Categories
#catatan-harian #menulis

“3 JENIS PENDEBAT DALAM OBROLAN”

“3 Jenis Pendebat dalam Obrolan”

Sebuah obrolan dapat berubah menjadi diskusi hangat atau argumen ‘panas’. Namanya juga manusia, beda pendapat itu biasa. Namun, cara mereka menggiring obrolan menjadi lebih sehat atau tidak dapat berpengaruh pada hasil akhirnya.

Berhubung cara manusia berdiskusi atau mengkritik berbeda-beda, ada tiga (3) jenis pendebat dalam obrolan, yaitu:

1. Yang blak-blakan dan cenderung “apa adanya”.

Tipe ini pemuja “kejujuran di atas segalanya”. Enaknya, mereka nggak bakalan menikam dari belakang. Kalau memang nggak suka, mereka bakalan bilang nggak suka di depan Anda. Nggak ada acara pura-pura.

Nggak enaknya? Terutama bila sudah emosian, mereka bisa berubah makin kasar dan nggak sopan. Bahkan, nggak jarang mereka berani melabrak atau menyerang lawan bicara secara personal, meskipun lawan bicara lebih tua. Ada yang pakai bentak-bentak seperti: “Nggak pake otak lo!” hingga yang nyinyir halus seperti: “Kok kayaknya sodara lemot ya, memahami maksud saya?”

Jika menang berdebat, mereka cenderung sombong dan menjatuhkan lawan bicara dengan nada mengejek. Jika kalah, mereka tipe ngambekan untuk beberapa saat. Bila hati mereka cukup besar, biasanya mereka akan segera lupa. Bila tidak? Bisa alamat balas dendam, entah untuk terus membuktikan lawan bicara salah atau berusaha menjatuhkan mereka – bahkan dengan cara yang kekanak-kanakan.

Termasuk tipe ini?

Woy, santai aja, napa? Meskipun merasa benar, masih bisa kok, menyampaikan pendapat dengan cara yang lebih beradab. Sopan santun nggak berarti selalu sama dengan lemah, munafik, atau bersikap pengecut.

Mungkin Anda termasuk yang cepat meledak, lalu tenang dan lupa kemudian. Masalahnya, nggak semua orang bisa selupa Anda. Pasti ada yang sakit hati dan mungkin diam-diam menyumpahi.

Mungkin Anda nggak peduli, selama Anda sudah merasa benar. Tapi, apa gunanya selalu benar dan menang dalam perdebatan, bila pada akhirnya Anda akan selalu sendirian? Kecuali Anda memang nggak butuh siapa-siapa. Toh, kalau mereka memang nggak sepakat sama Anda, ya udah. Anda sendiri juga nggak mau dipaksa ‘kan, untuk menuruti maunya mereka?

2. Sang diplomat/pencinta damai.

Pendebat tipe blak-blakan biasanya kurang sabar menghadapi sang diplomat. Selain cenderung agak suka bertele-tele (terutama atas nama kesopanan dan menjaga perasaan semua orang), pihak ini juga dianggap kurang tegas dan “nggak enakan”.

Padahal, tipe ini justru paling tahu cara melobi, bahkan pihak yang berseberangan. Nggak selalu artinya ‘menjilat’, ya. Mereka lebih sabar dalam mendengarkan argumen lawan bicara atau semua pihak yang terlibat dalam obrolan. Kalau sampai ada yang bermulut cabe (seperti si blak-blakan), mereka berusaha agar tidak memasukkannya ke dalam hati.

Intinya, mereka lebih fokus kepada masalah daripada yang berbicara. Mereka juga mengumpulkan data-data yang valid dulu untuk mempertegas argumen mereka.

Jangan dikira mereka takut dengan pendebat tipe pertama. Kalau menang berdebat, mereka nggak akan sombong dan merendahkan lawan bicara. Biasa aja. Intinya, mereka tetap ingin menjaga hubungan baik dengan semua orang.

Kalau kalah berdebat? Biasanya mereka akan mencari cara lain untuk meyakinkan lawan bicara atau berusaha melobi orang lain yang menurut mereka mungkin bervisi dan misi yang sama.

Termasuk tipe ini?

Nggak salah kok, tetap menjaga sopan santun dan hubungan baik dengan semua orang. Namun, sifat Anda yang kadang cenderung kurang tegas membuat Anda rentan disepelekan. Bila memang yakin benar, nggak salah juga bila sesekali mempertahankan pendapat Anda.

3. Sang pengamat dan problem-solver yang efektif.

Sekilas, tipe ini mirip dengan sang diplomat. Sedikit bicara, banyak mendengarkan. Kadang dia menunggu ditanya, baru bicara. Kadang, bila merasa ucapannya penting, dia sendiri yang akan mengajukan diri untuk bicara. Dia tetap berbicara dengan sopan namun tegas. Pokoknya, straight to the point tanpa harus menikam harga diri lawan bicara.

Tipe ini juga lebih fokus pada penyelesaian masalah ketimbang menuding siapa yang salah. Baginya, ini bukan masalah menang atau kalah dalam berdebat. Jika tidak ditanggapi, dia juga lebih cepat move on. Toh, dia sudah berusaha membantu mencari solusi. Itu yang penting.

Termasuk tipe ini?

Banyak yang respek – dan mungkin sedikit segan – dengan Anda yang termasuk tipe ini. Anda gabungan kedua tipe sebelumnya yang cukup sempurna. Anda tetap bisa blak-blakan tanpa harus terdengar barbar. Anda juga bisa berdiplomasi tanpa harus banyak puja-puji.

Di satu sisi, Anda terlihat dewasa karena mampu mengendalikan emosi. Sayangnya, banyak yang salah sangka, mengira Anda seperti tidak punya perasaan dan cenderung tidak pedulian – saking efektifnya dalam memandang masalah.

Jadi, pendebat macam apa Anda?

