Nasionalisme Sempit: Kenapa Kita Hobi Ngusir Orang Lain Karena Nggak Suka Dikritik?
“Ya, udah. Kalo lo gak betah di sini,
pergi aja sana!”
Entah
kenapa, saya sering banget denger ucapan merajuk kayak gini. Bukan, bukan
cerita seseorang ribut dengan ‘si dia’ yang
belum jadi mantan. (Eh?) Biar nggak bingung, saya kasih dua contoh kejadian,
ya:
- Perdebatan
antara sesama orang Indonesia.
Komentar
semacam ini sering banget saya lihat di media sosial. Biasanya yang nulis ‘netizen budiman maha benar’. Contohnya,
saat berita penembakan dua mesjid di New Zealand. Sepanjang akhir pekan itu,
media sosial ramai dengan tautan, reshare,
dan retweet seputar tragedi
tersebut.
Lalu,
tahu-tahu ada yang komentar kayak gini:
“Seneng banget liat warga New Zealand
kompak soal toleransi perbedaan. Beda sama di Indonesia.”
Seperti
yang sudah bisa ditebak, ada yang balasnya langsung ngegas bin julid:
“Ya
udah, kalo lo udah gak suka tinggal di Indonesia, pindah aja sono!”
Sering
baca komentar kayak gini di media sosial? Nggak usah kaget. Banyak kok, yang
kayak gini. Mungkin Anda juga sama.
Oke,
saya kasih contoh yang kedua, ya:
- Saat
dikritik oleh ekspat.
Di
satu resto, saya lihat segerombolan anak bangsa merokok. Padahal, jelas-jelas,
ada larangan merokok terpampang di dinding. Nggak tahu kenapa, saya suka
menangkap kesan angkuh dari gerombolan perokok di tempat umum yang melanggar
aturan. Bahkan, makin jadi bila staf resto nggak ada yang berani negur. (Sialnya, mungkin karena mereka juga takut
kehilangan pelanggan kali, ya. ‘Kan, kredo “pelanggan itu raja” masih berlaku.)
Tiba-tiba
ada seorang perempuan ekspat yang langsung menegur mereka.
“Excuse me! Can you not smoke in here?
There’s a ‘NO SMOKING’ sign on the wall.”
Seperti
yang bisa ditebak juga, gerombolan perokok itu langsung kompak ngeyel-nya. Singkat cerita, mereka ribut
dengan perempuan asing itu sampai si perempuan – karena kalah jumlah – akhirnya
pergi dengan wajah bete.
Setelah
perempuan itu pergi, dengan bangga para perokok itu berkoar-koar.
“Orang biasanya juga nggak apa-apa, kok.
Lagian juga udah sepi.”
Lalu,
keluarlah ucapan itu dari salah satunya:
“Kalo
nggak suka, mending dia balik ke negaranya aja! Emang siapa dia, ngatur-ngatur
di negara orang?”
Duh,
sampai sini rasanya pening. Serius. Kenapa sih, kita hobi banget ngusir orang
lain hanya karena nggak suka dikritik? Nggak dari sesama anak bangsa sendiri
maupun yang bukan. Padahal, bisa jadi saat itu kita emang salah – atau negara
kita sedang bermasalah. Hari gini, negara mana sih, yang nggak punya masalah?
Udah
deh, nggak usah denial cari-cari
alasan, apalagi pembenaran. Sekali lagi, saya capek harus nulis ‘sekadar mengingatkan’. Anda yang baca
pasti juga bosen, ‘kan?
Mengkritik
itu memang mudah. Menerima kritik itu yang susah, apalagi kalo ego Anda
termasuk rapuh meski sudah usia dewasa. (Kasihan?
Nggak. Ngapain?) Tapi kalo tiap kali dikritik (bahkan dengan tambahan bukti
kalo Anda emang beneran salah dan bermasalah) bawaannya mau ngusir, kayaknya
kita udah nggak pantes lagi dilabelin ‘bangsa
yang ramah, apalagi sama pendatang’.
“Iya, ramah boleh. Tapi jangan kebangetan.
Tau diri lah, mereka lagi di negara orang!”
Oke,
jangan mengalihkan pembahasan. Kita nggak lagi membahas kelakuan beberapa
ekspat yang kadang menurut kita emang kelewatan pas di Indonesia. Itu bisa
dibahas di tulisan lain kesempatan, plus cara-cara menyikapinya kalo mau.
Kita
lagi membahas kebiasaan masyarakat kita kalo dikritik orang, apalagi kalo udah
menyangkut negara. Okelah, bila ingin bersikap nasionalis. Tapi, jangan sampai
sikap patriotis jadi ‘salah tempat’. Kayak
kasus para perokok di atas, melanggar aturan kok, bangga? Justru kalo sampai
ada tamu yang menegur, yang punya rumah harusnya malu.
Kadang
Anda paling gesit menyebut orang lain nggak nasionalis, hanya karena banyak
mengkritik berbagai kejadian dan ‘kebijakan’
nggak enak pemerintah di negara kita. Padahal, bisa jadi yang mengkritik
itu jauh lebih peduli dengan kemajuan negeri daripada Anda yang lebih banyak
tutup mata. (Toh, Anda juga merasa itu
bukan urusan Anda, ‘kan?)
Anda
langsung defensif saat ekspat ada yang menegurmu di ruang publik karena Anda melanggar
aturan. Sayangnya, argumen Anda benar-benar nggak nyambung dengan masalah yang
lagi dibahas. Anda langsung parno, mengira orang luar mencoba menjajah negara
ini dengan mengatur-atur Anda. Kalo nggak mau ampe kayak gitu, ya mulai lakukan
perbaikan dari diri sendiri dulu, dong. Jangan sampai nunggu ditegur oleh siapa
pun.
Lagipula,
lucu juga, ya. Anda sibuk mengumpat-umpat para ‘white supremacists’ yang menyerang para imigran dan menyuruh
mereka pulang ke negara masing-masing. Lha, apa bedanya ngomong gitu ke ekspat
yang kebetulan menegur kesalahan Anda?
R.