Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

#MYBODYMYPRIDE: Ini Badanku. Kok Kalian yang Ribut?

#MyBodyMyPride: Ini Badanku. Kok Kalian yang Ribut?

Tumbuh sebagai sosok chubby, kriwil, dan pendek bukan perkara mudah. Apalagi, kakak perempuanku termasuk yang dianggap cantik gara-gara dia tinggi, langsing, dan berambut lurus serta panjang. Gara-gara fisik kami begitu berbeda, mulai deh, berbagai celaan keluar untukku. Dari yang masih bisa dicuekin hingga yang bikin bete plus sakit hati, ada semua.

Mereka cukup tega lho, membanding-bandingkan aku dan kakak secara terang-terangan. Menurut mereka, kakakku lebih cantik. Entah apa gunanya mereka ngomong gitu sama aku.

Akibatnya, sempat aku minder setengah mati dan enggan satu sekolah, kampus, maupun tempat kerja dengan kakakku sendiri. Memang jahat sih, kedengarannya. Habis, mulut mereka juga enggan diam, meski aku sebenarnya nggak suka cari masalah.

Lalu, bagaimana akhirnya aku menepis rasa minder itu, meski orang-orang bermulut usil dan jahat sayangnya akan selalu ada?

Pertama, aku masih punya banyak hal baik dalam hidupku. Pekerjaan bagus. Teman-teman baik dan suportif. Bersyukur sekali mereka bukan tipe yang berpikir dangkal dengan mempermasalahkan penampilanku. Mereka hanya rajin mengingatkanku agar jangan lupa menjaga kesehatan. Biasanya, yang hobi berkomentar jahat begini yang ogah aku jadikan teman:

“Gimana mo dapet cowok kalo nggak kurus-kurus?”

            Oke, saat menulis ini, aku memang masih single. Terus kenapa? Usaha menurunkan berat badan mah, untuk diri sendiri – bukan hanya menyenangkan orang lain. Aku malah seram kalau sampai jatuh cinta sama laki-laki yang hanya menilai perempuan dari fisik belaka.

Lagipula, ada juga kok, laki-laki yang suka model chubby kayak aku. Buktinya, salah seorang sahabat yang juga chubby sudah bersuamikan laki-laki yang baik sekali dan mereka sudah punya anak, lho. Aktor Iko Uwais juga termasuk suami yang baik, karena membela istrinya, Audy Item, saat dikatai gemuk sama netizen di media sosial.

Jadi, ngapain nakut-nakutin aku dengan ancaman ‘susah dapet jodoh karena badan gemuk’? Udah nggak zaman ah, mem-bully siapa pun dengan cara begitu. Lagipula, ada tiga (3) keuntungan yang kudapat karena gemuk, yaitu:

  1. Keponakan yang masih bayi cepat pulas saat kugendong.

Kata kakaknya yang juga masih kecil: “Habis Bibi empuk.” Hahaha.

  1. Jadi nggak cepat ‘gelap mata’ saat berbelanja pakaian.

Ya, habis mau gimana lagi? Nggak semua model cocok di aku juga.

  1. Nggak mudah diculik.

Haha, ini candaan yang sering kulontarkan setiap kali masih ada saja yang mengejek ekstra lemak di badanku. Ya, iyalah. Pasti penculik males juga ngangkut-ngangkut yang berat dan serba salah. Pas masih sadar, mereka bisa kena gampar. Pas dibius, yang mencoba mengangkat bisa tepar.

Nggak usah jauh-jauh menculik. Pas mau menceburkanku ke kolam renang dalam rangka ngerjain aku yang ultah, butuh enam orang laki-laki kuat untuk melakukannya. Hihihi…

Pada tahu Adele, Rebel Wilson, dan Melissa McCarthy, ‘kan? Mereka chubby namun berprestasi. Mereka juga cantik tanpa perlu menonjolkan kecantikan mereka. Bagiku, mereka adalah inspirasi. Meski demikian, aku masih kok, mau usaha menyehatkan badan. Cuma, aku merasa nggak perlu laporan ke siapa-siapa buat pembuktian.

Lagipula, ini badanku. Kok kalian yang ribut?

R.

