Categories
#catatan-harian #menulis

(Lebih Brutal dan) Jujur dalam Fiksi?

(Lebih Brutal dan) Jujur dalam Fiksi?

Terkadang, terutama akhir-akhir ini, beberapa orang lebih terbuka dan jujur ​​dalam dunia fiksi. Bagaimana bisa? Apakah itu selalu berarti mereka adalah pembohong? Apakah itu berarti mereka penipu yang tidak boleh dipercaya?

Beberapa orang seperti itu, memanjakan diri mereka di dunia fiksi. Jika masih melibatkan membaca dan menulis, sebenarnya masih tidak masalah. Tidak ada yang salah dengan melakukan hal-hal itu. Semuanya murni atas nama hiburan dan tidak berbahaya.

Jelas, saya juga terkadang melakukannya. Jika beberapa orang berasumsi bahwa saya melakukan ini untuk melarikan diri dari kenyataan, maka jadilah itu. Mungkin itu benar. Terkadang, saya mungkin membutuhkannya juga.

Beberapa orang melakukannya karena takut. Mereka merasa bahwa mereka tidak bisa menjadi diri mereka sendiri yang sebenarnya. Orang lain tidak ingin mereka begitu. Mereka ditakuti dan dibenci karena jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka dianggap aneh. Yang lain menolak untuk hidup berdampingan dengan mereka.

Jadi mereka akhirnya memilih untuk menjadi apa yang dunia dapat terima dengan lebih baik. Lebih aman begini. Mereka bisa menghindari argumen dan persekusi.

Pertanyaannya adalah, berapa lama mereka bisa terus berpura-pura, hanya untuk menyenangkan orang lain?

Beberapa orang lain menggunakan fiksi untuk alasan yang berbeda dan lebih jahat. Mereka adalah penipu yang benar-benar menikmati perbuatan mereka. Mereka tidak punya penyesalan. Tidak punya rasa malu, karena bagi mereka – yang penting senang-senang.

Mereka mendapatkan semua kesenangan ketika korban mereka sudah dikerjai. Mereka senang ketika berhasil membuat orang lain merasa bodoh. Mereka merasa lebih unggul dari orang lain. Mereka juga memilih untuk mencintai karakter buatan mereka dengan lebih baik, jauh lebih baik daripada diri sendiri. Mereka merasa sangat tidak aman.

Namun, itu tidak pernah menjadi alasan untuk berbohong kepada orang-orang tentang jati diri mereka sebenarnya.

Inilah era ketika banyak orang mungkin merasa bahwa fiksi jauh lebih aman daripada kenyataan. Anda bisa menjadi siapa saja yang diinginkan, terutama jika jati diri Anda benar-benar dibenci oleh dunia.

Fiksi adalah tempat yang aman. Saya tidak akan berbohong pada Anda; bahkan saya merasa aman di sana. Saya tidak mudah terluka. Bahkan, saya bisa menyakiti orang lain yang telah menyakiti saya di kehidupan nyata tanpa benar-benar membuat mereka terbunuh secara nyata dan kemudian menyesalinya.

Namun, tidak ada yang bisa tetap bersembunyi di dunia fiksi selamanya. Terkadang, Anda masih harus jujur ​​dan terbuka, sepahit apa pun kenyataan yang ada.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Drama Mulut-mulut Besar

Drama Mulut-mulut Besar

Semua berkeras

ingin didengar

Ada yang pakai data

Ada yang (hanya) banyak bicara

Ada yang lalu menghina

merasa paling tahu segalanya

padahal tidak paham apa-apa

yang penting ramaikan suasana

Ada yang diam

meski kalah jumlah

hanya menjawab sekadarnya

pakai tulisan

lalu terserah mereka

mau terima atau tidak

bukan urusan

yang penting menjawab dengan cerdas

meskipun lawan tidak berkelas…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

7 Tipe Manusia yang Takkan Saya Layani dalam Perdebatan

7 Tipe Manusia yang Takkan Saya Layani dalam Perdebatan

Saya tidak terlalu tergila-gila dengan perdebatan. Dulu sih, suka dan saya akan melakukan apa pun untuk memperjuangkan yang saya yakini. Tidak masalah jika orang membenci saya karenanya.

