Terkadang, terutama akhir-akhir ini, beberapa orang lebih terbuka dan jujur dalam dunia fiksi. Bagaimana bisa? Apakah itu selalu berarti mereka adalah pembohong? Apakah itu berarti mereka penipu yang tidak boleh dipercaya?
Beberapa
orang seperti itu, memanjakan diri mereka di dunia fiksi. Jika masih melibatkan
membaca dan menulis, sebenarnya masih tidak masalah. Tidak ada yang salah
dengan melakukan hal-hal itu. Semuanya murni atas nama hiburan dan tidak
berbahaya.
Jelas,
saya juga terkadang melakukannya. Jika beberapa orang berasumsi bahwa saya
melakukan ini untuk melarikan diri dari kenyataan, maka jadilah itu. Mungkin
itu benar. Terkadang, saya mungkin membutuhkannya juga.
Beberapa
orang melakukannya karena takut. Mereka merasa bahwa mereka tidak bisa menjadi
diri mereka sendiri yang sebenarnya. Orang lain tidak ingin mereka begitu.
Mereka ditakuti dan dibenci karena jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka
dianggap aneh. Yang lain menolak untuk hidup berdampingan dengan mereka.
Jadi
mereka akhirnya memilih untuk menjadi apa yang dunia dapat terima dengan lebih
baik. Lebih aman begini. Mereka bisa menghindari argumen dan persekusi.
Pertanyaannya
adalah, berapa lama mereka bisa terus berpura-pura, hanya untuk menyenangkan
orang lain?
Beberapa
orang lain menggunakan fiksi untuk alasan yang berbeda dan lebih jahat. Mereka
adalah penipu yang benar-benar menikmati perbuatan mereka. Mereka tidak punya
penyesalan. Tidak punya rasa malu, karena bagi mereka – yang penting
senang-senang.
Mereka
mendapatkan semua kesenangan ketika korban mereka sudah dikerjai. Mereka senang
ketika berhasil membuat orang lain merasa bodoh. Mereka merasa lebih unggul dari
orang lain. Mereka juga memilih untuk mencintai karakter buatan mereka dengan
lebih baik, jauh lebih baik daripada diri sendiri. Mereka merasa sangat tidak
aman.
Namun,
itu tidak pernah menjadi alasan untuk berbohong kepada orang-orang tentang jati
diri mereka sebenarnya.
Inilah
era ketika banyak orang mungkin merasa bahwa fiksi jauh lebih aman daripada
kenyataan. Anda bisa menjadi siapa saja yang diinginkan, terutama jika jati
diri Anda benar-benar dibenci oleh dunia.
Fiksi
adalah tempat yang aman. Saya tidak akan berbohong pada Anda; bahkan saya
merasa aman di sana. Saya tidak mudah terluka. Bahkan, saya bisa menyakiti
orang lain yang telah menyakiti saya di kehidupan nyata tanpa benar-benar
membuat mereka terbunuh secara nyata dan kemudian menyesalinya.
Namun, tidak ada yang bisa tetap bersembunyi di dunia fiksi selamanya. Terkadang, Anda masih harus jujur dan terbuka, sepahit apa pun kenyataan yang ada.
7 Tipe Manusia yang Takkan Saya Layani dalam Perdebatan
Saya
tidak terlalu tergila-gila dengan perdebatan. Dulu sih, suka dan saya akan
melakukan apa pun untuk memperjuangkan yang saya yakini. Tidak masalah jika orang
membenci saya karenanya.
Yah,
saya masih tidak peduli jika mereka masih nggak suka. Saya hanya memilih
meladeni seperlunya. Daripada membuang-buang waktu dan energi saya yang
berharga untuk berdebat dengan orang-orang yang bahkan tidak sepadan, saya
lebih suka mengabaikan mereka sepenuhnya. Memang kedengarannya kejam.
Namun, demi kesehatan mental saya sendiri, saya tahu bahwa kadang-kadang saya harus “kejam demi kebaikan diri sendiri”. Saya hanya akan mengikuti prinsip “setuju untuk tidak setuju”, meskipun beberapa orang dengan ego bengkak cenderung mendorong saya melampaui batas kesabaran saya. Inilah mereka:
1. Orang-orang yang hanya ingin
menang debat – dengan segala cara.
Percuma
bicara pakai akal sehat sama mereka. Ego mereka yang membengkak terlalu rapuh.
