Hayo,
ngaku aja, deh. Bila termasuk kaum Hawa, pasti hatinya pernah melambung tinggi
mendengar ucapan seperti ini. Apalagi momen-momen tertentu seperti saat Lebaran
kemarin, arisan, hingga reuni.
Jujur,
awalnya saya sendiri juga sempat sangat senang. Tahu sendiri ‘kan, tumbuh
dengan figur tambun seperti ini lebih rentan jadi bahan ejekan. Apalagi bila
Anda perempuan. Alamat selalu jadi perbandingan, entah dengan kakak perempuan
yang lebih kurus atau sepupu yang ‘akhirnya
berhasil punya pacar setelah turun sepuluh kilogram’.
Untuk
yang terakhir, entah kenapa masih banyak yang menganggapnya prestasi, berhubung
perasaan manusia tidak pernah 100 persen bisa ditebak alias mudah berubah – dan
cinta serta selera itu sebenarnya relatif. Tapi, saya siapa, sih? Yang ada
malah dituduh cari-cari alasan untuk tidak ‘menjaga
berat badan’ oleh mereka yang masih memegang teguh kepercayaan ini secara
militan. Hehe…
“Jangan gemuk lagi, yah.”
Tuh,
‘kan? Kesannya menjadi gemuk (apalagi buat perempuan) kayak tindakan kriminal,
dosa, hingga sesuatu yang teramat hina. Okelah, kalau yang jadi masalah adalah
perkara kesehatan.
Namun,
pada kenyataannya, orang lebih banyak meributkan soal penampilan. Entah kenapa,
masih banyak yang mau lebih ribet ngurusin penampilan orang lain, terutama
perkara pakaian dan berat badan. Padahal, basa-basi mereka juga nggak langsung
otomatis bikin Anda kurus dalam sekejap. (Kalau
bisa, mungkin saya sudah membayar mereka!)
Toh,
pada kenyataannya, tetap Anda juga yang (bisa dan harus) pegang kendali atas
tubuh sendiri. Ya, nggak?
Kalau
komentar sebaliknya, pasti jauh lebih nyebelin:
Enaknya
yang kayak gini diapain, ya? Pengennya sih, suatu saat nanti udah nggak akan
ada lagi basa-basi bedebah busuk macam ini. Orang akan lebih nanya kabar,
seperti: “Apa kabar? Udah lama gak
ketemu” atau minimal pujian relatif netral macam: “Elo keliatan happy, deh.”
Bahkan,
saya dengan jujur lebih suka dipuji dari segi kepribadian daripada hanya
dibilang ‘cantik’. Mungkin ini
terdengar nggak lazim bagi kalian, tapi saya bosan saja melihat perempuan
selalu lebih banyak dinilai dari penampilan luarnya saja. Nggak pada muak, ya?
Sayangnya,
mengubah mindset masyarakat mengenai
cara memandang perempuan bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam semalam.
Nyebelin banget emang. Akan selalu ada orang yang menganggap bahwa badan kurus
itu suatu prestasi, meskipun belum tentu terkait dengan kesehatan diri.
Akan
juga selalu ada orang yang berpendapat bahwa ekstra lemak di tubuh Anda begitu
mengganggu di mata mereka. Santai saja. Toh, yang ‘sakit mata’ sama ‘capek
mulut’ juga bukan Anda. Anggap saja opini mereka nggak penting. Sadis sih,
emang. Tapi mau gimana lagi?
Lagipula,
Anda-lah orang pertama dan satu-satunya yang bisa, boleh, dan harus menentukan
mau terlihat seperti apa – dan bagaimana perasaan Anda – akan tubuh sendiri.
Saya mungkin satu dari sekian banyak
orang Indonesia yang sekarang sudah amat muak dengan politik dalam negeri.
Sebisa mungkin saya sudah nggak mau ngomongin lagi secara terang-terangan,
apalagi soal 01, 02, hingga 21 – 22 Mei 2019 kemarin. Pokoknya sudah cukup.