(Tulisan ini juga disertakan untuk Lomba Menulis Vemale.com dengan Tema: #MyBodyMyPride)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“PEREMPUAN YANG LEWAT DI DEPAN RUMAH”

“Perempuan yang Lewat di Depan Rumah”

Apa yang kalian pikirkan saat melihatku lewat di depan rumah kalian? Seorang perempuan yang terlihat amat sibuk, dengan pakaian yang terlihat meriah untuk tubuh besarnya dan tas yang tampak berat. Yang tampak dingin dan berjarak. Tidak ramah seperti beberapa tetangga perempuan lainnya di kompleks perumahan itu.

Aku juga terlalu sering terlihat dengan ponsel di tanganku. Bagimu mungkin aku terkesan sok sibuk dan sok penting, seperti tidak peduli dengan sekeliling. Selalu menunggu disapa dulu. Jarang meluangkan waktu dengan duduk dan mengobrol sebentar.

Aku memang belum lama pindah ke kompleks perumahan itu. Bukan maksudku menjaga jarak dan enggan bergabung dengan kalian, ibu-ibu dan bapak-bapak tetangga yang terhormat.

Aku sudah pernah mencobanya. Jujur, rasanya kurang nyaman. Obrolan kalian lebih banyak berupa gunjingan. Semua orang, mulai yang dikenal hingga tidak, kalian gosipkan. Ajaib mulut dan telinga belum panas hingga berasap.

Rasanya, setan-setan tengah menari kegirangan di udara, bukan kepalang. Tinggal tunggu waktu sebelum aku ikut jadi bahan gunjingan. Bukan tebakan asal maupun tuduhan.

Logikaku masih jalan.

Dan aku memang terbukti benar. Sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan kalian yang kelewat usil dan menghakimi sudah bisa kutebak. Memang pekerjaanku apa, sehingga selalu terlihat lewat di depan rumah kalian, bukannya di kantor dari pagi hingga petang? Mengapa di usiaku yang ke-35 masih belum menikah juga? Dimana keluargaku? Kalau masih ada, kenapa aku tidak tinggal dengan mereka?

Lalu, siapakah beberapa pria bule yang sesekali menjemput dan mengantarku pulang? Yang mana pacarku?

Apakah diam-diam aku ini simpanan seseorang? Begitulah gosip, spekulasi yang kemudian beredar tentangku. Tatapan penuh arti bercampur seringai sinis. Sindiran halus. Tidak peduli kubilang aku mengajar bahasa Indonesia dan Inggris. Tidak peduli saat kubilang semua pria itu hanya teman dan aku bukan ‘ayam’.

Ya, aku tidak marah. Tidak ada gunanya meladeni kalian yang kurang kerjaan, terutama yang hobi menggunjingkan perempuan ini yang sering lewat di depan rumah kalian…

R.

(Dibuat untuk Monday Flash Fiction dengan Prompt#130: “Perempuan yang Lewat di Depan Rumah”)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“SAAT HUJAN BAGAI PELURU…”

“Saat Hujan Bagai Peluru…”

Kadang tetes hujan melesat bagai peluru,

berkali-kali menghajar wajahku

Setidaknya, mereka tidak kejam menghunus

menembus hati yang sedang membiru

 

Lalu, ada saja duka lama

menggedor-gedor pintu

bagai candu yang menuntut lebih dari sebelumnya

membuatku lari bersembunyi

merebahkan diri di lantai

Ah, kukira sudah kutendang pergi

 

Itukah tawa Iblis?

Tak pernah kudengar dia begitu sinis

Aku tetap sendiri berjuang

menyuruh mereka diam

Diamlah!

Kepala ini sudah penat oleh masalah

hingga dingin kuacuhkan

meski hanya angin penawar dekapan…

 

Kata mereka, para malaikat turun bersama hujan

mendengarkan setiap doa,

yang mengirim mereka kembali pada Sang Maha Pencipta

Inginkah Dia agar aku melalui hal yang sama?

Baiklah

Tergantung Kebijakan-Nya

kapan ingin mengangkat semua luka…

 

R.

(Jakarta, 14 Oktober 2016 – 5:00)

 

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

#LILANNA (LILO + ALANNA)

#Lilanna (Lilo + Alanna)

Foto. Video. Ucapan sayang. Sapaan hangat penuh kasih. Pamer kemesraan sana-sini.

