Categories
#catatan-harian #menulis #tips

“2 Nilai Filosofis Catur Ini Sebenarnya Bagus untuk Kehidupan Sehari-hari”

Jujur, saya paling payah dalam bermain catur. Entah karena nggak minat atau dulu malas menghapal banyak aturan buat tiap pion, pokoknya ini bukan olahraga favorit saya. Almarhum ayah sempat sampai frustrasi saat mengajarkan cara bermain catur.

Tapi, saya tetap suka dengan dua (2) nilai filosofis dalam permainan papan yang populer ini. (Sampai di universitas Rusia ada Jurusan Catur segala!) Apa saja, sih?

  • Harus berpikir setidaknya tiga langkah ke depan.

Ini alasannya banyak pemain catur profesional yang kelihatan cerdas sekaligus bijak. Ada juga sih, yang menganggap mereka terlalu banyak berpikir dan menganalisa segala sesuatu – sehingga jarang bertindak langsung atau spontan.

Sebenarnya, mereka cenderung sangat teliti dan lebih berhati-hati sebelum mengambil keputusan final. Makanya, keputusan mereka untuk melangkah atau melakukan sesuatu bisa memberi mereka lebih banyak waktu dan peluang untuk memenangkan pertandingan.

Dalam kehidupan sehari-hari, berpikir panjang sebelum berbuat sebenarnya bisa jadi pangkal selamat. Anda tidak akan terlihat seperti orang bodoh hanya karena kesalahan sepele. Anda juga penuh pertimbangan dan peduli bahwa keputusan Anda juga bisa mempengaruhi orang-orang sekitar, terutama yang terdekat.

  • Hanya bersuara saat bilang: “Skakmat!”

Memang sih, hal ini hanya berlaku saat pertandingan catur. Kalau hanya main biasa, pasti sesekali Anda masih mengobrol dengan lawan Anda.

Permainan ini memang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, terutama saat berstrategi. Kalau teerus-terusan diajak ngobrol selama bermain, alamat isi kepala bisa buyar seketika. (Kecuali kalau ini taktik lawan untuk bikin Anda kehilangan konsentrasi. Untuk saat pertandingan betulan nggak boleh kayak begini, hihihi…)

Selain itu, kita bisa mempraktikkan strategi semacam ini dalam kehidupan sehari-hari. Tahu sendiri ‘kan, masih banyak manusia yang kerjanya omong doang, padahal belum tentu ada maknanya? Alih-alih bikin diri mereka kelihatan pintar, yang ada malah membuka aib sendiri.

Makanya, yang tidak banyak bicara belum tentu tidak percaya diri. Bisa jadi malah sebaliknya, karena mereka merasa tidak perlu bercerita segalanya kepada semua orang.

Mau jadi pemain catur profesional, sekaligus pribadi yang lebih bijak? Yang pasti butuh kendali diri lebih baik, disiplin, dan dedikasi. Kalau masih membiarkan diri sendiri dikendalikan ego, pastinya nggak mungkin bisa, sih.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

Lagi Ngapain?

Lagi Ngapain?

“Lagi ngapain?”

Pertanyaan basa-basi ini mungkin sudah biasa dan normal bagi dua orang yang saling kenal lama – dan mungkin juga saling sayang. Contohnya:

Mama:

“Hari ini hujan deras. Kamu lagi ngapain?”

Saya:

“Lagi di kosan. Baru aja pulang.”

Namanya juga emak-emak. Wajar saja kalau saban hari ngecekin keberadaan anak-anaknya kalau lagi kangen. Gak peduli bila anak-anaknya sudah dewasa dan (relatif) bisa jaga diri sendiri.

Yang Bikin Ilfil

Sayangnya, basa-basi serupa justru malah bikin ilfil bila bukan dari orang yang tepat.

Sering banget denger keluhan dari banyak teman perempuan soal ini. Singkat cerita, begini masalahnya:

Kenalan sama cowok di aplikasi kencan / dating apps / media sosial – pokoknya online. Berdasarkan profil masing-masing, semula kayaknya mereka merasa saling cocok, gitu.

Sayangnya, pas mulai kontak-kontakan, cowok yang semula tampak menarik ternyata malah gak asik buat ngobrol. Habis, basa-basi seringnya kayak gini doang lewat DM / japri:

“Lagi ngapain?”

“Baru bangun.”

“Oh. Udah makan?”

“Kan barusan aku bilang baru bangun.”

“Oke, makan dulu, gih.”

(Padahal, yang disuruh udah bukan anak kecil lagi. Kalau lapar ‘kan tinggal ambil/masak/beli sendiri, terus, makan, deh. Habis perkara.)

Kelar makan:

“Udah makan?”

“Udah.”

“Makan apa?”

*krik…krik…krik…*

Nah, ngerti ‘kan, kenapa obrolannya jadi berasa garing banget? Yang keseringan ditanya basa-basi begini (apalagi tiap hari) pasti lama-lama bete, merasa diperlakukan seperti anak kecil.

Ini kabar buruk, Tuan-tuan sekalian. Jujur aja, kalo cara pedekate kalian kayak gini, semua perempuan yang pernah kalian suka bakalan cepat bosan. Gak usah nuduh mereka sombong, banyak maunya, dan gak mau kasih kalian kesempatan.

Coba kalau situasinya dibalik: ilfil gak kalo diajak ngobrolnya hanya kayak gini?

Lha, Terus Gimana?

Nih, saya blak-blakan aja, ya. Niat saya hanya ingin membantu kalian, wahai Tuan-tuan yang masih suka bingung mau ngobrol apa sama gebetan.

Biar obrolan (setidaknya) sedikit lebih lancar, silakan coba lima (5) saran di bawah ini:

  • Banyak cari referensi obrolan seru.

Hari gini, pedekate jangan modal rayuan basi, tapi juga gak perlu selevel Einstein, kok. (Ada juga cewek yang ilfil sama cowok yang hobi pamer kecerdasan.) Yang penting, Anda punya wawasan cukup luas. Bukan alasan males nyari atau bingung mulai dari mana, karena kalo mau cari-cari lewat Google sebenarnya banyak.

Percaya deh, lebih baik coba cara ini ketimbang selalu nanya apakah si dia udah makan apa belum.

  • Jangan hanya peduli dengan penampilan luar si gebetan.

Saran di atas khusus kalian yang beneran ingin mencari pasangan serius, ya. Okelah, saya gak bilang kalian gak boleh tertarik sama perempuan yang kalian anggep cantik atau menarik secara fisik.

Tapi, sebuah hubungan tidak akan bertahan lama bila kalian hanya peduli dengan yang ada di permukaan. Baca juga profilnya. Saya yakin, perempuan secantik supermodel pun akan bosan bila obrolan kalian hanya seputar check-in kayak absensi sama guru piket sekolah.

  • Coba variasikan obrolan.

Daripada cuma nanya udah makan apa belum, mending ajak si dia makan bareng aja sekalian. Anda juga bisa cerita Anda lagi suka atau habis makan apa. Tanyakan juga menu favoritnya, termasuk restoran dan lain-lain. Pokoknya, kembangin aja percakapan seputar topik kuliner ini.