Apakah berarti saya memutuskan untuk
bersikap netral? Nggak juga. Yang pasti, kemarin saya nggak golput. Cuma,
biarlah pilihan saya cukup Tuhan yang tahu. Manusia lain nggak perlu ikut
campur.
Kalau pun ingin netral juga nggak
bebas celaan. Kalau nggak dibilang pengecut, cari aman doang, ya munafik. Bukan
kabar baru, tho? Penyederhanaan istilah yang luar biasa umum dilakukan
orang-orang kita yang entah kenapa begitu suka dengan drama.
Capek? Ya, pastinya juga capek
banget.
Padahal, mereka yang memutuskan untuk
nggak mau lagi ngomongin politik bukan berarti nggak peduli. Mereka hanya
merasa nggak perlu buktiin ke siapa-siapa – bahkan ke seluruh dunia, terutama
lewat social media – bahwa mereka (sebenarnya)
masih memperhatikan.
Mereka lebih peduli dengan mencari
solusi ketimbang saling menghina, menuduh, menyalahkan, dan menjatuhkan. Mereka
lebih fokus melihat dari dua sisi dan menyimpan opini mereka sendiri. Nggak
semua hal harus dibagi-bagi.
Apakah mereka total tidak membahasnya
sama sekali? Belum tentu. Mereka hanya memilih untuk membahas politik dalam
negeri dengan orang-orang tertentu. Orang-orang terpilih ini bisa berpikir dan
menganalisa secara objektif, nggak fanatik buta hingga baperan tingkat akut,
dan nggak suka mengumbar terlalu banyak lewat social media.
Itu pun nggak sering-sering amat.
Ngapain coba? Masih banyak topik seru lain buat dibahas.
Ignore, Mute, Unfollow, Unfriend, Report, Hingga Blokir
Banyak yang rajin menebar kebencian
dan fitnah lewat social media. Bahkan,
nama Tuhan kerap dibawa-bawa, terutama saat dengan entengnya melaknat sesama.
Nggak tanggung-tanggung, kayak udah nggak inget kalau kemarin kita berpuasa dan
merayakan Lebaran. Masih saja ada yang meramaikan social media dengan kedengkian akut. ‘Luar biasa’.
Banyak yang mengeluhkan hal ini.
Bahkan, banyak juga yang akhirnya bikin ancaman terbuka, kalau mereka akan
memilih setidaknya salah satu dari fitur di sub-judul artikel ini di atas. Saya
mengerti. Pasti rasanya melelahkan sekali melihat timeline akhir-akhir ini.
Saya sendiri tidak pernah melakukan
hal serupa, mengancam secara terbuka. Saya cukup melakukan yang harus
dilakukan. Nggak perlu bilang-bilang juga.
Yang ada pas
Lebaran kemarin apa? Silakan centang atau tambahin sendiri dari daftar ini kalo
masih kurang:
Shalat
Ied √
Menu
lebaran: ketupat, opor ayam, sambal goreng ati, emping, dan lain-lain √
Kumpul
bareng keluarga √
Salam
tempel (THR) √ 🡪 paling enggak buat anak-anak ama
ponakan
Sungkeman
sambil bermaaf-maafan. (Gak tau kenapa artinya beda dengan ‘main-mainan’.) √
Mudik,
yang sukses bikin Jakarta sepi dan bebas macet barang 10 – 14 hari (cihuy!),
tapi polusinya pada melipir. √
Gundukan
sampah sepanjang jalur mudik. (Entah mereka mau ninggalin jejak atau mendadak
lupa dengan fungsi tong sampah.) √
PRT
mudik ninggalin kerjaan domestik (tapi mungkin nyampe sana juga ketemu kerjaan
domestik, alias cuman pindah lokasi.) √
Daftar pertanyaan dan komen dari kerabat yang bikin
Lebaran gak beda ama ‘appraisal
interview’. Dari mulai nagih calon buat dinikahin, janin dalam perut,
kerjaan kok “gitu doang” (gak tau maksudnya apa), ampe berapa kilo lemak yang
udah susut gara-gara puasa. (Padahal, sampai sana buntutnya juga disuruh
ngabisin menu Lebaran di meja prasmanan.) √
Masih kurang? Wis
monggo, silakan tambah sendiri.