Pokoknya meyakinkan sekali. Buktinya? Banyak yang komen. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang suka, ada yang mencela.

Ada juga yang menghujat dengan sedemikian rupa. Kata mereka, kami perusak moral bangsa. Kami meracuni isi kepala anak-anak muda. Padahal, itu tanggung jawab mereka sebagai orang tua. ‘Kan mereka bisa mengajarkan anak-anak mereka tentang pilihan dan tanggung-jawab.

Malah kami yang (di)jadi(kan) kambing hitam. Huh, malas rasanya. Sepertinya mereka semua masih belum benar-benar dewasa. Semua serba dilarang. Dikit-dikit gampang tergoda.

“Alanna?” panggil Lilo. Aku melirik dan mendapati sosok jangkung, atletis, dan ganteng itu berlutut di sampingku. Berdua kami memandang salah satu foto kami di akun social media-ku.

Di sana, aku tampak sedang memejamkan mata sambil tersenyum. Ada wajah Lilo di leherku, sementara kedua lenganku yang bertato naga hitam raksasa melingkari lengannya. Aku hanya mengenakan bikini, sementara Lilo bertelanjang dada.

“Cukup meyakinkan, nggak?” tanyaku. Kalau melihat semua komen di bawah foto kami, aku sudah tahu jawabannya. Isinya beragam, mulai dari sekadar “aw co cwiiit” ala anak alay sampai makian dengan frase semacam “neraka jahanam”.

“Banget,” jawab Lilo datar. Mendadak ponsel kami berdua berdering. Di layarku ada nama Clarissa. Kulirik sekilas ponsel Lilo. Ada nama David di layarnya.

Kami menjawab ponsel kami berbarengan:

“Hi, baby.”

Yah, beginilah nasib anak tunggal di keluarga. Entah sampai kapan kami berdua harus terus bersandiwara…

R.

(Jakarta, 6 Oktober 2016 – ditulis untuk Tantangan Menulis Mingguan Klub Penulis Couchsurfing Jakarta di Anomali Coffee – Setiabudi One. Topik: “romansa media sosial/social media romance”.)

 

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

“IPF 2016: Harapan Perekonomian Bagi Indonesia dari Usaha Mutiara?”

Blogger Reporter Indonesia

“IPF 2016: Harapan Perekonomian Bagi Indonesia dari Usaha Mutiara?”

Untuk keenam kalinya, Indonesian Pearl Festival atau IPF, kembali diadakan. Kali ini, acara pembukaannya diadakan di Gedung Mina Bahari 3, Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, pada pukul sepuluh pagi. Acara ini diawali dengan pemutaran film dokumenter mengenai penambangan mutiara dari laut, sebelum melalui proses penyaringan hingga menjadi mutiara yang kita kenal.

Acara ini dihadiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Ibu Susi Pudjiastuti. Dalam acara berikut, beliau menyampaikan banyak hal, termasuk mengajak partisipasi masyarakat dalam memajukan usaha mutiara dan perikanan, baik air tawar maupun laut.

Bagaimana tidak? Menurut data terakhir saja, sekitar 70 persen perdagangan mutiara berasal dari Indonesia. Mutiara yang berasal dari negeri kita disebut juga dengan nama “Indonesian South Sea Pearl” (ISSP), yang artinya: “Mutiara Laut Selatan Indonesia”. Sayangnya, stempel pada mutiara tersebut langsung berubah begitu dibawa ke luar negeri. Akibatnya sudah bisa ditebak: selain tidak terlacak, bisa saja mutiara tersebut dijual kembali di negara kita dengan harga yang sangat mahal. Lagi-lagi kita kecolongan.

Namun, seiring perkembangan zaman, dunia semakin lebih peduli. Tidak hanya yang kita makan, asal-muasal suatu produk juga harus mendapatkan perhatian. Misalnya: orang akan enggan membeli ikan bila tahu ikan tersebut ditangkap dengan cara ilegal.

Begitu pula dengan mutiara. Masih menurut Ibu Susi, sudah saatnya bisnis perikanan dan mutiara lebih diekspos lagi agar lebih menarik perhatian dan minat para pembeli. Jangan lagi ada cara birokrat dalam bisnis perikanan dan mutiara yang justru malah menjadi penghambat kemajuan.

