Categories
#catatan-harian #menulis

“MENURUT SAYA, 5 RESOLUSI TAHUN BARU INI TIDAK REALISTIS”

“MENURUT SAYA, 5 RESOLUSI TAHUN BARU INI TIDAK REALISTIS”

Kemungkinan besar tulisan ini akan mengundang protes, tapi saya punya argumen sendiri.

Sudah lama saya tidak membuat resolusi tahun baru. Kalau ada, biasanya sedikit sekali, namun lebih terarah. Biar lebih realistis, jadi nggak akan rentan stres bila ternyata nggak tercapai.

Beda pendapat itu biasa, jadi nggak masalah kalau pada nggak sepakat sama saya. Ada beda tipis antara keinginan dengan resolusi. Bila keinginan bisa tidak terbatas (hingga yang paling ‘ajaib’ sekali pun), maka resolusi tergantung dari cara mengusahakannya.

Menurut saya, 5 resolusi tahun baru ini tidak realistis. Apa saja dan mengapa?

  1. Ingin menjadi kaya-raya.

Mau sekaya apa? Kaya macam apa? Bila tidak spesifik, jadinya hanya berandai-andai. Apalagi bila kemudian tujuan dari menjadi kaya itu sendiri tidak jelas.

Saran:

            Mungkin banyak penasihat keuangan yang memberi nasihat sejenis, seperti: “Mengurangi belanja yang ‘tidak perlu’…” (dan silakan tentukan sendiri kategori “tidak perlu” yang dimaksud) atau “Menabung lebih banyak dari tahun lalu, yaitu sekitar…persen” (dan silakan isi sendiri, sesuai kebutuhan.)

Ada juga yang mungkin menyarankan untuk berinvestasi, seperti produk asuransi. Jadi isi ATM nggak hanya keluar-masuk dan terpangkas biaya administrasi. Yang pasti, menjadi kaya mendadak hanya terjadi di sinetron…atau bila Anda menang lotere miliaran rupiah (yang kemungkinannya setara dengan melihat artis ibukota lewat pas di depan Anda, alias belum tentu tiap hari.)

2. Ingin segera menikah (namun belum punya calon pendamping hidup atau minimal pacar yang bersedia diajak menikah.)

Saya nggak sinis, alias realistis. Resolusi ini hanya berhasil jika beberapa hal di bawah ini sudah terpenuhi:

  • Kehendak Tuhan. (Nggak dapet ini, ya nggak jalan.)
  • Sudah punya calon pendamping hidup atau pacar yang bersedia diajak menikah. (Kalau belum, terserah. Mau nunggu mereka bersedia atau cari yang punya kemauan sama?)
  • Restu dari keluarga kedua belah pihak. (Percaya deh, secinta-cintanya sama calon pasangan, butuh kesabaran ekstra bila masih ada keluarga yang nggak rela. Kawin lari hanya romantis di novel, karena nggak ada keributan seputar surat-surat resmi, dimusuhi keluarga sendiri, hingga…silakan lanjutkan daftar ini.)
  • Nggak hanya wacana, alias sedang berusaha diwujudkan atau sudah hampir rampung.
  • Punya tujuan menikah yang jelas, alias bukan hanya takut diuber umur (memangnya hantu?), gerah sama omongan orang, hingga…malu menjomblo terus. (Padahal, koruptor miliaran rupiah saja santai meski putus urat malu, sementara kamu hanya belum dipertemukan dengan jodohmu. Sesederhana itu.)

Kalau masih jomblo, nggak ada yang melarang bila ingin segera mencari calon pasangan hidup. Usaha memang perlu, tentu dengan catatan: nggak bikin targetmu lari ketakutan gara-gara baru kenalan sehari, besoknya langsung ngajak nikah. Lain cerita kalau mereka sama ‘bernyali’-nya, meski menikah butuh lebih dari sekadar keberanian – seperti yang sering digadang-gadangkan mereka yang hobi nyinyir sama para lajang sebagai sosok-sosok pengecut.