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“LEBARAN BARENG KELUARGA KOK ‘NAKUTIN’?”

“Lebaran Bareng Keluarga Kok ‘Nakutin’?”

Saya sempat bikin status di semua laman media sosial saya waktu Lebaran tahun lalu:

“Wanna have a peaceful Eid with me? Stop commenting on my weight, thank you very much!”

(Gak mau ribut ama saya pas Lebaran? Stop usil komentarin berat badan saya, terima kasih!)

Singkat cerita, nggak ada yang merecoki saya dengan pertanyaan atau komentar seputar berat badan. Mereka juga nggak nanya-nanya lagi seputar kapan saya nikah dan topik-topik kategori ‘mengganggu’ lainnya, meskipun saat ini saya sudah 35 tahun dan masih lajang. (Gak, nggak takut ngaku, kok.)

Mungkin mereka sudah membaca status saya dan memutuskan untuk nggak cari gara-gara. Namun, seorang kawan bilang begini sama saya:

“Orang pasti akan selalu punya komen gak penting, bahkan meski gak diminta sekali pun. Cuekin aja kalo elo emang pede.”

Iya, sih. Tapi, kayaknya kok, easier said than done, ya? Apalagi pertanyaan dan komentar yang sama suka diulang-ulang tiap tahun. Sampai-sampai ada teman yang menyamakannya dengan rerun sinetron basi atau kaset rusak. (Hehe, teknologi pra-milenial ini.)

Saking seringnya, daftar pertanyaan ‘ganggu’ itu sampai bisa dihapal di luar kepala. Mulai dari soal berat badan, kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah anak, soal kerjaan, gaji, hingga pilihan hidup lainnya yang pasti menurut mereka ‘enggak banget’.

Ini belum Lebaran, tapi saya melihat sudah ada beberapa kenalan yang sepertinya mempersiapkan ragam jawaban ‘cerdas’ (entah lucu atau menohok halus, ketimbang marah-marah atau diam dengan muka jutek) untuk berondongan pertanyaan yang ‘itu-itu lagi’  tiap tahun.

Ada teman perempuan yang mengaku sampai ‘mulas’ hanya gara-gara mikirin mau mudik. Harusnya dia seneng berkumpul dengan keluarga besarnya lagi.

“Kesiksa rasanya,” aku teman saya. “Kalo hanya ditanya-tanya kapan nikah atau udah nemu calon pendamping hidup apa belum, itu masih mending. Yang paling bikin gak enak itu saat ditatap ‘sedemikian rupa’ ama yang lebih tua, kayak ama kakek atau nenek. Seolah-olah selalu ada yang salah atau aku udah ngecewain mereka. Seolah-olah aku nggak akan pernah cukup baik di mata mereka, hanya karena belum menikah juga.”

Ada juga teman perempuan lain yang bercerita:

“Gue ngerti, gue ama mereka emang udah beda generasi. Yang bikin bete, mereka hobi banget banding-bandingin, seakan-akan generasi mereka lebih baik daripada generasi gue. Kayak tante gue yang pernah ngomong gini: ‘Heran deh, ama anak perempuan sekarang. Kayaknya nemu jodoh tuh, susah amat. Zaman Tante dulu, jodoh ketemu pas SMA dan langsung kawin.’

Ada juga yang ‘diteror’ terus dengan pertanyaan seputar anak. Yang belum punya disuruh cepat-cepat atau bahkan sampai dituduh ‘kurang usaha’. Sotoy banget, yah?

Yang udah punya satu disuruh nambah, meski yang nyuruh belum tentu bakalan mau diminta ikutan bantu ngurusin. Yang udah punya banyak anak tapi berjenis kelamin sama disuruh ‘nyoba’ lagi, apalagi bila anak-anaknya perempuan semua.

“Siapa tahu kali ini dapat anak laki.”

Kadang mereka cukup tega ngomong gitu pas depan anak-anak perempuannya. Pernah ada satu kasus salah satu anak jadi sedih dan nanya gini ama bapaknya:

“Memangnya aku nggak cukup baik ya, Pa, karena anak perempuan?”

Emang yang komentar barusan mau tanggung jawab bila perasaan si anak terluka? Dalam hal ini, saya sepakat dengan kawan ekspat saya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan Indonesia:

“Gak rasional, deh. Emang mereka bisa ngatur-ngatur mau dapet anak berjenis kelamin apa?”

Lucu memang, terutama mengingat masyarakat kita yang (katanya) beragama. Nggak ada yang salah dengan terus berdoa dan berusaha bila memang ingin sekali. Tapi, kalau memang belum – atau malah enggak – dikasih, mereka mau apa? Mendemo Tuhan?

Seperti biasa, yang protes begini pasti lebih banyak disalahin. Argumen andalan mereka: “Gitu aja baper.” Dituduh nggak ngerti basa-basi atau bercandaan. Bahkan, nggak jarang yang protes begini malah disuruh ‘harap maklum’ dan ngalah kalau yang komentar atau usil nanya-nanya kebetulan juga jauh lebih tua.

Sayangnya, nasihat atau saran yang keluar dari tahun ke tahun pun ‘itu-itu juga’:

“Udah, sabar-sabarin aja. Toh, hanya ketemu setahun sekali ini.”

“Udah, biarin aja mereka mau ngomong apa. Toh, tetep kamu ‘kan, yang memutuskan dan bertanggung jawab sama pilihan hidupmu sendiri?”

“Udah, maklumin aja. Mereka cuma nyari bahan obrolan, cuma gak tahu topik yang enak apa.”

“Udah, anggep aja itu bentuk perhatian, meski caranya kurang tepat.”

Dan embel-embel ‘udah’ lainnya. Lama-lama terasa seperti alasan yang dicari-cari dan ‘pembenaran sepihak’. Hanya mereka yang boleh nanya dan komentar suka-suka, nggak peduli ada yang terluka. Apalagi kalau sudah bawa-bawa ‘angka dan senioritas’. (Baca: umur.)

