Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Tirani Itu Bernama Patriarki dan Hierarki

Tirani Itu Bernama Patriarki dan Hierarki

Bodyshaming
Foto: freepik.com

Seperti apa sih, rata-rata nasib perempuan Indonesia sesudah menikah? Pastinya bermacam-macam. Mengingat kebudayaan yang masih sangat patriarkal, kebanyakan istri otomatis mengikuti suami tanpa banyak bacot. (Biasa, ancaman disebut durhaka dan dimasukkan ke dalam neraka menurut agama). Pokoknya, keinginan suami nomor satu. Kalau bisa, istri tidak usah punya mau kecuali manut.

Hell hath no fury like a woman’s scorned. Tiada yang bisa melampaui murkanya perempuan.

Dulu, aku pernah bangga dengan pepatah itu. Kesannya keren dan gagah. Hati-hati bila perempuan sudah marah. Semua yang di depannya pun bisa habis seketika.

Sayangnya, pepatah di atas juga bisa jadi bahan ejekan. Kata mereka, perempuan kalau marah itu lebay. Histeris seperti orang gila. Emosional, tidak masuk akal.

Itulah persepsi tirani sosial bernama patriarki yang sangat kubenci. Bila yang marah lelaki, mereka menganggapnya tegas dan berani. Pokoknya, jantan sekali. Tak peduli mereka kasar, pakai memukul dan memaki.

Sementara perempuan? Bah, jangan harap dapat nilai sama. Kalau tidak disebut bawel, banyak maunya, tidak sopan, hingga…ahem, melawan suami. Tidak peduli bila perempuan itu kemudian terbukti benar. Pasti ada saja alasan mereka semua untuk pura-pura tidak sadar. Benar-benar minta ditampar!

Intinya, jangan sampai laki-laki kelihatan atau dituding salah di depan khalayak. Bisa ambyar harga diri dan ego mereka.

Duh, celakalah bila suami pilihanku seperti itu…

-***-

Bagaimana bila suami belum bisa punya rumah sendiri, alias masih tinggal bersama orang tuanya? Otomatis, istri harus ikhlas mengurus mereka semua. Apalagi, ibu adalah perempuan paling pertama dalam hidup suami. Jangan pernah sekali-sekali memintanya memilih antara ibu dan istri. Sama saja cari mati atau minta cerai.

Respect the elders, always.

Aku tidak bodoh. Aku bisa hormat dan sopan sama yang lebih tua. Tak perlu mengancamku dengan kata ‘durhaka’, ‘dosa’, hingga ‘masuk neraka’.

Tapi, apa kabar dengan mereka yang lebih tua – tapi hobi semena-mena dengan sesama? Gila hormat dan selalu minta diperlakukan seperti dewa. Lupa kalau masih sama-sama manusia. Bisa juga berbuat salah.

Oh, tidak, tidak. Jangan pernah permalukan mereka yang lebih tua. Kasihan, sudah uzur. Mereka lebih sensitif, sayangnya hanya bila menyangkut perasaan mereka sendiri. Tak peduli mereka hobi mendamprat yang lebih muda, lebih kecil, atau bahkan lebih miskin daripada mereka – di depan umum pula. Maklumi saja. Sudah, jangan membantah. Meskipun memang kamu yang (terbukti) benar, yang ada malah tetap dianggap kurang ajar sama mereka. Tidak punya adat. Tidak tahu sopan santun. Okay, boomers.

Tirani sosial ini bernama hierarki. Aku benci sekali, karena banyak orang tua yang terlalu menuruti ego mereka sendiri. Anak yang tadinya punya potensi jadi tidak kenal diri sendiri gara-gara orang tuanya berperan sebagai pengendali. Tidak terbayangkan bila suatu saat orang tuanya pergi. Bisa tidak, anak itu menentukan nasibnya sendiri?

Ah, aku kok jadi jahat begini, sih? Tapi beneran, deh. Bagaimana kamu bisa menghormati mereka yang justru malah tak layak untuk dihormati, tapi merasa berhak?

-***-

Kebetulan, aku beruntung sekali menikahi laki-laki yatim piatu yang baik sekali. Selain tidak perlu berurusan dengan mertua yang belum tentu berkenan dengan pendamping hidup pilihan putranya, suamiku untungnya juga lebih menghargai keluargaku. Dia tak punya ibu lagi, makanya dia sangat memanjakan mamaku.

