Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“Selepas Satu Malam Itu…”

“Selepas Satu Malam Itu…”

Bertemu denganmu adalah kesialan. Mengenalmu adalah kesalahan.

Bersamamu setara dengan kegilaan…meski sesaat.

Ya, mereka semua akan bilang aku melakukan kesalahan saat denganmu. Aku yang kata mereka sedang rapuh setelah patah hati terakhirku, sehingga tidak lagi mampu berpikir jernih. Kamu yang…ah, harus kusebut apa, ya? Bajingan? Tukang cari mangsa berupa mereka yang berjenis kelamin perempuan?

Pencari selingan? Ah, untungnya jadi kau, wahai laki-laki yang menganggapku menawan. Yang malam itu cukup lancang untuk menciumku, bahkan saat kencan pertama.

Yang langsung mengajakku ke kamar selepas makan malam, saat itu juga. Yang memberi saran konyol berupa role-playing:

            “Kita bisa jadi siapa pun yang kita inginkan malam ini.”

            Aku tersenyum. Ya, malam itu kuikuti saja permainanmu. Kita bisa jadi dua jiwa kesepian yang mencari pelampiasan. Persetan dengan moral! Aku muak terkungkung olehnya, sementara kalian para laki-laki bebas ke mana-mana dan “ngapain aja” – bahkan sama “siapa saja”.

            Mungkin, bagimu semua ini sama saja. Hanya rutinitas pengusir kebosanan sang petualang.

Lalu, bagaimana denganku?

Ah, entahlah. Sudahlah, aku tidak peduli lagi. Yang kutahu, kamu sangat tipikal. Kuyakin banyak sekali laki-laki sepertimu di luar sana. Ya, meskipun lagi-lagi mereka akan memberikan argumen basi yang sama, hanya agar aku tidak terlalu kecewa dan memandang suram pada cinta serta seluruh dunia:

“Tidak semua laki-laki…”

            Heh, mungkin benar. Tidak semua, tapi banyak, ‘kan? Seperti kamu contohnya. Bebas, tidak pedulian. Kamu ingin melakukan semuanya tanpa aturan maupun pengamanan. Sangat tipikal.

Setidaknya, kamu tidak pernah berpura-pura baik dan bermartabat, seperti mereka yang selalu berharap pada perawan di pelaminan, sementara mereka sendiri boleh suka-suka.

Pagi itu, kamu masih terlelap di ranjang kamar hotelmu. Semalam kamu bilang bahwa kamu terbiasa bangun siang, paling sekitar jam dua.

Cepat-cepat aku berpakaian. Lalu aku diam-diam keluar dari kamarmu dan kabur lewat tangga darurat gedung itu. Tidak ada ciuman, berbeda dengan semalam.

Tidak ada ucapan selamat tinggal. Tidak perlu, karena kita berdua sama-sama tahu. Kita tidak akan bertemu lagi setelah malam itu. Mungkin kamu akan meneleponku. Mungkin aku yang tidak mau. Tidak ada untungnya bagiku.

Hanya satu yang mungkin belum kamu tahu…atau bahkan tidak akan peduli. Malam itu, aku memberimu hadiah dari mantan suamiku. Mungkin diam-diam kamu juga sudah punya atau barangkali ada juga yang lainnya.

Tidak masalah. Kita bisa saling bertukar racun, saling membunuh dalam diam. Tidak perlu bilang-bilang. Toh, malam itu kita juga sama-sama senang.

Selamat menikmati hadiah terkutuk dari mantan suamiku, yang pernah dia dapatkan juga entah dari siapa di luar sana. Yang kini dan selamanya bersemayam dalam tubuhku, membunuh janin yang pernah kami ciptakan berdua.

Hadiah yang tak pernah kuminta itulah bentuk penghargaannya…untuk seorang istri yang selama ini setia, penurut, dan lebih banyak diam di rumah saja…

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“SELEPAS BADAI PELURU…”

“Selepas Badai Peluru…”

Maafkan aku, Papa. Aku tidak bermaksud membuatmu kecewa.

