Categories
#catatan-harian #menulis

Saat Tukang Gosip Berdagang…

Saat Tukang Gosip Berdagang…

Sabtu sore, ibu saya lapar dan minta ditemani makan. Kami memutuskan untuk mengunjungi salah satu dari dua warung makan yang pas di sebelah rumah. Warung itu pun juga pas bersebelahan, karena berada di lahan properti yang sama.

Biasanya, Ibu memilih warung yang paling kiri. Selain selalu ramai dan menunya enak-enak, pemiliknya ramah.

Namun, akhirnya Ibu memilih warung yang satunya. Alasan beliau:

“Sesekali nyoba yang lain. Lagipula kasihan, nggak tahu kenapa sepi gitu.”

Akhirnya, kami berdua makan di warung kedua. Menunya enak juga, sih. (Yah, berhubung saya memang doyan makan dan sulit objektif, makanya nggak jadi food blogger, deh. Hehe.) Pemiliknya sepasang suami-istri yang masih relatif muda. (Ya, kira-kira semudah saya, deh. Eh, lho kok…??)

Lalu, apa yang salah?

Kami baru mendapatkan jawabannya saat Sang Istri Pemilik Warung mulai buka mulut (sambil melayani, tentunya):

“Bu, Ibu tahu yang di sebelah?” tanyanya pada ibu saya. “Dia itu sebenarnya suka iri sama saya…”

Ya, Tuhan. Menguaplah selera makan saya seketika. Namun, berhubung perut masih lapar, saya habiskan juga. (Lagipula, nggak baik membuang-buang makanan, apalagi hanya gara-gara kesal sama orang. Rugi!)

Perempuan itu masih terus nyerocos tanpa henti. Ibu saya memang hebat. Tidak seperti anaknya yang emosian dan sudah siap meledak ini, wajah beliau tetap tampak tenang. Ekspresinya netral, sulit dibaca.

“Maklum aja ya, Bu. Namanya juga orang *****.” Astaga, belum berhenti-berhenti juga gunjingannya. Sampai sini, alis saya otomatis terangkat sebelah dan Ibu melihatnya sekilas. “Kerjanya pasti malas.”

Jujur, waktu itu saya sudah nyaris naik pitam. Tidak hanya karena mendengar komentar rasis, tuduhan perempuan itu juga terlalu menggeneralisir dan tanpa bukti.

Ibu saya kebetulan juga berasal dari suku yang dipergunjingkan perempuan itu. (Sengaja saya menyensornya untuk menghindari drama yang tidak perlu. Nama perempuan ini bahkan tidak saya sebut. Ini hanya jadi satu contoh kasus.)

Sekedar konfirmasi, ibu saya pekerja keras. Kalau tidak, bagaimana mungkin dulu kami bertiga mendapatkan pendidikan yang baik? Tidak hanya masih dipercaya mengurus acara reuni kantor setelah pensiun, Ibu bahkan punya usaha katering sendiri.

Selesai makan dan membayar, kami berdua burur-buru hengkang dari sana. Asli, serius. Nggak tahan.

“Pantas warungnya susah laku,” gerutu Ibu begitu kami sudah jauh. “Semua orang dia omongin.”

Saya hanya mengangkat bahu. Begitulah. Sama halnya dengan orang yang lama-lama sama sekali nggak punya teman. Kalau pun masih ada, belum tentu sedekat yang mereka inginkan.

Siapa yang tahan, sih? Hanya karena rajin menggosipkan satu orang dalam waktu lama, bukan tidak mungkin suatu saat giliran Anda yang jadi bahan pergunjingan mereka. Kemungkinan itu selalu ada.

Ya, sudah banyak buktinya. Mending jauh-jauh saja.

“Kamu kenapa tadi nggak nyeletuk aja kalo Mama orang *****?” tanya Ibu tiba-tiba. “Tumben tadi diem aja.”

“Karena tahu Mama bukan orang yang suka cari ribut.”

Kami hanya sama-sama nyengir sebelum berjalan pulang.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Ritme Hari

Ritme Hari

Kemana kita beranjak pagi ini?

Bersama atau sendiri,

mengais rezeki.

Menendang penghalang, maju dengan motivasi.

 

Kemana kita berlari siang ini?

Terus ke depan, di bawah terik mentari.

Jangan menyerah, meski cobaan di sana-sini.

 

Kemana kita berlalu sore ini?

Pulang, sebelum malam bertambah tinggi.

