Tentang Diam yang Mencelakakan:
Sejak kecil, ada satu hal yang takkan kusetujui dari Mama. Mohon tidak langsung menyederhanakan hal ini sebagai perilaku anak durhaka. Silakan baca dulu sampai selesai.
Aku paham, Mama dibesarkan sebagai anak perempuan yang (diharapkan selalu) penurut, tidak cari masalah, dan sebisa mungkin menjaga hubungan baik dengan orang lain. Gak ada yang salah dengan ini, kok. Menjaga perdamaian itu bagus.
Namun, ada kalanya kita perlu – dan bahkan wajib – bicara. Ada saatnya diam itu bukan emas. Malah, ada diam yang sebenarnya mencelakakan …
“Kamu Gak Boleh Marah!”
Gak ada manusia waras mana pun yang ingin dan suka marah, apalagi mudah dan terus-terusan. Aku juga tahu itu. Bersabar itu baik.
Namun, ada kalanya kita wajib bicara. Ada saatnya kita berhak marah, terutama bila kita sudah terlalu sering disakiti. Hak-hak kita terus-terusan dilanggar. Ini tidak sama dengan membalas dendam lho, ya.
Sabar juga tidak sama dengan diam saja dan tidak melawan. Sabar bukan berarti membiarkan ketidakadilan dan penyelewengan. Memang sih, Tuhan Maha Adil dan akan membalas perbuatan jahat yang menurut-Nya pantas dibalas. Tapi, Tuhan ‘kan, juga ingin melihat usaha kita dulu. Jangan apa-apa lantas menunggu Dia terus.
Kepedulian di Balik Kemarahan
Mengapa amarah itu harus selalu dipandang sebagai sesuatu yang buruk? Kalo marah-marahnya gak jelas atau karena hal sepele, apalagi sampai terus-terusan, memang gak baik. Mudah marah itu juga bukan pertanda sehat. Coba cek dulu tekanan darahmu bila kamu punya kebiasaan ini. Jangan-jangan hipertensi.
Namun, amarah juga bisa berupa tanda kepedulian. Coba bayangin, kalo seumur hidup kamu gak pernah merasakan ditegur, padahal jelas-jelas perbuatanmu salah. Bisa-bisa kamu menjadi pribadi yang narsisistik. Gak pernah merasa dan sudi mengaku salah. Selalu mencari-cari alasan, pembenaran, dan bahkan kambing hitam.
Yang paling parah, kamu jadi hobi bermain sebagai ‘si paling tersakiti, korban sejuta tuduhan’.
Bersyukurlah bila ada yang menegurmu saat berbuat salah atau melanggar hak-hak orang lain, baik sengaja maupun tidak. Jangan lantas merengek, terus bawa-bawa alasan basi macam “manusia gak ada yang sempurna”. Justru karena gak sempurna, sesama manusia harus saling mengingatkan. Ya, biar brengsek-mu gak kebangetan, apalagi sampai keterusan!
Kalo udah diingatkan berkali-kali tapi gak juga ada perubahan? Ya, berarti mereka memang pribadi yang bermasalah. Jangan merasa percuma. Yang penting ‘kan, kita gak diam dan membiarkan. Kita udah berusaha mengingatkan dan menegur sekalian.
Agar Tidak (Mudah) Disepelekan
“Elo terlalu baik, sih … “
Ada nada menghina dan merendahkan yang kerap terdengar dari ucapan di atas. Memangnya ada yang salah dengan berbuat baik? Tentu tidak. Yang salah adalah mereka yang tidak menghargai kebaikan orang dan malah cenderung menyepelekan. Yang salah juga mereka yang memilih diam saja saat terjadinya ketidakadilan dan penyelewengan di depan mata dengan alasan “ogah cari drama” atau “malas ribut”.
Dengan kata lain, kita hanya mau cari aman untuk diri sendiri. Kesulitan orang lain yang disebabkan penindasan sama sekali bukan urusan/masalah kita. Sebodo amat!
Diam seperti itulah yang mencelakakan. Gak perlu nunggu jadi korban dulu, sih. Sebagai korban, diammu malah membuatmu semakin disepelekan orang. Kamu takut melawan atau gak berani protes, makanya dianggap gampangan.
Sebagai saksi, diammu bikin kamu jadi manusia egois dan gak berguna, kecuali buat dirimu sendiri. Kamu hanya mau cari aman, padahal bisa saja mereka berharap bantuan darimu – terutama saat mereka terlalu lemah untuk membela diri sendiri.
Mungkin inilah penyebab aku sudah malas cerita apa-apa lagi pada Mama, terutama soal alasan aku marah. Beliau tidak akan mengerti dan aku tak bisa memaksa beliau untuk mengerti.
Mulai sekarang, aku hanya cukup membela diri sendiri …
R.