Sudah lama aku terluka. Sejak Mama meninggal dan Papa semakin sibuk di kepolisian. Aku mengerti Papa sedih.

Tapi, sejak itu pula, kita tidak lagi banyak bicara. Memang, kita masih sesekali pergi berburu saat akhir pekan, kadang dengan Uncle Matt. Mama dulu suka protes dengan kegiatan kita.

“Frank, please. Freya bukan anak laki-laki.”

“Rhea, biarkan saja. Dia suka ikut berburu denganku.”

Mungkin yang ditakutkan Mama benar-benar terjadi. Aku tumbuh menjadi putri yang tomboy. Bahkan, saat beliau meninggal karena kecelakaan pun, aku berusaha tidak menangis di depan semua orang.

Tidak sepertimu, Papa. Namun, kali ini Papa menangis untuk alasan berbeda.

“Tolong, jangan bilang ini bukan ulah anakku. Bukan anakku, ‘kan?” Mata Papa merah, bengkak, dan basah saat melihatku dengan sorot pilu. Lalu, Papa menunjukku sambil berpaling, seakan jijik denganku. “Tolong, jangan bilang itu anakku.”

Papa? Hatiku sakit. Jauh lebih sakit daripada semua hinaan mereka di sekolah itu.

“Freya, kamu aneh. Freak banget!”

“Gembrot makan tempat.”

“Dasar pecundang!”

“Heh, Muka Jelek. Kenapa nggak mati aja, sih?”

Entah apa salahku, Papa. Aku hanya tidak mau diganggu. Papa pernah bilang, diamkan saja mereka. Sudah, namun mereka tidak mau berhenti. Aku juga sudah bercerita pada Mr.Brown, guru pembimbing sekolah.

Reaksi beliau juga sama saja, ditambah satu komentar menyakitkan: aku terlalu perasa. Mereka yang brengsek, aku yang salah karena marah? Beliau makan gaji buta, ya?

Oh, Papa. Berhentilah menatapku seperti itu. Berhentilah bertanya: “Kenapa, Freya?”

Kenapa? Kenapa??

Maaf, Papa. Aku sudah lelah. Aku muak dengan mereka semua. Mereka tidak mau diam. Padahal, aku tidak pernah mencari gara-gara.

Seharusnya Papa tidak lupa mengunci lemari senjata dan kotak pelurunya.

Maafkan aku, Papa. Aku harus melakukannya.

Hanya peluru yang akhirnya bisa mendiamkan mereka semua…

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“PRIA PENUNGGU PANTAI”

“Pria Penunggu Pantai”

Selama beberapa hari di pantai itu, dia selalu di sana. Duduk di atas bukit berumput, memandangi lautan lepas. Tinggi dan tegap, tampak atletis dengan kaos putih dan celana kargo abu-abu tuanya.

Sebenarnya dia bukan tipeku, meski mungkin banyak wanita lain yang akan terpikat sosoknya. Wajah persegi, kulit coklat sempurna, alis tebal, hidung bangir, dan mata besar yang menyorot tajam bak elang.

Oke, dia lumayan tampan. Hari ketiga liburanku di sana, akhirnya tergoda juga aku. Bukan mendekatinya, meski memang aku naik ke bukit yang sama. Dudukku agak menjauh, sambil mengeluarkan buku sketsa dan peralatan gambarku dari dalam tas kanvas. Tak lama kemudian, aku memulai pada selembar halaman baru.

Tentu saja, karena bukitnya sepi, aku cepat ketahuan. Pria itu menoleh dan langsung tersenyum melihat yang sedang kulakukan. Malah aku yang salah tingkah.

“Lagi gambar apa?”

Kutunjukkan saja, meski malu-malu.

“Bagus,” pujinya tulus, meski yang terlihat di halaman itu baru garis dahi, hidung, bibir, dan dagunya. Aku senang sekali. “Terusin, dong.”

Aku menurut. Tidak butuh waktu lama sebelum kuperlihatkan lagi hasil akhir sketsa wajahnya. Pria itu tampak terkesan.

“Aku tersanjung,” ujarnya. “Terima kasih, ya.”