Tidak masalah jika Anda tahu Anda benar dan Anda memiliki bukti yang cukup
untuk mendukung opini Anda.
Bagi mereka, kalah debat (terutama sama orang yang tidak mereka hormati) sama memalukannya dengan terlihat bodoh di depan umum. Mereka memang merasa bodoh, karena mereka mempertaruhkan martabat dan harga diri mereka – hanya untuk menang debat. Mereka juga bisa menjadi tipe-tipe lain (atau semuanya) di bawah ini dalam daftar kejam saya ini.
2. Orang-orang yang suka menyerang
Anda secara pribadi (terutama yang tahu persis cacat argumen mereka sendiri!)
Ketika
mereka kalah debat, mereka akan memastikan bahwa kemenangan Anda terasa seperti
kotoran. Mereka bisa meratap dengan kalimat seperti: “Tapi nggak usah jahat gitulah sama aku!” (Bahkan ketika
sudah jelas bahwa Anda menunjukkan kekurangan pada argumen mereka – bukan siapa
mereka.)
Cara kekanak-kanakan lain yang mereka lakukan adalah mengejek. Jika Anda memiliki orang-orang lain yang mendukung pendapat Anda, mereka biasanya nyinyir dengan kepahitan: “Wah, hebat. Ternyata banyak yang dukung kamu”. Ini jelas hanya langkah murahan mereka untuk membuat diri mereka merasa lebih baik. Satu kata untuk itu: menyedihkan.
3. Orang yang menolak move on dari debatan kemarin.
Apa
susahnya sih, hanya untuk “setuju untuk
tidak setuju”? Alasannya sederhana: mereka
hanya merasa tidak aman.
Menyatakan
pendapat mereka (terutama pada sesuatu yang tidak mereka ketahui) sekeras dan sekasar
mungkin tidak cukup baik. Mereka harus mendapatkan pengakuan Anda, dengan satu
atau lain cara. Mereka menuntut Anda setuju dengan mereka.
Mendiamkan
mereka juga percuma. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi penguntit yang
berbahaya – bersikeras bahwa Anda bertatap muka untuk “membicarakan yang itu-itu lagi” (meski yang sebenarnya
mereka inginkan adalah mengancam Anda.)
Jika mereka gagal melakukannya, mereka berusaha mengeksploitasi orang lain untuk membenci Anda juga. Bagi orang yang tidak tahan kalah, ternyata mereka juga membutuhkan orang lain untuk mendukung mereka. Sementara itu, Anda punya kehidupan, dengan hal-hal yang lebih baik dan lebih penting untuk dihadapi daripada menghadapi kemarahan yang kekanak-kanakan seperti itu.
4. Orang-orang yang sombong dan
suka meremehkan (alias yang merasa paling tahu segalanya ‘).
Mereka
bertindak seperti ini hanya karena mereka yakin mereka sudah cukup membaca.
Mereka bahkan tidak mau repot-repot mendengarkan Anda atau membiarkan Anda
berbicara. (Bahkan, mereka cenderung
mengolok-olok Anda saat Anda lagi bicara.)
Mereka
selalu berpikir bahwa mereka lebih pintar daripada orang lain di sekitar
mereka. Sekali lagi, tidak penting dengan yang Anda ketahui dan bukti valid
yang Anda miliki untuk melawan argumen mereka yang cacat.
Pada
kenyataannya, selalu ada orang yang jauh lebih pintar tetapi lebih bijaksana
untuk tetap diam dan hanya berbicara ketika paling diperlukan. Mereka telah
membaca lebih banyak buku daripada mereka yang mengklaim telah membaca
semuanya, tetapi mereka tidak pernah menyombongkan diri kepada dunia.
Kalimat favorit mereka untuk menolak argumen Anda adalah: “Mana statistik buat buktiin kamu benar?” Sebelum mereka mulai meminta hal seperti itu, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama terlebih dahulu? Ini yang selalu terjadi ketika Anda hanya mengandalkan suara keras dan sikap kasar. Benar-benar menjengkelkan dan nggak sopan.
5. Orang-orang yang merajuk
seperti anak-anak kecil ngambekan.
Yang
benar-benar membuat saya marah dan meninggalkan argumen sama sekali adalah
ketika orang lain mulai bertindak seperti ini. Contoh paling umum yang sering saya
dengar adalah: “Iya, deh. Kamu selalu
benar dan aku selalu salah. Terserah.”