Amara, kembaranku, ternyata tidak seberuntung itu. Setelah menikah, dia langsung ikut suaminya ke luar kota. Tinggal bersama keluarga mertua.

Awalnya, semua baik-baik saja. Sikap mertua mulai berubah saat usaha suaminya bangkrut. Sayangnya, suami Amara kurang cepat tanggap dan gigih dalam menyikapi perubahan ekonomi keluarganya, sehingga Amara harus ikut mencari nafkah. Namun, urusan pengasuhan anak dan rumah tangga pun tetap dibebankan padanya.

Intinya, sejak saat itu, Amara lebih banyak diperlakukan seperti babu. Sering dibentak-bentak dan dimarahi, bahkan untuk kesalahan paling remeh sekali pun. Semua harus serba sempurna. Selalu diingatkan bahwa Amara dan suaminya hanya ‘menumpang’. Tahu dirilah, jangan merepotkan.

Anehnya, suami Amara tidak pernah kena marah karena belum punya penghasilan tetap lagi. Menurut pengakuan Amara, di sana laki-laki diperlakukan seperti raja. Selalu dimanja, seakan-akan tidak pernah salah. Bahkan, ibu mertuanya sendiri sampai pernah bilang begini:

“Kalau sama laki-laki, ngomongnya harus lembut.” Astaga, selemah itu-kah mereka? Alasan basi mereka, istri-lah yang harus selalu lebih sabar dan kuat. Lucunya, laki-laki tetap harus dianggap sebagai pemimpin keluarga dan dijaga wibawanya. Benar-benar standar ganda menjijikan!

Lalu, apa yang terjadi bila Amara marah dan membela diri? Gaslighting pun terjadi. Amara dibilang gagal paham dan sensi. Padahal, jelas-jelas mereka-lah yang gemar memaki.

Makanya, aku tidak heran ketika suatu hari, Amara pulang dengan koper seadanya dan mata sembab. Wajahnya tampak lelah dan lebih tua, padahal kami kembar identik. Amara datang tanpa suaminya. Aku tak perlu bertanya. Bibirnya yang tampak pucat gemetar.

“Anita…”

Tangisnya pun pecah. Kami berpelukan. Dua istri yang sama-sama sadar, ini masih Indonesia yang sama. Mendewakan patriarki dan senioritas, namun tak pernah sungguh-sungguh dengan jargon ‘memuliakan perempuan’.

Seperti biasa, paling mereka hanya menuntut bahwa istri harus selalu sabar, ikhlas, dan lebih banyak menurut dalam diam. Tidak hanya pada suami, namun pada keluarga suami. Bila memang tidak setuju dengan perempuan pilihan putra mereka untuk menjadi istri, kenapa tidak dari dulu melarang? Kenapa tetap merestui, bila pada akhirnya hanya untuk bebas menyakiti?

Di Indonesia, kamu sedikit lebih beruntung sebagai perempuan dengan beberapa privilege ini: lebih tua, lebih kaya, dan lebih berkuasa. Sayangnya, kamu bisa terjebak kultur patriarki sehingga tetap misoginis secara internal. Akhirnya kamu pun bisa sama saja, malah ikut menindas sesama perempuan…

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

#CSWC: Sekilas Tentang “TIRANI”

#CSWC: Sekilas Tentang “TIRANI”

#CSWC

Benarkah tirani sudah tiada lagi? Siapa sajakah yang mengalami tirani? Siapa yang tidak keberatan, meskipun ini berarti berkurangnya – atau bahkan kehilangan – kebebasan diri sendiri, terutama untuk berekspresi?

Inilah topik sekaligus tantangan menulis bagi Jakarta Couchsurfing Writers’ Club pada hari Kamis, 10 Januari 2020, pukul 21:00 di Chickro, m-Bloc, Blok M, Jakarta Selatan. Peserta yang datang kemudian menulis interpretasi mereka mengenai topik malam itu.

Tirani adalah kekuasaan yang digunakan secara sewenang-wenang (meskipun bagi beberapa pihak, cara ini kadang diperlukan demi kebaikan bersama. Setidaknya, itulah menurut pandangan mereka). Sama seperti rantai makanan dalam pelajaran Biologi, mereka yang berada di atas atau mendapatkan keuntungan dari cara ini tidak akan pernah memprotes tirani.

