“STRINGS ATTACHED: Kunjungan Singkat Serial Pendek Komedi Romantis”
Untuk ukuran orang yang tengah skeptis akan romansa, saya tidak pernah mengira akan benar-benar menikmati membaca antologi fiksimini ini. Ditulis oleh Firnita Taufick, “Strings Attached” membawa saya kembali ke masa remaja.
Bagi banyak orang, masa remaja adalah masanya percaya akan cinta. Ini masanya cerita roman remaja, serial sinetron, dan komedi romantis Ini masanya kita lebih peduli apakah orang yang kita suka menyukai kita juga atau tidak.
Masa remaja adalah masa-masa patah hati nyaris terasa seperti akhir dunia … setidaknya pada awalnya. Seperti kata orang-orang: masih banyak ikan di laut. Tak peduli kamu bilang ke mereka kalau kamu vegetarian. (Bercanda!)
Ngomong-ngomong, saya merasa ‘dekat’ dengan banyak cerita di buku ini. Pada “Chapter I: Hope”, kita tahu rasanya debar-debar itu. Tahu ‘kan, seperti banyaknya kupu-kupu yang terbang menari-nari di dalam perut – saat melihat sosok yang kita taksir di sekolah / kampus. Bisa teringat – atau mungkin terbayangkan – saat berpapasan dengan mereka – di perpustakaan maupun di kedai kopi.
Pada “Chapter II: The Bliss”, saya teringat akan keajaiban, semua kemungkinan yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Apakah perasaan ini nyata? Apakah si dia juga merasakan yang saya rasakan?
Seberapa lama perasaan ini akan berlangsung? Akankah saya patah hati saat fantasi ini berakhir? Bisakah saya merelakan orang itu secepat mungkin? Apakah saya akan menemukan seseorang yang lain lagi bila hal itu sampai terjadi?
“Chapter III: The Despair” mungkin yang terberat untuk saya baca. Tidak ada orang waras pun yang mau mengalami hal ini. Hubungan bisa saja berakhir. Pasangan bisa putus. Kadang kamu terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada apa pun dan seorang pun yang kamu harap bisa tinggal lebih lama. Cinta sejati adalah konsep kekanak-kanakan, abstrak, dan mustahil. Kita sadar dan belajar akan hal itu seiring bertambahnya usia.
Tetap saja, mengenai romantika remaja, inilah semua fase yang mungkin akan kita semua lewati. Tidak ada tawar-menawar. Sudah bagian dari risiko.
Membaca “Strings Attached” akan membuatmu merasa pahit dan manis. Bahkan untuk pembaca yang skeptic akan roman seperti saya selesai membacanya dengan senyum. Siapa tahu? Mungkin keajaiban lama bernama cinta masih ada, bahkan meskipun kita masih ingin memastikan bahwa kita tetap berpegangan pada realita …
Eh, buku keduanya Firnita – “The Short Stories” – sudah ada di Gramedia, lho!
Mungkin saya terdengar julid, tapi saya yakin bukan saya saja yang berpendapat begini. Saya juga enggan menyebut nama influencer siapa pun sebagai contoh kasus. Tinggal Google atau cek yang lagi trending di medsos, kalian pasti langsung nemu.
Terserah sih, berhubung itu bukan akun atau platform saya. Apalagi kalau cara itu bisa bikin mereka dapat uang lebih banyak dari kerja kantoran biasa. Saya juga nggak mau mengatur-atur cara orang mencari nafkah, selama masih halal dan tidak merugikan orang lain.
Tapi, setelah melihat banyaknya contoh kasus oversharing kehidupan pribadi seorang influencer di dunia maya yang berujung ricuh, mungkin saya hanya bisa kasih saran untuk yang baru kepikiran untuk ikutan jadi influencer. Terserah sih, mau diikuti atau tidaknya.
Kenapa sih, kamu harus pikir-pikir lagi sebelum terlalu banyak berbagi soal kehidupan pribadimu di dunia maya? Ini dia tiga (3) alasan utamanya:
Nggak semua orang tertarik untuk mengetahui hidupmu.