Yah, saya masih tidak peduli jika mereka masih nggak suka. Saya hanya memilih meladeni seperlunya. Daripada membuang-buang waktu dan energi saya yang berharga untuk berdebat dengan orang-orang yang bahkan tidak sepadan, saya lebih suka mengabaikan mereka sepenuhnya. Memang kedengarannya kejam.

Namun, demi kesehatan mental saya sendiri, saya tahu bahwa kadang-kadang saya harus “kejam demi kebaikan diri sendiri”. Saya hanya akan mengikuti prinsip “setuju untuk tidak setuju”, meskipun beberapa orang dengan ego bengkak cenderung mendorong saya melampaui batas kesabaran saya. Inilah mereka:

1. Orang-orang yang hanya ingin menang debat – dengan segala cara.

Percuma bicara pakai akal sehat sama mereka. Ego mereka yang membengkak terlalu rapuh. Tidak masalah jika Anda tahu Anda benar dan Anda memiliki bukti yang cukup untuk mendukung opini Anda.

Bagi mereka, kalah debat (terutama sama orang yang tidak mereka hormati) sama memalukannya dengan terlihat bodoh di depan umum. Mereka memang merasa bodoh, karena mereka mempertaruhkan martabat dan harga diri mereka – hanya untuk menang debat. Mereka juga bisa menjadi tipe-tipe lain (atau semuanya) di bawah ini dalam daftar kejam saya ini.

2. Orang-orang yang suka menyerang Anda secara pribadi (terutama yang tahu persis cacat argumen mereka sendiri!)

Ketika mereka kalah debat, mereka akan memastikan bahwa kemenangan Anda terasa seperti kotoran. Mereka bisa meratap dengan kalimat seperti: “Tapi nggak usah jahat gitulah sama aku!” (Bahkan ketika sudah jelas bahwa Anda menunjukkan kekurangan pada argumen mereka – bukan siapa mereka.)

Cara kekanak-kanakan lain yang mereka lakukan adalah mengejek. Jika Anda memiliki orang-orang lain yang mendukung pendapat Anda, mereka biasanya nyinyir dengan kepahitan: “Wah, hebat. Ternyata banyak yang dukung kamu”. Ini jelas hanya langkah murahan mereka untuk membuat diri mereka merasa lebih baik. Satu kata untuk itu: menyedihkan.

3. Orang yang menolak move on dari debatan kemarin.

Apa susahnya sih, hanya untuk “setuju untuk tidak setuju”? Alasannya sederhana: mereka hanya merasa tidak aman.

Menyatakan pendapat mereka (terutama pada sesuatu yang tidak mereka ketahui) sekeras dan sekasar mungkin tidak cukup baik. Mereka harus mendapatkan pengakuan Anda, dengan satu atau lain cara. Mereka menuntut Anda setuju dengan mereka.

Mendiamkan mereka juga percuma. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi penguntit yang berbahaya – bersikeras bahwa Anda bertatap muka untuk “membicarakan yang itu-itu lagi” (meski yang sebenarnya mereka inginkan adalah mengancam Anda.)

Jika mereka gagal melakukannya, mereka berusaha mengeksploitasi orang lain untuk membenci Anda juga. Bagi orang yang tidak tahan kalah, ternyata mereka juga membutuhkan orang lain untuk mendukung mereka. Sementara itu, Anda punya kehidupan, dengan hal-hal yang lebih baik dan lebih penting untuk dihadapi daripada menghadapi kemarahan yang kekanak-kanakan seperti itu.

4. Orang-orang yang sombong dan suka meremehkan (alias yang merasa paling tahu segalanya ‘).

Mereka bertindak seperti ini hanya karena mereka yakin mereka sudah cukup membaca. Mereka bahkan tidak mau repot-repot mendengarkan Anda atau membiarkan Anda berbicara. (Bahkan, mereka cenderung mengolok-olok Anda saat Anda lagi bicara.)

Mereka selalu berpikir bahwa mereka lebih pintar daripada orang lain di sekitar mereka. Sekali lagi, tidak penting dengan yang Anda ketahui dan bukti valid yang Anda miliki untuk melawan argumen mereka yang cacat.