Lalu, ada apa dengan mereka yang belum Lebaran aja udah kayak ‘pasang kuda-kuda’? Mulai dari posting meme sarkastik macam “Tarif Buat yang Nanya ‘Kapan Kawin?’ “ hingga mereka yang mulai stok jawaban ‘ajaib’ buat pertanyaan-pertanyaan yang ‘itu-itu lagi’.

Jawabannya hanya ada satu, sodara-sodari sekalian:

KEMUAKAN.

Lebaran bareng keluarga besar yang harusnya menyenangkan dan dapat mempererat tali silaturahmi malah jadi menakutkan. Udah gitu, kayak pada nggak sadar-sadar juga lagi.

“Ayo dong, buruan nikah. Adikmu udah duluan, laki lagi. Nggak usah terlalu pilih-pilih-lah.” (Ntar giliran laki pilihan ternyata dianggep ‘nggak beres’, tetep disalahin juga: “Kok milihnya dia, sih?”)

“Kapan punya anak? Sepupu kamu udah dua tuh, anaknya.” (Kayak nagih utang atau mesen menu di restoran, ya? Lagipula, kenapa semua harus dijadiin ajang balapan, sih?)

“Mungkin kamu harus berubah sedikit, biar lebih kayak kakakmu supaya cepet dapet suami.” (Pertama, kesannya hanya perempuan tipe tertentu yang disukai semua laki-laki. Kedua, kesannya laki-laki berotak dangkal semua dan nggak punya selera beragam.)

Nggak heran banyak status dan meme di media sosial seputar isu ini, terutama sebelum dan menjelang Lebaran. Bahkan, ada juga yang pake tagar #stopjadiorangnyebelin atau #yukbikinLebaranasiklagi .

“Trus, gimana dong, ngobrolnya kalo topik-topik itu dianggep nyinggung semua?”

Ah, info sekarang melimpah ruah lho, berkat era digital. Masa nggak ada sih, topik yang asyik selain itu?

Seorang teman lain yang juga sering ditanya soal anak juga ngomong begini:

“Padahal mereka tinggal nanya kabar aja trus tunggu aku cerita. Perhatian sih, perhatian. Tapi kalo jadinya ampe nge-judge dan mendikte kebahagiaan orang lain, rasanya kok pengen kabur aja, ya?”

Hmm, andai saja orang mau lebih kreatif dan inovatif dengan topik yang mau disinggung saat Lebaran bareng keluarga besar, jadinya nggak harus kayak gini tiap tahun. Teman saya nggak harus sampai ‘mulas’ gara-gara mikirin mudik.

Yang paling penting, nggak jadi acara antipati ketemu keluarga sendiri.

Harusnya sih, Lebaran itu ‘Hari Kemenangan’. Apanya yang menang kalau mulut masih suka usil mengomentari (yang dianggap) kekurangan orang lain dan bikin mereka merasa nggak nyaman – sekaligus sakit hati? Percuma dong, sebulan puasa untuk mengendalikan diri?

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“TERLALU DINI UNTUK CINTA?”

“Terlalu Dini untuk Cinta?”

Enggan kusebut ini cinta

Terlalu dini rasanya

mengingat kita jarang berjumpa

 

Kurasa ini masih ambigu

dan aku masih terlalu malu

Mungkin kau tertawa bila tahu

 

Namun ada yang nyata

seperti senyum itu yang mencipta bahagia

atau sajak-sajakmu penembus sukma…

 

…atau air matamu yang membuat pilu

Ah, rasanya aku terlalu lama terpaku

Mungkin ini hanya angan-angan semu

 

Mungkin terlalu dini

Mungkin aku yang harus tahu diri

jangan berharap pada yang belum pasti…

 

Barangkali ini juga ilusi

ibarat candu abadi

penawar rindu dalam sunyi

mencoba berdamai dengan sepi…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“TENTANG KEBAYA DAN ESENSI SEJATI HARI KARTINI”

“Tentang Kebaya dan Esensi Sejati Hari Kartini”

Tahun lalu, saya pernah menulis tentang perayaan Hari Kartini yang – menurut saya, nih – begitu-begitu saja. Kalau nggak lomba berkebaya, dandan secantik-cantiknya, hingga ikut lomba memasak dan kegiatan domestik lainnya.

Ya, mungkin saya agak blak-blakan, sehingga ada yang tersinggung. (http://www.kompasiana.com/rubyastari/memaknai-hari-kartini-tanpa-perlu-jadi-maniak-berkebaya-dalam-sehari_5719e4333dafbd4f0739a7cb) Masalahnya, saya gemas dengan perayaan Hari Kartini yang sudah terlalu lama melenceng jauh dari cita-cita beliau sesungguhnya.

Hak berpendidikan, berkarir, berkarya, dan memilih jalan hidup bagi seorang perempuan. Hak merasa aman keluar rumah hingga menjadi diri sendiri. Hak untuk mandiri dan tidak direndahkan oleh siapa pun, baik dari laki-laki dan bahkan sesama perempuan itu sendiri.

Lalu, apa makna yang bisa didapat dari ‘hanya berkebaya dalam sehari’? Nggak perlu menunggu Hari Kartini, mau ke kawinan saja juga bisa. Mau pakai tiap hari juga nggak ada yang melarang, selama Anda nggak harus lari-lari mengejar bus kota, naik kereta yang kadang pijakan gerbongnya (terlalu) tinggi, hingga keribetan khas ibukota lainnya sehari-hari.

Lalu, tentang lomba memasak. Meskipun tidak ada yang salah dengan kegiatan ini, saya tetap tidak bisa menemukan hubungannya dengan perayaan Hari Kartini. Toh, pada dasarnya semua manusia tetap butuh makan tiap hari.

Masih menganggap memasak kegiatan yang harus terkait gender tertentu? Ah, kuno. Terus, apa kabar para laki-laki yang jadi koki resto dan hotel?