Oke, ini hanya contoh. Intinya, biarkan percakapan mengalir apa adanya. Gak perlu dibuat-buat atau berlagak (paling) tahu segalanya. Jadi sendiri aja.

  • Gak usah merasa terancam dengan kecerdasan si dia.

Ini kesalahan yang banyak dilakukan laki-laki. Pas mulai ngobrol dengan perempuan incaran dan ternyata dia pintar, langsung deh, pada mundur teratur. Alasannya apa lagi kalo bukan minder dan merasa terancam.

Ada juga sih, yang berusaha mengubah si perempuan. Mulai dari menyebutnya terlalu kaku, serius, gak asik, hingga yang terang-terangan bilang begini:

“Jangan pinter-pinter amat. Ntar cowok pada takut.”

Terus, habis ngomong gitu masih ngarep perempuan bakal menurut dan mengubah diri mereka sendiri, terus kasih kalian kesempatan? Ha-ha, hari gini. Please, dah!

Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Gak perlu merasa insecure. Biasa aja. Justru, sebuah hubungan akan semakin meriah dengan saling berbagi ilmu. Jika masih menganggap perempuan (bahkan yang sedang disukai) adalah saingan – apalagi ancaman – hanya karena menurut Anda dia sangat cerdas, berarti masalahnya bukan di perempuan itu.

Anda-lah yang belum siap menjalin hubungan serius dan dewasa, karena masih menganggap perempuan cerdas sebagai saingan yang mengancam. Gimana mau kerjasama sebagai pasangan untuk membangun relasi yang sehat, kalau belum apa-apa sudah insecure duluan dan parno si dia bakalan meremehkan Anda?

Gimana kalo si dia ternyata terbukti sombong? Ya, udah. Langsung cari aja yang menurut Anda enggak. Gak perlu maksa, apalagi pake acara nyinyir dan ngancem-ngancem segala. Udah gak zaman merespon penolakan dengan cara yang teramat kekanak-kanakan.

  • Gak usah maksa kalo ternyata si dia gak tertarik juga.

Ini juga salah satu kesalahan yang banyak dilakukan laki-laki di dating app. Baru aja kenalan sebentar, ekspektasi terlanjur tinggi. Maunya langsung sama-sama suka dan lantas jadian.

Nah, lagi-lagi saya harus mengingatkan: ini bukan dongeng atau sinetron. Memang, banyak orang yang bisa bikin Anda kecewa, sebaik apa pun usaha Anda untuk menyenangkan mereka.

Namun, percuma juga memaksa mereka untuk menyukai Anda lebih dari sebagai teman. (Sekali lagi, gak usah sinis juga dengan konsep ‘friendzone’, karena masih jauh lebih baik daripada dimusuhin dan dicap ‘creepy’.) Kalo gak kuat dengan penolakan, mending mundur ketimbang bikin drama yang gak perlu.

Anda juga gak suka ‘kan, bila ada cewek yang maksa-maksa Anda harus mau jadian sama mereka? Yang ada malah Anda katain gampangan dan putus-asa lagi.

Coba asah dulu kemampuan ngobrol Anda, siapa tahu ada yang mau. Jangan lupa, semua yang bagus-bagus itu ada prosesnya, lho. Kalau mau terus bersabar sambil berusaha tanpa ngoyo, ntar ketemu juga dengan jodoh. Yang penting, coba terus dan harus tahu kapan harus beralih ke yang lain dan gak gengsi untuk terus memperbaiki diri.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Cara Kilat Move On Dari Gebetan yang Udah Jadian

5 Cara Kilat Move On Dari Gebetan yang Udah Jadian

Foto: Freepik

Udah lama gak nulis yang ringan-ringan kayak gini. Mumpung masih di blog sendiri, hihihi…

Pernah diam-diam naksir gebetan, tapi sialnya udah keduluan orang lain? Meskipun mungkin patah hatinya belum tentu separah orang yang ditinggal mati/diselingkuhin/diputusin/di-stashing (diperlakukan seperti pacar pas lagi berdua doang, tapi gak pernah dikenalin ke siapa-siapa-nya si dia)/di-ghosting…rasa sakit dan kecewa itu pasti tetap ada.

Gak apa-apa. Kalau pun ada yang nganggep kalian lebay dan belum apa-apa udah jadi ‘bucin’, biar mereka ke laut aja. Minta ditenggelamin banget, biar bisa main sama ubur-ubur sekalian.

Jadi, gimana cara move on dari gebetan yang ternyata sudah jadian sama orang lain? Berdasarkan pengalaman dan hasil curhat beragam narsum, inilah lima (5) cara kilat yang bisa dicoba:

  • Akui perasaan sedih.

Gak perlu gengsi. Perasaan sedih dan kecewa itu pasti ada. Gak perlu diumbar ke seluruh dunia juga, sih. Setidaknya, akui pada diri sendiri. Mau cerita ke beberapa orang terdekat saja juga boleh.

  • Beri waktu buat diri sendiri.

Gak perlu maksain diri pasang muka sok tegar di depan si dia (dan pacar barunya). Yang ada malah aneh, apalagi bila Anda termasuk yang susah menyembunyikan emosi.

Bila perasaan sudah netral kembali, Anda bisa muncul kembali di hadapan si dia kayak gak (pernah) ada apa-apa. Kalo gak mau urusan lagi sama si dia juga gak apa-apa, selama kalian berdua belum keburu jadi sahabat.

Lho, kok? Kalo si dia udah nganggep Anda sahabat, pastilah dia akan bertanya-tanya saat Anda tiba-tiba menghilang dan susah dihubungi. Sekalinya bisa, alasan Anda ada saja untuk menolah ketemuan. Bukannya nanti dia malah akan curiga?

  • Sibukkan diri dengan berbagai kegiatan seru.

Ini beda dengan berlagak gak ada apa-apa, ya? Masih merasa sedih itu boleh dan wajar. Bodo amat dengan mereka yang bilang Anda galau dan baperan. Yang penting, Anda jujur dengan diri sendiri. Gak perlu jelasin apa-apa ke semua orang, apalagi sampai harus pura-pura bahagia biar mereka senang.

Menyibukkan diri bisa jadi pengalih perhatian, supaya gak kepikiran si dia terus. Selain itu, anggap saja penghasilan positif dari produktivitas Anda ibarat kompensasi patah hati. Betul, gak?

  • Gak perlu maksa harus buru-buru jadian sama orang lain.

Memang sih, ada yang awalnya hanya ‘rebound’ (pelarian) sebelum akhirnya jadi sayang beneran. Tapi, gak semuanya kayak gitu juga, kali. Emangnya film Hollywood? Semua perlu proses dan perasaan gak bisa (dan sebaiknya juga jangan) dipaksa.

  • Gak usah sinis  sama konsep ‘friendzone’.

Kenapa sih, di-‘friendzoned’ kesannya hina dan pecundang banget? Patah hati, sedih, atau kecewa boleh saja. Namanya berharap tapi gak sampai, perasaan negatif semacam itu pasti ada.