Pada kenyataannya, selalu ada orang yang jauh lebih pintar tetapi lebih bijaksana untuk tetap diam dan hanya berbicara ketika paling diperlukan. Mereka telah membaca lebih banyak buku daripada mereka yang mengklaim telah membaca semuanya, tetapi mereka tidak pernah menyombongkan diri kepada dunia.

Kalimat favorit mereka untuk menolak argumen Anda adalah: “Mana statistik buat buktiin kamu benar?” Sebelum mereka mulai meminta hal seperti itu, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama terlebih dahulu? Ini yang selalu terjadi ketika Anda hanya mengandalkan suara keras dan sikap kasar. Benar-benar menjengkelkan dan nggak sopan.

5. Orang-orang yang merajuk seperti anak-anak kecil ngambekan.

Yang benar-benar membuat saya marah dan meninggalkan argumen sama sekali adalah ketika orang lain mulai bertindak seperti ini. Contoh paling umum yang sering saya dengar adalah: “Iya, deh. Kamu selalu benar dan aku selalu salah. Terserah.”

Setelah itu, saya lebih suka menjadi tuli dan berpura-pura mereka tidak ada lagi. Mengapa? Saya lebih suka melakukan percakapan yang sehat dan masuk akal dengan orang dewasa betulan daripada yang hanya gede badan tapi kayak anak kecil ngambekan. Jika lain kali saya dengar tanggapan kekanak-kanakan seperti itu, saya sarankan mereka melakukan sesuatu yang sangat penting terlebih dahulu:

Bersikap dewasa.

6. Orang yang berdebat dengan sesuatu yang sama sekali tidak relevan atau di luar topik hanya untuk mengalihkan perhatian Anda.

“Apakah kamu selalu sejahat ini sama orang-orang?”

“Kamu benci banget sama aku, ya?”

“Jika kamu terus bertingkah seperti ini, nggak akan ada yang mau sama kamu.”

Upaya ini memiliki istilah yang lebih populer saat ini: ‘gaslighting‘. Alih-alih membahas topik dengan setidaknya tingkat kedewasaan yang hampir sama (jika bukan dari segi kecerdasan atau pengetahuan), mereka mencoba untuk fokus pada ‘apa yang salah dengan Anda’ bukannya hanya mengakui kesalahan mereka – atau tetap fokus di topik. Bikin gila nggak, sih?

Saran saya? Biarkan mereka yang ngomong paling terakhir dan tinggalkan mereka. Mereka sama sekali tidak siap untuk diperdebatkan; mereka hanya ingin didengar, dipahami, dan disepakati. Egois banget nggak, sih? Sebentar, itu bukan urusan Anda. Itu masalah mereka.

7. Orang yang menyadari bahwa mereka kalah debat dan Anda benar (atau keduanya), tetapi kemudian bertindak seolah-olah kalian telah menyetujui hal yang sama. (Padahal sebenarnya tidak.)

Ketika argumen yang lagi panas tiba-tiba terhenti dengan jeda cukup panjang sebelum mereka tiba-tiba berkata: “Itu maksud saya” setelah mereka secara defensif membalas debatan Anda sebelumnya, cukup tertawakan mereka diam-diam. Seperti yang sebelumnya, mereka hanya perlu jadi orang terakhir yang bicara biar merasa telah memenangkan sesuatu.

Kalau soal diskusi dan argumen, orang yang benar-benar dewasa memilih fokus pada menemukan solusi untuk suatu masalah. Yang lain hanya ingin terdengar pintar dan memenangkan perdebatan. Silakan pilih.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Apa yang Kau Cari?

Apa yang Kau Cari?

Apa yang kau cari

di ruangan ramai ini?