Mungkin ini terdengar kejam seperti omongan julid mereka yang sirik. Pada kenyataannya, nggak semua orang tertarik untuk mengetahui hidupmu. Apalagi, bisa jadi yang kamu lakukan itu belum tentu seistimewa itu di mata mereka. Lain cerita kalau kontenmu menghibur, tapi lebih mendidik dan menginspirasi.
Misalnya: kamu suka banget sama satu jenis makanan tertentu, terus kepikiran bikin beragam menu dari bahan makanan tersebut. Atau kamu bisa memposting video parodi film-film lucu favoritmu. (Khusus ini, kamu memang harus jago akting beneran.) Atau kamu bisa bikin eksperimen sosial yang lain daripada yang lain. Misalnya: sehari pakai wig rambut warna pelangi di ruang publik.
Emang, untuk saran-saran di atas effort-nya lebih gede. Jadi gak asal nge-prank orang tapi gak berfaedah atau pun pamer barang-barang mahal tanpa tujuan jelas.
Kamu nggak bisa menyenangkan semua orang – dan nggak semua kritikus itu benci secara pribadi sama kamu.
Ayolah, bahkan sebenarnya kamu sudah tahu saat berinteraksi dengan sesama manusia lain di dunia nyata. Kamu nggak akan bisa menyenangkan semua orang, meskipun kamu sudah berusaha mengambil hati mereka. Namanya juga hidup. Cukup fokus sama hal-hal yang bisa kamu kendalikan dalam hidup ini.
Memang, nggak menutup kemungkinan bakal ada juga yang gerah dengan kontenmu. Apalagi bila menurut mereka konten kamu itu ‘enggak banget’. Nah, di sini kamu harus bisa menekan egomu dan bijak dalam menyeleksi: mana kritikus yang sebaiknya kamu dengerin dan mana yang asli haters.
Belum bisa bedain? Hei, nggak semua kritikus itu benci secara pribadi sama kamu, kok. Bisa jadi, tadinya mereka followers kamu yang kemudian merasa kecewa dengan mutu kontenmu. Kalau mereka memang punya saran yang bagus, kenapa nggak hargai mereka yang mungkin hanya ingin melihat kamu menjadi content creator yang lebih baik lagi? Toh, pada akhirnya, keputusan tetap ada di tanganmu.
Kalau mereka hanya mengkritik tanpa memberi solusi, apalagi ditambah dengan menghina menggunakan makian kasar, berarti mereka memang benci sama kamu. Nggak perlu membela diri atau menjelaskan apa-apa kalau memang kamu nggak merasa salah. Toh, meskipun kamu sudah berusaha menjadi lebih baik, kalau mereka masih begitu, berarti memang asli sentimen aja.
Bisa jadi, mereka lama-lama risih juga dengan kehidupan pribadimu yang terlalu sering kamu jadikan konten. Dengan semakin berkurangnya ruang untuk privasimu, kamu bisa rentan mengalami alasan berikut ini:
Demi menyenangkan semua orang, kamu rentan dikendalikan oleh followers-mu sendiri.
Memang menyenangkan rasanya disukai banyak orang, meskipun nggak semuanya kamu kenal secara langsung. Rasanya ngartis (jadi artis) dengan banyak penggemar. Rasanya kayak punya banyak teman.
Cuma, hati-hati aja. Kamu bisa kejebak dalam kondisi ini: jadi diatur-atur sama banyak orang lewat komentar-komentar followers kamu. Gara-gara takut kekurangan likes dan views hingga kehilangan followers, kamu jadi rela – bahkan mati-matian – mengubah dirimu menjadi sosok yang berbeda.
Kalau memang kamu-nya ingin berubah menjadi lebih baik demi kenyamananmu sendiri sih, nggak masalah. Lain cerita kalau kamu justru melakukannya demi menyenangkan dan memenuhi tuntutan orang lain. Apalagi, orang-orang ini statusnya orang-orang asing buatmu, bukan keluarga maupun teman.
Diatur-atur keluarga sendiri atau teman saja belum tentu semua mau. Ini, kamu malah menuruti orang-orang yang sama sekali nggak kamu kenal dan hanya kenal kamu lewat “pencitraan” di dunia maya.