Oke, saya nggak akan memaksa pencinta tradisi untuk tetap meneruskan sesuatu yang selama ini terasa nyaman. Itu hak Anda.

Namun, saya juga enggan membiarkan diri ini terlena. Masih banyak anak perempuan yang putus sekolah dan (dipaksa) menikah dini, terutama atas nama ekonomi. Masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, yang pastinya nggak bisa diabaikan begitu saja – apalagi hanya dengan simbol ‘kebaya’ yang jelas-jelas nggak relevan.

Intinya, saya nggak akan bosan untuk mengingatkan: masih banyak hal yang jauh lebih penting dan mendesak untuk ditangani, daripada sekadar tampil cantik berkebaya dalam sehari. 

Selamat Hari Kartini. Semoga perempuan tidak lagi hanya dipandang sebagai beban ekonomi, sehingga dipaksa menikah dini yang berujung pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kehancuran diri…

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“TANGAN-TANGAN PENGATUR SI CANTIK”

“Tangan-tangan Pengatur Si Cantik”

“Kamu cantik.”

Pujian itu selalu kudengar dari kecil. Mereka senang mengajakku bercermin, sambil sesekali memainkan rambut panjangku. Rambut yang tidak boleh dipotong, larang mereka.

“Nanti kamu keliatan kayak anak laki-laki, nggak cantik lagi.”

Padahal, aku gerah. Panas, apalagi siang-siang. Aku juga dilarang main lari-larian di kebun bareng abangku dan para sepupu. Kata mereka, anak perempuan harus anggun, duduk manis, dan penurut. Nggak boleh berkotor-kotor. Nanti nggak cantik lagi.

Jadilah aku duduk di antara para tetua, dengan gaun putih bersihku. Sesekali tangan Bunda membetulkan cara dudukku atau menyibakkan rambutku yang mulai kembali berantakan. Nggak peduli aku yang cemberut karena malu jadi tontonan.

Membosankan.

Bunda, aku bukan boneka. Aku anakmu…

-***-

“Kamu cantik.”

Setiap gadis remaja pasti senang mendengar pujian itu, apalagi dari pemuda yang mereka suka di sekolah.

Begitu pula aku. Dia tersenyum padaku, membuatku tersipu. Katanya dia suka dan ingin aku jadi pacarnya. Kuiyakan saja, meski tidak benar-benar mengerti maksudnya.

Awalnya, semua terasa indah. Lama-lama menyebalkan. Sama saja kayak Bunda dan semua orang. Terlalu banyak aturan. Aku harus dandan sesuai maunya. Nggak boleh pulang terlalu malam, kecuali hanya kalau sedang jalan sama dia. Jangan keseringan nongkrong sama teman-teman, dia kesepian.

Jangan berteman sama laki-laki lain, dia cemburu.

Akhirnya, aku lelah. Aku minta putus. Di luar dugaan, dia malah menamparku. Lalu, malam itu dia membantingku ke tanah. Aku ingin menjerit, namun tangannya langsung beringas membungkamku.

Malam itu, tangannya menjelma seribu. Sia-sia aku melawan. Dia terus menimpaku, memukuliku seakan aku adalah sansak untuk petinju.

Lalu, seperti anak kecil bermain boneka, dia mulai melucuti pakaianku. Satu-satu…

-***-

“Bunda, aku masih cantik, ‘kan?”

Aku bingung. Kenapa Bunda menangis? Aku ‘kan cuma tanya.

Luka-luka di wajah dan tubuhku sudah berkurang banyak, meski hidungku tidak lagi sama. Daguku juga sedikit bergeser.

Mereka tidak pernah menangkapnya. Kata mereka, di sini setidaknya aku aman. Banyak tangan yang mengurusku. Mereka sangat memanjakanku, seperti seorang putri raja. Membangunkanku tiap pagi, memandikanku, mendandaniku seperti boneka cantik. Seperti Bunda dan semua orang dulu.

Mereka sabar dan baik sekali. Mereka menyuapiku saat makan. Kurasa mereka semua malaikat berbaju serba putih.

“Bunda jangan menangis. Lihat, akhirnya aku bisa duduk diam dan anggun. Lihat, kali ini aku menurut, kok. Aku masih cantik ‘kan, Bunda?”

R.

(Dari Monday Flash Fiction Prompt#138: “Tangan-tangan” http://www.mondayflashfiction.com/2017/04/prompt-138-tangan-tangan.html?m=1  – 359 kata.)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“KAU TIDAK PERNAH TAHU”

“Kau Tidak Pernah Tahu”

Kau hanya tahu nama

tanpa pernah ingin mengenalnya

Kau hapal wajah

namun curhatnya mungkin bikin kau lelah

 

Kau terlalu bahagia

Ya, tiada yang sempurna

Kau kira kau tahu semua

termasuk cara menyelamatkan nyawa

 

Kau tidak pernah benar-benar tahu

Kau hanya tahu mereka menyerah

mengejar alam barzah

kalah oleh masalah

 

Bagimu mereka pengecut

yang baru segitu sudah kalut

Kamu sibuk bikin status tentang mereka

jiwa-jiwa merana

tanpa peduli kawan dan keluarga

yang kehilangan dan berduka

lalu kian terluka

setelah membaca gunjinganmu di social media…

 

Kau kira kau tahu segalanya

tapi bahkan enggan mendekati mereka

mengajak bicara

menjadi pendengar yang sabar

mencegah mereka menyerah…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“BUNUH DIRI”

BUNUH DIRI:

“Tentang Mereka yang ‘Menyerah’ dan yang Ditinggalkan…”

Masih segar di ingatan saya saat mendengar kabar duka mengenai Tommy Page, salah satu penyanyi pop favorit masa remaja saya, serta video live bunuh diri seorang laki-laki yang sempat menggegerkan hadirin Facebook dan sekitarnya.