“Buatmu?” kutawarkan. Aku bahkan membubuhkan namaku pada bagian kanan bawah halaman: Artemia. Namun, pria itu menggeleng.

“Buatmu saja.” Saat membaca namaku, dia tampak kagum. “Namamu unik. Beda sama namaku.”

“Memang namamu siapa?”

“Raka.”

“Oke, Raka.” Kulihat sunset pertanda matahari sudah siap undur diri dari langit negeri ini. “Panggil saja aku Mia. Aku pulang dulu.”

“Hati-hati ya, Mia.”

Oke.” Baru saja aku berjalan beberapa langkah, ketika mendadak teringat ingin menanyakan sesuatu. Sayang, saat menoleh, Raka sudah tidak ada di tempat. Cepat sekali perginya.

Ah, sudahlah. Besok mungkin masih bisa ketemu lagi…

—//—

Aku memang masih sempat melihat Raka beberapa hari berikutnya, meski hanya saling melambai dari jauh. Sebenarnya ingin mengobrol dengannya lebih jauh, namun entah kenapa kuurungkan. Sepertinya dia tidak ingin diganggu dan aku juga bukan wanita yang mudah mendekati pria.

Hingga sore itu…

Baru saja aku melambai dan tersenyum pada Raka, ketika tiba-tiba terdengar jeritan ngeri dari pantai. Aku berbalik. Rasa ingin tahuku membuatku menghampiri kerumunan orang di sana. Mereka tengah mengelilingi sesuatu.

Dan aku pun melihatnya. Sesosok jenazah tenggelam yang terseret arus hingga ke pantai. Tubuhnya sudah sedikit biru dan bengkak, dengan kaos putih yang sudah kotor tercampur pasir.

Wajahnya…

Kupeluk tas kanvas isi buku sketsaku dengan jantung berdebar-debar. Kuarahkan kembali pandanganku pada puncak bukit, tempat Raka tadi berada.

Dia telah hilang. Pria penunggu pantai itu tidak lagi berada di sana…

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“PEREMPUAN YANG LEWAT DI DEPAN RUMAH”

“Perempuan yang Lewat di Depan Rumah”

Apa yang kalian pikirkan saat melihatku lewat di depan rumah kalian? Seorang perempuan yang terlihat amat sibuk, dengan pakaian yang terlihat meriah untuk tubuh besarnya dan tas yang tampak berat. Yang tampak dingin dan berjarak. Tidak ramah seperti beberapa tetangga perempuan lainnya di kompleks perumahan itu.

Aku juga terlalu sering terlihat dengan ponsel di tanganku. Bagimu mungkin aku terkesan sok sibuk dan sok penting, seperti tidak peduli dengan sekeliling. Selalu menunggu disapa dulu. Jarang meluangkan waktu dengan duduk dan mengobrol sebentar.

Aku memang belum lama pindah ke kompleks perumahan itu. Bukan maksudku menjaga jarak dan enggan bergabung dengan kalian, ibu-ibu dan bapak-bapak tetangga yang terhormat.

Aku sudah pernah mencobanya. Jujur, rasanya kurang nyaman. Obrolan kalian lebih banyak berupa gunjingan. Semua orang, mulai yang dikenal hingga tidak, kalian gosipkan. Ajaib mulut dan telinga belum panas hingga berasap.

Rasanya, setan-setan tengah menari kegirangan di udara, bukan kepalang. Tinggal tunggu waktu sebelum aku ikut jadi bahan gunjingan. Bukan tebakan asal maupun tuduhan.

Logikaku masih jalan.

Dan aku memang terbukti benar. Sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan kalian yang kelewat usil dan menghakimi sudah bisa kutebak. Memang pekerjaanku apa, sehingga selalu terlihat lewat di depan rumah kalian, bukannya di kantor dari pagi hingga petang? Mengapa di usiaku yang ke-35 masih belum menikah juga? Dimana keluargaku? Kalau masih ada, kenapa aku tidak tinggal dengan mereka?

Lalu, siapakah beberapa pria bule yang sesekali menjemput dan mengantarku pulang? Yang mana pacarku?