Berhenti, sebelum lelah terlalu menggerogoti.

 

Malam ini?

Biarkan diri lelap oleh sunyi.

Masih ada esok hari.

 

R.

 

 

(Jakarta, 23 November 2013)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Keluhan Setelah Ucapan Selamat

Keluhan Setelah Ucapan Selamat

“Selamat ya, kamu akhirnya dapet beasiswa ke *******.”

“Makasih.”

“Kamu beruntung ya, pinter. Beda dengan otakku yang pas-pasan…”

“……….”

-***-

“Waaah, elo dapet karir impian? Congrats!”

“Thanks.”

“Enak banget jadi lo. Gue merasa karir gue begini-begini aja. Nggak maju-maju. Mandek.”

“……….”

-***-

“Pacar baru, nih? Ganteng, deh. Bikin sirik.”

“Ah, nggak sampe segitunya juga kali. Biasa aja.”

“Serius. Ganteng banget. Gue kalo secantik elo mungkin juga bakalan dapet yang sama.”

“……”

 

Tiga contoh percakapan di atas pasti terasa familiar. Pernah kayak gitu? Yang mana Anda?

Bagi yang nggak terlalu mikirin (atau mungkin malah udah nggak peduli), ini mungkin hanya dianggap basa-basi. Namun, nggak jarang banyak yang malah keganggu banget dengan komentar tambahan yang demikian.

Pernah dengar pendapat seperti ini?

“Orang Indonesia susah banget nerima pujian dengan anggun, terutama perempuan, tanpa jatuh merendahkan diri.”

Contohnya seperti ini:

“Kamu hari ini cantik, deh.”

“Makasih, padahal aku nggak dandan, lho. Rasanya biasa aja.”

Tuh, ‘kan? Kenapa sih, nggak ngucapin terima kasih aja lalu udah? Beda lho, rendah hati dengan (me)rendah(kan) diri.

Ini juga berlaku buat yang hobi nambah-nambahin keluhan seputar diri sendiri setelah mengucapkan selamat atas kesuksesan orang lain. Entah itu keluarga, kawan, dan entah siapa lagi.

Barangkali, niat Anda hanya basa-basi. Mungkin maksudnya ingin merendah, namun jatuhnya malah makin ‘ganggu’. Banget. Serius. Selain terdengar mengasihani diri sendiri, ada kesan iri yang terpendam dengan kebahagiaan dan kesuksesan mereka yang Anda beri selamat.

Memang, semua yang serba ‘terlalu’ itu kurang baik. Terlalu bahagia, terlalu sedih, maupun terlalu minta dikasihani itu bikin Anda kelihatan nggak elegan.

Memang, semua orang pasti punya masalah. Namun, tidak perlulah melampiaskan kekesalan ke semua orang, apalagi yang tidak tahu apa-apa maupun yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah Anda. Nggak elok dan nggak adil juga, ‘kan?

Mengapa kita harus merusak kebahagiaan orang lain, hanya karena kita sedang sedih atau bermasalah? Padahal, tinggal bilang “selamat” dan selesai sudah. Nggak susah.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Antara Aku, Kamu, dan Hantu Itu

Antara Aku, Kamu, dan Hantu Itu

Aku berusaha berlari
saat hantu itu mengejarku
jauh-jauh dari masa lalu.
Kau pun berlari
namun mengajak sang hantu
menjajari tiap langkahmu.

Ah, apa maumu?
Aku tak sudi bertemu
pilu yang seperti dulu.
Tak heran langkahmu melambat.
Hantu sialan itu membuatmu terhambat
hingga semuanya memberat.

Aku masih berlari
sementara kau tanpa lelah mengekori
di belakangku, masih bersama hantu itu.
Tahukah kamu?
Kau dan hantu lama-lama menyatu,
mendorongku untuk terus mengambil langkah seribu!

R.

(Jakarta, 28 November 2013)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Surat Terbuka Untuk Yang Suka Merongrong Perempuan Soal Kapan Mereka Harus Menikah

Surat Terbuka untuk yang Suka Merongrong Perempuan Soal Kapan Mereka Harus Menikah

Sebenarnya, saya lelah harus membahas soal ini lagi. Rasanya nggak kelar-kelar. Selain bisa merusak relasi dengan sesama (terutama keluarga dan teman), terlalu sering merongrong perempuan soal kapan mereka akan menikah justru berpotensi ‘membunuh’ rasa percaya diri mereka.