Jumat minggu lalu, saya makan siang di salah satu warung langganan saat yang punya memberi kabar mengejutkan:

Ada mahasiswa dari kampus dekat warung yang terjun dari lantai teratas gedung kampusnya malam sebelumnya, sekitar pukul sepuluh. Penyebabnya? Hingga kini saya memilih tidak mau tahu, meski rasa penasaran sempat mendorong saya ke TKP hari itu juga. Penasaran dan mumpung dekat.

Apa yang saya harapkan begitu tiba di sana? Jujur, nyaris tidak ada. Karena kejadiannya malam sebelumnya dan pas jam-jam sepi, pasti penanganannya lebih cepat.

Benar dugaan saya. Nggak ada lagi police line. Semua sudah dibersihkan. Bahkan, dengar-dengar pihak kampus melarang pers memasuki wilayah kampus dan mencari tahu lebih lanjut.

Yang ada hanya desas-desus hingga spekulasi. Kata “bunuh diri” disebut berkali-kali. Ada wajah-wajah bingung bercampur penasaran.

Seperti kasus-kasus serupa, efek domino pun terjadi. Sebagian bisa dibayangkan, sisanya silakan dilihat.

Orang tua, keluarga, dan kawan-kawan dekat mendiang yang bersedih. Kenalan yang nggak begitu dekat dan bertanya-tanya, entah dalam hati atau ke sana kemari.

Lalu, tukang gosip, para spekulator, hingga pembagi opini ‘cuma-cuma’. Nggak bisa dicegah, meski sayangnya…mereka nggak sadar dengan bahayanya. Bolehlah berpendapat dan mengingatkan bahwa bunuh diri itu dosa dalam semua ajaran agama, apa pun alasannya.

Yang bablas adalah para spekulator dan pemberi opini ini blak-blakan menyebut semua pelaku bunuh diri sebagai pendosa berwatak lemah, cengeng, dan mudah menyerah. Lucunya, kenal aja juga enggak.

Benarkah mahasiswa itu bunuh diri? Entahlah. Kalau dipikir-pikir, ngapain dia selarut malam itu ada di gedung kampus, lantai teratas pula? Ada yang tahu?

Kita nggak pernah benar-benar tahu penyebab bunuh diri seseorang, kecuali bila mereka meninggalkan pesan atau usaha gagal dan mereka dipaksa bercerita. Atau ada ahli medis dan keluarga yang mengetahui lebih jelas sejarah depresi mereka.

Sayangnya, masalah gangguan mental atau depresi masih begitu mudah distigma di sini. Mereka yang dengan entengnya mencerca, terutama di media sosial, sering melupakan satu hal penting ini:

Orang tua, keluarga, dan teman-teman dekat pelaku yang berduka. Bayangkan perasaan mereka saat membaca komentar merendahkan di media sosial mengenai sosok yang mereka sayangi, rindukan, dan mungkin kasihani. Komentar-komentar dari orang-orang yang tidak kenal lagi.

Singkat saja, ya. Kalau belum bisa membayangkan perasaan mereka, sekarang mari kita balik keadaannya:

Bagaimana bila pelaku bunuh diri adalah orang yang Anda kenal (dan mungkin sangat Anda sayangi), lalu Anda membaca komentar-komentar bernada menghakimi serupa di media sosial tentang mereka?

Toh, komentar-komentar itu cuma hanya akan semakin melukai hati mereka yang ditinggalkan. Kenal juga belum tentu.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“PEREMPUAN JUGA BERNAMA”

“Perempuan Juga Bernama”

Waktu kecil dan saat ditanya asal-usul saya, saya tanyakan pada Mama:

“Ma, aku orang apa, sih?”

“Bilang aja orang Jawa,” jawab Mama waktu itu. “Papa kamu ‘kan orang Jawa.”

“Tapi Mama ‘kan orang Sunda. Kenapa nggak disebut juga?”

“Kita semua ‘kan ikut Papa.”

Jawaban itu tidak masuk akal dan tidak membuat saya puas. Jadinya, setiap kali ada yang bertanya mengenai asal-usul saya, saya jawab saja: “Jawa-Sunda.”

Begitu pula saat ditanya nama orang tua. Entah kenapa mereka hanya mau tahu nama Papa. Padahal, yang membesarkan saya ‘kan, Papa dan Mama. Kenapa peran Mama kayak nggak dianggap – dan bahkan cenderung dikesampingkan?

Saya pun tetap berkeras menyebut nama kedua ortu setiap kali ditanya tentang mereka, meskipun mereka hanya ingin tahu tentang Papa. Pokoknya, Mama harus dapat tempat yang sama.

Saat bertemu teman-teman yang lebih berwawasan, saya baru tahu makna sebenarnya dari pertanyaan mengenai ‘asal-usul’. Bukan, bukan etnis ortu – tapi tempat kelahiran saya.

Akhirnya, saya menjawab ‘Jakarta’ setiap kali ditanya soal asal-usul saya. Tentu saja, tidak lupa menambahkan etnis ortu. Pasalnya, masih ada saja yang secara otomatis mengira saya orang Betawi, hanya gara-gara jawaban itu. Padahal, ‘kan nggak semua yang lahir di Jakarta otomatis orang Betawi.

Kadang malas berdebat, terutama bila mereka berkeras. Yah, apa boleh buat. Masih banyak yang belum paham dengan konsep ini.

“Bapak Bla-bla-bla dan Istri…Bapak dan Ibu (Nama Suami)…Nyonya (Nama Belakang Suami)…ibu/mamanya (Nama Anak)…”

Lalu, soal nama perempuan.

Oke, saya nggak akan menggugat sesama perempuan yang lebih memilih memakai nama belakang suaminya setelah mereka menikah, seperti adat di Barat. Itu masalah pilihan pribadi. Selama nama depan masih dipakai…ya, okelah.