Apakah diam-diam aku ini simpanan seseorang? Begitulah gosip, spekulasi yang kemudian beredar tentangku. Tatapan penuh arti bercampur seringai sinis. Sindiran halus. Tidak peduli kubilang aku mengajar bahasa Indonesia dan Inggris. Tidak peduli saat kubilang semua pria itu hanya teman dan aku bukan ‘ayam’.

Ya, aku tidak marah. Tidak ada gunanya meladeni kalian yang kurang kerjaan, terutama yang hobi menggunjingkan perempuan ini yang sering lewat di depan rumah kalian…

R.

(Dibuat untuk Monday Flash Fiction dengan Prompt#130: “Perempuan yang Lewat di Depan Rumah”)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“RUMAH DI UJUNG JALAN”

“RUMAH DI UJUNG JALAN”

Sekilas, rumah berlantai tiga di ujung jalan itu tampak suram. Tapi, kamu akan berubah pikiran bila melihat para penghuninya.

Satu keluarga tinggal di dalamnya. Ada suami, istri, dan kedua anak mereka. Pasangan itu masih tampak muda untuk ukuran orang tua dari dua anak yang sudah masuk sekolah dasar.

Sang suami, Adrian, adalah seorang jaksa penuntut yang sudah berhasil memenjarakan banyak pelaku kriminal. Dia laki-laki tampan berwajah ramah, dengan kerut samar yang muncul setiap dia tersenyum. Istrinya, Cara, adalah seorang ibu rumah-tangga sekaligus konsultan hortikultura dari rumah. Cantik, cerdas, dan kelihatan rajin merawat diri. Tipikal soccer mom. Rajin mengantar-jemput kedua anak mereka yang masih sekolah. Menyetir Pontiac Fiero tua yang masih bagus kondisinya, entah keluaran tahun berapa.

Kedua anak mereka ternyata kembar berusia delapan tahun. Yang laki-laki bernama Bryan dan yang perempuan Beth, mungkin panggilan dari ‘Bethany’ atau ‘Elizabeth’. Keduanya juga manis, baik dan ramah, meski Bryan lebih pendiam. Beth-lah yang rajin menyapaku setiap kali berpapasan.

“Hi, Mr. Franks.”

            Siang itu, kedua anak itu saling bergandengan saat masuk ke dalam rumah. Kuperhatikan mereka, sebelum masuk ke dalam rumah sewaku sendiri di seberang. Ada yang harus kuselesaikan…

—***—

“Jangan lupa. Tepat tengah malam.”

            Kubaca lagi SMS dari klienku dengan enggan. Lewat jendela, kuperhatikan rumah itu di ujung jalan. Tampak sepi dan tenang. Semua penghuninya pasti sudah terlelap.

Kulirik senapan otomatisku dan menghela napas. Mungkin kamu akan heran, kenapa baru kali ini rasanya berat menjalankan tugasku.

Untuk pertama kalinya, aku diminta ‘menangani’ satu keluarga, termasuk perempuan dan anak-anak. Salahku, yang kali ini membiarkan diriku terlalu dekat dengan targetku sendiri…

(Untuk Tantangan Mingguan “Monday Flash Fiction” dengan Prompt#125: “Rumah di Ujung Jalan”)

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“DI MATAMU”

“DI MATAMU”

Di mataku, kamu sosok yang membingungkan. Ada kalanya kamu membuatku lelah, namun aku belum ingin menyerah.

Ada kalanya, kamu tersenyum ramah padaku, sama seperti pada semua orang. Bagiku, dunia menjadi lebih cerah berkat senyummu yang merekah. Tapi…ah, dasar sial. Aku takut kamu menganggapku gombal.

Siapa yang telah menyebabkanmu berpikir demikian? Mengapa sepertinya sulit bagimu untuk percaya akan tulusnya pujian?

Sesekali sorot matamu masih tampak jauh. Ada kalanya, kamu gagal menyembunyikan luka. Jika sedang begitu, senyummu berubah kaku.