Setelah
itu, saya lebih suka menjadi tuli dan berpura-pura mereka tidak ada lagi. Mengapa?
Saya lebih suka melakukan percakapan yang sehat dan masuk akal dengan orang
dewasa betulan daripada yang hanya gede badan tapi kayak anak kecil ngambekan. Jika lain kali saya dengar
tanggapan kekanak-kanakan seperti itu, saya sarankan mereka melakukan sesuatu
yang sangat penting terlebih dahulu:
Bersikap dewasa.
6. Orang yang berdebat dengan
sesuatu yang sama sekali tidak relevan atau di luar topik hanya untuk
mengalihkan perhatian Anda.
“Apakah kamu selalu sejahat
ini sama orang-orang?”
“Kamu benci banget sama aku,
ya?”
“Jika kamu terus bertingkah seperti
ini, nggak akan ada yang mau sama kamu.”
Upaya
ini memiliki istilah yang lebih populer saat ini: ‘gaslighting‘. Alih-alih membahas topik dengan setidaknya tingkat
kedewasaan yang hampir sama (jika bukan dari segi kecerdasan atau pengetahuan),
mereka mencoba untuk fokus pada ‘apa yang
salah dengan Anda’ bukannya hanya mengakui kesalahan mereka – atau tetap fokus
di topik. Bikin gila nggak, sih?
Saran saya? Biarkan mereka yang ngomong paling terakhir dan tinggalkan mereka. Mereka sama sekali tidak siap untuk diperdebatkan; mereka hanya ingin didengar, dipahami, dan disepakati. Egois banget nggak, sih? Sebentar, itu bukan urusan Anda. Itu masalah mereka.
7. Orang yang menyadari bahwa
mereka kalah debat dan Anda benar (atau keduanya), tetapi kemudian bertindak
seolah-olah kalian telah menyetujui hal yang sama. (Padahal sebenarnya tidak.)
Ketika
argumen yang lagi panas tiba-tiba terhenti dengan jeda cukup panjang sebelum
mereka tiba-tiba berkata: “Itu
maksud saya” setelah mereka secara defensif membalas debatan Anda
sebelumnya, cukup tertawakan mereka diam-diam. Seperti yang sebelumnya, mereka hanya
perlu jadi orang terakhir yang bicara biar merasa telah memenangkan sesuatu.
Kalau soal diskusi dan argumen, orang yang benar-benar dewasa memilih fokus pada menemukan solusi untuk suatu masalah. Yang lain hanya ingin terdengar pintar dan memenangkan perdebatan. Silakan pilih.
5 Kebiasaan Ini Nggak Akan Bikin Anda Lebih Baik Meski Sudah Married
Beginilah risiko hidup di Indonesia. Sampai melewati batas kemuakan siapa pun, perdebatan soal kualitas hidup si lajang versus yang sudah menikah beneran awet tenan. Yakin nih, udah nggak ada topik lain yang lebih penting?
Sebenarnya, saya juga bosan menulis soal ini. Tapi gimana ya, kalau kualitas berpikir orang Indonesia masih banyak yang kayak begini? Saya juga nggak anti pernikahan, tapi…tolong, deh. Ini lima (5) kebiasaan yang nggak akan bikin Anda lebih baik meskipun sudah married:
Merasa sudah ‘laku’.
Gambar: thedesignerprotraitstudio.com
Hadeuhh…hari gini masih mau menyamakan diri dengan barang dagangan? Merasa lebih ganteng/cantik/baik, hanya karena ada yang suka dan mengajak/menerima tawaran hidup bersama dalam ikatan pernikahan? Kok menyedihkan?
Sebelum
dihargai orang lain, hargailah diri sendiri dulu. Jadi, Anda nggak akan
terjebak dengan anggapan bahwa pasangan adalah sumber kebahagiaan paling utama
di dunia bagi Anda, mengalahkan Sang Pencipta kalian berdua.
Langsung
merasa bahwa “Dunia nggak seburuk itu,
kok.”
Oke deh, bila Anda memang lagi happy banget. Dunia terasa lebih indah dan sempurna dengan adanya si dia. Semua kebahagiaan dan masalah dibagi bersama. (Semoga ini beneran lho, ya.)
Tapi,
kayaknya naif banget bila lantas beranggapan bahwa dengan menikah, semuanya
akan selalu baik-baik saja. Apalagi kalau menikahnya belum lama, hihihi…
Mungkin
dari kacamata Anda, dunia sepertinya sudah tanpa cela. Namun, sayangnya Anda
jadi terkesan tidak punya empati dan menutup mata sama realita.