Tapi, bersyukurlah bila si dia masih menganggapmu teman. Itu masih lebih baik daripada tidak atau malah dianggap bukan siapa-siapa.

Meskipun tetap jadi teman, jangan terlalu berharap kalau peluang masih terbuka buat Anda. Selain lagi-lagi perasaan gak bisa dipaksa, ini sama saja gak menghargai si dia yang masih mau menjadikan Anda teman.

Siapa tahu, Anda dan si dia ternyata hanya ditakdirkan untuk menjadi teman baik dan malah lebih awet. Bahkan, bukannya tidak mungkin kalo si dia yang tadinya sempat bikin Anda tergila-gila, ternyata malah mengenalkan Anda pada jodoh yang sesungguhnya dan lebih baik. Siapa tahu, ‘kan?

Ayolah. Gak ada salahnya sesekali berpikir positif sedikit. Lagipula, patah hati hanya akan berlangsung selamanya bila tidak ada usaha dari si pemilik hati untuk menyembuhkan diri sendiri.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

3 Tips Hadapi Pelaku Bodyshaming di Kantor

3 Tips Hadapi Pelaku Bodyshaming di Kantor

Sudah lama sekali saya merasa muak. Ya, saya sudah muak sekali dengan kebiasaan orang Indonesia yang satu ini: kalau basa-basi atau bercanda, bawaannya usil mengomentari fisik. Memang sih, nggak semua orang Indonesia kayak begini. (Please, nggak perlu juga mengingatkan saya dengan tagar #notallIndonesians. Kayak apaan aja, gitu.)

Sayangnya, yang model begini sudah banyak, paling kelihatan, dan berisik pula. Mendadak rasanya kayak balik ke zaman sekolah, padahal sudah sama-sama dewasa. Nggak lucu banget, ‘kan? Apalagi, mereka hobi banget asal mangap, lalu pakai alasan klasik sejagat:

“Cuma bercanda.”

Meskipun beralasan demikian, sebenarnya kita berhak kok, merasa tersinggung dengan ucapan mereka. Namun, biasanya mereka akan berusaha membela diri dengan menyebut kita baperan. Biasa banget, ‘kan?

Tenang, banyak cara untuk membungkam mereka, tanpa perlu memaki-maki. Tapi, saat ini saya baru kepikiran tiga (3) berdasarkan pengalaman sendiri, yaitu:

  • Tantang saja mereka dengan makan seperti biasa.

Sebenarnya, rekan kerja semcam ini hanya caper (cari perhatian), biar dianggap ada. Sayang, caranya nggak banget. Contoh: pas acara makan-makan di kantor. Rekan kerja lelaki ini menghampiri saya yang baru saja hendak menyuapkan sesuatu ke dalam mulut. Komentarnya:

“Cewek makannya nggak boleh banyak-banyak.”

Yang saya lakukan hanya ini:

Saya: “Oh, ya? Kata siapa?”

Dia: “Kata gue.”

Saya: “Oh, gitu yah?”

Lalu…saya tetap menyantap makanan seperti biasa dan tidak mempedulikan mereka. Kalau masih berisik juga, tinggal sumpal telinga sendiri dengan headset. Masih lebih mending dengerin musik metal ketimbang suara mereka. Ya, nggak?

  • Balas dengan elegan.

Kayak anak kecil banget, yah? Tapi, mau gimana lagi? Nggak semua orang se-dewasa yang mereka kira.

Mungkin mereka pikir mereka lucu. Misalnya: Anda lagi enak-enak makan kerupuk. Sebungkus nggak mungkin habis untuk sendirilah. Anda sudah halo-halo ke satu ruangan, mengizinkan mereka untuk datang dan tinggal ambil kerupuknya juga kalau pada mau.

Ehh…ujug-ujug mahluk yang satu ini menghampiri, lalu mulai bertanya-tanya soal kapan terakhir kali saya olahraga. (Memangnya kenapa saya harus menjelaskan soal itu sama dia?) Mulai dari nanya-nanyain jenis olahraga, frekuensi berolahraga, sampai menasihati mengenai yang boleh dan tidak boleh saya makan. Astaga, memangnya saya anak kecil, yah?

Buntutnya, orang ini malah mau minta kerupuknya. Konyol banget, ‘kan? Kenapa nggak dari awal aja ngomong baik-baik, ketimbang acara nyindir berat badan segala? Itulah yang kemudian saya katakan langsung padanya:

“Kalo mau minta, ya tinggal minta aja. Nggak usah pake basa-basi soal berat badan segala!”

Kalau orang macam ini kesal dengan respon seperti itu, biar saja. Siapa juga yang cari gara-gara duluan?

  • Diamkan saja – atau beri tatapan dingin nan tajam.

Kadang cara ini jauh lebih efektif daripada sekadar marah-marah. Saat mereka mulai iseng mencari gara-gara dengan Anda, pura-pura saja tidak dengar. Anggaplah mereka tidak beda dengan anak kecil yang sedang mencari perhatian gara-gara bosan.

Kalau mereka masih juga berisik, cukup pelototi mereka. Bahkan, kalau sudah kelewatan, bilang saja begini: “Mending ngebahas pekerjaan deh, daripada berat badan gue yang sama sekali nggak ada hubungannya!”

Memang sayang, nggak semua orang bisa benar-benar bersikap dewasa. Tapi, Anda juga nggak perlu ikut-ikutan mereka dengan bersikap kekanak-kanakan. Justru, cukup tunjukkan Anda bisa tetap elegan. Bodo amat dibilang galak.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

6 Menu Sahur Anti Ribet Buat Anak Kos

6 Menu Sahur Anti Ribet Buat Anak Kos

Yang namanya ngekos (apalagi seorang diri) berarti udah harus siap mengurus diri sendiri. Apalagi soal makanan dan kesehatan. Jangan sampai demi pengiritan, kita malah jatuh sakit.

Ini salah satu problem khas anak kos selain suka telat bangun sahur (entah gara-gara nggak ada yang bangunin, lupa pasang alarm, sama entah apa lagi). Dapur di kosan penuh antrian sama anak-anak kos lain yang juga melaksanakan ibadah puasa.

Akibatnya, waktu sahur jadi mepet. Selain harus rela bangun lebih dini hari biar bisa pakai dapur duluan, solusi lain ya, cari warung atau minimarket terdekat yang buka jam-jam segitu selama bulan puasa. Kalau ada sesama anak kos yang rela berbagi menu sahur mereka, terima aja. Anggep aja berkah di bulan puasa.

Kalo enggak? Anda bisa mengandalkan enam (6) menu sahur anti ribet ini, ketimbang nungguin dapur kosan sepi:

  • Oatmeal.
Foto: unsplash.com

Bikinnya cepet dan nggak ribet. Cukup tambahkan air panas, gula, madu, atau sirup buah di atas oatmeal, lalu aduk semuanya hingga kental. Boleh juga ditambahkan dengan potongan buah di atasnya sesuai selera masing-masing.