Ada amarah dan pedih yang beku di matamu. Setiap ditanya, kamu hanya mengangkat bahu. Kadang kamu menggeleng dan menjawab: “Nggak apa-apa.”

Kusadari juga sikap beberapa temanmu. Ada yang bermata elang, menatapku curiga. Gerak-gerikku diawasi dengan sedemikian rupa, terutama saat berada terlalu dekat denganmu.

Mereka berusaha menjagamu, entah kenapa. Padahal, kuyakin kamu tidak serapuh itu.

“Sekalinya lengah, perempuan selalu lebih mudah dipermainkan,” ucapmu geram. “Begitu kalah, tetap perempuan yang akan selalu disalahkan!”

            Ah, pedihnya nada suaramu. Mungkin karena itulah, malam itu kamu begitu murka. Selepas acara pembacaan puisi dan cerpen yang kita ikuti setiap minggu, acara kumpul bersama berakhir bencana.

Aku menyesal. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin menciummu saat kita berdua sedang di dapur. Sentimental ala film Hollywood. Kamu langsung sadar dan mendorongku.

“Mundur.” Astaga, suaramu sedingin es. Tanpa menunggu responku yang sedang shock, kamu langsung kabur. Meninggalkan acara begitu saja, tak peduli panggilan dari teman-temanmu:

“Lho, Bri?? Kok pergi??”

— *** —

Kamu benar-benar marah. Tidak satu pun telepon dariku yang kamu jawab. Pesan WA dariku juga tidak kamu balas.

Kamu juga menolak duduk dekat denganku setiap acara mingguan itu. Kamu enggan menatapku. Bila terpaksa, kamu seperti menatap mahluk paling hina di matamu. Jujur, aku tidak tahan dianggap begitu. Sama tidak tahannya dengan mendengarmu berdebat dengan teman-temanmu sendiri soal aku. Suaramu meninggi, sarat oleh emosi:

“Okay, fine! Gue yang parno dan lebay kalo gitu, ya?”

            Aku harus tahu dari teman-temanmu mengenai yang pernah terjadi. Dari mereka, kutahu soal laki-laki itu. Sosok di masa lalu yang pernah menyakitimu.

Meski berhasil menciummu, setidaknya kamu takkan sudi membiarkannya memaksamu untuk melakukan yang lebih dari itu. Ini bukan masalah moral bagimu. Dia meminta terlalu banyak. Kamu sudah menetapkan pilihan dan laki-laki itu sama sekali tidak menghargaimu.

Rasa kagum sekaligus sedihku bertambah untukmu. Kagum, karena dengan tegas dan berani kamu menampik laki-laki sialan itu. Kamu bahkan tidak takut ditinggal pergi.

Sedih, karena kamu jadi takut bahwa laki-laki hanya mengincar tubuhmu. Aku tidak begitu…

— *** —

Kamu menerima buket mawar putih dan boneka beruang besar berwarna cokelat muda di depan pintu rumahmu. Ada amplop tersemat di antara tangan boneka. Kamu duduk di beranda depan dan membukanya. Suratku kamu baca.

Lalu, kamu hanya memeluk boneka itu. Ada tetes-tetes air dari matamu.

Diam-diam kuamati dirimu dari salah satu mobil yang diparkir di depan rumahmu. Kulirik kotak kecil dari beludru biru di tanganku.

Cincin ini bisa menunggu. Saat ini, aku hanya butuh kamu menerima maaf dariku. Aku akan sabar menunggu, hingga saat kamu bisa melihatku seperti ini di matamu:

Briana, aku bukan laki-laki itu. Aku bukan sosok yang mau menyakitimu…

            R.

            (Untuk tantangan menulis mingguan “Monday Flash Fiction” dengan prompt #124: “Di Matamu”.)

 

Categories
#fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“KUTU-KUTU HENDAK MENJADI KUPU-KUPU”

“KUTU-KUTU HENDAK MENJADI KUPU-KUPU”

Aku tahu yang kau pikirkan saat melihatku. Ada kilatan dingin di mata itu. Aku cukup membacanya dari ekspresi gelimu.