Pernikahan
Anda bahagia? Baguslah. Jangan lupa, tidak semua orang seberuntung Anda (dan maksud saya bukan selalu karena mereka
masih jomblo, ya.) Ada pernikahan yang dirusak perselingkuhan dan KDRT. Ada
yang berakhir dengan perceraian atau kematian salah satu pasangan.
Ada juga yang
menikah karena paksaan. Tahu anak-anak perempuan yang dipaksa menikah di usia
remaja, terutama karena keluarga mereka dalam kemiskinan dan harus bayar banyak
utang? Yakin dunia nggak seburuk itu?
Tentu
saja, ini kembali pada pilihan Anda. Kalau mau cari aman dan nyaman, silakan
tetap di dalam lingkaran kecil Anda. Bila masih mau memperluas pergaulan,
silakan juga. Minimal mainnya ‘agak
jauhan dikit’ – lah, biar pengetahuan bertambah dan (semoga) kepekaan
empati terasah.
Siapa
tahu juga, pasangan Anda sebenarnya juga masih butuh kehidupan lain, alias
nggak hanya menjadikan Anda pusat dunia mereka 24 jam sehari. Masa, sih? Ya,
tanya mereka dong, jangan saya.
Masih
hobi nyinyir sama yang masih single (apalagi
bila mereka perempuan di atas usia 30).
Kalau masih percaya bahwa perempuan yang masuk dalam kategori ‘perawan tua’ (masih lajang di usia 30 ke atas) adalah tukang nyinyir, mending cek akar permasalahannya dulu, deh. Intinya, siapa sih, yang mulai cari gara-gara dengan mereka, padahal bisa jadi mereka tengah mengurus urusan mereka sendiri?
Ngomong-ngomong,
barusan pertanyaan retoris. Masa masih harus saya jawab di sini, sih? Yang
dialami salah seorang teman bukan cerita baru. Ada tetangga yang kebetulan
bermasalah dengannya dan malah sengaja mencari-cari ‘cacat’ si teman.
“Kayaknya perempuan kayak kamu harus buruan
nikah deh, biar nggak nyinyir dan jahat sama orang!”
Padahal,
kalau tahu masalahnya, Anda pasti bakal bilang bahwa argumen di atas sama
sekali nggak ada hubungannya. Tapi memang dasar masyarakat Indonesia suka masih
ada yang begitu. Kalah argumen, yang diserang malah status seseorang.
Kekanak-kanakan.
Pada
kenyataannya, semua orang berpotensi nyinyir, kok. Ya, termasuk Anda yang
dengan sangat bangganya pamer status nikah, lantas mengerdilkan pendapat orang
lain hanya karena kebetulan mereka masih single.
Bukankah itu sangat dangkal?
Merasa
bahwa dengan menikah berarti dapat menghindari perkosaan.
Gambar: businessinsider.com
Ini lagi logika absurd. Kesannya selama masih single, Anda berpotensi jadi pelaku (terutama bila laki-laki) atau korban (terutama bila perempuan). Bukankah ini namanya penghinaan?
Jujur,
saya paling ngeri dengan orang yang berpikir menyimpang seperti ini. Mungkin
mereka menganggap bahwa orang yang masih single
sulit mengendalikan diri dan bernapsu seperti binatang liar. Pasangan hanya
jadi pelampiasan seksual di ranjang. Asli, seram.
Padahal,
kalau mau ‘melek statistik’ sedikit
saja, banyak kok, korban yang statusnya ternyata sudah menikah. Banyak pelaku
yang ternyata punya istri di rumah. Istri (dianggap) ‘kurang melayani’? Belum tentu.
Masih mau
menyalahkan perempuan yang keluar rumah sendirian? Lalu apa kabar mereka yang
jadi korban perkosaan di rumah, oleh keluarga sendiri pula? Tolong, deh. Stop
cari-cari alasan untuk membenarkan pelaku pelecehan seksual apa pun, termasuk
perkosaan.
Lagipula,
siapa sih, manusia waras yang senang bila harus menikah karena diancam-ancam
atau ditakut-takuti?
Intinya,
selalu merasa lebih baik daripada yang masih single, apalagi janda.