Emang ada yang
tetap wajib ada tiap Lebaran, kayak shalat Ied. (Mo milih di Istiqlal atau
masjid tetangga sebelah juga suka-suka. Siapa yang cukup lancang ngatur-ngatur
ibadah orang?)
Selain itu sih,
kalo emang lebih banyak ngerugiin dan bikin rusak silaturahmi, ngapain dijadiin
budaya?
Untunglah,
sekarang mulai banyak yang sadar untuk ‘memperbarui’ makna Lebaran. Bolehlah
nambah ketupat sama opor di meja makan, asal jangan lupa sama tetangga yang
mungkin lagi kelaparan. Gak perlu baju baru, asal gak usah lagi
singgung-singgung masa lalu, terutama soal mantan yang bikin hati sendu. (Jiahh!)
Pengen selalu
dirindukan dan gak cuman tiap Lebaran? Jadilah orang menyenangkan. Meski lagi
bokek hingga gak bisa kasih angpao ke ponakan, kehadiran pasti bakal masih
dinantikan.
Kalo emang lagi
gak ada uang, mudik gak usah jadi program tahunan yang dipaksakan. Kalo lagi
bisa, gak perlu ninggalin ‘oleh-oleh’ buat lingkungan berupa sampah di
sepanjang jalan, kecuali kalo hanya rumah Anda yang kebanjiran.
Mau saling
ngingetin orang demi kebaikan? Bisa kok, gak kasar kayak preman pasar atau
nyinyir kayak nenek sihir. Mungkin udah telat juga mencoba ngebujuk mereka yang
masih nyinyir hingga bikin hati keplintir. Banyak senyum sambil diem-diem
zikir. Suka-suka mereka mo mikir apa soal Anda. Toh, gak perlu juga berlaku
serupa.
Yang penting,
kita masih bisa milih: mo nerusin tradisi
kepo-kepoan tiap Lebaran hingga tujuh turunan – atau mo jadi lebih beradab dan
sopan? Cukup doain yang baik-baik aja dan tanya kabar. Biarin mereka cerita
dan gak usah komen kalo gak diminta.
Bisa
jadi ini kemunafikan seseorang – atau usaha bertahan hidup di masyarakat ini.
Kadang juga bisa keduanya. Terkadang karena pilihan, di lain waktu karena
kebutuhan.
Terkadang
bisa keduanya.
Beberapa
orang mengatakan bahwa kejujuran masih merupakan kebijakan terbaik. (Serius, nih?) Katakan apa pun yang Anda
pikirkan atau rasakan saat ini. Tidak usah peduli reaksi mereka. Jika mereka
terluka atau tersinggung oleh kebenaran (menurut Anda), maka itu bukan masalah
Anda. Mereka adalah orang-orang yang perlu bersikap dewasa dan menerima
kenyataan. Ya, ‘kan?
Yang
lain menyarankan diam sebagai tindakan damai. Jangan bertengkar. Apa gunanya
berdebat, terutama karena hal-hal sepele? (Eh,
kata siapa?) Beberapa hal lebih baik tidak perlu diucapkan.
Namun,
kebijakan semacam itu dapat menyebabkan bom waktu dalam diri kita. Hanya
masalah waktu sebelum akhirnya bom itu meledak. Saat terjadi, pastinya lebih
buruk.
Inilah
akibatnya bila masalah penting tidak sepenuhnya diselesaikan. Tidak ada
kedamaian sejati kecuali kesunyian akibat ada yang merasa tertekan. Ada
pihak-pihak tertentu yang secara konsisten ditindas, semua atas nama
stabilitas.