Dengan sosialisasi yang tepat dan keterlibatan penuh masyarakat dan pemerintah, maka usaha perikanan dan mutiara di Indonesia akan mengundang ketertarikan dunia, namun tanpa lagi ada acara kecolongan seperti yang sudah-sudah.

Akankah usaha mutiara dan perikanan di Indonesia menjadi harapan baru bagi perekonomian di negeri kita? Jangan hanya berharap dan menunggu hasilnya. Saatnya kita ikut terlibat secara penuh untuk memajukan bisnis ini, terutama karena negara kita adalah negara bahari.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“SI PATAH HATI DAN SI MATI RASA”

“SI PATAH HATI DAN SI MATI RASA”

Ada merah di matanya,

dengan marah bersemayam di sana

bercampur rindu dan rasa kalah

Mungkin hatinya sedang patah

 

“Apa kabar temanmu?”

Ah, dia gagal menyembunyikan sendu

Bahkan, sepertinya dia ingin aku tahu

meski saat itu aku lebih memilih membisu

 

Ada rindu dari tanya itu

Sayang, tiada solusi di benakku

Apalagi, aku sedang enggan berurusan dengan cinta

Takut kembali berakhir sepertinya:

lagi-lagi kecewa…

 

R.

(Jakarta, 13 September 2016)

 

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

“Insiden Telur”

“INSIDEN TELUR”

Waktu kecil, banyak kenakalan khas yang mungkin kamu pernah lakukan. Apalagi kalau kamu tumbuh di era 80-90an. Kayak cerpen atau film zaman dulu, daftar kenakalan khas anak-anak pasti seputar: mencuri mangga dari pohon tetangga, menjahili orang, hingga berantem for the sake of berantem. Udah, gitu aja.

Kalau aku? Hmm, aku sudah pernah cerita soal ini ke sahabatku dan acara radio lokal dulu. Waktu itu, sahabatku baru saja putus dan minta ditemani ke Bandung. Ceritaku ini sempat bikin dia ngakak habis-habisan.

Baguslah. Setidaknya, aku bisa bikin dia berhenti menangis.

Kalau acara radio lokal, sebenarnya waktu itu lagi super random. Di Twitter, mereka membuka sesi curhat dengan tema: “Kenakalan Masa Kecil”. Entah kenapa, ceritaku dianggap menarik. Aku ditelepon penyiarnya dan diminta untuk menceritakan versi lengkapnya…secara ON-AIR.

Seperti sahabatku, kedua penyiar radio pagi itu ngakak hebat. Penasaran? Giliran kalian yang memutuskan.

Kalau mau tahu kisah kenakalanku secara lengkap, silakan tanya Mama. Di sini, aku cuma mau cerita satu saja.

Ada masa di mana Mama enggan mengajakku ke toserba (toko serba ada, yang sekarang lebih terkenal dengan sebutan convenient store atau mini market. Entah kenapa.) Waktu itu, aku masih TK dan lagi senang-senangnya nonton film kartun. Gara-gara itulah insiden yang sama sempat berulang.

Sumpah, waktu itu aku nggak bermaksud menyusahkan. Aku hanya ingin melihat…anak ayam. Anak ayam, bebek, itik, dan…pokoknya semua unggas yang pastinya bertelur.

PRAK! PRAK!! CEPROT!!!

“RUBYYY!”

Wajah Mama merah-padam oleh geram. Anehnya, waktu itu aku malah cekikikan. Kedua tanganku sudah belepotan kuning telur mentah, sementara pecahan cangkangnya berserakan di lantai swalayan.

“Mau lihat anak ayam/bebek/itik…”

Hanya itu yang selalu jadi alasanku. Nggak kebayang Mama dulu harus membayar ratusan ribu, hanya untuk biaya ganti rugi pecahnya telur-telur itu. Aduh, bila mengingatnya sekarang, aku jadi malu. Ajaib Mama masih sabar punya anak badung sepertiku.

Pernah juga Nini (yang sekarang sudah almarhumah) mengajakku berbelanja. Pulang-pulang, beliau menenteng sekantung plastik…namun berisi telur-telur yang sudah pecah. Mama heran dan langsung bertanya:

“Ma, itu telur udah pada pecah kenapa dibeli?”