Saya baperan? Tunggu dulu. Baca tulisan ini sampai selesai sebelum menuduh macam-macam.

Awal tahun 2000-an ditandai dengan perlawanan keras dari mereka yang mulai jengah keseringan ditanya soal kapan mereka akan menikah. Nggak hanya saat silaturahmi Lebaran, arisan keluarga juga bikin mereka lelah. Alasannya beragam, mulai dari bosan, malas, hingga merasa urusan pribadi mereka terlalu diatur-atur dan dihakimi.

Ada juga sih, yang sebenarnya nggak keberatan dengan pertanyaan “Kapan nikah?” Jawaban paling aman mereka yang masih lajang paling hanya: “Mohon doanya.” Sayang sekali, jawaban diplomatis ini kadang dianggap nggak cukup untuk menghentikan rongrongan ini.

“Sebenarnya bukan pertanyaan kapan nikah yang jadi masalah,” aku seorang teman. “Yang nyebelin, pas udah dijawab dengan mohon doanya, mereka masih belum puas juga. Kalo nggak mulai menceramahi panjang lebar, sering ‘cacat’ atau kekurangan kami seperti sengaja dicari-cari sebagai alasan belum berjodoh.”

Oh, I feel you, sis. Apalagi, pihak yang dituduh ‘terlalu usil’ dan pendukungnya sekarang malah balas tersinggung. Menurut mereka, yang mereka tanyakan itu selama ini sudah dianggap wajar di Indonesia. Kenapa sekarang malah jadi masalah?

“Lagipula, bersyukurlah masih ada yang memperhatikan,” begitu alasan mereka. “Nggak usah baperan, lah. Biasa aja.”

Duh, ternyata susah ya, membuat mereka mengerti bahayanya terlalu sering merongrong putri/saudari/sahabat perempuan Anda dengan pertanyaan “Kapan nikah?” dan komentar nyinyir yang kerap menyertainya. Nih, saya kasih beberapa contohnya:

  1. Kesannya ingin mendahului Tuhan dan jadi arogan.

“Nanti kamu keburu perawan tua. Udah susah laku, susah punya anak pula.”

“Memangnya kamu mau nanti pas udah tua, anakmu masih kecil-kecil?”

“Si A umur segini anaknya udah tiga. Kamu kapan?”

“Hidupmu belum lengkap dan ada artinya tanpa menikah, apalagi kalau kamu perempuan.”

Hati-hati bicara seperti itu sama yang masih melajang, terutama meski kalian sudah duluan menikah dan punya anak. Ada kesan kalian seperti lebih tahu dari Tuhan dan arogan. Ayo, nggak usah gantian baperan. Bisa kok, bersyukur akan rezeki masing-masing tanpa harus saling merendahkan.

Saya sedih mendengar perempuan masih saja disamakan dengan barang dagangan, terutama dengan istilah “laku-nggak laku” yang masih saja digunakan. Makin sedih pas melihat yang paling getol nyinyir itu justru sesama perempuan. Sepertinya mereka lupa, sebelum akhirnya menikah dan punya anak, dulu mereka juga di posisi yang sama dan pasti nggak nyaman diperlakukan demikian. Mana empatinya?

Selain itu, banyak yang berasumsi bahwa begitu menikah, semua perempuan bisa langsung hamil seketika. Ada yang harus mencoba dalam waktu lama, sebelum akhirnya berhasil punya anak. Ada yang belum, bahkan meski sudah menikah muda. Bisa jadi karena masalah kesehatan, bukan kurang usaha seperti yang kerap kali mudah dituduhkan.

  1. Bikin orang jadi sering mengeluh dan kurang merasa bersyukur.

Mungkin yang hobi merongrong dengan pertanyaan “Kapan nikah?” enggan bertanggung jawab atau seakan menutup mata terhadap akibat ini. Padahal, ulah mereka justru berpotensi bikin orang yang tadinya nggak apa-apa jadi merasa ada masalah. Yang tadinya berbahagia (dan pastinya tambah kelihatan cantik dong, ya) jadi bermuram durja dan kurang bersyukur sama hidup mereka.

Masih nggak percaya juga? Contohnya udah banyak banget, kok. Ada yang senantiasa mengeluhkan tubuhnya yang kurang kurus, hanya gara-gara berat badannya dijadikan ‘kambing hitam’ susahnya dia berjodoh (dan sekarang dijadikan tolak ukur keimanan lagi). Padahal, tubuh mereka masih termasuk sehat, apalagi bila rajin berolahraga.