Mari
jujur pada diri sendiri. Kita sering menunjukkan wajah yang berbeda kepada orang-orang
berbeda di sekitar kita. Keluarga Anda mungkin tidak mengenal Anda dengan cara
yang sama seperti teman Anda – begitu pula sebaliknya. Hal yang sama berlaku
untuk pasangan, rekan kerja, dan orang-orang yang kita sebut ‘hanya kenalan’.
Oh,
jangan lupakan orang asing yang melihat Anda juga – terutama mereka yang merasa
tahu segalanya.
Tentunya,
kita semua memiliki banyak wajah. Ada beberapa yang hanya ditunjukkan kepada
beberapa orang. Ada yang ditunjukkan kepada semua.
Tentu
saja, setidaknya ada setidaknya satu wajah yang hanya ditunjukkan pada diri sendiri.
Inilah wajah kebenaran pribadi yang hanya diketahui oleh Tuhan. Kita
menyembunyikannya dari sesama manusia, sadar atau tidak. Mengapa kita
melakukannya?
Siapa
yang mau kita bodohi? Kita tidak senaif itu. Inilah sebabnya saya tidak percaya
pada horoskop / zodiak, tes Myers-Briggs, atau hal lain seperti itu. Saya juga
skeptis dengan orang-orang yang mengklaim bahwa mereka selalu – atau selamanya
– introvert atau ekstrovert.
Pertama,
semua orang berubah. Peristiwa hidup tertentu, terutama yang paling traumatis,
dapat mengubah perilaku, sikap, dan pilihan mereka. Beberapa orang memang
menjadikannya alasan untuk menyakiti orang lain, sementara yang lain masih
ingat untuk membuat pilihan yang lebih baik.
Keluarga
Anda sendiri mungkin mengenal Anda sebagai pendiam. Saat bersama teman, Anda
berbeda. Anda ramai dan lebih berisik. Saat bersama pasangan, Anda mungkin
lebih berbeda atau kombinasi dari beberapa sikap yang Anda tunjukkan kepada
orang lain.
Kita
semua punya alasan untuk melakukan pilihan kita. Kita tahu siapa yang menerima
kita apa adanya. Kita tahu siapa yang tidak atau bahkan tidak mau.
Kita
juga memperhatikan siapa yang tidak peduli, apa pun yang kita lakukan dan cara
kita membawa diri. Sama seperti sebagian dari kita yang memilih untuk tidak
peduli akan disukai orang lain atau tidak. Mereka adalah jenis orang yang tidak
merasakan kebutuhan untuk perhatian. Pikiran mereka bebas dari rasa sakit akan penolakan.
Yang
benar adalah, tidak ada yang benar-benar jujur. Kita hanya bisa menjadi 100%
diri sendiri saat sendirian. Kita tidak pernah bisa benar-benar menyenangkan
semua orang di dunia, bahkan mereka yang kita cintai dan yang (mengaku)
menyayangi kita. Kita semua punya harapan.
Jadi,
wajah seperti apa yang sering Anda tunjukkan?R.
Yang
namanya ngekos (apalagi seorang diri) berarti udah harus siap mengurus diri
sendiri. Apalagi soal makanan dan kesehatan. Jangan sampai demi pengiritan,
kita malah jatuh sakit.
Ini salah
satu problem khas anak kos selain suka telat bangun sahur (entah gara-gara
nggak ada yang bangunin, lupa pasang alarm, sama entah apa lagi). Dapur di
kosan penuh antrian sama anak-anak kos lain yang juga melaksanakan ibadah puasa.
Akibatnya,
waktu sahur jadi mepet. Selain harus rela bangun lebih dini hari biar bisa
pakai dapur duluan, solusi lain ya, cari warung atau minimarket terdekat yang
buka jam-jam segitu selama bulan puasa. Kalau ada sesama anak kos yang rela
berbagi menu sahur mereka, terima aja. Anggep aja berkah di bulan puasa.