Ada pengalaman menyedihkan seputar pemanggilan nama perempuan setelah menikah. Mungkin ada yang bangga dan merasa wajar bila dipanggil dengan sebutan Ibu/Nyonya/Mrs. + Nama Lengkap Suami. Hihi, semoga belum sampai lupa nama asli sendiri.

Pernah saya menghadiri acara pertunangan. Saat mengenalkan seluruh anggota keluarga dari dua calon mempelai, kebanyakan yang saya dengar seperti ini:

“Ini om dari pihak ibu calon mempelai, Bapak Bla-bla-bla dan Istri…itu om kedua, Bapak Bla-bla-bla dengan Istri…” Begitu terus.

Selesai acara, saya bertanya (atau lebih tepatnya, menggugat.) Jawaban mereka makin bikin saya sedih:

“Ntar kelamaan.”

“‘Kan yang penting nama bapaknya.”

Yang bikin saya melongo dan makin kecewa: yang menjawab di atas justru SESAMA PEREMPUAN! Aaargh, frustrasiii!! Terus, istri/ibunya anak-anak nggak wajib dikenal juga gitu?

Lantas, apa gunanya anak-anak perempuan yang sudah diberi nama-nama terbaik (sesuai doa orang tua mereka), bila nantinya hanya untuk “dilupakan” begitu saja setelah menikah? Padahal, para ortu pasti sudah memilih nama paling bagus untuk mereka, sama seperti memilih nama untuk anak-anak laki-laki mereka.

Terus, dianggap nggak penting-penting amat untuk dikenalkan ke orang-orang dan diingat, begitu?

Belum lagi saat punya anak. Mungkin ada yang menganggapnya lucu dan merupakan suatu kebanggaan saat disebut “Ibunya Adi”, “Mamanya Bintang”, atau “Emaknya Juli”. Nggak ada yang salah dengan ekspresi rasa sayang dan kebanggaan terhadap anak. Serius.

Tapi saya yakin, bukan itu yang tercantum di akte kelahiran maupun KTP, SIM, atau bahkan paspor mereka. Lalu, apakah anak-anak juga diajarkan untuk mengingat nama ibu mereka dengan benar, bukan hanya nama bapak? Maaf, saya beneran kepo.

Seorang kawan yang awal tahun ini menikah pernah mengkritik hal serupa di FB-nya. (Silakan dibaca dan di-reshare https://www.facebook.com/hera.khaerani/posts/10154326490127688 .) Salah satu pernyataan kawan saya ini benar-benar mengena di hati saya (entah bagaimana dengan hati Anda sekalian):

“Masyarakat tak semestinya membunuh seseorang dengan melupakan namanya.” (Hera Khaerani)

Apa yang salah dengan meluangkan waktu dan kapasitas otak untuk mengenal dan mengingat nama sesama perempuan? Padahal, mereka selalu sudi menyebut, mengenal, dan bahkan menghapal nama-nama laki-laki – bahkan yang panjang-panjang dan bergelar sekali pun.

Lucunya, mereka masih menegaskan mengenai pentingnya menghormati sosok ibu. Yah, salah satu esensi dari menghormati seseorang – siapa pun itu – berawal dari mengenal, menyebut, dan mengingat nama mereka dengan baik dan benar.

Gimana mau benar-benar menghormati sosok ibu, bila meluangkan waktu untuk menyebut dan mengingat namanya saja tidak mau?

Seperti biasa, selamat berpikir. Nggak susah, kok. Sebenarnya sederhana saja, namun sudah terlalu sering disepelekan.

R.

 

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“UNTUK PUJANGGA DENGAN SAJAK-SAJAK INDAHNYA”

“Untuk Pujangga dengan Sajak-sajak Indahnya”

Terlalu malu kusebut namamu

terutama karena kita jarang bertemu

Ah, siapakah aku?

Hanya sosok yang senang belajar selalu

 

Kau tak tahu

wajahmu mulai terpatri di benakku

Mungkin karena sajak-sajak itu

menumbuhkan rasa yang mungkin masih ambigu

atau malah semu dan tabu

 

Untuk saat ini,

aku hanya ingin menikmati sajak-sajakmu

Mungkin aku masih belum berani

berharap lebih dari itu…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“Nggak Ada yang Salah dengan Perempuan Mandiri”

“Nggak Ada yang Salah dengan Perempuan Mandiri”

Duh, udah 2017 masih ngeributin yang itu-itu juga? Gak capek? Gak maju-maju, dong?

Sebenarnya, sudah lama sekali saya ingin menulis tentang ini. Sejak sering baca komen nyinyir dan ngancem dari mereka yang merasa ‘gentlemen’ di media sosial, namun isi komen mereka justru menyatakan sebaliknya:

“Ya udah, kalo perempuan mau mandiri. Jadi gak butuh laki-laki, nih? Berarti pas nge-date gak akan kita bayarin atau malah kita minta bayarin. Bawa barang berat gak akan kita bantu angkutin. Nggak akan kita bukain pintu atau tarikin kursi pas duduk. Gak akan juga kita anterin pulang pas malem-malem sendirian dan kita juga bakalan diem aja kalo ada preman yang gangguin di jalan. Bisa semuanya sendiri, ‘kan? Trus sah-sah aja dong, kalo kita mukul kalian karena kesel? ‘Kan katanya mo disamain ama laki-laki.”

Wah, wah, wah, ada mahluk (yang katanya) berlogika malah emosi, nih. Apalagi sampai bikin pernyataan berpolemik di media sosial segala:

“Perempuan mandiri itu mengerikan bagi laki-laki.”

Masa? Ngeri di mana-nya, sih? Apakah lantas mereka bertaring dan selalu pengen makan orang, termasuk para laki-laki jantan? Ngeri-an mana sama laki-laki yang selalu memandang perempuan sebagai objek seksual, meskipun pakaiannya udah paling longgar dan ‘tutupan’?