Saran:

Silakan fokus pada usaha memperbaiki diri sendiri, entah dari segi kepribadian atau yang lainnya. (Ini hanya diri sendiri yang harus tahu. Jangan mau didikte orang lain melulu!) Perluas pergaulan, ikut komunitas, banyak-banyakin kenalan teman baru. Terdengar klise, tapi bisa jadi jodohmu ketemu di situ.

3. Ingin punya momongan tahun ini (terutama karena sekeliling sudah pada ‘sumbang suara’ alias bersuara sumbang, mengingat pernikahan sudah berlangsung lama tanpa tanda-tanda kehadiran calon penerus gen keluarga.)

Mohon maaf bila topik ini sangat sensitif dan berpotensi menyinggung banyak pembaca, tapi percayalah…saya bukan mereka yang hobi cari-cari ‘cacat’ penyebab seseorang sulit punya keturunan, apalagi dengan lidah tajam mereka.

Mungkin kamu dan pasangan sudah lama menikah. Usaha sih, pasti ada, ya. Sayangnya, mungkin kamu berada di antara mereka yang hobi banget nanya-nanya yang sama terus tiap tahun: “Kapan nih, kasih papa-mamamu cucu? Nggak kasihan ama mereka?” Ya, ibarat menagih utang atau memesan menu di restoran. Sampai-sampai menginterogasi, sudah sejauh mana usaha kalian dalam memperoleh keturunan (yang nyata-nyata melanggar ‘wilayah pribadi’ kalian, alias usil.)

Ada juga yang pasti memberi jutaan saran dengan sangat murah hati, yang menurut mereka pasti dijamin ‘tokcer’. (Amin, semoga benar bila kalian memang menginginkannya.) Yang sadis juga nggak kalah ‘heboh’, mulai dari menuduh kalian kurang usaha hingga…mempertanyakan masalah kesuburan.

Padahal, begitu akhirnya punya anak (apalagi dalam jumlah banyak, jaraknya deketan pula atau kembar sekalian!), belum tentu juga mereka mau bantu mengurus atau minimal dititipkan seharian penuh. Nah, lho. Kemarin yang ribut minta anak siapa?

Saran:

Jika ada yang memberi usul mengenai cara-cara bikin anak yang menurut mereka ‘tokcer’, diterima saja sambil mengucapkan terima kasih. Nggak perlu juga selalu laporan sama mereka mengenai usaha kamu dan pasangan. (Memangnya bintang reality show yang dikit-dikit butuh penonton?)

Buat yang mulutnya ngalahin cabe yang harganya lagi selangit, cukup tutup kuping sambil banyak-banyak berdoa untuk menyabarkan diri. Toh, yang penting nggak ikutan kayak mereka, lupa kalau anak itu karunia Tuhan – sama kayak rezeki lain, seperti: harta, tahta, dan jodoh. Minta sih, bisa. Kalau memang belum dikasih, mereka mau apa?

Belum diberi juga? Masih ada alternatif lain, seperti: mengadopsi anak atau merawat anak-anak terlantar. Mungkin bisa juga jadi paman dan bibi kesayangan para keponakan. Bodo amat sama mereka yang entah kenapa kekeuh bilang: “Enakan juga punya anak sendiri.” Nggak seorang pun yang berhak bikin orang lain merasa kurang atau tidak berguna, karena anak bukan piala yang dipamerkan ke mana-mana.

4. Ingin kurus (pokoknya sebelum tahun ini berakhir.)

Saya masih chubby? Iya, tapi resolusi ini sudah lama sekali saya buang entah ke mana. Jujur, dulu sempat termakan ucapan orang-orang berotak dangkal dan berhati kerdil. Kuruslah bila mau punya pacar. Kuruslah biar dianggap cantik sama cowok. Idih.

Berhubung lahir dengan gen tulang besar, jangan harap saya bakalan kayak Ariana Grande yang aslinya memang mungil. Mau pakai pil diet, susu pelangsing, sampai crash diet juga percuma. Yang ada (terutama yang terakhir), saya malah berakhir di ICU.