Ada yang kesepian dan mengurung diri di kamar setiap Malam Minggu, karena malu dengan teman-temannya yang nggak jomblo. Padahal, sosialisasi dan traveling justru bisa membantu mereka menemukan jodoh.

Ada yang jadi merasa percuma sukses di karir, bila masih dianggap kurang sempurna hanya gara-gara belum menikah dan punya anak. Padahal, mereka juga membantu perekonomian keluarga, seperti merawat orang tua yang sedang sakit dan menyekolahkan adik-adik yang masih kecil. Kata siapa jomblo nggak berguna?

  1. Berpotensi bikin perempuan jadi ‘pelakor’ (perebut laki orang) maupun rentan jadi korban lelaki hidung belang.

Karena sering dianggap bahwa tanpa pasangan mereka nggak cukup baik, rasa iri perlahan mengendap. Hasilnya bisa kita lihat sendiri.

Ada yang lantas gelap mata dan jadi pelakor. Ada juga yang karena putus asa jadi mudah percaya sama rayuan gombal lelaki hidung belang. Bahkan, meskipun tahu pada akhirnya, tetap ada yang memilih ‘menutup mata’ terhadap kelakuan lelaki itu. Di benak mereka yang sudah terlanjur diracuni, yang penting ada pasangan.

Okelah kalau kalian masih merasa berhak bertanya mengenai kapan seseorang akan menikah. Tapi, coba kurangi komentar miring yang sama sekali nggak perlu, entah itu soal berat badan mereka atau semacamnya. Cukup doakan saja. Lagipula, sudah lupa kalau jodoh itu urusan Tuhan?

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

(Hanya) Satu Sisi…

(Hanya) Satu Sisi…

Kadang kita harus berhenti bicara

agar mampu menangkap semua

meski tak selalu mengerti segalanya.

 

Kadang kita harus sabar

saat mereka memilih enggan mendengar

bahkan (cenderung) menganggap kita kurang ajar.

 

Kadang memang lebih baik diam

tanpa perlu menyimpan dendam

meski ucapan mereka menusuk (terlalu?) dalam.

 

Memang, ada yang lebih mendengar suara sendiri

terjebak dalam ilusi abadi

hanya peduli pada satu sisi…

 

R.

 

(Jakarta, 1 Desember 2013 -1:14 pm)

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis

Jangan Kayak Orang Susah!

“Jangan Kayak Orang Susah!”

Celetukan itu lazim banget terdengar. Entah maksudnya hanya untuk bercanda atau serius mencela. Yang pasti, kalimat itu sering banget keluar saat salah satu pihak kesannya lagi ribet banget, padahal keribetannya bisa dihindari.

Contoh: bingung mau pakai baju apa ke acara nongkrong bareng teman, padahal yang bagus-bagus udah selemari penuh. Nah, kalo ini bolehlah kita komentarin dengan: “Jangan kayak orang susah!” Keterlaluan aja sih, kalo masih berani bilang nggak punya baju buat keluar, kecuali kalo yang di lemari udah pada nggak muat semua.

Lalu ada contoh lain lagi. Teman Anda masih saja tahan dengan ponsel model jadul, sementara Anda sudah punya yang baru. (Ya, apalagi bila Anda termasuk yang doyan banget gonta-ganti ponsel setiap kali yang baru keluar.) Niat baik sih, ada untuk mengingatkan teman. Apalagi bila ponsel mereka lama-lama sudah ‘turun’ dari segi kualitasnya.

“Beli yang baru, dong. Jangan kayak orang susah gitu.”

Sekilas mungkin terdengar seperti gaya bercanda biasa. Apalagi, reaksi teman adalah tertawa. Tapi, coba deh, perhatiin cara mereka tertawa. Apakah ringan seperti biasa? Apakah ada senyum terpaksa di sana?

Reaksi pertama Anda mungkin akan menuduh mereka ‘baperan’. (Aduh, kenapa sih, pada doyan banget sama kata yang merendahkan begini?) ‘Kan Anda hanya bercanda. Biasa banget, ‘kan?

Reaksi kedua, bisa jadi Anda malah kurang peka. Lho, apa yang salah? Mana Anda tahu kalo mereka ternyata emang beneran lagi susah? Habis mereka nggak cerita!

Serius, nih? Emangnya harus nunggu dibilangin dulu baru ngerti? Apalagi bila Anda sudah lama berteman dengan mereka.