Sedihnya, bahkan dari sesama perempuan masih ada yang ‘termakan’ dengan kepercayaan menyesatkan yang sama:

“Rugi amat mau jadi mandiri. Ntar cowok-cowok pada lari, karena ngerasa gak dibutuhin lagi atau bahkan merasa disaingi. Padahal, enak kalo barang berat selalu dibawain, makan dibayarin, minta apa pun dibeliin – apalagi kalo udah jadi suami. Gak perlu kerja lagi.”

Hmm, sebentar. Ini pada mau cari suami…apa kuli yang juga berfungsi sebagai anjungan tunai mandiri (ATM)? Iya kalo suaminya tajir, sehat selalu, dan gak pelit setengah mati. Gimana kalo suami mendadak di-PHK dan susah cari kerja lain dalam waktu singkat? Gimana kalo suami mendadak ‘ke lain hati’ dan ninggalin Anda sendiri, apalagi bila anak-anak masih kecil-kecil?

Gimana kalo suami jatuh sakit parah, lalu kemudian meninggal dunia? Situ siap?

Terus, maukah para suami rela dirongrong para istri soal uang, meskipun memang menurut ajaran agama suami sebagai pencari nafkah?

“Mikirnya negatif melulu, sih.”

Yah, berpikir positif memang perlu. Tapi, jangan lupa juga untuk tetap realistis. Ini bukan cerita dongeng di mana cinta selalu mengalahkan segala prahara di rumah tangga, termasuk mahalnya biaya hingga munculnya pihak ketiga. Nikah nggak semata-mata menyelesaikan masalah finansial, alias happy ending lalu udah.

Yang salah dari perempuan mandiri? Gak ada. Saya malah bingung sama mereka yang merasa terancam dan ketakutan setengah mati.

Kenapa istilah ‘mandiri’ lantas otomatis disamakan dengan ‘menjadi manusia super’ atau ‘menjadi sosok yang nggak butuh orang lain sama sekali’? Manusia pada dasarnya saling membutuhkan, sekecil apa pun itu. Nggak peduli laki-laki atau perempuan.

Nggak usah jauh-jauh. Contoh: tukang bangunan yang rata-rata laki-laki kekar juga nggak ada yang 100 persen kerja sendirian. Jadi, ada apa dengan obsesi mustahil untuk kelihatan bagai superhero begini? Tuntutan masyarakat?

Yakin situ gak capek terus-terusan menyiksa diri, hanya demi memenuhi standar sosial yang belum tentu ada yang bisa memenuhi? Boro-boro sempurna, mendekati saja mustahil. Mungkin ada perempuan yang menolak bantuan atau tawaran membayar dari laki-laki. Ya udah, nggak usah maksa. Cukup cari perempuan lain yang mau. Pasti masih ada, kok.

Nggak perlu bete, terus nyinyir karena ngambek. Nggak perlu ngancem-ngancem atau juga nakut-nakutin segala, seperti bakalan susah dapet pacar atau ‘berat jodoh’ (bila kebetulan si perempuan masih single). Biarlah memvonis takdir seseorang cukup jadi kerjaan Tuhan. Anda nggak perlu ikutan.

Stereotyping negatif selalu menyakitkan buat semua orang. Pasti pada gak terima dong ya, kalo ada perempuan yang menuduh bahwa semua laki-laki itu pasti bajingan – hanya karena ada segelintir yang pernah menyakitinya? Pasti argumen yang sering keluar adalah: “Gak semua laki-laki gitu, kok.”

Nah, biarlah saya pakai cara serupa. Nggak semua perempuan mandiri akan menyepelekan atau nggak menghargai bantuan dari laki-laki atau siapa pun. Nggak usah sampai segitunya takut nggak dibutuhin lagi, deh. Kalau sampai ada orang yang kayak begitu (laki-laki maupun perempuan), kemungkinan besar mereka masih terjebak paham sesat bahwa mandiri berarti nggak butuh orang lain.

Menjadi sosok mandiri adalah hak sekaligus pilihan bagi setiap orang, siapa pun Anda. Lagipula enak kok, sama orang yang mandiri. Mereka nggak bakalan terlalu sering manja dan merepotkan orang lain. Mereka nggak akan mudah cari drama hanya karena merasa ‘kurang diperhatikan’.

Mereka bahkan akan senang membantu bila ada waktu luang dan Anda tidak keberatan. (Lumayan ‘kan, bisa istirahat barang sebentar?) Menjadi mandiri juga bukan berarti mereka bisa segalanya, kok. Mana mungkin ada manusia se-sempurna itu?

Percaya deh, sekalinya minta bantuan, berarti mereka memang sedang benar-benar butuh – bukan sekadar manja atau bahkan azas manfaat.

Makanya, nggak disarankan juga bagi perempuan untuk keterusan berperan sebagai ‘damsels-in-distress’. Salah-salah hidup Anda bisa cepat kelar, apalagi bila bantuan belum tentu selalu ada di tempat.

“Tapi laki ‘kan, suka minder sama perempuan yang lebih cerdas dan mandiri. Kenapa nggak pura-pura aja sih, seenggaknya untuk menyenangkan hati mereka?”

Waduh, ini lagi. Apa maksudnya dengan ‘pura-pura’? Berhenti jadi diri sendiri? Berlagak manja dan nggak tahu apa-apa, hanya agar selalu dilindungi?

Mau berapa lama pura-pura kayak gitu, hanya agar laki-laki yang disukai senang? Sampai kalian menikah dan punya anak? Alangkah ganjilnya bila kemudian Anda mengajari anak untuk tidak berbohong, karena Anda sendiri memulai hubungan sama bapak mereka dulu dengan kebohongan?

Alamat stres seumur hidup karena kesannya jadi merendahkan diri sendiri.

Ingin merasa dibutuhkan? Sebenarnya gampang, kok.