Oatmeal juga bikin kenyang lebih lama karena kaya serat. Jadi, nggak gampang kelaparan deh, saat puasa.

  • Roti.
Foto: unsplash.com

“Kok makannya roti, sih? Orang Indonesia kalo belum ketemu nasi namanya belum makan. Mana kenyang?”

Hehe, terserah sih, kalo masih memilih berpikir seperti itu. Tapi, ini masalah darurat. Kalo kebetulan Anda bangunnya pas jam mepet mau imsak, mana sempat menanak nasi? Roti termasuk menu anti ribet yang bisa dicoba untuk menu sahur khas anak kos.

Selain dipanggang (pakai toaster atau panggangan manual), Anda juga bisa mengandalkan semua selai roti yang ada. Misalnya: butiran coklat (meisyes), selai kacang, mentega, margarin, hingga selai buah macam nanas hingga stroberi. Habis itu tinggal langsung dimakan. Gampang banget, ‘kan?

  • Pisang.
Foto: unsplash.com

Saya pernah mencoba makan pisang saja untuk sarapan. Hasilnya? Kenyang juga tuh, meskipun tanpa harus makan nasi atau menu berkarbohidrat lainnya. Kenapa nggak dicoba buat menu sahur?

Mungkin hasilnya berbeda-beda bagi setiap orang. Buat saya sih, pisang bisa bikin saya bertahan setengah hari tanpa mudah kelaparan lagi. Cocok deh, buat di bulan puasa.

  • Salad.
Foto: unsplash.com

Menu ini memang agak mahal sih, buat sahur. Apalagi, salad juga harus cepat dihabiskan karena nggak akan bertahan lama, meskipun disimpan di kulkas juga. (Namanya juga sayuran.)

Kecuali, kalau Anda mau belanja dan mengolah sendiri. Yang pasti, salad nggak akan seribet menu karbohidrat dan protein. Tinggal diaduk dalam satu mangkok yang sama.

Takut nggak kenyang? Tenang, ada saus mayonaise yang bisa kamu siram di atas salad. Kamu juga bisa menambahkan potongan keju balok untuk tambahan protein hewani.

  • Lauk (yang di)kering(kan).
Foto: pinterest.com

Contoh: abon, teri kacang, keripik, dan sejenisnya. Memang sih, menu ini hanya untuk kondisi super darurat, seperti: belum sempat berbelanja lagi, banyak yang antri di dapur, hingga bokek di akhir bulan.

Selain darurat, lauk ini juga cocok untuk Anda yang lagi malas masak, tapi masih punya nasi untuk disantap. Hehe, yang penting sahur nggak terlewat!

  • Yogurt.
Foto: unsplash.com

Nah, menu ini juga bisa jadi pilihan untuk sahur kilat. Selain kaya akan kandungan protein, yogurt bisa divariasikan dengan potongan buah-buahan dan varian rasa. Memang harus beli sih, sebelum disimpan di kulkas semalam sebelumnya.

Greek Yogurt termasuk yang bisa kamu coba untuk menu sahur.

Jangan lupa, selain mengandalkan enam (6) menu sahur anti ribet ini biar nggak harus antri di dapur kosan, banyak minum air putih biar nggak dehidrasi.

R.

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis #tips

5 Cara untuk Mendidik Anak Usia Dini di Era Teknologi

5 Cara untuk Mendidik Anak Usia Dini di Era Teknologi

Seperti apakah peran keluarga dalam PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di era digital ini? Yang pasti semakin penting. Apalagi, dengan kemajuan teknologi saat ini yang kian pesat, anak dapat mengakses informasi apa pun. Bila tidak dibatasi sesuai umur, hal ini dapat berakibat perkembangan anak yang kurang baik.

Banyaknya sekolah berbasis PAUD menunjukkan kesadaran masyarakat mengenai pendidikan anak sejak dini. Salah satunya adalah Apple Tree Pre-school BSD. Selain itu, alangkah baiknya bila orang tua sendiri juga tetap mendidik dan mengasuh anak dari rumah.

Bersama Apple Tree Pre-School BSD, inilah lima (5) cara yang dapat dilakukan orang tua untuk mendidik si kecil di era teknologi:

  • Meluangkan waktu untuk anak di rumah, meskipun menjadi orangtua bekerja.

Baik ayah maupun bunda sama-sama punya peran penting dalam pendidikan anak di usia dini. Meskipun salah satu atau kedua orang tua sibuk, saat di rumah, luangkan waktu bersama anak. Dengan begini, Anda bisa sama-sama memantau perkembangan anak.

Anda bisa memulainya dengan selalu menyapa anak lebih dulu saat tiba di rumah. Alih-alih langsung bertanya soal tugas-tugas sekolah mereka, tanyakan kabar anak. Dengan begitu, mereka akan merasa diperhatikan tanpa terlalu dituntut. Memeluk mereka juga menambah kedekatan orang tua dan anak.

  • Biarkan si kecil bercerita dengan bebas tanpa takut dimarahi.

Biasakan agar anak selalu jujur dan terbuka, meskipun mereka melakukan kesalahan. Ada kalanya anak merasa malu karena tanpa sengaja melakukan sesuatu. Misalnya: memecahkan barang di rumah atau bertengkar dengan teman di sekolah. Pastinya, ini bukan pengalaman yang menyenangkan bagi mereka.

Meskipun ulah mereka bisa membuat Anda kesal, kurangi langsung bereaksi dengan marah-marah – apalagi sampai berlebihan. Jelaskan pada anak bahwa kesalahan apa pun yang mereka lakukan, lebih baik jujur mengakuinya. Setelah itu, Anda bisa mengajak si kecil untuk melakukan sesuatu, belajar dari kesalahannya.

  • Selain mengajak si kecil bercerita, bacakan juga cerita sebelum tidur.

Di era digital ini, kegiatan mendongeng anak sebelum tidur tampaknya mulai jarang dilakukan. Anak malah lebih banyak dijejali dengan tontonan di televisi atau bermain gawai (gadget), bahkan hingga larut malam.

Padahal, kegiatan ini dapat mendekatkan orang tua dengan anak. Selain itu, anak akan punya kebiasaan senang membaca karena mencontoh kedua orang tuanya. Sering mendengar dongeng sebelum tidur juga akan meningkatkan daya khayal anak, sehingga mempertajam sisi kreatif mereka.

  • Batasi interaksi mereka dengan gawai (gadget).

Bila belum terlanjur kecanduan, segera batasi penggunaan gawai (gadget) pada anak. Bahkan, sebaiknya anak jangan dibiarkan menggunakan gawai pada usia yang terlalu dini. Selain dapat mengganggu penglihatan mereka, gawai juga berpotensi membuat anak menjadi enggan bersosialisasi.

Daripada hanya menyuruh dan memaksa, berilah contoh dengan tidak selalu memegang gawai saat berada di dekat mereka. Bahkan, untuk mengalihkan perhatian anak dari gawai, ajaklah mereka berkegiatan di luar, seperti bersepeda, berolahraga, hingga sekadar jalan-jalan santai. Anak juga jadi lebih sehat.