Makanya, banyak yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk bikin konten dari kehidupan pribadimu. Jangankan sampai oversharing, berbagi sedikit saja juga belum tentu akan disukai semua orang. Kamu juga akan mudah tertekan secara mental bila tujuan utamamu bikin konten adalah biar disenangi banyak orang sekaligus monetisasi.
Jangan lupa juga untuk bersenang-senang, selama tidak merugikan diri sendiri maupun sesama. Jadilah inspirasi, alih-alih hanya “biar dilihat”. Sudah terlalu banyak influencer lokal yang melakukan hal serupa.
Akhir 2020 kemarin, saya mendapat kehormatan untuk menghadiri acara peluncuran buku kumpulan puisi berjudul “Yang Tak Kunjung Reda” karya Azwar Aswin. Buku ini adalah kumpulan puisi keduanya, sesudah “Perpanjangan Waktu”. Mewakili komunitas Malam Puisi Jakarta, saya juga beruntung mendapatkan kepercayaan untuk membacakan dua puisi beliau berjudul “Yang Belum Kuceritakan Padamu” dan “Yang Tak Kunjung Reda”. Acara ini berlangsung di Zoom pada satu akhir pekan – Malam Minggu – yang menurut saya sangat berkesan.
Sesuai janji saya pada Azwar Aswin, inilah review bukunya dari saya:
Membaca kumpulan puisi “Yang Tak Kunjung Reda” ini telah menjadi pelarian menyenangkan bagi saya. Saya yakin, saya bukan satu-satunya yang mencari hiburan semacam ini di era pandemi #Covid19. Bahkan, membaca buku sudah lama saya lakukan sejak kecil dan semakin terasa manfaatnya sekarang.
Bolehlah menyebut pendapat saya subjektif. Puisi-puisi Azwar Aswin dalam buku ini begitu mudah dicerna, namun tidak sampai jatuh pada kualitas ‘receh’. Banyak tema kekinian yang dikemas dengan jujur, ringkas, dan tanpa terkesan sok tahu. Setiap baitnya penuh dengan permainan kata yang ringan, bahkan terkesan jenaka dalam beberapa puisi.
Salah satu puisi yang menurut saya cukup jenaka adalah “Receh”:
Kau masih saja rebahan
sambil menikmati jajanan rasa mecin
dan berulang kali tertawa karena hal-hal receh.
Sangat relevan, bukan? Bukankah itu gambaran sehari-hari masyarakat kita hari ini, terutama di daerah pinggiran perkotaan? Apalagi dengan semakin mudahnya akses ke makanan ringan berbahan MSG (yang disebut jajanan rasa mecin dalam puisi “Receh”) dan teknologi digital. Sudah pemandangan lumrah saat melihat pengguna teknologi digital beragam usia tertawa-tawa karena konten video receh di TikTok sambil mengunyah sebungkus keripik kentang.
Lalu, apa yang waktu itu membuat saya memilih puisi “Yang Belum Kuceritakan Padamu”? Saat itu, isi puisi tersebut tengah terasa sangat relevan dengan situasi yang sedang saya alami. Tanpa harus bercerita lebih banyak dan detail mengenai yang saya alami dan rasakan saat itu, bagian terakhir puisi ini sepertinya sudah cukup mewakili:
Di antara derita dan gempitanya suasana
ada sederetan sisa hidup
yang belum kuceritakan padamu …
Saat sempat, semoga saya masih bisa mendapatkan buku kumpulan puisi perdana Azwar Aswin yang berjudul “Perpanjangan Waktu”. Terima kasih atas kesempatannya untuk mengenal karya-karya Azwar Aswin. Terima kasih juga kepada Malam Puisi Jakarta yang telah mengenalkan saya pada penyair Indonesia yang hingga kini masih produktif menulis puisi dan opini.
Semoga Yang Tak Kunjung Reda adalah semangat untuk terus berkarya …
Loh, kok gitu? Mungkin banyak yang akan bereaksi seperti itu saat membaca judul tulisan ini. Kaget, kesal, atau malah nggak suka? Ah, itu mah, sudah biasa.
Bahkan, saya nggak akan heran kalau sampai ada yang bilang saya sinis. Nggak apa-apa, ngomong aja. Emang suka ada batas tipis-tipis kok, antara yang sinis dengan yang realistis.