Ada yang hilang dari cantikmu

Senyum palsu

Mata sendu

Aku tak tertipu

Kau lingkarkan lengan di setiap lelaki yang menarik minatmu

Di matamu, mungkin aku cupu dan lugu

Jangan tertipu tampak luarku

Kau mungkin tak peduli

lelaki mana yang akan pulang denganmu malam ini

Apa pun untuk mengusir sepi

Toh, pendapatku tak berarti

Aku juga enggan menghakimi

Bersyukurlah dia bukan kekasihku

Aku sudah cukup melihat malam itu

Saatnya pulang

Jiwa ini lelah bukan kepalang

melihatmu rakus merampas kebahagiaan semu

tanpa peduli sekelilingmu…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Kebiasaan Ini Nggak Akan Bikin Anda Lebih Baik Meski Sudah Married


5 Kebiasaan Ini Nggak Akan Bikin Anda Lebih Baik Meski Sudah Married

Beginilah risiko hidup di Indonesia. Sampai melewati batas kemuakan siapa pun, perdebatan soal kualitas hidup si lajang versus yang sudah menikah beneran awet tenan. Yakin nih, udah nggak ada topik lain yang lebih penting?

Sebenarnya, saya juga bosan menulis soal ini. Tapi gimana ya, kalau kualitas berpikir orang Indonesia masih banyak yang kayak begini? Saya juga nggak anti pernikahan, tapi…tolong, deh. Ini lima (5) kebiasaan yang nggak akan bikin Anda lebih baik meskipun sudah married:

  • Merasa sudah ‘laku’.
Gambar: thedesignerprotraitstudio.com

Hadeuhh…hari gini masih mau menyamakan diri dengan barang dagangan? Merasa lebih ganteng/cantik/baik, hanya karena ada yang suka dan mengajak/menerima tawaran hidup bersama dalam ikatan pernikahan? Kok menyedihkan?

Sebelum dihargai orang lain, hargailah diri sendiri dulu. Jadi, Anda nggak akan terjebak dengan anggapan bahwa pasangan adalah sumber kebahagiaan paling utama di dunia bagi Anda, mengalahkan Sang Pencipta kalian berdua.

  • Langsung merasa bahwa “Dunia nggak seburuk itu, kok.”

Oke deh, bila Anda memang lagi happy banget. Dunia terasa lebih indah dan sempurna dengan adanya si dia. Semua kebahagiaan dan masalah dibagi bersama. (Semoga ini beneran lho, ya.)

Tapi, kayaknya naif banget bila lantas beranggapan bahwa dengan menikah, semuanya akan selalu baik-baik saja. Apalagi kalau menikahnya belum lama, hihihi…

Mungkin dari kacamata Anda, dunia sepertinya sudah tanpa cela. Namun, sayangnya Anda jadi terkesan tidak punya empati dan menutup mata sama realita.

Pernikahan Anda bahagia? Baguslah. Jangan lupa, tidak semua orang seberuntung Anda (dan maksud saya bukan selalu karena mereka masih jomblo, ya.) Ada pernikahan yang dirusak perselingkuhan dan KDRT. Ada yang berakhir dengan perceraian atau kematian salah satu pasangan.

Ada juga yang menikah karena paksaan. Tahu anak-anak perempuan yang dipaksa menikah di usia remaja, terutama karena keluarga mereka dalam kemiskinan dan harus bayar banyak utang? Yakin dunia nggak seburuk itu?

Tentu saja, ini kembali pada pilihan Anda. Kalau mau cari aman dan nyaman, silakan tetap di dalam lingkaran kecil Anda. Bila masih mau memperluas pergaulan, silakan juga. Minimal mainnya ‘agak jauhan dikit’ – lah, biar pengetahuan bertambah dan (semoga) kepekaan empati terasah.

Siapa tahu juga, pasangan Anda sebenarnya juga masih butuh kehidupan lain, alias nggak hanya menjadikan Anda pusat dunia mereka 24 jam sehari. Masa, sih? Ya, tanya mereka dong, jangan saya.

  • Masih hobi nyinyir sama yang masih single (apalagi bila mereka perempuan di atas usia 30).

Kalau masih percaya bahwa perempuan yang masuk dalam kategori ‘perawan tua’ (masih lajang di usia 30 ke atas) adalah tukang nyinyir, mending cek akar permasalahannya dulu, deh. Intinya, siapa sih, yang mulai cari gara-gara dengan mereka, padahal bisa jadi mereka tengah mengurus urusan mereka sendiri?

Ngomong-ngomong, barusan pertanyaan retoris. Masa masih harus saya jawab di sini, sih? Yang dialami salah seorang teman bukan cerita baru. Ada tetangga yang kebetulan bermasalah dengannya dan malah sengaja mencari-cari ‘cacat’ si teman.