Kamu merendahkanku. Bagimu, aku hanyalah satu dari kutu-kutu. Kamu yang kupu-kupu. Aku sedang mencoba menjadi sepertimu: satu dari kutu-kutu yang ingin menjadi kupu-kupu.

“Elo ke sini sama siapa?” tanyamu siang itu, yang rasanya seperti basa-basi palsu. Senyummu juga begitu. Aku sudah tahu.

“Sendirian,” jawabku jujur. Rasanya, aku tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa pun, bahkan kamu yang siang itu tampak ramping dan gaya dengan gaun rancangan desainer terkenal. Aku hanya datang untuk memenuhi undangan seorang teman. Makan siang di restoran favoritnya bersama teman-teman kami…dan pasangan mereka bila ada yang punya.

“Oh.” Wajahmu tampak kaget. Perhatianmu terarah pada sekumpulan lelaki bule yang semeja dengan kita. “Kirain kamu datang dengan salah satu dari mereka.”

Kamu menganggukkan kepala ke arah Ant dan Paddy, kedua temanku. Ant sudah beruban, sementara Paddy gondrong dan brewokan dengan rambut coklat. Selain aku, keduanya juga datang tanpa pasangan.

Aku menggeleng. Natalia, teman baru di sampingku yang siang itu datang dengan Cole, pacarnya, tampak jengah. Kuduga perasaannya sama denganku akan hadirmu di hadapan kami. Apalagi begitu kamu kembali menatap kami berdua, kali ini dengan pandangan menilai yang sudah kentara sekali. Entah kenapa.

“Kamu sekantor juga sama mereka, kayak Vanya sama suaminya?” tanyamu lagi, meski entah hanya padaku atau juga Natalia. Begitu aku kembali mengangguk sambil tersenyum sopan, kamu melanjutkan: “Jadi sekretaris juga, kayak Vanya? Atau staf admin?”

Sekarang aku ingin tertawa. Bukannya mau merendahkan profesi tersebut, seperti yang sayangnya masih dilakukan banyak orang. Nada bicaramu juga menyiratkan demikian. Ibuku pensiunan sekretaris korporat dan beliau sosok luar biasa.

“Bukan, Maura.” Sekali lagi aku menggeleng, masih dengan kesopanan yang sama. “Aku pengajar juga. Natalia juga, cuma dia beda sekolah.”

“Kamu ngajar juga??” Aduh, wajahnya nggak usah kaget banget gitu deh, Mbak! pikirku, tambah geli sekaligus sedikit keki. Kamu bahkan juga bingung saat menatap Natalia. “Kamu juga?”

“Iya,” jawab Natalia halus. Akhirnya, kamu mati gaya juga. Sempat kamu bercerita cukup banyak – dengan mata berbinar-binar bangga – bahwa kamu baru datang dari New York ke Jakarta dengan suami bulemu, Sal. Kamu ingin berbisnis franchise tempat kursus dan sedang berusaha mencari tahu. Pertanyaan terakhirmu adalah:

“Kamu tahu nggak, gimana caranya?”

Lagi-lagi, aku dan Natalia sama-sama menggeleng. Akhirnya kamu menyerah. Kamu meninggalkan kami dan bergabung dengan para lelaki bule yang merokok, termasuk Sal, suamimu. Kulihat kamu hanya menggelendot manja pada lelaki bule bermata sayu dan berhidung mancung. Kamu juga ikut merokok.

Natalia dan aku saling berpandangan dengan geli, sebelum kembali mengobrol. Sesekali kuperhatikan pantulan diriku sendiri di cermin.

Hanya seorang gadis gemuk dengan wajah tanpa make-up dan pakaian semi-casual: jeans dan kaos. Tidak seperti perempuan lainnya siang itu di meja yang sama, tapi aku bukan kepompong…apalagi kutu.

Kupu-kupu? Ah, tak perlu. Bukan aku yang putus-asa ingin menjadi kupu-kupu. Aku tahu, aku lebih baik dari itu…

R.

(Prompt#121: “Kutu-kutu yang Hendak Menjadi Kupu-kupu” – Monday Flash-fiction)