Saya pernah kehilangan 20 kilogram. Serius. Tapi, butuh dua tahun, berkat program olahraga dan pengaturan pola makan dari ahlinya. Habis itu, masih ada yang berkomentar negatif, mulai dari yang bilang gigi saya jadi gede kayak gigi kuda hingga yang mengira saya berubah jadi penderita anoreksia atau bulimia.

Susah juga, ya? Nggak kelar-kelar kalau terus ngikutin maunya manusia.

Saran:

Fokuslah untuk menjadi lebih sehat, bukan kurus. Olahraga, jaga pola makan, hingga menghindari stres – termasuk yang diakibatkan mulut-mulut usil yang entah kenapa segitu tertariknya sama ekstra lemak di badanmu. Bayangin, tiap ketemu yang disinggung itu melulu. Entah kurang baca buku atau lagi belajar jadi ahli gizi beneran.

Intinya, jangan biarkan orang lain mengatur-atur tubuhmu, kecuali kamu beneran membayar mereka sebagai gym trainer atau ahli gizi pribadi.

5. Resolusinya kebanyakan.

Ini termasuk kasus klasik. Saking banyaknya keinginan, tahu-tahu daftar resolusi tahun baru sampai di poin ke sepuluh dan seterusnya. Kalau memang yakin bisa melunasi semuanya sih, nggak masalah. Yang sering terjadi malah nggak fokus dan stres begitu gagal mencapai semuanya dalam setahun.

Saran:

Ada tiga (3) yang menurut saya bisa dicoba, yaitu:

  • Nggak usah banyak-banyak bila nggak yakin bisa kepegang semua.
  • Kerjakan satu-satu, lalu sisanya bisa dilanjutkan tahun depan bila belum kesampaian.
  • Nggak perlu harus di tahun baru, sebenarnya bikin resolusi bisa kapan saja kamu mau.

Seperti biasa, ada yang sepakat dan enggak. Yang pasti, selama resolusinya bagus-bagus, saya mah tetap mendoakan yang terbaik. Hanya Tuhan kok, yang bisa membantu kita melampaui segala kemustahilan, meski usaha sama berpikir realistis juga perlu. Wajib malah.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“PADA SUATU MASA, KAU MENGUSIK IMANNYA”

“Pada Suatu Masa, Kau Mengusik Imannya”

Pada suatu masa

kau masuk ke dalam hidupnya

memberi ilusi cinta

membuatnya berharap dan terluka

 

Pada masa lainnya

kau hengkang begitu saja

sempat membuatnya hampa

hingga bertumbuh murka

 

Masih ada masa berikutnya

hati beku oleh amarah

Benci telah mengubah isi hati

selalu meragukan cinta

 

Karenamu, kini dia berbeda

Tak lagi naif dan mudah percaya

Berdirilah di hadapannya

Sorot matanya tak lagi sama

 

Demi masa dari semua masa

semoga dia selalu dilindungi Sang Pencipta

dari semua bahaya

termasuk yang ingin menyakitinya

 

Jangan, jangan lagi mengganggunya

bila tidak bisa menjanjikan apa-apa

dan akhirnya kembali pergi juga

Dia sudah muak dengan air mata…

 

R.

(Jakarta, 16 Januari 2017 – 17:25)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“TENTANG BAPER”

“Tentang Baper”

“Jadi orang jangan suka baper. Biasa aja, dong!”

Sering dicela kayak gitu sama orang lain? Jangan-jangan Anda sendiri juga tukang cela dan kalimat itu salah satu andalan Anda, entah beneran untuk kebaikan orang itu atau Anda hanya ingin mereka diam.

Banyak serba-serbi baper (bawa perasaan). Ada yang menurut Anda wataknya memang cemen banget, sedikit-sedikit tersinggung. Baru dicela sedikit saja sudah mewek, kayak anak kecil kalah rebutan permen. Ada yang menganggapnya normal, karena namanya juga manusia. Kalau udah nggak punya perasaan lagi, namanya apa, dong?

