Categories
#catatan-harian #lomba #menulis #tips

Bekerja Fulltime Sekaligus Freelance? Ini 7 Tips Untukmu, Seperti #MoneySmartMenginspirasi

Bekerja Fulltime Sekaligus Freelance? Ini 7 Tips Untukmu, Seperti #MoneySmartMenginspirasi

Merasa gajimu di kantor kurang? Biasanya banyak yang mencari solusi berupa kerja freelance. Ya, bekerja freelance sambil terus melakukan yang fulltime banyak dilakoni pekerja muda saat ini. Apalagi, era digital semakin mempermudah pekerja untuk menjalankan keduanya.

Sekilas mungkin terdengar gampang. Apalagi, banyak motivasi lain yang melatari keputusanmu untuk menjalankan kedua pekerjaan ini. Mulai dari membayar utang, ‘balas dendam’ setelah kena masalah finansial, hingga ingin menabung lebih banyak atau berinvestasi.

Namun, bagaimana bila kamu kewalahan mengatur waktu dan tenaga? Apalagi, kerja fulltime sudah menuntut 8 jam waktumu dalam sehari. Belum lagi kalau pulang-pergi, saat kamu harus berhadapan dengan kemacetan di jalan raya. Alamat waktu istirahatmu berkurang, padahal niatmu hanya ingin menambah penghasilan.

Main Siasat dengan 7 Kiat

Nah, agar pekerjaan fulltime maupun freelance kamu lancar jaya, kamu harus bisa main siasat dengan 7 kiat di bawah ini. Tidak hanya soal manajemen waktu, kamu juga membutuhkan manajemen tenaga. Yang pasti, harus atur keuanganmu dengan cerdas. Jadi, inilah 7 kiat itu biar tidak keteteran:

  1. Saat di kantor, jangan pikirkan kerjaan freelance.

Cara ini tidak hanya menghindarkanmu dari kemungkinan dipecat bila ketahuan. (Iyalah, lagi di kantor masa ngerjain yang lain?) Selain itu, kamu juga bisa lebih fokus menyelesaikan pekerjaan kantor. Bahkan, lama-lama kamu mungkin akan terbiasa menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Jadi bisa teng-go, deh!

Tentu saja, kamu harus mengurangi bergosip saat kerja, karena harus konsentrasi penuh agar bisa cepat pulang. Nah, di situ kamu boleh mulai melirik pekerjaan freelance-mu.

  • Ambillah pekerjaan freelance yang tidak mengganggu jam kantor.

Jangan sampai capekmu dobel gara-gara harus menyelesaikan pekerjaan kantor – dan freelance secara colongan – di saat yang sama. Kamu bisa sedikit menyicil pekerjaan freelance di pagi hari sebelum ke kantor dan sesudah jam kantor. Bahkan, bila weekend tidak ke mana-mana, kamu juga bisa melakukannya di rumah.

Bahkan, lebih baik lagi bila pekerjaan freelance kamu hanya bisa dilakukan saat weekend. Contoh: menjadi event atau party organiser, guru les, freelance writer, hingga translator.

  • Pilih kerjaan freelance yang bisa dilakukan secara online.

Nah, sekarang ‘kan, banyak tuh, content agency yang mencari pekerja freelance. Kamu bisa melamar sebagai penulis, translator, dan bahkan hingga desainer freelance. Waktu kerjanya pun bisa disesuaikan. Kamu bisa mengerjakan semuanya secara remote, alias tidak perlu datang ke kantor.

Kamu juga bisa memanfaatkan platform digital untuk pekerja freelance. Ada juga media digital yang menerima karya tulis dari penulis freelance. Pokoknya, coba semua yang mungkin. Tapi ingat, kamu harus bisa mengatur waktu dan tenaga, ya.

  • Rajin ikut lomba (terutama bagi yang berprofesi sebagai penulis atau blogger).

Mungkin ini hanya untung-untungan, tapi kenapa tidak dicoba? Apalagi bila kamu termasuk masih bisa produktif dalam menulis. Bila memenangkan hadiah uang, isi tabunganmu juga akan bertambah. Syukur-syukur bila ada yang hadiahnya setengah gajimu per bulan.