Lalu, gimana kalo ternyata mereka beneran jujur, bahkan cenderung blak-blakan, soal kondisi keuangan mereka? Seperti ini contohnya:

“Tinggal beli aja kali. Nggak usah kayak orang susah gitu.”

“Hmm…kebetulan, gue emang beneran lagi susah…”

*krik*

Pastinya langsung sunyi mendadak. Nggak nyaman juga ‘kan, saat akhirnya mereka (terpaksa) berterus terang seperti itu?

Meskipun dengan niat hanya bercanda, sebisa mungkin sekarang saya nggak asal nyeletuk dengan cara demikian. Kita nggak pernah tahu, suatu saat kita bisa aja berada di posisi beneran susah dan harus menerima bercandaan semacam itu.

Pahit. Pahit banget.

Asli. Serius.

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Untuk Sunyi

Untuk Sunyi

Kadang aku mencintai sunyi

ibarat berdiri di balik tembok yang melindungi.

Tak perlu ada yang tersakiti.

Hanya aku dan sunyi.

 

Kadang sunyi begitu kubenci

ibarat tanya yang menggelisahkan hati:

Kenapa begini?

Yang terdengar hanya suaraku sendiri.

 

Ah, sunyi…

Sepertinya kita sedang akur sekali.

Di balikmu, aku masih sembunyi

dari pedih yang menggerogoti

sejak dia pergi…

 

R.

 

(Jakarta, 15 Desember 2013)

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

Perang Komentar di Media Sosial Bikin Stres? Ini 4 Strateginya

Perang Komentar di Media Sosial Bikin Stres? Ini 4 Strateginya

Ingin anteng-anteng saja ber-media sosial? Balaslah komentar negatif secara cerdas. Kalau nggak penting-penting amat, diamkan saja.

  1. Lihat dulu masalah yang sedang diperdebatkan.

Apakah masalahnya secara langsung relevan dengan hidup Anda sehari-hari? Misalnya: selebriti A digosipkan berkelakukan buruk karena suatu hal. Bila kebetulan kenal dengan si A dan kabar itu nggak benar, sebagai teman silakan membela – dengan bahasa yang masih sopan, ya.

  1. Melihat nama-nama yang berkomentar.

Apakah ada yang dikenal? Bila ada, silakan ajak bicara baik-baik secara japri (jalur pribadi). Mereka boleh saja nggak sepakat sama suatu hal, namun tidak perlu memaksakan pendapatnya pada orang lain. Bila sampai marah, biarkan saja. Yang penting sudah menegur dengan baik-baik.

  1. Berusaha nggak mudah terpancing emosi, meski mendapat ‘serangan’ berupa ucapan kasar.

Namanya juga manusia, pasti beda-beda. Ada yang kalem, ada yang enggak. Bukannya memaklumi sih, tapi kita nggak bisa mengendalikan pikiran dan perasaan orang lain. Kalau misalnya malah balik diserang dengan ucapan kasar, usahakan agar nggak mudah terpancing. Kelihatan sekali bahwa orang itu nggak bisa berdebat secara dewasa, karena lawan bicara selalu diserang secara personal. Entah dibilang masih kecil, sok tahu, atau kurang beribadah.

  1. Memilih untuk diam.

Choose your battles wisely. Ini kata Ibu dan beberapa teman. Bukannya pengecut ya, tapi masih banyak kerjaan lain dalam hidup yang lebih penting daripada meladeni semua orang yang nggak setuju atau nggak suka sama kita. Toh, kita juga nggak bisa mengendalikan pola pikir mereka, begitu pula sebaliknya.

Ingin anteng-anteng saja ber-media sosial? Balaslah komentar negatif secara cerdas. Kalau nggak penting-penting amat, diamkan saja.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Ah, Sudahlah

Ah, Sudahlah

Aku lelah…

Kamu selalu marah…

Kamu enggan mengalah…

Lagi-lagi (haruskah?) aku yang kalah…

 

Cukup sudah!

Mari kita sudahi saja

semua sandiwara.

Aku tak lagi bertenaga.

 

Kadang diam itu indah.

Tak perlu selalu menuruti ego semata.

Tak perlu (sampai) ada yang terluka.

Biarlah damai berjaya.

 

Saatnya berlalu.

Ikuti kata hatiku.

Hidup ini tak selalu tentangmu.

‘Sempurna’ memang konsep semu…

 

R.


(Jakarta, 8 Desember 2013)