“Kayaknya perempuan kayak kamu harus buruan nikah deh, biar nggak nyinyir dan jahat sama orang!”

Padahal, kalau tahu masalahnya, Anda pasti bakal bilang bahwa argumen di atas sama sekali nggak ada hubungannya. Tapi memang dasar masyarakat Indonesia suka masih ada yang begitu. Kalah argumen, yang diserang malah status seseorang. Kekanak-kanakan.

Pada kenyataannya, semua orang berpotensi nyinyir, kok. Ya, termasuk Anda yang dengan sangat bangganya pamer status nikah, lantas mengerdilkan pendapat orang lain hanya karena kebetulan mereka masih single. Bukankah itu sangat dangkal?

  • Merasa bahwa dengan menikah berarti dapat menghindari perkosaan.

Ini lagi logika absurd. Kesannya selama masih single, Anda berpotensi jadi pelaku (terutama bila laki-laki) atau korban (terutama bila perempuan). Bukankah ini namanya penghinaan?

Jujur, saya paling ngeri dengan orang yang berpikir menyimpang seperti ini. Mungkin mereka menganggap bahwa orang yang masih single sulit mengendalikan diri dan bernapsu seperti binatang liar. Pasangan hanya jadi pelampiasan seksual di ranjang. Asli, seram.

Padahal, kalau mau ‘melek statistik’ sedikit saja, banyak kok, korban yang statusnya ternyata sudah menikah. Banyak pelaku yang ternyata punya istri di rumah. Istri (dianggap) ‘kurang melayani’? Belum tentu.

Masih mau menyalahkan perempuan yang keluar rumah sendirian? Lalu apa kabar mereka yang jadi korban perkosaan di rumah, oleh keluarga sendiri pula? Tolong, deh. Stop cari-cari alasan untuk membenarkan pelaku pelecehan seksual apa pun, termasuk perkosaan.

Lagipula, siapa sih, manusia waras yang senang bila harus menikah karena diancam-ancam atau ditakut-takuti?

  • Intinya, selalu merasa lebih baik daripada yang masih single, apalagi janda.

Saya lebih sering mendengar ejekan untuk para lajang. Jomblo ngenes (jones) adalah salah satunya. Seolah-olah status itu begitu hina dan Anda yang sudah terbebas darinya (dengan menikah) berhak mencela-cela. Mungkin karena merasa di atas angin, mengingat kultur di Indonesia begitu memuja-muja pernikahan, terlepas ada yang selingkuh atau babak-belur di belakangnya.

Lalu, apa bedanya Anda dengan orang kaya yang pamer harta di depan mereka yang Anda anggap tak berpunya?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Semalam dalam Euforia

Mungkin aku bukan dia

gadis pesta yang main mata

membelaimu saat kita bicara

seakan aku tak ada

Aku sudah cukup bahagia

saat mereka berkata:

“Dia tetap menghadap

dirimu yang mengajaknya bercakap.”

Padahal, waktu itu aku tidak ber-makeup

Itu sudah lebih dari cukup bagiku

Tak perlu berharap semu

Toh, belum tentu selanjutnya kita bertemu

R.

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

Perjalanan Saya Sebagai Narablog pada Era Digital

Jika ada yang bertanya mengenai pengalaman saya menjadi seorang narablog atau blogger, ceritanya panjang. Yang pasti, saya mengawalinya saat kuliah di tahun 2000. Waktu itu, blog pertama saya ada di dalam sebuah website berbahasa Inggris. Saya juga menulisnya dalam bahasa Inggris.

Seperti halnya mahasiswi, blog saya awalnya hanya berisi curhatan khas anak kampus. Biasa, cerita hidup saya dan orang-orang di sekitar saya. Ya, soal keluarga, kuliah, teman-teman, sosok lelaki yang saya taksir, hingga tentang pandangan hidup saya sendiri.

Selepas lulus kuliah dan mulai bekerja, saya baru menyadari fungsi dan manfaat lain dari menjadi seorang narablog. Pertama, saya sadar bahwa seharusnya saya tidak secara utuh memperlakukan blog saya sebagai ‘buku harian digital’ yang malah dapat dibaca dan dikomentari oleh semua orang.