Selain itu, kamu juga otomatis menyebarkan portofolio kamu. Siapa tahu, semakin banyak klien yang akan mengincar jasa freelance kamu.

  • Bikin business plan dan jadwal untuk pengingat.

Nah, karena juggle dua pekerjaan sekaligus, ada kalanya kamu kelelahan hingga sulit mengingat semuanya. Selain bikin business plan yang jelas (termasuk target), jangan lupa susun jadwal untuk pengingat. Kamu bisa gunakan kertas post-it warna-warni untuk membedakan target pekerjaan fulltime dengan yang freelance.

Cara ini juga bisa mencegahmu salah mengirim email. Mungkin atasanmu di kantor tidak keberatan bila tahu kamu juga punya usaha sampingan. Tapi, alangkah fatalnya bila kamu sampai salah mengirim email – apalagi bila dua perusahaan tempatmu bekerja (untuk fulltime dan freelance) adalah saingan!

  • Jangan kemaruk ingin ambil semuanya.

Ada kalanya, kantormu sedang sepi pekerjaan, sementara order freelance membludak. Begitu pula sebaliknya. Order freelance sedang sepi, sementara kantor tempatmu bekerja lagi sibuk-sibuknya.

Namun, ada kalanya dua-duanya sedang sibuk. Nah, buat yang tidak hati-hati, kamu bisa terjebak menjadi kemaruk. Apalagi bila saat itu kamu sedang (merasa) butuh lebih banyak uang.

Nah, di sinilah kamu harus mengatur waktu dan tenagamu sendiri dengan cermat. Jangan sampai malah keteteran sehingga mengganggu jadwal dua pekerjaanmu. Selain itu, jangan juga mengorbankan waktu istirahatmu sehingga jatuh sakit. ‘Kan sayang, bila buntutnya harus mengeluarkan uang untuk berobat ke dokter?

  • Pisahkan akun rekening untuk dua penghasilan berbeda.

Ini mungkin strategi yang sudah sering kamu dengar dalam tips keuangan. Kamu dapat mengetahui jumlah penghasilan freelance yang kamu dapat dan tidak akan tercampur dengan gaji bulanan. Ini juga berlaku bila kamu punya tujuan keuangan berbeda dengan dua penghasilan tersebut.

Misalnya: gaji bulanan untuk pengeluaran sehari-hari, sementara yang freelance untuk cadangan atau investasi bisnis.

Praktikkan tujuh (7) tips keuangan ini demi keamanan finansial kamu. Jangan lupa satu hal lagi yang paling penting: jangan boros. Jebakan yang satu ini paling mudah menyerang kamu yang merasa sudah punya cukup banyak uang. Seperti #SmartMoneyMenginspirasi , jangan sampai lupa diri.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Memuliakan?

Memuliakan?

“Oh, tapi kami menghormati kalian.”

Pada saat yang sama, kalian membuat kami sendu.

Kalian paksa kami di rumah,

sementara kalian berkeliaran tak tentu arah.

Manusiawi?

Kami diperlakukan bagai properti

hanya dilihat dari penampilan,

peduli setan

bila kami juga punya pikiran, pendapat, dan perasaan.

“Oh, tapi kami memang menghormati kalian.”

Terus, kenapa enggan mendengar?

Kenapa semua ucapan kami diragukan?

Kalian tidak benar-benar peduli,

terus pertanyakan ‘rasionalitas’ kami

namun menuntut agar kami selalu menuruti

agar kalian puas setengah mati

Lagak superior kalian sungguh memuakkan!

“Oh, tapi kami sungguh menghormati kalian.”

Ya, terserahlah.

Mempertanyakan atau mendebat kalian sama saja kembali ribut hingga lelah.

Jujur, beginilah cara kalian memuliakan kami.

Cukup omong kosong tentang rasa hormat

yang gemar kalian gembar-gemborkan

bila bukti menunjukkan sebaliknya.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Nasionalisme Sempit: Kenapa Kita Hobi Ngusir Orang Lain Karena Nggak Suka Dikritik?

Nasionalisme Sempit: Kenapa Kita Hobi Ngusir Orang Lain Karena Nggak Suka Dikritik?