Yang berada di bawah atau (merasa) dirugikan tentu saja tidak sudi. Bagi mereka, tirani adalah sistem yang membelenggu kebebasan mereka sebagai manusia seutuhnya. Zaman Orde Baru (sebelum 1998) di Indonesia merupakan salah satu contoh nyata yang masih menjadi momok banyak orang.

Tapi, apakah yang di bawah tirani selalu berarti tertindas?

Untuk mereka yang berada di atas tirani sepertinya banyak yang merasa mendapatkan keuntungan. Tapi, apakah yang di bawahnya selalu berarti tertindas?

Berdasarkan diskusi dan acara berbagi cerita semalam, ternyata jawabannya tidak selalu seperti itu. Mereka yang tidak keberatan berada di bawah tirani ternyata juga bisa merasa mendapatkan keuntungan, karena: tidak perlu ribet berpikir sendiri dan semua sudah disediakan penguasa, selama mereka menurut dan tidak menjelek-jelekkan penguasa.

Bila sampai melawan, siap-siap saja masuk penjara atau pun hukuman berupa pengasingan.

Tentu saja, siapa pun berhak memilih lingkungan yang menurut mereka paling aman dan nyaman. Tidak semua orang cocok dengan model sistem sosial tirani.

Ingin bergabung dengan kami?

Jakarta Couchsurfing Writers’ Club berkumpul setiap Kamis malam, dimulai dari pukul 19:30. Tinggalkan pesan di halaman CS kami, DM Ruby Astari, atau join grup Facebook kami: http://bit.ly/304ujKE

Sampai jumpa lagi di meetup berikutnya.

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Naja dan Charlita

Naja dan Charlita

“Dia culas seperti ular.”

Kudengarkan curhatannya panjang lebar. Ah, Charlita. Lagi-lagi dia mengeluhkan orang-orang yang sama. Entah si A yang menurutnya tidak tahu terima kasih, si B yang hanya memanfaatkan kebaikannya, hingga si D yang menusuknya dari belakang.

Aku sudah bersahabat dengan Charlita sejak dua bulan lalu. Gadis mungil, ramping, dan yang sebenarnya cantik ini ternyata merasa semua orang selalu memusuhinya. Alasannya selalu sama.

“Mereka pasti iri sama gue. Padahal, mereka lebih cantik dan kaya.”

“Gue deket sama cowok ini dan mereka langsung kayak musuhin gue.”

“Makanya, Naja. Cuma elo sahabat gue satu-satunya sekarang,” ucap Charlita sambil tersenyum penuh rasa terima kasih padaku. Digenggamnya tanganku dengan lembut. Hangat, membuat darahku tiba-tiba berdesir. “Elo gak akan pernah mengkhianati gue, ‘kan?”

Aku tersenyum agak dipaksakan. “I’ll try.”

-***-

Sebenarnya, kalau ingin melihat dari dua sisi, Charlita tidak selalu benar. Dia tidak selalu korbannya. Saat kutanya pada orang-orang yang pernah (dianggap) bermasalah dengannya, jawaban mereka berbeda. Mereka tampak tersinggung saat kuceritakan pendapat Charlita tentang mereka.

“Astaga, dia melulu kok, yang cari gara-gara,” kata Alex tampak geram. “Yang ratu drama siapa, yang disalahin kita.”

“Gue cuma nggak sepaham sama dia dalam beberapa hal – dan dia langsung nganggepnya serangan personal,” keluh Biyan. “Capek deh, kalo urusan sama Charlita. Mending seperlunya aja. Gak usah sering-sering.”

“Oh, my God.” Donna melotot. “She thinks she’s all that. She always plays the victim, but you have no idea how nasty her big mouth is. She’s the snake, actually.”

Aku hanya tersenyum tipis. Kukumpulkan semua kesaksian mereka dalam ingatanku. Apakah aku akan balas mengadukan mereka pada Charlita? Ah, tidak perlu. Dia tidak perlu tahu.

Bahkan, kujamin Charlita juga tidak akan pernah tahu. Kurasa aku harus menolongnya, membebaskan dirinya dari penderitaan yang diciptakannya sendiri. Lagipula, demi keseimbangan ekosistem, Bunda selalu memintaku untuk memilih dengan hati-hati.

-***-

Malam itu, aku menginap lagi di rumah Charlita. Seperti biasa, gadis manja dan egois itu butuh teman setia…atau lebih tepatnya, penonton. Beruntunglah, aku cukup dingin untuk jadi pemujanya. Aku pendiam, efektif, dan tidak mudah dipengaruhi.

