (celakanya, sama sesama perempuan lagi!), saya pun keluar. Kalah suara. Mau bagaimana lagi? Ngotot juga percuma. Ibaratnya berusaha merobohkan tembok beton dengan teriak-teriak. ‘Kan konyol jadinya.

Beberapa tahun kemudian, saya melihat contoh yang lain. Dalam grup WA komunitas bisnis, ada satu anggota yang hobi posting hal-hal yang sama sekali nggak relevan. Contoh: lelucon seksis (lagi-lagi, ugh!) Kalau postingannya seputar tips berbisnis, promo produk, hingga dunia digital, mungkin masih nggak masalah.

Memang sih, maunya komunitas bisnis ini sedikit santai. Namun, judulnya aja juga ‘bisnis’. Pastinya tetap ada aturan tidak tertulis yang sebaiknya diikuti. Demi kenyamanan bersama-lah.

Sebelumnya, sudah banyak yang menegur dan mengeluhkan anggota yang satu ini. Puncaknya terjadi pada satu malam, orang yang sama posting foto kasus penculikan dan penganiayaan anak, plus himbauan kepada para orang tua agar lebih waspada dalam menjaga anak-anak mereka.

Info penting? Ya. Sebenarnya juga nggak masalah. Yang jadi masalah, dia lupa memburamkan (blur) atau kalau bisa menghilangkan foto korban sekalian. Bukan apa-apa, nggak etis aja. Selain menyebarkan wajah asli korban, foto anak malang itu juga tampak…’nggak keruan’. Luka-luka mengenaskan bekas siksaan.

Hasilnya? Banjir protes lagi. Ini tegurannya masih baik-baik lho, nggak pakai caci-maki.

Singkat cerita, orang yang kena tegur itu langsung marah. Bukannya minta maaf, dia malah menyebut seisi grup sebagai sekumpulan orang-orang cengeng sama info penting. Habis itu, dia langsung keluar. Begitu saja.

Kembali, reaksi anggota grup lainnya beragam. Ada yang sepakat dengan para penegur: orang itu memang harus diingatkan. Padahal, dengan meminta maaf saja, masalah selesai. Nggak perlu pakai drama dan yang lain masih tetap menghargainya sebagai manusia dewasa.

Ada yang terang-terangan membela si pelaku, namun untungnya kalah suara. Katanya,orang itu seharusnya tidak di-judge sedemikian rupa. Padahal, jelas-jelas yang dipermasalahkan kelakuannya, bukan keseluruhan dirinya sebagai manusia.

Hmm, sepertinya masih ada yang harus belajar menerima kritikan dengan cara yang lebih bijak.

Ada juga admin yang mencoba mendamaikan. Memang bukan pekerjaan mudah, mengingat tidak semua orang bisa disenangkan dengan cara yang sama.

Menyenangkan semua orang juga butuh keajaiban. Mengapa? Hal itu sama mustahilnya dengan berharap saya kehilangan 20 kg bobot tubuh saya dalam semalam. (Judulnya sekalian taruhan nyawa kalau sampai kejadian. OGAH.)

Dari satu grup WA ke grup WA lainnya, saya belajar. Saya sudah pernah berbuat kesalahan dan untungnya masih cukup berbesar hati saat ditegur. Saya juga terpaksa mengalah saat menjadi minoritas yang tidak didengar, meskipun hingga kini masih yakin saya benar.

Ada yang memang merasa bahwa seluruh dunia berpusat pada mereka. Jangan heran bila mereka akan selalu minta dipahami dan dimaklumi, bahkan dalam skala grup WA sekali pun. Orang lain keberatan? Mana peduli.

Ada yang masih memperhatikan etiket di grup WA. Bukannya muna atau enggan jadi diri sendiri. Semua ada batasnya. Nggak ada salahnya bila peduli dengan kenyamanan orang lain.

Kalau nggak suka? Keluar juga pilihan. Namun, alangkah baiknya bila kita masih bisa berpamitan dengan sopan. Nggak perlu pakai drama, apalagi sampai menghina segala.

Jadi, tipe anggota grup WA yang seperti apa Anda?

 

R.