“Ya, udah. Kalo lo gak betah di sini, pergi aja sana!”

Entah kenapa, saya sering banget denger ucapan merajuk kayak gini. Bukan, bukan cerita seseorang ribut dengan ‘si dia’ yang belum jadi mantan. (Eh?) Biar nggak bingung, saya kasih dua contoh kejadian, ya:

  1. Perdebatan antara sesama orang Indonesia.

Komentar semacam ini sering banget saya lihat di media sosial. Biasanya yang nulis ‘netizen budiman maha benar’. Contohnya, saat berita penembakan dua mesjid di New Zealand. Sepanjang akhir pekan itu, media sosial ramai dengan tautan, reshare, dan retweet seputar tragedi tersebut.

Lalu, tahu-tahu ada yang komentar kayak gini:

“Seneng banget liat warga New Zealand kompak soal toleransi perbedaan. Beda sama di Indonesia.”

Seperti yang sudah bisa ditebak, ada yang balasnya langsung ngegas bin julid:

“Ya udah, kalo lo udah gak suka tinggal di Indonesia, pindah aja sono!”

Sering baca komentar kayak gini di media sosial? Nggak usah kaget. Banyak kok, yang kayak gini. Mungkin Anda juga sama.

Oke, saya kasih contoh yang kedua, ya:

  • Saat dikritik oleh ekspat.

Di satu resto, saya lihat segerombolan anak bangsa merokok. Padahal, jelas-jelas, ada larangan merokok terpampang di dinding. Nggak tahu kenapa, saya suka menangkap kesan angkuh dari gerombolan perokok di tempat umum yang melanggar aturan. Bahkan, makin jadi bila staf resto nggak ada yang berani negur. (Sialnya, mungkin karena mereka juga takut kehilangan pelanggan kali, ya. ‘Kan, kredo “pelanggan itu raja” masih berlaku.)

Tiba-tiba ada seorang perempuan ekspat yang langsung menegur mereka.

“Excuse me! Can you not smoke in here? There’s a ‘NO SMOKING’ sign on the wall.”

Seperti yang bisa ditebak juga, gerombolan perokok itu langsung kompak ngeyel-nya. Singkat cerita, mereka ribut dengan perempuan asing itu sampai si perempuan – karena kalah jumlah – akhirnya pergi dengan wajah bete.

Setelah perempuan itu pergi, dengan bangga para perokok itu berkoar-koar.

“Orang biasanya juga nggak apa-apa, kok. Lagian juga udah sepi.”

Lalu, keluarlah ucapan itu dari salah satunya:

“Kalo nggak suka, mending dia balik ke negaranya aja! Emang siapa dia, ngatur-ngatur di negara orang?”

Duh, sampai sini rasanya pening. Serius. Kenapa sih, kita hobi banget ngusir orang lain hanya karena nggak suka dikritik? Nggak dari sesama anak bangsa sendiri maupun yang bukan. Padahal, bisa jadi saat itu kita emang salah – atau negara kita sedang bermasalah. Hari gini, negara mana sih, yang nggak punya masalah?

Udah deh, nggak usah denial cari-cari alasan, apalagi pembenaran. Sekali lagi, saya capek harus nulis ‘sekadar mengingatkan’. Anda yang baca pasti juga bosen, ‘kan?

Mengkritik itu memang mudah. Menerima kritik itu yang susah, apalagi kalo ego Anda termasuk rapuh meski sudah usia dewasa. (Kasihan? Nggak. Ngapain?) Tapi kalo tiap kali dikritik (bahkan dengan tambahan bukti kalo Anda emang beneran salah dan bermasalah) bawaannya mau ngusir, kayaknya kita udah nggak pantes lagi dilabelin ‘bangsa yang ramah, apalagi sama pendatang’.

“Iya, ramah boleh. Tapi jangan kebangetan. Tau diri lah, mereka lagi di negara orang!”

Oke, jangan mengalihkan pembahasan. Kita nggak lagi membahas kelakuan beberapa ekspat yang kadang menurut kita emang kelewatan pas di Indonesia. Itu bisa dibahas di tulisan lain kesempatan, plus cara-cara menyikapinya kalo mau.