Tak lama, Charlita akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan. Aku masih terjaga. Kulihat bulan sudah purnama. Kutatap Charlita sekali lagi sambil menghela napas.

“Maaf, ya,” bisikku, meski tidak pernah benar-benar menyesal. Secara perlahan, kurasakan diriku berubah. Kedua kaki dan tanganku menyatu pada badan. Kulitku yang semula putih pucat mirip kulit manusia pada umumnya mulai robek, menunjukkan sisik-sisik berwarna gelap di bagian dalam. Tinggiku semakin berkurang, sebelum akhirnya aku melata di lantai kamar Charlita yang dari marmer. Dingin dan nyaman.

Charlita masih terlelap, tak sadar bahwa aku sudah secara perlahan melata ke atas tempat tidurnya. Ada ekspresi geli pada wajahnya saat aku merayap di atas tubuhnya.

Tak lama, kutatap wajahnya yang pulas. Aku sengaja menunggu matanya terbuka. Aku yakin, instingnya cukup tajam untuk merasakan dirinya dalam bahaya.

Mata Charlita terbuka. Semula dia tampak bingung menatapku, sebelum ekspresi ngeri perlahan merayapi wajahnya.

“Ah-“

Terlambat. Kedua taring panjangku sudah menancap di lehernya, sekaligus mengeluarkan bisa. Charlita tidak pernah tersadar lagi. Sesudah puas, aku turun merayap di lantai. Jendela kamarnya sudah agak kubuka tadi, sewaktu masih berwujud manusia. Perlahan aku menyelinap keluar, meninggalkan jenazah berwajah kaget yang pastinya akan tampak sangat mengerikan bagi orang tuanya – saat menemukannya esok pagi…

-***-

“Kerja bagus, anakku.”

Aku senang Bunda memujiku. Saat ini, aku sedang bersantai karena udara masih dingin. Mengikuti instruksi Bunda, besok-besok aku akan mencari korban berikutnya. Ya, manusia yang merasa paling tahu, mana sesamanya yang bersifat ular. Manusia yang gagal mengendalikan lisannya, padahal lidah mereka jauh lebih kaku daripada lidah kami yang tak henti menjulur.

Ya, manusia yang dengan enteng menilai sesamanya: “Culas seperti ular.”

  • Selesai –

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Takut

Takut

Gambar: julian-santa-ana-111265-unsplash

Aku takut menikah. Aku tahu, aku kedengaran putus asa. Mungkin juga parno luar biasa.

Aku sudah sering mendengar cerita-cerita seram. Calon suami yang katanya siap mendukung istri tetap berkarir di luar rumah langsung ingkar begitu sudah ijab kabul. Merasa sudah memiliki, suami pun menguasai. Melarang istri jadi diri sendiri. Pokoknya harus tunduk patuh tanpa kecuali.

Sumpah, aku ngeri.

Banyak juga calon suami yang belum apa-apa sudah tidak tahu diri. Berharap dan menuntut istri masih perawan, padahal mereka sendiri sudah tidak perjaka. Standar ganda munafik dan menjijikan.

Padahal, bisa jadi laki-laki semacam itulah yang berpotensi menyebarkan penyakit menular. Habis itu, paling yang dituduh juga istrinya. Dituduh selingkuh, padahal sudah dilarang keluar rumah dan jadi ibu rumah tangga saja. Bagaimana caranya, coba? Belum tentu istrinya yang kegatelan, mengundang-undang laki-laki lain ke rumah saat suaminya sedang tidak ada.

Tapi mungkin memang benar. Laki-laki kalau memang jahat dan sudah bosan, alasan apa pun mereka pakai untuk membenarkan perselingkuhan maupun perceraian.

-***-

Aku takut menikah, apalagi kalau sampai cerai. Bila karena salah satu meninggal, mungkin lain cerita.

Tapi, bagaimana bila cerainya gara-gara selingkuh atau KDRT? Sudah banyak cerita seram yang kudengar. Ini dunia nyata, bukan cerita dongeng. Tidak ada omong kosong macam “happily ever after”. Aku bukan anak-anak lagi yang mudah tertipu dongeng macam itu.

Semua pihak dalam pernikahan harus berusaha saling membahagiakan, sekaligus berusaha membahagiakan diri sendiri. It’s tricky. Bila keduanya sama-sama gagal, entah kenapa hanya salah satu pihak yang sering dituding sebagai biang keladi.

“Kamu kurang berusaha.”