Yah, kurang lebih seperti banyak netizen yang hobi curhat atau memaki di media sosial mereka, hehehe.

Secara perlahan, saya mulai sedikit mengubah gaya dan tema penulisan saya kadang-kadang. Makanya, ini yang bikin banyak orang membedakan profesi blogger dengan seorang content writer. Bila seorang blogger masih lebih banyak memasukkan unsur diri mereka ke dalam cerita, maka content writer berbeda.

Seorang content writer bisa menulis tentang review produk, film, buku, atau bahkan resto dan lokasi nge-hits lainnya. Apa bedanya dengan narablog?  Menurut pengamatan awam saya, mereka lebih mengandalkan narasumber selain diri mereka agar lebih objektif.

Kurang-lebih, seperti jurnalis – tapi lebih seperti citizen journalist. Tapi, yang saya tulis barusan hanyalah segelintir dari banyak contoh yang ada. Selanjutnya, kalau mau jadi blogger, content writer, atau malah keduanya juga terserah. Tidak perlu saling membatasi diri bila memang suka dan bisa melakukan keduanya.

Intinya, saya percaya bahwa content writer dan narablog punya rezeki mereka masing-masing. Tidak perlu ada yang merasa iri atau tersaingi.

Momen-momen Spesial Saya Saat Nge-Blog:

Saat membahas momen-momen spesial nge-blog, pasti langsung banyak yang mengaitkannya dengan kemenangan saat ikut lomba menulis blog. Jujur, saya tidak pernah menolak rezeki seperti itu. Kebetulan, saya memang juga suka mengikuti lomba menulis blog maupun yang lain.

Bisa dibilang, saya termasuk pecandu writing challenge. Sebagai seorang narablog, saya sudah pernah memenuhi berbagai tantangan menulis. Mulai dari blog tentang opini, fiksimini, cerpen, puisi, hingga review produk. Kadang ada yang berhadiah uang, voucher, hingga sekadar acknowledgment.

Mungkin kesannya saya tidak punya gaya menulis yang tetap atau ciri khas. Padahal, saya masih tetap berusaha konsisten. Misalnya: saya tidak akan berusaha selalu memakai bahasa gaul kekinian bila memang tidak nyaman. Untuk apa memaksakan diri? Pembaca juga cerdas-cerdas, kok.

Selain itu, saya juga tidak akan memaksakan diri mengikuti lomba blog dengan produk yang saya tidak kenal dan tidak pernah pakai. Saya bahkan tidak mau berbohong, bahkan meskipun hadiah lombanya sangat menggiurkan, seperti uang jutaan rupiah, voucher, hingga produk gadget incaran saya.

Beberapa momen spesial saya saat nge-blog tidak selalu berkaitan dengan menang, dapat uang, atau belanja dengan voucher pemberian. Membaca komentar-komentar seru dari para pembaca, hingga pernah mendapatkan klien juga momen-momen spesial saat nge-blog.

Hingga kini, sebisa mungkin saya masih terus menyempatkan menulis blog. Selain sebagai latihan, saya memang menyukainya. Saya juga banyak belajar dari para rekan blogger yang saya kenal agar kemampuan saya tidak mandek di situ-situ saja. Pada kenyataannya, semua orang memang harus berkembang.

Harapan Saya Sebagai Narablog atau Blogger di Tahun 2019:

Sumber foto: Steve Johnson via Unsplash.com

Di awal bulan Januari 2019 ini, saya memutuskan untuk memulai aktif lagi menulis blog. Saya mulai mencoba-coba mengikuti lomba menulis blog yang ada. Tidak perlu memikirkan ingin mendapatkan hadiahnya dulu (meski nggak bakal menolak kalau memang sudah rezekinya, hehehe.) Yang penting mencoba.

Selain itu, saya berusaha lebih update dengan berita terkini (meskipun menurut saya kadang isunya ‘enggak banget’ alias ‘sampah’). Saya suka menulis opini saya. Orang boleh setuju, boleh tidak. Asal, kalau tidak setuju, bahasanya tidak usah kasar, karena tidak akan saya ladeni sampai kapan pun.