1. Nggak usah nunggu dimintain tolong, tapi tawarkan bantuan duluan.

Gimana kalo si perempuan menolak? Nggak usah marah. Perhatian atau sayang boleh, tapi nggak perlu sampai memperlakukan perempuan bak barang pecah belah. Selama dia masih bisa, kenapa harus membatasi?

Bantuan terbaik yang dibutuhkan perempuan mandiri sebenarnya berupa dukungan, keyakinan bahwa dia bisa melakukan banyak hal. Percaya deh, akan ada masanya perempuan mandiri minta tolong…dan itu bukan karena akhirnya mengakui kelemahan mereka. Namanya juga manusia, pasti Anda juga pernah begitu, ‘kan?

2. Pastikan nggak ada MODUS TERSELUBUNG di balik sikap ‘gentlemen’ yang sebenarnya berpotensi merugikan semua pihak.

Contoh ekstrim: seorang teman perempuan pernah pacaran dengan laki-laki ini. Waktu jadian, pacarnya royal setengah mati. Hobi mentraktir dan membelikannya macam-macam, meskipun teman tidak pernah meminta.

Sayangnya, laki-laki ini kemudian berubah jadi tukang ngatur dan maksa. Teman saya nggak boleh keseringan nongkrong-lah sama teman-temannya, nggak boleh terlalu dekat sama si A, nggak boleh inilah…

Merasa tertekan dan tersiksa, teman saya akhirnya memutuskan hubungan. Merasa sakit hati, mantannya lalu mengirimkan tumpukan bon alias tagihan dari semua yang pernah dia bayarkan sewaktu mereka masih pacaran. Katanya semua itu utang yang harus dikembalikan teman saya.

Nggak hanya itu, si mantan pun menyebar gosip jelek tentang teman. Bersyukurlah dia, karena teman memilih sama sekali nggak meladeni. Bahkan, dari situ teman bisa tahu, mana yang mudah terhasut dan mana pihak yang benar-benar teman sejati.

Apakah akhirnya teman saya membayar? Ya, meskipun akhirnya ditolak juga uangnya sama si mantan, dengan alasan: “Udah, sumbangin aja.” Taktik manipulasi psikologis gara-gara sakit hati akibat diputusin.

“Kurang baik apa gue coba ama itu cewek?” Serius, nih? Dari mana Anda tahu Anda memang benar sebaik itu? Apakah karena semua yang telah Anda berikan, namun balasannya ternyata di luar harapan?

Kecewa itu manusiawi. Namun, apa pun yang terjadi, mengeluh demikian secara terang-terangan (apalagi di media sosial) sama sekali nggak akan membuat Anda terlihat dan terdengar lebih baik, Tuan-tuan. Jadinya malah sombong dan menyedihkan, karena memang manusia pun banyak kekurangan. Anggap saja kalian berdua memang bukan jodoh dan…ya, sudah. Let it go.

3. Jika tawaran diterima atau sudah dimintai bantuan, jangan lantas jadi jumawa maupun meremehkan.

Niat baik saja ternyata nggak cukup, karena penyampaian yang menyinggung juga berpotensi membuat Anda terdengar menyebalkan:

“Aku anterin pulang, deh. Perempuan gak baik pulang sendirian malem-malem. Ntar dilecehin di jalan, lho.” (Ingat, ucapan adalah doa. Gak usah nyumpahin gitu.)

“Kamu aja deh, yang duduk. Perempuan ‘kan, mahluk lemah, cepet capek.” (Sumpah, rasanya pengen mencabut kursi bus atau kereta dan melayangkannya ke muka Anda…andai saja saya sekuat Hulk. Hehe.)

“Aku udah nolongin kamu, lho. Jangan lupa, belum tentu kamu bisa apa-apa kalo waktu itu gak ada aku.” (Maunya apa, upacara penghargaan khusus? Ucapan terima kasih aja masih kurang, Mas?)

Padahal, bantuan Anda justru mungkin akan lebih diterima dengan manis tanpa harus ada ’embel-embel’ merendahkan seperti contoh-contoh di atas:

“Aku anterin pulang ya, mumpung searah/lagi ada mobil/bisa bareng? Biar sekalian ada temen ngobrol di jalan.”

“Duduk aja dulu. Aku nggak apa-apa. Mumpung ada kursi.”

“Syukurlah waktu itu aku bisa bantu. Masih perlu bantuan lagi?”

Nah, lebih enak didengar, ‘kan? Jangan lupa senyum manis tapi tulus, siapa tahu perempuan mandiri incaran Anda luluh dan menghargai tawaran Anda. Kalau mereka tetap nggak mau? Ya udah, lewat aja. Perkara selesai, nggak perlu pake drama. Nggak perlu ngomong macem-macem ke orang lain tentang penolakan mereka.

Kalau sudah dimintai tolong juga jangan ogah-ogahan dan bahkan meremehkan urusan perempuan – menganggap kebutuhannya nggak sepenting kebutuhan Anda. Cukup bilang nggak bisa atau lagi capek kalau memang demikian adanya. Jangan lantas membantu setengah hati, tapi sambil ngedumel:

“Dasar perempuan, mintanya macam-macam.”

Kalau begitu caranya, jangan heran bila lama-lama semua perempuan malas minta tolong maupun tergantung sama Anda. Mending mereka minta sama yang lain atau mencoba sendiri.

Udah deh, ngapain hari gini masih nyinyir dan merasa terancam sama perempuan mandiri? Setiap orang punya kelebihan dan kekuatannya masing-masing, kok. Gak usah nakut-nakutin mereka dengan ancaman “Ntar cowok ngeri, lho!” Justru, laki-laki yang ngeri sama mereka memang nggak sepadan.

Ingat, doa yang baik kadang jauh lebih manjur untuk melindungi perempuan daripada bersikap seperti pengawal pribadi hampir 24 jam atau bahkan yang lebih parah – membatasi ruang gerak mereka dan melarang mereka melakukan apa-apa. Mereka manusia juga lho, bukan properti yang harus dikurung di lemari besi.

R.