“Kamu kurang melayani, kali?”

“Jangan-jangan kamu yang kurang menuruti suami.”

Begitu terus. Kurang, kurang, kurang, dan sekali lagi kurang. Tak peduli lelah luar biasa karena harus mengurus semuanya sendiri. Anak, urusan rumah tangga. Suami maunya tahu beres saja. Istri harus ikhlas.

Tak peduli suami tinggal main perintah, bahkan dengan nada kasar. Tak peduli tangannya suka melebamkan, alih-alih peluk menenangkan…

-***-

Aku…takut untuk menikah lagi. Banyak cerita di balik trauma. Aku sudah cerita semuanya.

Tidak ada yang namanya janda bebas stigma. Tidak semua orang (mau) berpikiran terbuka. Mereka lebih mudah percaya sama kata orang.

Kalau pun bertanya, kebanyakan membuatku muak. Para laki-laki yang entah kenapa menganggapku murahan. Ada yang langsung marah dan menyumpah-nyumpah begitu ajakan kencan atau lamaran menikah ditolak.

“Jangan sombong. Kamu tuh, cuma janda. Udah bagus masih ada yang mau!”

Ada juga yang iseng bertanya:

“Gak kangen ngewe?”

Menjijikan. ‘Kan bukan urusan mereka. Memangnya mereka pikir mereka siapa?

Belum lagi tatapan kebencian dari sesama perempuan. Astaga, memangnya suami mereka sebagus itu, apa? Aku justru ingin mencungkil mata-mata lancang mereka yang setiap kesempatan melirik genit padaku.

Tidak ada yang ingin jadi janda. Tapi, aku juga takut menikah lagi. Aku takut mengulangi kesalahan serupa.

Jadi, apa yang bisa kamu lakukan untuk meyakinkanku, bahwa kali ini akan berbeda?

-selesai-

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Malam Pertama di Sydney

Andai semua ini adalah mimpi, aku tidak ingin segera bangun. Masih mau terus di sini.

Gelap sekali malam itu, terutama oleh pepohonan rimbun layaknya di taman kota. Jakarta tidak punya ini. Rerumputan kering  bergemerisik karena terinjak oleh kaki-kaki kami saat melangkah.

Angin dingin di musim gugur bulan Mei berembus. Brrr…aku menggigil. Kenapa kutinggalkan jaketku di Honda putihnya tadi? Kaos hitam berlengan panjang dan scarf merah tuaku tidak cukup menghangatkan. Kulitku mulai meremang.

Kubuka mulut dan mulai menghirup. Astaga, rasanya seperti berada di dalam kulkas raksasa. Hidungku mengendus aroma rumput kering. Begitu asing. Lidahku juga jadi dingin. Tenggorokanku ikutan kering.

“Lihat.” Abangku menunjuk ke seberang perairan. Kurasakan mataku melebar takjub.

Opera House dan sekitarnya tampak begitu kecil. Lampu-lampu gedung kota yang berwarna-warni begitu kontras dengan Mrs. Macquarie’s Chair yang malam itu minim cahaya, tempatku dan Abangku berada malam itu.

“Kamu baru saja melihat keseluruhan kota Sydney,” katanya. Dia tampak tidak terganggu dengan angin dingin yang berembus, meski hanya berkemeja. Sudah biasa pastinya.

“Wow,” desahku. Entah apa yang harus kukatakan. Yang kutahu, aku telah jatuh cinta. Aku ingin kembali ke sini suatu saat nanti. Secepatnya kalau bisa.

“Sudah kuduga kamu akan menyukainya.”

Kami memang tidak sedarah, tapi aku sering berharap bahwa dia adalah abangku. Sangat lama kami berdua sudah saling mengenal, sampai-sampai dia bisa membaca perasaanku dengan mudah. Bahkan, seringnya sebelum aku berbicara.

Angin masih berembus, namun ada hangat yang menyeruak di hati. Aku tahu, dia sudah bisa menebak ucapanku berikutnya:

“Aku nggak mau pulang.”

Abangku tertawa. Dia menganggapku lucu dan konyol.

“Ya, ampun. Baru juga malam pertamamu di sini.”

Iya juga. Aku tersenyum geli, seiring celotehan samar flying fox di antara pepohonan.

 

R.

(Jakarta, 5 Juli 2018, pukul 21:00 – 21:30, MacDonald’s, Sarinah-Thamrin – Tantangan Menulis Mingguan Klub Penulis Couchsurfing Jakarta: “Gambarkan satu tempat favoritmu dengan menggunakan lima panca indera”.)