Hayo, memangnya Anda sendiri nggak pernah baper? Ngaku aja, deh. Nggak usah malu atau sok tegar segala, bahkan langsung mem-bully mereka yang Anda anggap baperan. Lagipula, tingkatannya juga beda-beda, sama kayak reaksi mereka. Ada yang memang bisanya hanya menangis, jadi tukang ngadu, hingga yang sedikit-sedikit update status di social media. (Yakin Anda nggak pernah melalui masa-masa ini?)

Lalu, bagaimana sosok baper yang diam-diam membahayakan, alias menakutkan? Ada yang diam-diam langsung mendoakan kemalangan Anda karena dendam. Ada juga yang mencoba menyakiti Anda, bahkan secara langsung maupun tidak. Kalau dendam mereka terbalaskan, apakah Anda nggak akan kena giliran baper juga? Yakin?

Saya selalu heran dengan mereka yang merasa bisa berucap seenaknya tanpa peduli bakalan menyakiti perasaan orang lain. Lucunya, giliran diperlakukan sama, mereka malah marah dan defensif. Lalu, kata-kata itu pun keluar dengan enaknya:

“Jangan baper.

            Haha, standar ganda. Apalagi bila Anda kebetulan lebih tua dari mereka yang sering Anda cela-cela dan sepelekan. Enak banget, ya? Usia dipakai untuk alasan asal bicara, sementara yang lain lebih baik terima dan diam saja. Nggak berhak marah.

Padahal, seharusnya Anda bersyukur bila mereka marah secara terang-terangan sama Anda, bukannya malah meremehkan dan menganggap perasaan mereka sama sekali nggak sepenting maunya Anda. Mengapa demikian?

  1. Setidaknya mereka masih menganggap Anda berhak atas kejujuran mereka. Bayangkan amarah yang dipendam terlalu lama dan menumpuk, lalu suatu saat meledak saat mereka mengamuk. Akibatnya bisa jauh lebih parah daripada yang selama ini Anda asumsikan sebagai ‘kelewat baper’. Mau pilih yang mana?
  2. Lebih baik Anda tahu segera bahwa mereka marah, daripada diam-diam mereka menyumpah-nyumpah. (Ada yang bilang, lebih gawat lagi bila sakit hati mereka terbawa hingga ke ‘akhirat’. ..) Jadi, biar lain kali Anda lebih banyak berpikir dulu sebelum asal nyablak. Kedekatan Anda dengan mereka juga bukan jaminan mereka bisa Anda perlakukan seenaknya.
  3. Bila mereka sampai berhenti baper, sebaiknya Anda waspada, karena artinya Anda sudah tidak berarti apa-apa lagi bagi mereka. Kalau mereka memang sedari awal tidak begitu penting bagi Anda, ya sudah.

Sebelum menuduh mereka atau orang lain ‘kelewat baper’, bagaimana kalau Anda berkaca dulu? Yakin Anda sendiri nggak pernah begitu? Jangan-jangan, selama ini Anda merasa hanya Anda-lah yang berhak untuk baper.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“BLOGGER PEMULA BENAH-BENAH DOMAIN”

“Blogger Pemula Benah-benah Domain”

Saya membeli dan mulai menggunakan domain ini pada pertengahan 2016 kemarin. Awalnya masih ada /wp/ di belakangnya, jadi agak aneh dan kurang SEO-friendly. (Tentu saja, ini saya dapatkan dari teman sesama blogger, namun sudah lebih berpengalaman.)

Jadilah saya harus reinstall. Untung prosesnya tidak rumit. Namun, konsekuensinya adalah: semua tautan yang pernah saya bagi sebelumnya jadi error. Mereka sudah tidak bisa diakses lagi.