Lakukan kegiatan tersebut setiap akhir pekan. Bila anak sudah terlanjur memegang gawai, terapkan peraturan dengan tegas. Misalnya: stop main gawai dua jam sebelum waktu tidur. Hal ini dapat mencegah anak mengalami susah tidur.

  • Aktivasikan perangkat pelindung untuk membatasi konten yang dapat mereka akses.

Alih-alih hanya menyalahkan dunia luar dan memboikot konten yang dianggap merusak mental anak-anak, mulailah semuanya dari rumah. Batasi konten yang dapat mereka akses dengan mengaktivasikan perangkat pelindung seperti nanny sites pada semua perangkat gawai di rumah.

Sebenarnya, PAUD (pendidikan anak usia dini) harus dimulai dari yang mendasar, seperti memperkuat gerak motorik mereka (melalui kegiatan fisik dan menulis) dan interaksi sosial (berkomunikasi dengan orang lain). Boleh saja membiarkan anak memegang dan bermain dengan gawai, asal ada batasnya.

#appletreebsd

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

“Baca, Dong! Biar Paham”

“Baca, Dong! Biar Paham”

Maaf, saya tidak sedang membentak pembaca. Saya hanya tiba-tiba teringat dengan kebiasaan beberapa kenalan.

Indonesia sangat senang ber-media sosial. Itu sudah bukan rahasia lagi. Silakan cek FB, Twitter, IG, hingga aplikasi chat macam WhatsApp (WA). Ngomong-ngomong soal WA, pasti banyak yang kewalahan menangani grup WA di ponsel mereka.

Tidak Sabaran dan Yang (Merasa) Lebih Berilmu Tapi Sombong?

Memang, masih banyak orang Indonesia yang tidak suka membaca. Apalagi, di era digital ini, mereka lebih suka baca yang pendek-pendek saja dan menikmati yang visual. Instagram (IG) masih paling laku.

Kalau mau menulis di ranah digital saja disarankan agar tidak panjang-panjang amat. Paling sekitar 300 – 500 kata per artikel. Alasannya, biar yang baca nggak cepat bosan.

“Baca, dong! Biar paham.”

Memang, era digital membuat semuanya (terasa harus) serba cepat. Mungkin ini sudah pernah dibahas oleh banyak penulis atau blogger lain.

Sepertinya, gara-gara itu manusia sekarang jadi kurang sabar. Ini terlihat dari begitu cepatnya mereka share (dan reshare) informasi tanpa cek dulu dan lagi. Begitu yang mereka share ternyata hoaks, barulah pada ribut dan cari-cari alasan untuk menghindar. Yang masih sportif akan meminta maaf meskipun suasana terlanjur kacau.

Bercerita yang Tidak Tuntas

Jujur, saya termasuk orang yang tidak suka dengan cara bercerita yang setengah-setengah. Kayak nggak niat, gitu. Contohnya, pernah ada yang curhat begini soal orang yang sama-sama dikenal:

“Pokoknya dia nyebelin!”

“Iya, tapi nyebelinnya kenapa? Kasih contoh, dong.”

“’Kan barusan gue bilang dia nyebelin. Ngertiin, dong!”

“Lha, gimana bisa ngerti kalo ceritanya nggak lengkap gini – apalagi nggak ada bukti?”

“Nggak usah pake bukti! Pokoknya gue lagi kesel.”

*krik…krik…krik…*

Jangan tanya saya gimana rasanya saat waktu terbuang percuma, ikut dibikin kesal pula. Padahal, yang dengar juga nggak tahu pasti masalahnya, namun kayak dituntut untuk langsung paham dan setuju, gitu. Ini sama dengan satu contoh kasus lagi.

Nggak ada angin, nggak ada apa, ujug-ujug ada kenalan yang main share konten bermuatan politik (yang sayangnya negatif) di mutual group kami. Terus, habis itu langsung memaki-maki – pakai laknat atas nama Tuhan lagi.

Salah seorang teman di dalam grup tentu saja bingung dan bertanya: “Maksudnya apa, nih?”

“Baca, dong! Biar paham.”

“Iya, udah baca. Tapi maksudnya apa nih, share kayak begini?”

“Gue ‘kan udah bilang tadi. Masa gitu aja masih nggak ngerti juga, sih?”

Butuh beberapa anggota grup lain untuk menengahi, sebelum terjadi pertengkaran di dunia maya. Sayangnya, suasana sudah terlanjur nggak enak, apalagi si penyebar berita ngotot bahwa dirinya nggak salah.

Biasanya, kalau sudah bertemu model begini, saya memilih untuk tidak bicara apa-apa sama sekali. Jujur, saya malas setengah mati. Ya, kalau nggak perlu-perlu amat berurusan dengan mereka, ngapain juga cari-cari perkara? Ya, nggak? Hidup sudah ribet, nggak perlu ditambah lagi dengan drama bikinan sesama.

Saya suka gerah dengan mereka yang hobi bercerita setengah-setengah, pakai emosi pula. Manusiawi sih, ada orang yang memang emosian sehingga susah membagi informasi dengan lancar dan benar.

Sayangnya, orang-orang seperti ini suka nggak (mau?) mempertimbangkan dampak perbuatan mereka ke orang lain. Udah buang-buang waktu pendengar mereka, pake bikin keki segala lagi. Mungkin mereka juga bukan orang yang mau mendengar saran dari saya. (Halah, lagipula siapa sih, saya?)

Namun, bagi yang tidak keberatan, saran-saran ini mungkin bisa jadi pengingat bagi kita semua. (Ingat, saya bukan sekadar mengkritik, tapi sebisa mungkin juga nawarin solusi – yang kalau bisa biar semua pihak sama-sama enak.)

  1. Berilah jeda untuk diri sendiri dulu sebelum mulai bercerita.

Lagi kesal dengan seseorang atau sesuatu? Tarik napas pelan-pelan. Minum air putih. (Buat yang beragama, silakan membaca doa sesuai keyakinan masing-masing untuk menenangkan diri.)

Jangan biasakan diri mendadak ngamuk-ngamuk nggak jelas, ya. Masalahnya, nggak semua orang mau (dan bisa) mengerti Anda.

  • Coba tulis dulu di selembar kertas.

Sebelum asal mengirim pesan (apalagi ke grup online), coba tulis dulu yang ingin dikatakan di selembar kertas (atau di mana, kek. Di jidat sendiri juga nggak ada yang melarang.)

Sampai selesai, lalu baca lagi hingga habis. Dari situ, kita bisa mempertimbangkan dengan lebih cermat:

Sebenarnya, penting banget nggak sih, harus share informasi kayak gitu ke orang banyak? Apakah akan ada gunanya?

  • Pertimbangkan cara penyampaiannya.

Apa iya, harus pakai bentak-bentak atau kata-kata makian? Apa iya harus melaknat atas nama Tuhan? Memangnya Anda sendiri senang diperlakukan demikian?