 

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

“LIFESTYLE?”

“Lifestyle?”

Setiap orang punya kebiasaan masing-masing untuk mengisi hidup mereka dari hari ke hari. Ya, kegiatan suka-suka yang mereka lakukan. Karena sering, lama-lama jadi kebiasaan.

Kebiasaan itulah yang kemudian menjadi gaya hidup. Sebenarnya biasa saja, sih. Nggak gitu istimewa juga. Cuma diglamorkan dengan terjemahan bahasa Inggris, yaitu: lifestyle. Coba saja lirik majalah-majalah atau tabloid yang sampulnya warna-warni ceria itu. Lebih banyak yang memakai kata lifestyle, mengingat ‘gaya hidup’ agak kepanjangan.

Pernah ada yang menuduh saya nggak punya lifestyle. Haha, lucu sekali, bukan? Alasannya: saya nggak gitu suka nongkrong, main biliar, ke kafe, hingga minum-minum di bar. Kalau pun pernah beberapa kali terlihat di sana, itu pun karena diajak teman. Jarang-jarang. Kalau pun iya, nggak selalu sampai ikutan minum juga. (Dulu, sekarang udah enggak.) Biasa saja. ‘Kan berhak milih mana yang paling nyaman. Ngapain juga nyusahin diri sendiri, hanya untuk mengesankan orang-orang? Iya kalau mereka beneran teman. Kalau bukan?

Lucunya, yang menuduh saya nggak punya lifestyle dengan alasan yang sedemikian ceteknya itu sesama anak bangsa. Saya mah, ketawa saja. Apalagi pas dia dengan bangganya bilang bahwa lifestyle yang dia punya itu termasuk ngebir, main biliar, ke kafe atau bar, hingga clubbing. Kalau nggak gitu namanya bukan lifestyle.

Baiklah, terserah Anda, bung.

Buntutnya dia meminta nomor ponsel saya. Saya kasih…nomor bapak saya. (Haha!) Sori, bung. Lifestyle saya termasuk tidak memberi kesempatan laki-laki yang merendahan saya, tapi sebenarnya kelihatan banget nggak cerdasnya. Kasihan. Baca kamus dulu deh, mas. Silakan tanya guru Bahasa – Inggris dan Indonesia – kalau masih bingung juga. Bukan yang dulu hobi bolos sama tidur di kelas, ‘kan?

Haha, I know I’m bitchy kalau lagi kesal…dan saya percaya alasan saya masuk akal. Tapi rasanya berbeda dengan saat beberapa kali nongkrong di bar dengan teman-teman ekspat. Pas ada yang nanya apakah saya sering ke bar A atau pub B, jawaban saya selalu sama:

“I don’t normally do this.”

“I’m just observing.”

“I’m looking for an inspiration/story ideas.”

Respon mereka?

“Really? What do you normally do?”

“Let me guess. You’re a writer.”

Dari situlah obrolan berkualitas kemudian mengalir. Tentang buku, film, politik, sosial, hingga kelakuan orang-orang sekitar yang cenderung ‘ajaib’ – terutama setelah botol/gelas/pitcher ke sekian. Nggak ada yang saling merendahkan. Biasa saja.

Bukannya menggeneralisir. Hanya pengalaman pribadi.

Saya suka baca buku, terutama saat sendirian di kamar atau di kafe, dengan secangkir kopi di atas meja. Saya suka menulis (pastinya), menonton film, hingga menyanyi dan mengamati. Bagi saya, lifestyle setiap orang unik dan menarik. Selalu ada cerita yang bisa ditulis.

R.

(Jakarta, 11 November 2016 – Tantangan Menulis Mingguan Klub Menulis Jakarta’s Couchsurfing dengan tema: “Gaya Hidup/Lifestyle”.)

 

 

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

#LILANNA (LILO + ALANNA)

#Lilanna (Lilo + Alanna)

Foto. Video. Ucapan sayang. Sapaan hangat penuh kasih. Pamer kemesraan sana-sini.

Pokoknya meyakinkan sekali. Buktinya? Banyak yang komen. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang suka, ada yang mencela.

Ada juga yang menghujat dengan sedemikian rupa. Kata mereka, kami perusak moral bangsa. Kami meracuni isi kepala anak-anak muda. Padahal, itu tanggung jawab mereka sebagai orang tua. ‘Kan mereka bisa mengajarkan anak-anak mereka tentang pilihan dan tanggung-jawab.