Saya lebih sering mendengar ejekan untuk para lajang. Jomblo ngenes (jones) adalah salah satunya. Seolah-olah status itu begitu hina dan Anda yang sudah terbebas darinya (dengan menikah) berhak mencela-cela. Mungkin karena merasa di atas angin, mengingat kultur di Indonesia begitu memuja-muja pernikahan, terlepas ada yang selingkuh atau babak-belur di belakangnya.
Lalu, apa
bedanya Anda dengan orang kaya yang pamer harta di depan mereka yang Anda
anggap tak berpunya?
Jika ada yang bertanya mengenai pengalaman saya menjadi seorang narablog atau blogger, ceritanya panjang. Yang pasti, saya mengawalinya saat kuliah di tahun 2000. Waktu itu, blog pertama saya ada di dalam sebuah website berbahasa Inggris. Saya juga menulisnya dalam bahasa Inggris.
Seperti
halnya mahasiswi, blog saya awalnya hanya berisi curhatan khas anak kampus.
Biasa, cerita hidup saya dan orang-orang di sekitar saya. Ya, soal keluarga,
kuliah, teman-teman, sosok lelaki yang saya taksir, hingga tentang pandangan
hidup saya sendiri.
Selepas lulus kuliah dan mulai bekerja, saya baru menyadari fungsi dan manfaat lain dari menjadi seorang narablog. Pertama, saya sadar bahwa seharusnya saya tidak secara utuh memperlakukan blog saya sebagai ‘buku harian digital’ yang malah dapat dibaca dan dikomentari oleh semua orang.
Yah,
kurang lebih seperti banyak netizen yang hobi curhat atau memaki di media
sosial mereka, hehehe.
Secara
perlahan, saya mulai sedikit mengubah gaya dan tema penulisan saya
kadang-kadang. Makanya, ini yang bikin banyak orang membedakan profesi blogger dengan seorang content writer. Bila seorang blogger masih lebih banyak memasukkan
unsur diri mereka ke dalam cerita, maka content
writer berbeda.
Seorang content writer bisa menulis tentang review produk, film, buku, atau bahkan
resto dan lokasi nge-hits lainnya.
Apa bedanya dengan narablog? Menurut pengamatan awam saya, mereka lebih
mengandalkan narasumber selain diri mereka agar lebih objektif.
Kurang-lebih,
seperti jurnalis – tapi lebih seperti citizen
journalist. Tapi, yang saya tulis barusan hanyalah segelintir dari banyak
contoh yang ada. Selanjutnya, kalau mau jadi blogger, content writer, atau malah keduanya juga terserah. Tidak
perlu saling membatasi diri bila memang suka dan bisa melakukan keduanya.
Intinya,
saya percaya bahwa content writer dan
narablog punya rezeki mereka
masing-masing. Tidak perlu ada yang merasa iri atau tersaingi.
Momen-momen Spesial Saya Saat Nge-Blog:
Sumber foto: Rawpixel@Unsplash.com
Saat
membahas momen-momen spesial nge-blog, pasti langsung banyak yang mengaitkannya
dengan kemenangan saat ikut lomba menulis blog. Jujur, saya tidak pernah
menolak rezeki seperti itu. Kebetulan, saya memang juga suka mengikuti lomba
menulis blog maupun yang lain.
Bisa
dibilang, saya termasuk pecandu writing
challenge. Sebagai seorang narablog, saya
sudah pernah memenuhi berbagai tantangan menulis. Mulai dari blog tentang
opini, fiksimini, cerpen, puisi, hingga review
produk. Kadang ada yang berhadiah uang, voucher,
hingga sekadar acknowledgment.
Mungkin
kesannya saya tidak punya gaya menulis yang tetap atau ciri khas. Padahal, saya
masih tetap berusaha konsisten. Misalnya: saya tidak akan berusaha selalu
memakai bahasa gaul kekinian bila memang tidak nyaman. Untuk apa memaksakan diri?
Pembaca juga cerdas-cerdas, kok.
Selain
itu, saya juga tidak akan memaksakan diri mengikuti lomba blog dengan produk
yang saya tidak kenal dan tidak pernah pakai. Saya bahkan tidak mau berbohong,
bahkan meskipun hadiah lombanya sangat menggiurkan, seperti uang jutaan rupiah,
voucher, hingga produk gadget incaran saya.
Beberapa
momen spesial saya saat nge-blog tidak selalu berkaitan dengan menang, dapat
uang, atau belanja dengan voucher pemberian.