Mau itu curhat politik, pribadi, atau apa pun, bukankah lebih enak bila disampaikan dengan cara yang lebih santun dan bijak? Kesal sih, boleh. Tapi, nggak perlulah sampai memaki-maki segala. Memangnya lupa dengan ajaran cara bercerita yang baik dan benar di sekolah dulu?

  • Anda tidak bisa mengontrol reaksi orang lain.

“Suka-suka gue dong, mau ngomongnya kayak apa! Situ kok jadi baperan?”

“Ya udah, lain kali nggak usah dengerin cerita gue kalo elo emang nggak suka!”

Sikap defensif jelas banget pada jawaban pertama di atas. Yang kedua lebih bersifat menyalahkan pendengar, hanya gara-gara reaksi mereka yang jauh dari harapan si pembagi informasi.

Tuh, ‘kan? Padahal, kenyataannya, kita nggak bisa mengendalikan reaksi orang lain atas cara kita bercerita. Yang ada malah kita yang terlihat labil di mata mereka. (Itu kalau peduli, ya.)

  • Hati-hati bila ingin melaknat orang lain atas nama Tuhan.

Bukan apa-apa, gimana kalau yang kebetulan kita laknat itu ternyata sebenarnya tidak bersalah? Gimana kalau suatu saat ternyata mereka diberi kesempatan oleh-Nya untuk bertobat tanpa sepengetahuan kita, sementara kita sendiri malah jadi yang melenceng gara-gara kesombongan diri sendiri?

Kalau dikira saya nggak pernah kayak gini, salah besar. Justru saya sendiri juga belajar dari pengalaman, makanya berani menulis yang seperti ini. Ngapain takut, bila demi kebaikan?

R.

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis #tips

Bekerja Fulltime Sekaligus Freelance? Ini 7 Tips Untukmu, Seperti #MoneySmartMenginspirasi

Bekerja Fulltime Sekaligus Freelance? Ini 7 Tips Untukmu, Seperti #MoneySmartMenginspirasi

Merasa gajimu di kantor kurang? Biasanya banyak yang mencari solusi berupa kerja freelance. Ya, bekerja freelance sambil terus melakukan yang fulltime banyak dilakoni pekerja muda saat ini. Apalagi, era digital semakin mempermudah pekerja untuk menjalankan keduanya.

Sekilas mungkin terdengar gampang. Apalagi, banyak motivasi lain yang melatari keputusanmu untuk menjalankan kedua pekerjaan ini. Mulai dari membayar utang, ‘balas dendam’ setelah kena masalah finansial, hingga ingin menabung lebih banyak atau berinvestasi.

Namun, bagaimana bila kamu kewalahan mengatur waktu dan tenaga? Apalagi, kerja fulltime sudah menuntut 8 jam waktumu dalam sehari. Belum lagi kalau pulang-pergi, saat kamu harus berhadapan dengan kemacetan di jalan raya. Alamat waktu istirahatmu berkurang, padahal niatmu hanya ingin menambah penghasilan.

Main Siasat dengan 7 Kiat

Nah, agar pekerjaan fulltime maupun freelance kamu lancar jaya, kamu harus bisa main siasat dengan 7 kiat di bawah ini. Tidak hanya soal manajemen waktu, kamu juga membutuhkan manajemen tenaga. Yang pasti, harus atur keuanganmu dengan cerdas. Jadi, inilah 7 kiat itu biar tidak keteteran:

  1. Saat di kantor, jangan pikirkan kerjaan freelance.

Cara ini tidak hanya menghindarkanmu dari kemungkinan dipecat bila ketahuan. (Iyalah, lagi di kantor masa ngerjain yang lain?) Selain itu, kamu juga bisa lebih fokus menyelesaikan pekerjaan kantor. Bahkan, lama-lama kamu mungkin akan terbiasa menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Jadi bisa teng-go, deh!

Tentu saja, kamu harus mengurangi bergosip saat kerja, karena harus konsentrasi penuh agar bisa cepat pulang. Nah, di situ kamu boleh mulai melirik pekerjaan freelance-mu.

  • Ambillah pekerjaan freelance yang tidak mengganggu jam kantor.

Jangan sampai capekmu dobel gara-gara harus menyelesaikan pekerjaan kantor – dan freelance secara colongan – di saat yang sama. Kamu bisa sedikit menyicil pekerjaan freelance di pagi hari sebelum ke kantor dan sesudah jam kantor. Bahkan, bila weekend tidak ke mana-mana, kamu juga bisa melakukannya di rumah.

Bahkan, lebih baik lagi bila pekerjaan freelance kamu hanya bisa dilakukan saat weekend. Contoh: menjadi event atau party organiser, guru les, freelance writer, hingga translator.

  • Pilih kerjaan freelance yang bisa dilakukan secara online.

Nah, sekarang ‘kan, banyak tuh, content agency yang mencari pekerja freelance. Kamu bisa melamar sebagai penulis, translator, dan bahkan hingga desainer freelance. Waktu kerjanya pun bisa disesuaikan. Kamu bisa mengerjakan semuanya secara remote, alias tidak perlu datang ke kantor.

Kamu juga bisa memanfaatkan platform digital untuk pekerja freelance. Ada juga media digital yang menerima karya tulis dari penulis freelance. Pokoknya, coba semua yang mungkin. Tapi ingat, kamu harus bisa mengatur waktu dan tenaga, ya.

  • Rajin ikut lomba (terutama bagi yang berprofesi sebagai penulis atau blogger).

Mungkin ini hanya untung-untungan, tapi kenapa tidak dicoba? Apalagi bila kamu termasuk masih bisa produktif dalam menulis. Bila memenangkan hadiah uang, isi tabunganmu juga akan bertambah. Syukur-syukur bila ada yang hadiahnya setengah gajimu per bulan.

Selain itu, kamu juga otomatis menyebarkan portofolio kamu. Siapa tahu, semakin banyak klien yang akan mengincar jasa freelance kamu.

  • Bikin business plan dan jadwal untuk pengingat.

Nah, karena juggle dua pekerjaan sekaligus, ada kalanya kamu kelelahan hingga sulit mengingat semuanya. Selain bikin business plan yang jelas (termasuk target), jangan lupa susun jadwal untuk pengingat. Kamu bisa gunakan kertas post-it warna-warni untuk membedakan target pekerjaan fulltime dengan yang freelance.

Cara ini juga bisa mencegahmu salah mengirim email. Mungkin atasanmu di kantor tidak keberatan bila tahu kamu juga punya usaha sampingan. Tapi, alangkah fatalnya bila kamu sampai salah mengirim email – apalagi bila dua perusahaan tempatmu bekerja (untuk fulltime dan freelance) adalah saingan!

  • Jangan kemaruk ingin ambil semuanya.

Ada kalanya, kantormu sedang sepi pekerjaan, sementara order freelance membludak. Begitu pula sebaliknya. Order freelance sedang sepi, sementara kantor tempatmu bekerja lagi sibuk-sibuknya.