Dengan wajah datar, Nini waktu itu hanya menudingku yang – entah kenapa – masih juga berani cekikikan.

“Tanya anakmu.”

Ups.

Kalau sekarang, kami sudah bisa menertawakan ‘insiden telur’ tersebut. Tapi, diam-diam aku khawatir juga.

Duh, nanti kalau sudah punya anak sendiri, bakal kayak begini juga nggak, ya? Kualat, deh!

R.

(Jakarta, 9 September 2016 – ditulis saat Pertemuan Mingguan Klub Menulis Couchsurfing Jakarta, Slipi – Petamburan)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“RUMAH DI UJUNG JALAN”

“RUMAH DI UJUNG JALAN”

Sekilas, rumah berlantai tiga di ujung jalan itu tampak suram. Tapi, kamu akan berubah pikiran bila melihat para penghuninya.

Satu keluarga tinggal di dalamnya. Ada suami, istri, dan kedua anak mereka. Pasangan itu masih tampak muda untuk ukuran orang tua dari dua anak yang sudah masuk sekolah dasar.

Sang suami, Adrian, adalah seorang jaksa penuntut yang sudah berhasil memenjarakan banyak pelaku kriminal. Dia laki-laki tampan berwajah ramah, dengan kerut samar yang muncul setiap dia tersenyum. Istrinya, Cara, adalah seorang ibu rumah-tangga sekaligus konsultan hortikultura dari rumah. Cantik, cerdas, dan kelihatan rajin merawat diri. Tipikal soccer mom. Rajin mengantar-jemput kedua anak mereka yang masih sekolah. Menyetir Pontiac Fiero tua yang masih bagus kondisinya, entah keluaran tahun berapa.

Kedua anak mereka ternyata kembar berusia delapan tahun. Yang laki-laki bernama Bryan dan yang perempuan Beth, mungkin panggilan dari ‘Bethany’ atau ‘Elizabeth’. Keduanya juga manis, baik dan ramah, meski Bryan lebih pendiam. Beth-lah yang rajin menyapaku setiap kali berpapasan.

“Hi, Mr. Franks.”

            Siang itu, kedua anak itu saling bergandengan saat masuk ke dalam rumah. Kuperhatikan mereka, sebelum masuk ke dalam rumah sewaku sendiri di seberang. Ada yang harus kuselesaikan…

—***—

“Jangan lupa. Tepat tengah malam.”

            Kubaca lagi SMS dari klienku dengan enggan. Lewat jendela, kuperhatikan rumah itu di ujung jalan. Tampak sepi dan tenang. Semua penghuninya pasti sudah terlelap.

Kulirik senapan otomatisku dan menghela napas. Mungkin kamu akan heran, kenapa baru kali ini rasanya berat menjalankan tugasku.

Untuk pertama kalinya, aku diminta ‘menangani’ satu keluarga, termasuk perempuan dan anak-anak. Salahku, yang kali ini membiarkan diriku terlalu dekat dengan targetku sendiri…

(Untuk Tantangan Mingguan “Monday Flash Fiction” dengan Prompt#125: “Rumah di Ujung Jalan”)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“1 SEPTEMBER 2016”

“1 SEPTEMBER 2016”

Kau mencari yang dulu kau tinggal

Untuk apa?

Semoga kali ini kau terpental

menjauh untuk selamanya

 

Kau mencari yang dulu kau tinggal

seperti bocah mencari mainan lama

enggan menerima kenyataan karena bebal

Kau pikir kau istimewa

 

Percayalah, kau tak ingin memulainya lagi

Lebih baik kau pergi

Tinggalkan dia sendiri

Jangan bakar hatinya dengan memori dan rasa benci

 

Masih terus mencari?

Selamat berusaha

Semoga kau takkan pernah menemukan apa-apa

alias buang-buang waktu dan tenagamu saja…

 

R.

(Jakarta, 3 September 2016 – 18:30)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“DI MATAMU”

“DI MATAMU”

Di mataku, kamu sosok yang membingungkan. Ada kalanya kamu membuatku lelah, namun aku belum ingin menyerah.