Untuk berlatih variasi menulis, kadang saya juga menjadi seorang blogger tamu di website-website lain. Yang pasti, aturannya berbeda dengan menulis di blog milik sendiri. Tidak boleh egois. Saya harus mengikuti tata cara yang berlaku di dalam website yang ada.

Tidak seperti di blog sendiri, tulisan saya pasti masih akan dikurasi editor dulu sebelum tayang.

Banyak yang menjadi seorang narablog atau blogger demi mendapatkan penghasilan dan ketenaran. Bagi saya, selain penghasilan tentunya (hehehe lagi), saya ingin agar siapa pun yang membaca blog saya merasa menemukan manfaat dan mendapatkan inspirasi, hihihi…

Selain itu, saya punya cita-cita bahwa suatu saat ingin menjadi penulis fulltime yang mandiri. Ya, seperti penulis-penulis favorit saya yang bahkan sudah berjaya sebelum era digital muncul. Tapi, tentu saja saya tidak akan bisa menyamakan diri saya dengan mereka. Pastinya tidak mungkin.

Saya juga tidak mau. Kagum sama mereka boleh, namun lebih baik tetap menjadi diri sendiri dan menemukan gaya menulis sendiri.

Semoga suatu saat blog ini dapat saya monetisasi dengan sepenuhnya. Yang pasti, saya bangga menjadi narablog pada era digital ini.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Manja

Manja

Mengejutkan, kamu masih hidup,

meskipun lamban

raja di istana khayalan

Sungguh membingungkan

Tidak semuanya tentangmu

Kamu tahu

Yang lain harus melakukan sesuatu

Kenapa kamu tidak ikut?

Bocah tua manja

Kemalasan telah mengubahmu jadi petaka

Berhentilah jadi beban semua orang

Dewasalah dan mulai bekerja,

Bahkan meski harus mati-matian

sampai ke tulang …

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Catatan Tentang dan Untuk Siapa pun Atau Bukan Siapa-siapa

Catatan Tentang dan Untuk Siapa pun Atau Bukan Siapa-siapa

Apa yang biasanya saya lakukan ketika pikiran saya mulai berkeliaran? Saya mencoba menyimpan beberapa pemikiran saya – terutama yang saya anggap paling penting – dalam tulisan saya.

Tentu saja, Anda tidak akan terlalu terkejut. Saya memang memiliki momen “Dear Diary” saya sebagai seorang gadis remaja. Beberapa orang mungkin masih beranggapan bahwa menulis jurnal adalah hal yang biasa-biasa saja, tetapi kita semua tahu itu tidak benar. Sama seperti saya, beberapa orang merasa perlu untuk mendokumentasikan pikiran dan perasaan mereka dengan cara ini. Hanya sesederhana itu.

Saya mungkin hanya salah satu dari mereka yang menulis karena memang ingin melakukannya. Saya jarang khawatir tentang apa yang mungkin dipikirkan pembaca. Jika mereka suka apa yang mereka baca dari saya, bagus. Jika tidak … ya, sudah.

Seiring waktu, saya telah belajar untuk tidak menulis semua tentang saya. Ada baiknya mencoba variasi. Ini juga membantu menjaga diri saya agar tidak terlalu fokus sama diri sendiri atau sedikit narsis … Moga-moga, sih. Jadi, inilah “Catatan Tentang dan Untuk Siapa Pun atau Bukan Siapa-siapa”. Jika Anda curiga bahwa saya mungkin sedang membicarakan Anda juga, barangkali memang benar.

Darimana Anda tahu? Ya, bertanyalah langsung – dan jangan main asumsi.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Yang Akan Kutinggal di Tahun 2018

Jangan tanyakan

tentang bajingan

yang pernah jadikan

hati ini mainan

emosi ini bahan tertawaan

Jangan lancang

sebut aku bermain korban

karena aku masih bertahan

bangkit dari kehinaan

Darimu atau siapa pun,

aku tak butuh penghakiman

Doakan

aku tidak terus diikuti bajingan

hingga 2019

Aku ingin bebas

dari terkutuknya kenangan

tentang si bajingan

di tahun 2018…

R.