Membaca komentar-komentar seru dari para pembaca, hingga pernah mendapatkan
klien juga momen-momen spesial saat nge-blog.
Hingga
kini, sebisa mungkin saya masih terus menyempatkan menulis blog. Selain sebagai
latihan, saya memang menyukainya. Saya juga banyak belajar dari para rekan blogger yang saya kenal agar kemampuan
saya tidak mandek di situ-situ saja.
Pada kenyataannya, semua orang memang harus berkembang.
Harapan Saya Sebagai Narablog atau Blogger di Tahun 2019:
Sumber foto: Steve Johnson via Unsplash.com
Di awal
bulan Januari 2019 ini, saya memutuskan untuk memulai aktif lagi menulis blog.
Saya mulai mencoba-coba mengikuti lomba menulis blog yang ada. Tidak perlu
memikirkan ingin mendapatkan hadiahnya dulu (meski nggak bakal menolak kalau
memang sudah rezekinya, hehehe.) Yang penting mencoba.
Selain itu,
saya berusaha lebih update dengan
berita terkini (meskipun menurut saya kadang isunya ‘enggak banget’ alias ‘sampah’).
Saya suka menulis opini saya. Orang boleh setuju, boleh tidak. Asal, kalau
tidak setuju, bahasanya tidak usah kasar, karena tidak akan saya ladeni sampai
kapan pun.
Untuk
berlatih variasi menulis, kadang saya juga menjadi seorang blogger tamu di website-website
lain. Yang pasti, aturannya berbeda dengan menulis di blog milik sendiri.
Tidak boleh egois. Saya harus mengikuti tata cara yang berlaku di dalam website yang ada.
Tidak
seperti di blog sendiri, tulisan saya pasti masih akan dikurasi editor dulu
sebelum tayang.
Banyak
yang menjadi seorang narablog atau blogger demi mendapatkan penghasilan dan
ketenaran. Bagi saya, selain penghasilan tentunya (hehehe lagi), saya ingin
agar siapa pun yang membaca blog saya merasa menemukan manfaat dan mendapatkan
inspirasi, hihihi…
Selain
itu, saya punya cita-cita bahwa suatu saat ingin menjadi penulis fulltime yang mandiri. Ya, seperti
penulis-penulis favorit saya yang bahkan sudah berjaya sebelum era digital
muncul. Tapi, tentu saja saya tidak akan bisa menyamakan diri saya dengan
mereka. Pastinya tidak mungkin.
Saya juga
tidak mau. Kagum sama mereka boleh, namun lebih baik tetap menjadi diri sendiri
dan menemukan gaya menulis sendiri.
Semoga
suatu saat blog ini dapat saya monetisasi dengan sepenuhnya. Yang pasti, saya bangga menjadi narablog pada era digital
ini.
Catatan Tentang dan Untuk Siapa pun Atau Bukan Siapa-siapa
Apa
yang biasanya saya lakukan ketika pikiran saya mulai berkeliaran? Saya mencoba
menyimpan beberapa pemikiran saya – terutama yang saya anggap paling penting –
dalam tulisan saya.
Tentu
saja, Anda tidak akan terlalu terkejut. Saya memang memiliki momen “Dear Diary” saya sebagai
seorang gadis remaja. Beberapa orang mungkin masih beranggapan bahwa menulis
jurnal adalah hal yang biasa-biasa saja, tetapi kita semua tahu itu tidak
benar. Sama seperti saya, beberapa orang merasa perlu untuk mendokumentasikan
pikiran dan perasaan mereka dengan cara ini. Hanya sesederhana itu.
Saya
mungkin hanya salah satu dari mereka yang menulis karena memang ingin
melakukannya. Saya jarang khawatir tentang apa yang mungkin dipikirkan pembaca.
Jika mereka suka apa yang mereka baca dari saya, bagus. Jika tidak … ya,
sudah.
Seiring
waktu, saya telah belajar untuk tidak menulis semua tentang saya. Ada baiknya
mencoba variasi. Ini juga membantu menjaga diri saya agar tidak terlalu fokus
sama diri sendiri atau sedikit narsis … Moga-moga, sih. Jadi, inilah “Catatan
Tentang dan Untuk Siapa Pun atau Bukan Siapa-siapa”. Jika Anda
curiga bahwa saya mungkin sedang membicarakan Anda juga, barangkali memang
benar.
Darimana Anda tahu? Ya, bertanyalah langsung – dan jangan main asumsi.