Oke, saya akan langsung menjelaskan alasan judul tulisan kali ini bisa sampai begini depresifnya:
Cerita dongeng dan komedi romantis itu hanya obat penenang sementara.
Cerita dongeng tentang putri, pangeran, dan cinta sejati memang hanya cocok untuk anak kecil. Gak, sama sekali nggak ada yang salah dengan cinta sejati. Bagus malah. Sah-sah saja kalau masih mau percaya, terutama hari gini.
Cuma, jangan lupa untuk tetap melek dengan realita, ya. Boleh sih, memberi harapan pada si kecil kalau kebaikan biasanya juga akan berbalas dengan kebaikan. Bisa sama, bisa lebih baik lagi.
Saat cinta tak berbalas sesuai harapan, pasti semuanya akan merasa kecewa. Nggak apa-apa, butuh waktu juga untuk merasa sedih sampai puas. Nggak perlu buru-buru, meskipun orang lain pada bilang kamu kelamaan nggak move on.
Bila cerita dongeng cocok untuk anak kecil, maka komedi romantis cocok untuk remaja. Saya tidak sedang menghina. Saya sendiri juga pernah remaja, jadi tahu rasanya.
Andai saja cinta semudah dan seklise rom-com (romantic comedy), mungkin akan semakin lebih banyak yang ingin menikah. Di Indonesia, sekarang aja udah banyak banget yang menikah – entah karena ingin atau didorong-dorong sama society, bahkan meski tanpa bantuan finansial yang berarti. (Iye, nyuruh doang, bantuin kagak!)
Pada kenyataannya, tidak semudah itu. Tidak semua orang mendapatkan keuntungan semudah itu. Ada kalanya, kamu bukan tokoh utama yang selalu bisa mendapatkan segalanya. Bahkan meskipun banyak teman yang bilang kamu baik pun, belum tentu hal itu akan terjadi. Kadang itu hanya ilusi.
Bila kamu bukan tokoh utama, siap-siap saja untuk lebih sering patah hati. Siap-siap bila hampir setiap saat dipaksa kembali menelan kekalahan yang sama – bahkan sampai muak semuak-muaknya:
Si dia selalu memilih yang lain. Maaf, kamu hanya bisa jadi teman. Lebih baik daripada tidak sama sekali, alias tidak jadi siapa-siapa-nya si dia. Kamu sama sekali bukan tipenya.
Makanya, baik cerita dongeng maupun komedi romantis hanya obat penenang sementara. Lebih baik sering-sering saling mengingatkan, bahwa kebahagiaan diri sejatinya tanggung jawab dan usaha pribadi.
Kadang kamu hanya bisa berusaha sebaik mungkin, apa pun hasilnya nanti.
Sudahlah, tidak ada resep ‘saklek’ untuk cinta. Kadang ini bukan masalah kamu kurang cantik / kurang kaya / terlalu gemuk / terlalu pintar / kurang atau terlalu baik dan entah apa lagi. Lagipula, hanya tiga (3) hal pasti terkait perkara cinta:
Hati manusia mudah berubah.
Setiap manusia punya pengalaman berbeda.
Manusia tidak tahu segalanya.
Lupakan kepercayaan basi: “Kalau kamu baik dan menarik, orang yang kamu suka akan balas menyukaimu secara otomatis.” Paham menyesatkan ini malah akan menumbuhkan sikap pamrih dan sok baik – pokoknya self-entitled sekali. Tahu, ‘kan? Contohnya, laki-laki yang marah saat ditolak oleh perempuan yang sama sekali tidak tertarik sama dia suka ngomel begini:
“Udah gue baik-baikin malah ditolak. Emang dasar ceweknya aja yang sok kecakepan, sok laku!”
Kadang kamu memang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa … ya, hidup ini memang tidak adil. Bisa jadi, orang baik kadang kalah dengan yang (dianggap) ‘menang tampang / tajir doang’. Kadang, yang suka bikin banyak orang patah hati justru malah yang lebih menarik – karena dianggap lebih menantang. Yang sudah baik dan bersedia meluangkan waktu malah dianggap membosankan – bahkan cenderung … murahan.