Namun, ada kalanya dua-duanya sedang sibuk. Nah, buat yang tidak hati-hati, kamu bisa terjebak menjadi kemaruk. Apalagi bila saat itu kamu sedang (merasa) butuh lebih banyak uang.

Nah, di sinilah kamu harus mengatur waktu dan tenagamu sendiri dengan cermat. Jangan sampai malah keteteran sehingga mengganggu jadwal dua pekerjaanmu. Selain itu, jangan juga mengorbankan waktu istirahatmu sehingga jatuh sakit. ‘Kan sayang, bila buntutnya harus mengeluarkan uang untuk berobat ke dokter?

  • Pisahkan akun rekening untuk dua penghasilan berbeda.

Ini mungkin strategi yang sudah sering kamu dengar dalam tips keuangan. Kamu dapat mengetahui jumlah penghasilan freelance yang kamu dapat dan tidak akan tercampur dengan gaji bulanan. Ini juga berlaku bila kamu punya tujuan keuangan berbeda dengan dua penghasilan tersebut.

Misalnya: gaji bulanan untuk pengeluaran sehari-hari, sementara yang freelance untuk cadangan atau investasi bisnis.

Praktikkan tujuh (7) tips keuangan ini demi keamanan finansial kamu. Jangan lupa satu hal lagi yang paling penting: jangan boros. Jebakan yang satu ini paling mudah menyerang kamu yang merasa sudah punya cukup banyak uang. Seperti #SmartMoneyMenginspirasi , jangan sampai lupa diri.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Cara Payah untuk Minta Maaf

5 Cara Payah untuk Minta Maaf

Ketika sadar bahwa kita telah membuat kesalahan – besar atau kecil – minta maaflah. Itulah yang harus dilakukan oleh semua orang dewasa yang benar-benar berakal. Kecuali yang narsis, karena mereka tidak peduli telah menyinggung orang lain.

Atau, apakah mereka masih minta maaf? Bahkan jika mereka melakukannya, apakah mereka benar-benar tulus? Apakah mereka melakukan itu karena sadar telah melakukan kesalahan – atau hanya untuk menyelamatkan muka?

“Tapi setidaknya mereka sudah minta maaf, ‘kan? “

Tentu saha. Namun, waspadalah terhadap beberapa ciri yang “mungkin cukup halus”. Nah, berikut adalah lima (5) cara payah untuk meminta maaf:

1. Alasan, alasan.

“Sori, tapi lo harus mengerti. Gue melakukan ini karena … “

“Aku minta maaf, tapi aku punya alasan kenapa harus begini.”

Jika alasannya masih masuk akal, mungkin masih dapat diterima. Namun, terlalu sering beralasan macam-macam bisa bikin orang lain kehilangan respek sama Anda, bahkan saat Anda bersungguh-sungguh.

Mengakui kesalahan, seburuk apa pun, jauh lebih terhormat daripada mencari-cari alasan. Serius.

2. Menyindir bahwa Anda bukan masalahnya, tetapi justru orang-orang yang telah Anda sakiti.

“Gue minta maaf ya, kalo udah bikin kalian merasa nggak nyaman.”

Kesan awalnya tulus. Sepertinya Anda benar-benar peduli dengan perasaan orang lain sehingga Anda meminta maaf kepada mereka. Anda khawatir sudah melukai mereka.

Namun, Anda lupa menyebutkan satu faktor yang sangat penting: perbuatan Anda. Jika tidak secara spesifik mengakui kesalahan yang telah Anda lakukan, ucapan di atas terdengar sama buruknya dengan menuduh mereka karena terlalu sensitif.

3. Mengolok-olok mereka saat meminta maaf.

“Oke, oke. Sori. Gue nggak nyangka elo se-sensi ini. “

“Ayolah. Saya ‘kan sudah minta maaf. Apakah semua orang kayak saya segitu rendahnya buat kamu? “

Ini juga sama buruknya dengan membiarkan orang menang argumen, tetapi Anda juga kekanak-kanakan dengan mengatakan: “Iya deh, gue terus yang salah dan elo selalu bener.” Mau tahu terdengar seperti apa saat Anda mengolok-olok sembari meminta maaf?

Penghinaan.

Bila melakukan ini, Anda tidak menganggapnya serius. Anda juga meremehkan perasaan mereka. Dengan kata lain, seolah-olah meminta maaf kepada mereka hanyalah lelucon. Jika itu pendapat Anda, maka jangan repot-repot. Anda hanya bersikap brengsek dan itulah yang disebut permintaan maaf ‘setengah niat’.

4. Mengatur-atur mereka.

“Sori, tapi elo nggak usah jahat gini juga dong, sama gue.”

Jika masih kecil, mungkin permohonan ini masih dapat diterima. Jika tidak lagi, inilah masalahnya: setelah mengganggu dan menyinggung mereka, Anda tidak bisa mengatur-atur mereka sesuai kemauan Anda. Memangnya siapa Anda, masih berani berharap/menuntut hak istimewa itu?

Anda tidak dapat mengontrol reaksi orang terhadap Anda, tetapi cara Anda harus memperlakukan mereka. Saat mereka marah, hadapi saja. Bagaimana jika mereka masih tidak akan memaafkan dan malah memberi lebih banyak kerepotan – bahkan setelah Anda meminta maaf? Maka itu masalah mereka, bukan And. Anda sudah melakukan semua yang Anda bisa.

5. Mencoba mencari-cari kesalahan mereka sebagai perbandingan.

Sori, tapi sebenernya elo juga sama aja kali, malah lebih parah. Jadi apa hak lo marah-marahin gue kayak gini? “

Kenyataannya, ada orang yang benar-benar bodoh dan egois. Mereka senang standar ganda dan hanya memikirkan diri sendiri. Saya tahu mereka bisa sangat menyakitkan. Kadang rasanya ingin menunjukkan ketololan mereka. Sulit rasanya untuk tidak menjadi seperti mereka.

Namun, Anda dapat mencoba yang terbaik. Daripada mencoba mencari-cari kesalahan mereka sebagai perbandigan, fokuslah dengan yang terjadi sekarang. Ini bukan soal mereka; ini soal Anda yang harus mengakui kesalahan Anda. Minta maaflah dengan bersungguh-sungguh.

Jika Anda masih ingin mengungkit-ungkit kesalahan mereka, lakukan di lain waktu. Kenali perbedaannya agar tidak mengaburkan penilaian Anda, karena Anda mungkin menggunakannya sebagai alasan untuk tidak harus meminta maaf kepada mereka sama sekali.

Istilah populernya? Playing victim.

Begitu banyak orang sering menggunakan lima (5) cara payah ini untuk meminta maaf. Kadang-kadang Anda memang tidak harus merasa bersalah (seperti ketika Anda membela hak-hak Anda yang dilanggar dan saat mereka meremehkan penilaian Anda.)

Namun, mari kita hadapi kenyataan bahwa Anda juga manusia dan mampu menjadi brengsek juga. Bila menurut mereka Anda begitu dan ada bukti valid untuk mendukung pendapat mereka, terima saja fakta yang tidak menyenangkan itu dengan dewasa. Tidak perlu mengarang alasan atau bahkan mencoba mengeksploitasi orang lain untuk mendukung Anda.