Ada kalanya, kamu tersenyum ramah padaku, sama seperti pada semua orang. Bagiku, dunia menjadi lebih cerah berkat senyummu yang merekah. Tapi…ah, dasar sial. Aku takut kamu menganggapku gombal.

Siapa yang telah menyebabkanmu berpikir demikian? Mengapa sepertinya sulit bagimu untuk percaya akan tulusnya pujian?

Sesekali sorot matamu masih tampak jauh. Ada kalanya, kamu gagal menyembunyikan luka. Jika sedang begitu, senyummu berubah kaku.

Ada amarah dan pedih yang beku di matamu. Setiap ditanya, kamu hanya mengangkat bahu. Kadang kamu menggeleng dan menjawab: “Nggak apa-apa.”

Kusadari juga sikap beberapa temanmu. Ada yang bermata elang, menatapku curiga. Gerak-gerikku diawasi dengan sedemikian rupa, terutama saat berada terlalu dekat denganmu.

Mereka berusaha menjagamu, entah kenapa. Padahal, kuyakin kamu tidak serapuh itu.

“Sekalinya lengah, perempuan selalu lebih mudah dipermainkan,” ucapmu geram. “Begitu kalah, tetap perempuan yang akan selalu disalahkan!”

            Ah, pedihnya nada suaramu. Mungkin karena itulah, malam itu kamu begitu murka. Selepas acara pembacaan puisi dan cerpen yang kita ikuti setiap minggu, acara kumpul bersama berakhir bencana.

Aku menyesal. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin menciummu saat kita berdua sedang di dapur. Sentimental ala film Hollywood. Kamu langsung sadar dan mendorongku.

“Mundur.” Astaga, suaramu sedingin es. Tanpa menunggu responku yang sedang shock, kamu langsung kabur. Meninggalkan acara begitu saja, tak peduli panggilan dari teman-temanmu:

“Lho, Bri?? Kok pergi??”

— *** —

Kamu benar-benar marah. Tidak satu pun telepon dariku yang kamu jawab. Pesan WA dariku juga tidak kamu balas.

Kamu juga menolak duduk dekat denganku setiap acara mingguan itu. Kamu enggan menatapku. Bila terpaksa, kamu seperti menatap mahluk paling hina di matamu. Jujur, aku tidak tahan dianggap begitu. Sama tidak tahannya dengan mendengarmu berdebat dengan teman-temanmu sendiri soal aku. Suaramu meninggi, sarat oleh emosi:

“Okay, fine! Gue yang parno dan lebay kalo gitu, ya?”

            Aku harus tahu dari teman-temanmu mengenai yang pernah terjadi. Dari mereka, kutahu soal laki-laki itu. Sosok di masa lalu yang pernah menyakitimu.

Meski berhasil menciummu, setidaknya kamu takkan sudi membiarkannya memaksamu untuk melakukan yang lebih dari itu. Ini bukan masalah moral bagimu. Dia meminta terlalu banyak. Kamu sudah menetapkan pilihan dan laki-laki itu sama sekali tidak menghargaimu.

Rasa kagum sekaligus sedihku bertambah untukmu. Kagum, karena dengan tegas dan berani kamu menampik laki-laki sialan itu. Kamu bahkan tidak takut ditinggal pergi.

Sedih, karena kamu jadi takut bahwa laki-laki hanya mengincar tubuhmu. Aku tidak begitu…

— *** —

Kamu menerima buket mawar putih dan boneka beruang besar berwarna cokelat muda di depan pintu rumahmu. Ada amplop tersemat di antara tangan boneka. Kamu duduk di beranda depan dan membukanya. Suratku kamu baca.

Lalu, kamu hanya memeluk boneka itu. Ada tetes-tetes air dari matamu.

Diam-diam kuamati dirimu dari salah satu mobil yang diparkir di depan rumahmu. Kulirik kotak kecil dari beludru biru di tanganku.

Cincin ini bisa menunggu. Saat ini, aku hanya butuh kamu menerima maaf dariku. Aku akan sabar menunggu, hingga saat kamu bisa melihatku seperti ini di matamu:

Briana, aku bukan laki-laki itu. Aku bukan sosok yang mau menyakitimu…

            R.

            (Untuk tantangan menulis mingguan “Monday Flash Fiction” dengan prompt #124: “Di Matamu”.)