Beginilah serba salah hidup di tengah society yang gemar mempermainkan emosi sesamanya. Bagi mereka, yang penting kamu baru dianggap laku dan menarik kalau ada pasangan. Yang tadinya baik dan sabar lama-lama jadi terkena efek negatif dan mulai bersikap sok baik tapi pamrih, seakan perhatiannya wajib dibalas dengan baik juga. Yang bejad tapi banyak penggemar semakin merasa di atas angin, selalu mempermainkan perasaan para penggemar mereka.
Sedih, ya?
Sedih? Ngapain jadi (dibawa) sedih? Silakan pikir dan putuskan sendiri: mau kuantitas apa kualitas? Mau pasangan yang benar-benar sayang atau yang hanya menganggapmu pelarian, mainan, atau bahkan sasaran untuk ditaklukkan? Situ bangga jadi rebutan, kayak barang diskonan?
Makanya, nggak usah terlalu pusingin omongan julid orang soal “Jangan terlalu baik kalo nggak mau dimanfaatin orang dan dianggep membosankan, karena kurang menantang.” Tetap jadi diri sendiri saja yang baik dan tidak menyakiti orang lain. Jangan lupa selalu berhati-hati dan belajar dari pengalaman.
Pada kenyataannya, tidak ada yang abadi di dunia ini.
Terserah saja bila ada orang-orang yang mengejekmu dengan sebutan ‘tak laku’, hanya karena kesannya kamu lajang melulu. Toh, kamu bukan barang dagangan – di toko diskon pula. Jangan mau dianggap serendah itu. Kamu manusia, sama seperti mereka.
Ya, kamu manusia biasa yang hanya bisa berusaha sebaik mungkin. Biar saja mereka mengasihanimu yang cintanya ditolak melulu. Setidaknya, kamu jadi belajar untuk tidak menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain.
Pada kenyataannya, tidak pernah ada resep ‘saklek’ untuk cinta. Sudahlah, yang kebetulan sudah diberikan jodoh oleh Tuhan tidak usah sok ‘paling bahagia’ di dunia. Biasa aja. Bukan berarti kamu yang beruntung lebih baik daripada yang masih lajang.
Ingat, apa pun masih bisa terjadi. Hati manusia mudah berubah, jadi nggak usah terlalu percaya diri. Yang pacaran masih bisa putus, yang menikah pun bisa cerai. Kalau tidak, bisa juga ditinggal mati. Tidak ada yang abadi.
Lagipula, namanya juga rezeki. Setiap orang dapatnya berbeda-beda. Jangan sampai kesombonganmu yang merasa terlalu bahagia karena sudah punya pasangan bikin Tuhan memutuskan untuk mengambil rezekimu kembali.
Bukannya mau nakutin atau nyumpahin loh, ya. #Sekadarmengingatkan …
5 Hal yang Harus Disiapkan Saat Menulis dan Memposting Artikel Opini
Hari gini pasti udah banyak banget yang (doyan) beropini. Gak hanya di media sosial, di media digital lainnya (terutama yang alternatif dan terima karya kontributor lepasan) juga ada. Mau nulis di blog sendiri juga bisa.
Cuma, harus siap-siap bila artikel opini yang sudah terpublikasi – bahkan sampai viral – menuai beragam reaksi. Gak hanya pujian, celaan juga pasti ada. (Makin banyak juga bila isi artikelmu asli ngaco atau dianggep kontroversial – atau malah keduanya.) Tahu sendiri ‘kan, dunia nyata (ternyata) juga sama saja.
Biar nggak kaget, ini lima (5) hal yang harus kamu siapkan saat menulis dan memposting artikel opini:
Biarpun opini, lebih oke pake riset.
Seperti yang sudah disebutkan, setiap orang bebas beropini. Meskipun bukan bersifat berita (news), lebih oke lagi kalo tulisanmu pake riset serius juga. Hal ini akan mengurangi kemungkinan tulisanmu dituding pembaca sebagai ‘curhatan doang’ atau tulisan yang bersifat (terlalu) subjektif.
Hmm, kalo pun emang berawal dari curhatan, trus kenapa? Namanya juga sharing pengalaman sendiri. Kalo bohong namanya fiksi.