Kalo enggak? Anda bisa mengandalkan enam (6) menu sahur anti ribet ini, ketimbang nungguin dapur kosan sepi:
Oatmeal.
Foto: unsplash.com
Bikinnya
cepet dan nggak ribet. Cukup tambahkan air panas, gula, madu, atau sirup buah
di atas oatmeal, lalu aduk semuanya hingga kental. Boleh juga ditambahkan
dengan potongan buah di atasnya sesuai selera masing-masing.
Oatmeal
juga bikin kenyang lebih lama karena kaya serat. Jadi, nggak gampang kelaparan
deh, saat puasa.
Roti.
Foto: unsplash.com
“Kok makannya roti, sih? Orang Indonesia kalo belum ketemu nasi namanya belum makan. Mana kenyang?”
Hehe,
terserah sih, kalo masih memilih berpikir seperti itu. Tapi, ini masalah
darurat. Kalo kebetulan Anda bangunnya pas jam mepet mau imsak, mana sempat
menanak nasi? Roti termasuk menu anti ribet yang bisa dicoba untuk menu sahur
khas anak kos.
Selain
dipanggang (pakai toaster atau
panggangan manual), Anda juga bisa mengandalkan semua selai roti yang ada.
Misalnya: butiran coklat (meisyes), selai
kacang, mentega, margarin, hingga selai buah macam nanas hingga stroberi. Habis
itu tinggal langsung dimakan. Gampang banget, ‘kan?
Pisang.
Foto: unsplash.com
Saya pernah mencoba makan pisang saja untuk sarapan. Hasilnya? Kenyang juga tuh, meskipun tanpa harus makan nasi atau menu berkarbohidrat lainnya. Kenapa nggak dicoba buat menu sahur?
Mungkin
hasilnya berbeda-beda bagi setiap orang. Buat saya sih, pisang bisa bikin saya
bertahan setengah hari tanpa mudah kelaparan lagi. Cocok deh, buat di bulan
puasa.
Salad.
Foto: unsplash.com
Menu ini memang agak mahal sih, buat sahur. Apalagi, salad juga harus cepat dihabiskan karena nggak akan bertahan lama, meskipun disimpan di kulkas juga. (Namanya juga sayuran.)
Kecuali,
kalau Anda mau belanja dan mengolah sendiri. Yang pasti, salad nggak akan seribet
menu karbohidrat dan protein. Tinggal diaduk dalam satu mangkok yang sama.
Takut
nggak kenyang? Tenang, ada saus mayonaise yang bisa kamu siram di atas salad.
Kamu juga bisa menambahkan potongan keju balok untuk tambahan protein hewani.
Lauk
(yang di)kering(kan).
Foto: pinterest.com
Contoh: abon, teri kacang, keripik, dan sejenisnya. Memang sih, menu ini hanya untuk kondisi super darurat, seperti: belum sempat berbelanja lagi, banyak yang antri di dapur, hingga bokek di akhir bulan.
Selain
darurat, lauk ini juga cocok untuk Anda yang lagi malas masak, tapi masih punya
nasi untuk disantap. Hehe, yang penting sahur nggak terlewat!
Yogurt.
Foto: unsplash.com
Nah, menu ini juga bisa jadi pilihan untuk sahur kilat. Selain kaya akan kandungan protein, yogurt bisa divariasikan dengan potongan buah-buahan dan varian rasa. Memang harus beli sih, sebelum disimpan di kulkas semalam sebelumnya.
Greek
Yogurt termasuk yang bisa kamu coba untuk menu sahur.
Jangan
lupa, selain mengandalkan enam (6) menu sahur anti ribet ini biar nggak harus
antri di dapur kosan, banyak minum air putih biar nggak dehidrasi.