Malah kami yang (di)jadi(kan) kambing hitam. Huh, malas rasanya. Sepertinya mereka semua masih belum benar-benar dewasa. Semua serba dilarang. Dikit-dikit gampang tergoda.

“Alanna?” panggil Lilo. Aku melirik dan mendapati sosok jangkung, atletis, dan ganteng itu berlutut di sampingku. Berdua kami memandang salah satu foto kami di akun social media-ku.

Di sana, aku tampak sedang memejamkan mata sambil tersenyum. Ada wajah Lilo di leherku, sementara kedua lenganku yang bertato naga hitam raksasa melingkari lengannya. Aku hanya mengenakan bikini, sementara Lilo bertelanjang dada.

“Cukup meyakinkan, nggak?” tanyaku. Kalau melihat semua komen di bawah foto kami, aku sudah tahu jawabannya. Isinya beragam, mulai dari sekadar “aw co cwiiit” ala anak alay sampai makian dengan frase semacam “neraka jahanam”.

“Banget,” jawab Lilo datar. Mendadak ponsel kami berdua berdering. Di layarku ada nama Clarissa. Kulirik sekilas ponsel Lilo. Ada nama David di layarnya.

Kami menjawab ponsel kami berbarengan:

“Hi, baby.”

Yah, beginilah nasib anak tunggal di keluarga. Entah sampai kapan kami berdua harus terus bersandiwara…

R.

(Jakarta, 6 Oktober 2016 – ditulis untuk Tantangan Menulis Mingguan Klub Penulis Couchsurfing Jakarta di Anomali Coffee – Setiabudi One. Topik: “romansa media sosial/social media romance”.)

 

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

“Insiden Telur”

“INSIDEN TELUR”

Waktu kecil, banyak kenakalan khas yang mungkin kamu pernah lakukan. Apalagi kalau kamu tumbuh di era 80-90an. Kayak cerpen atau film zaman dulu, daftar kenakalan khas anak-anak pasti seputar: mencuri mangga dari pohon tetangga, menjahili orang, hingga berantem for the sake of berantem. Udah, gitu aja.

Kalau aku? Hmm, aku sudah pernah cerita soal ini ke sahabatku dan acara radio lokal dulu. Waktu itu, sahabatku baru saja putus dan minta ditemani ke Bandung. Ceritaku ini sempat bikin dia ngakak habis-habisan.

Baguslah. Setidaknya, aku bisa bikin dia berhenti menangis.

Kalau acara radio lokal, sebenarnya waktu itu lagi super random. Di Twitter, mereka membuka sesi curhat dengan tema: “Kenakalan Masa Kecil”. Entah kenapa, ceritaku dianggap menarik. Aku ditelepon penyiarnya dan diminta untuk menceritakan versi lengkapnya…secara ON-AIR.

Seperti sahabatku, kedua penyiar radio pagi itu ngakak hebat. Penasaran? Giliran kalian yang memutuskan.

Kalau mau tahu kisah kenakalanku secara lengkap, silakan tanya Mama. Di sini, aku cuma mau cerita satu saja.

Ada masa di mana Mama enggan mengajakku ke toserba (toko serba ada, yang sekarang lebih terkenal dengan sebutan convenient store atau mini market. Entah kenapa.) Waktu itu, aku masih TK dan lagi senang-senangnya nonton film kartun. Gara-gara itulah insiden yang sama sempat berulang.

Sumpah, waktu itu aku nggak bermaksud menyusahkan. Aku hanya ingin melihat…anak ayam. Anak ayam, bebek, itik, dan…pokoknya semua unggas yang pastinya bertelur.

PRAK! PRAK!! CEPROT!!!

“RUBYYY!”

Wajah Mama merah-padam oleh geram. Anehnya, waktu itu aku malah cekikikan. Kedua tanganku sudah belepotan kuning telur mentah, sementara pecahan cangkangnya berserakan di lantai swalayan.

“Mau lihat anak ayam/bebek/itik…”

Hanya itu yang selalu jadi alasanku. Nggak kebayang Mama dulu harus membayar ratusan ribu, hanya untuk biaya ganti rugi pecahnya telur-telur itu. Aduh, bila mengingatnya sekarang, aku jadi malu. Ajaib Mama masih sabar punya anak badung sepertiku.