Usahakan melihat/memaparkan setidaknya dua sisi berbeda secara berimbang.
Dalam setiap topik pasti ada beragam opini. Nah, tulisanmu akan semakin kaya bila mau mengulas topik tulisan tidak hanya dari satu sisi. (Baca: pendapat yang paling kamu setujui saja.) Biarkan pembaca belajar menganalisa suatu masalah tidak hanya dari perspektifmu.
Bisa jadi kamu sudah yakin benar akan satu hal. Tidak masalah. Boleh kok, mempertahankan pendapatmu. Selama juga punya bukti pendukung yang kuat, maka makin valid-lah pendapatmu saat ditulis.
Namun, menyebutkan pendapat lain yang berlawanan dengan pendapatmu juga penting, loh. Selain menunjukkan bahwa kamu mengakui adanya perbedaan (termasuk perbedaan pendapat), kamu tidak akan terdengar seperti orang yang ‘merasa paling benar sendiri’. Udah ya, soalnya yang gitu udah banyak banget, nih.
Cantumkan sumber-sumber tulisan lain yang mendukung pendapatmu di dalam artikelmu.
Sama seperti di dunia nyata, banyak macam orang di dunia maya. Mulai dari yang hanya asal komentar tanpa membaca (kecuali hanya judulnya), sampai yang punya argument berupa tulisan tandingan.
Bahkan, banyak juga yang emang niat membantah. Nah, kalau sudah begini, siap-siap hadapi aja, deh. Memang, meskipun misalnya argumen mereka (ternyata) terbukti lebih valid, nggak semua tahu atau bahkan peduli untuk pake cara yang santun untuk menegur.
Semoga kamu nggak akan mudah kepancing sama mereka yang sombong dan gemar merendahkan sesama karena merasa lebih benar. Mulai dari yang hobi menyindir “Belajar lagi yang bener deh, baru nulis beginian” sampai yang melenceng jauh – menuduhmu cari sensasi belaka.
Yang penting, sumber-sumber tulisanmu jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Contoh: jurnal ilmiah, media digital yang sudah terkenal bagus reputasinya (bukan yang hobi sebar gosip), dan masih banyak lagi. Mau dari blog orang lain juga boleh, selama isinya benar-benar kredibel.
Siapkan mental saat membaca berbagai komentar pembaca.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada pembaca yang baru lihat judul artikel saja sudah langsung komentar. Ada juga yang masih bisa objektif saat berkomentar, itu pun karena sudah membaca tulisanmu sampai habis. Yang nggak suka lantas mengajak ribut? Banyak juga.
Apa bedanya orang di dunia nyata dengan dunia maya? Mereka jauh lebih berani di dunia maya, karena bisa pake akun samaran. Yang biasanya kelihatan sopan sehari-hari ternyata malah jauh lebih kasar saat di social media.
Mempersiapkan mental bukan hanya perkara jangan ‘baperan’ (bawa perasaan – satu istilah yang sebenarnya sangat saya benci, karena sudah terlalu sering dipakai mereka yang sok tangguh untuk mengejek dan merendahkan sesama.) Okelah, banyak komentar sadis menyakitkan di dunia maya, tapi nggak semuanya harus atau layak kamu tanggapi.
Sayang bila waktumu terbuang hanya untuk meladeni mereka yang senang cari ribut demi sensasi (viralitas). Hidupmu pasti masih jauh lebih menarik daripada mereka. Lagipula, memangnya mereka sudah berani berkarya?
Yuk, mending nulis lagi aja terus…
Siapkan stok untuk ide tulisan-tulisanmu berikutnya.
Sama seperti musisi, hindari hanya menjadi ‘one hit wonder’. Jangan langsung puas hanya karena satu tulisan viral, habis itu berhenti begitu saja. Saatnya menggali ide lain dan terus menulis.
Bila memang suka menulis, lanjutkan saja. Tak perlu terlalu memusingkan komentar orang lain, apalagi yang tidak kamu kenal dan belum tentu punya karya yang (lebih) bagus. Cukup ikuti saran-saran yang menurutmu berguna dan kembali berkarya.