Kita lagi membahas kebiasaan masyarakat kita kalo dikritik orang, apalagi kalo udah menyangkut negara. Okelah, bila ingin bersikap nasionalis. Tapi, jangan sampai sikap patriotis jadi ‘salah tempat’. Kayak kasus para perokok di atas, melanggar aturan kok, bangga? Justru kalo sampai ada tamu yang menegur, yang punya rumah harusnya malu.

Kadang Anda paling gesit menyebut orang lain nggak nasionalis, hanya karena banyak mengkritik berbagai kejadian dan ‘kebijakan’ nggak enak pemerintah di negara kita. Padahal, bisa jadi yang mengkritik itu jauh lebih peduli dengan kemajuan negeri daripada Anda yang lebih banyak tutup mata. (Toh, Anda juga merasa itu bukan urusan Anda, ‘kan?)

Anda langsung defensif saat ekspat ada yang menegurmu di ruang publik karena Anda melanggar aturan. Sayangnya, argumen Anda benar-benar nggak nyambung dengan masalah yang lagi dibahas. Anda langsung parno, mengira orang luar mencoba menjajah negara ini dengan mengatur-atur Anda. Kalo nggak mau ampe kayak gitu, ya mulai lakukan perbaikan dari diri sendiri dulu, dong. Jangan sampai nunggu ditegur oleh siapa pun.

Lagipula, lucu juga, ya. Anda sibuk mengumpat-umpat para ‘white supremacists’ yang menyerang para imigran dan menyuruh mereka pulang ke negara masing-masing. Lha, apa bedanya ngomong gitu ke ekspat yang kebetulan menegur kesalahan Anda?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tanya dan Gadai Rasa Percaya

Tanya dan Gadai Rasa Percaya

Tanya dengan tanya

Kau jawab dengan tanya

Sedikit yang kau ucap,

meski kau banyak cakap

Kau harap kami paham

meski iman jadi dagangan

jargon dalam percakapan

polemik tanpa penyelesaian

Kau tambah tanda tanya

melayang di udara

meski bukan bintang di angkasa

tiada cahaya

hanya potensi luka

Tanya dengan tanya…dan banyak tanya

Rasa percaya langka

nyata adanya

Kenapa tidak kau jawab saja

seperti orang biasa?

Sial!

Aku lupa dirimu

yang harus berpolemik

tanpa tahu tujuanmu

Hanya politik

yang harus kita terima di sini…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

TIGRESS: Hidup Lewat Mata Ayu Meutia, ‘Sang Harimau Betina’

TIGRESS: Hidup Lewat Mata Ayu Meutia, ‘Sang Harimau Betina’

Bagaimana hidup melalui mata ‘Sang Harimau Betina’?

Beruntung saya telah diperkenalkan dengan karya-karya penulis ini, Ayu Meutia. Dari 52 puisi yang ada di debutnya, “Tigress”, agak sulit untuk memilih puisi yang benar-benar saya suka. “Travel-Post Blues” adalah salah satunya.

Mayoritas puisi dalam “Tigress” ditulis dalam Bahasa Inggris. Namun, ada juga yang berbahasa Indonesia. Gaya bahasanya jujur, cenderung blak-blakan – namun masih halus dan bermain dengan imaji.

Bagi penyuka gaya sastra lama, “Tigress” mungkin akan terasa asing bagi Anda. Namun bagi yang tumbuh dengan kultur urban, puisi-puisi ini mungkin akan mengingatkan Anda dengan kisah hidup Anda sendiri.

Ada cinta, patah hati, kecewa, marah, hingga relasi dengan sesama manusia dalam bait-baitnya di sini. Imaji yang digunakan unik, namun tidak rumit. Contoh: saat Ayu menyamakan Jakarta sebagai sosok kota yang ‘maskulin’ dalam “Playboy City”. Bagaimana tidak? Kota ini telah menyedot begitu banyak perhatian.

Di sisi lain, kota ini juga banyak memakan korban – terutama korban perasaan. (Saya tidak sedang bercanda.)

Penasaran dengan ‘auman’ Sang Harimau Betina? Buruan beli buku ini di Gramedia!

R.