Pernah juga Nini (yang sekarang sudah almarhumah) mengajakku berbelanja. Pulang-pulang, beliau menenteng sekantung plastik…namun berisi telur-telur yang sudah pecah. Mama heran dan langsung bertanya:

“Ma, itu telur udah pada pecah kenapa dibeli?”

Dengan wajah datar, Nini waktu itu hanya menudingku yang – entah kenapa – masih juga berani cekikikan.

“Tanya anakmu.”

Ups.

Kalau sekarang, kami sudah bisa menertawakan ‘insiden telur’ tersebut. Tapi, diam-diam aku khawatir juga.

Duh, nanti kalau sudah punya anak sendiri, bakal kayak begini juga nggak, ya? Kualat, deh!

R.

(Jakarta, 9 September 2016 – ditulis saat Pertemuan Mingguan Klub Menulis Couchsurfing Jakarta, Slipi – Petamburan)

 

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

“REUNI SMA TANPA PERUT RATA”

“REUNI SMA TANPA PERUT RATA”

“Ugh…uugh…uuugghh…”

Ah, bedebah. Rok hitam, celana panjang hitam, dan jeans andalanku. Semua tidak ada yang muat. Bagaimana ini? Besok aku mau reuni. Sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu mereka.

Sudah terbayang komentar-komentar sadis dan tatapan miris teman-teman SMA-ku dulu.

“Apa kabar? Makin gemuk aja!”

“Ah, dia mah, emang gak pernah kurus dari dulu.”

“Ini udah anak ke berapa?”

Grr…grrrh…grrrhh… Belum apa-apa aku sudah panas duluan. Bisa kubayangkan wajah-wajah mencibir Amanda dan geng para pesoleknya waktu SMA. Huh! Mentang-mentang aku chubby, aku selalu di-bully.

Kutatap bayangan perutku yang jauh dari rata di cermin. Ah, aku harus menyembunyikannya. Tapi, bagaimana caranya?

Apa aku tidak usah datang saja?

“I know what you’re thinking.” Suara bariton Ben mengagetkanku. Lelaki jangkung yang sudah hampir botak itu menghampiriku dan memelukku dari belakang. Kulihat wajah kami berdampingan saat sama-sama menatap cermin. Wajahnya tampak serius.

“Kalau aku temenin, kamu mau datang, ‘kan?”

—***—

Akhirnya, hari yang kutakutkan tiba juga. Mana Ben tetap keukeuh menemaniku ke Reuni 10 Tahun SMA-ku. Begitu deh, kalau kamu menikah dengan psikolog. Kata Ben, aku harus menghadapi semua hantuku di masa lalu, cepat atau lambat.

Iya juga, sih. Tapi…ah, kata orang masa SMA adalah yang paling indah. Bagiku mah, enggak. Sering di-bully, dikatai, diganggu sampai sakit hati. Amanda dan gengnya emang secantik Gadis Sampul, sih. Sayangnya, mereka juga merasa bahwa (dianggap) cantik berarti bisa suka-suka menghina orang lain. Cuih.

“Maaf.” Seorang perempuan tinggi dan…sangat gemuk, bahkan lebih besar dariku, menyenggolku tanpa sengaja. Aku dan Ben lirik-lirikan. Suamiku tersenyum sambil menggenggam tanganku. Hatiku sedikit lebih tenang.

“Damai! Oh, my God,” seru seorang perempuan kriwil gembira. Ternyata dia adalah Cherry, sahabatku waktu sekelas dulu. “Akhirnya kamu datang juga. Kamu cantik banget!”

Kami berpelukan. Kukenalkan dia pada Ben, suamiku. Cherry mengenalkanku pada Edo, suaminya. Kami juga bernostalgia dengan beberapa teman lama, sampai…

“Amanda!”

Deg. Jantungku berdegup lebih keras saat mataku mencari-cari sosok yang sempat menjadi momok masa remajaku.

Dan aku pun melihatnya. Sosok yang dipanggil Amanda itu balas menyahut. Dia adalah seorang perempuan tinggi besar dan sangat gemuk yang bertabrakan denganku barusan.

Oh…

R.

(Jakarta, 15 Juli 2016 – untuk Tantangan Menulis Mingguan Klub Menulis Couchsurfing Jakarta: “Rata/Flat” di Setiabudi One, Kuningan – pukul 20:00)

(Ada juga di: http://csjakartawritersclub.blogspot.co.id/2016/08/reuni-sma-tanpa-perut-rata.html)