Bagaimana jika Anda tidak ingin meminta maaf? Maka jangan repot-repot. Percayalah apa pun yang Anda ingin tentang diri sendiri. Ingat, permintaan maaf yang tidak tulus sama buruknya dengan penghinaan. Orang tahu kok, bedanya.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Kebiasaan Ini Nggak Akan Bikin Anda Lebih Baik Meski Sudah Married


5 Kebiasaan Ini Nggak Akan Bikin Anda Lebih Baik Meski Sudah Married

Beginilah risiko hidup di Indonesia. Sampai melewati batas kemuakan siapa pun, perdebatan soal kualitas hidup si lajang versus yang sudah menikah beneran awet tenan. Yakin nih, udah nggak ada topik lain yang lebih penting?

Sebenarnya, saya juga bosan menulis soal ini. Tapi gimana ya, kalau kualitas berpikir orang Indonesia masih banyak yang kayak begini? Saya juga nggak anti pernikahan, tapi…tolong, deh. Ini lima (5) kebiasaan yang nggak akan bikin Anda lebih baik meskipun sudah married:

  • Merasa sudah ‘laku’.
Gambar: thedesignerprotraitstudio.com

Hadeuhh…hari gini masih mau menyamakan diri dengan barang dagangan? Merasa lebih ganteng/cantik/baik, hanya karena ada yang suka dan mengajak/menerima tawaran hidup bersama dalam ikatan pernikahan? Kok menyedihkan?

Sebelum dihargai orang lain, hargailah diri sendiri dulu. Jadi, Anda nggak akan terjebak dengan anggapan bahwa pasangan adalah sumber kebahagiaan paling utama di dunia bagi Anda, mengalahkan Sang Pencipta kalian berdua.

  • Langsung merasa bahwa “Dunia nggak seburuk itu, kok.”

Oke deh, bila Anda memang lagi happy banget. Dunia terasa lebih indah dan sempurna dengan adanya si dia. Semua kebahagiaan dan masalah dibagi bersama. (Semoga ini beneran lho, ya.)

Tapi, kayaknya naif banget bila lantas beranggapan bahwa dengan menikah, semuanya akan selalu baik-baik saja. Apalagi kalau menikahnya belum lama, hihihi…

Mungkin dari kacamata Anda, dunia sepertinya sudah tanpa cela. Namun, sayangnya Anda jadi terkesan tidak punya empati dan menutup mata sama realita.

Pernikahan Anda bahagia? Baguslah. Jangan lupa, tidak semua orang seberuntung Anda (dan maksud saya bukan selalu karena mereka masih jomblo, ya.) Ada pernikahan yang dirusak perselingkuhan dan KDRT. Ada yang berakhir dengan perceraian atau kematian salah satu pasangan.

Ada juga yang menikah karena paksaan. Tahu anak-anak perempuan yang dipaksa menikah di usia remaja, terutama karena keluarga mereka dalam kemiskinan dan harus bayar banyak utang? Yakin dunia nggak seburuk itu?

Tentu saja, ini kembali pada pilihan Anda. Kalau mau cari aman dan nyaman, silakan tetap di dalam lingkaran kecil Anda. Bila masih mau memperluas pergaulan, silakan juga. Minimal mainnya ‘agak jauhan dikit’ – lah, biar pengetahuan bertambah dan (semoga) kepekaan empati terasah.

Siapa tahu juga, pasangan Anda sebenarnya juga masih butuh kehidupan lain, alias nggak hanya menjadikan Anda pusat dunia mereka 24 jam sehari. Masa, sih? Ya, tanya mereka dong, jangan saya.

  • Masih hobi nyinyir sama yang masih single (apalagi bila mereka perempuan di atas usia 30).

Kalau masih percaya bahwa perempuan yang masuk dalam kategori ‘perawan tua’ (masih lajang di usia 30 ke atas) adalah tukang nyinyir, mending cek akar permasalahannya dulu, deh. Intinya, siapa sih, yang mulai cari gara-gara dengan mereka, padahal bisa jadi mereka tengah mengurus urusan mereka sendiri?

Ngomong-ngomong, barusan pertanyaan retoris. Masa masih harus saya jawab di sini, sih? Yang dialami salah seorang teman bukan cerita baru. Ada tetangga yang kebetulan bermasalah dengannya dan malah sengaja mencari-cari ‘cacat’ si teman.

“Kayaknya perempuan kayak kamu harus buruan nikah deh, biar nggak nyinyir dan jahat sama orang!”

Padahal, kalau tahu masalahnya, Anda pasti bakal bilang bahwa argumen di atas sama sekali nggak ada hubungannya. Tapi memang dasar masyarakat Indonesia suka masih ada yang begitu. Kalah argumen, yang diserang malah status seseorang. Kekanak-kanakan.

Pada kenyataannya, semua orang berpotensi nyinyir, kok. Ya, termasuk Anda yang dengan sangat bangganya pamer status nikah, lantas mengerdilkan pendapat orang lain hanya karena kebetulan mereka masih single. Bukankah itu sangat dangkal?

  • Merasa bahwa dengan menikah berarti dapat menghindari perkosaan.

Ini lagi logika absurd. Kesannya selama masih single, Anda berpotensi jadi pelaku (terutama bila laki-laki) atau korban (terutama bila perempuan). Bukankah ini namanya penghinaan?

Jujur, saya paling ngeri dengan orang yang berpikir menyimpang seperti ini. Mungkin mereka menganggap bahwa orang yang masih single sulit mengendalikan diri dan bernapsu seperti binatang liar. Pasangan hanya jadi pelampiasan seksual di ranjang. Asli, seram.

Padahal, kalau mau ‘melek statistik’ sedikit saja, banyak kok, korban yang statusnya ternyata sudah menikah. Banyak pelaku yang ternyata punya istri di rumah. Istri (dianggap) ‘kurang melayani’? Belum tentu.

Masih mau menyalahkan perempuan yang keluar rumah sendirian? Lalu apa kabar mereka yang jadi korban perkosaan di rumah, oleh keluarga sendiri pula? Tolong, deh. Stop cari-cari alasan untuk membenarkan pelaku pelecehan seksual apa pun, termasuk perkosaan.

Lagipula, siapa sih, manusia waras yang senang bila harus menikah karena diancam-ancam atau ditakut-takuti?

  • Intinya, selalu merasa lebih baik daripada yang masih single, apalagi janda.

Saya lebih sering mendengar ejekan untuk para lajang. Jomblo ngenes (jones) adalah salah satunya. Seolah-olah status itu begitu hina dan Anda yang sudah terbebas darinya (dengan menikah) berhak mencela-cela. Mungkin karena merasa di atas angin, mengingat kultur di Indonesia begitu memuja-muja pernikahan, terlepas ada yang selingkuh atau babak-belur di belakangnya.

Lalu, apa bedanya Anda dengan orang kaya yang pamer harta di depan mereka yang Anda anggap tak berpunya?

R.