Sekian laporan benah-benah singkat saya.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“MONSTER DAN SOSOK ITU DI KASTIL SUNYI”

“Monster dan Sosok Itu di Kastil Sunyi”

Sang Monster kembali terbangun

Dengarlah dia meraung

Kasil Sunyi kini riuh

Dindingnya terancam rubuh

 

Kamu takkan pernah mengerti

Terlalu lama dia hidup di sini

Kadang Monster itu membuatnya ngeri

kadang tameng sakit hati

atas mereka yang tidak peduli

 

Mungkin sudah terlambat bagimu

untuk menariknya keluar dari situ

tanpa menyertakan Monster itu

Kembali keduanya menyatu

siap menyerbu

 

Terlalu lama kamu mengacuhkannya

menganggap sepi semua yang dia rasa

Terlalu sering kamu berpura-pura

bahwa semua baik-baik saja

 

Sang Monster dan dia?

Kini tiada bedanya

Bolehlah kamu tertawa

seperti biasa, selalu mengecilkannya

Jangan kaget bila dia murka

 

Mungkin kamu bisa kembali lega

saat sekian kali berpura-pura

Tidak, tidak ada apa-apa

Dia hanya bersikap aneh saja

 

Maka dia akan menutup pintu

kembali menenangkan Monster itu

agar Kastil kembali Sunyi

Tidak ada yang berisik setengah mati

Cukup kamu saja yang mendapatkan perhatian dari sana-sini

 

Puas?

 

R.

(Jakarta, 23 Desember 2016 – 7:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“MARRIED VERSUS SINGLE: KOK PADA NYINYIR?”

“Married versus Single: Kok Pada Nyinyir?”

Tulisan ini dibuat karena:

  1. Saya pernah baca salah satu artikel online tentang jurnalis perempuan dari sebuah media yang kerap dituduh ‘nyinyir’. (Berhubung saya jarang baca media tersebut, saya memilih tidak berkomentar lebih lanjut. Tapi silakan baca di sini:  http://www.mojok.co/2016/12/cadar-mbak-dian-dan-fobia-atribut/ .)

Lalu, entah kenapa jurnalis itu pernah ditanya: “Mbak udah nikah?” Begitu dijawab belum, langsung deh, komentar berikutnya keluar: “Oh, pantes nyinyir. Belum nikah, sih.”

Entah apa hubungannya status lajang dengan kenyinyiran seseorang. Bahkan, menurut saya sih, justru si narsum yang nyinyir to the max.

2. Seorang kawan bercerita tentang satu kenalannya. Sudah menikah dan punya anak, tapi rajin banget nyinyir lewat status update-nya di media sosial. Orang yang nggak dia suka atau pun yang nggak memuja-muja dia langsung disindir habis-habisan.

Hmm, biasanya sih, kalau sudah menikah dan punya anak (apalagi banyak) pasti sibuk sekali. Apalagi perempuan, terutama mengingat di Indonesia masih ada anggapan bahwa urusan rumah tangga dan anak itu cuma buat istri seorang. Nggak peduli si istri juga kerja kantoran, sementara si suami (kalau masih bermental patriarki akut) tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah dan suruh-suruh istri, meski si istri lagi sibuk nyuapin bayi. Hiii, bikin kekiii! Masa mau minum doang nggak bisa ambil sendiri?

Tuh, ‘kan? Barusan saya jadi ikutan nyinyir.

Hmm, sepertinya kenalan kawan saya itu masih kurang sibuk atau sangat jago dalam mengalokasi waktu dan tenaga, sehingga masih sempat-sempatnya nyinyir harian di media sosial. Tapi, lagi-lagi ini cuma asumsi saya lho, ya. Nggak perlu diiyain juga nggak apa-apa.

3. Curhatan ini berasal dari teman satu kos. Awas, jangan mudah merasa ‘tertampar’ saat membacanya:

“Kadang gue suka bingung sama mereka yang udah married dan punya anak, tapi hobi banget nyinyir ama yang single begini: ‘Elo mah enak, belum ada tanggungan dan masih bebas ke mana aja dan ngapain aja.’ Kayak kita nggak pernah punya masalah dan hanya mereka yang berhak ngeluh. Berasa lebih penting gitu.

“Gue sebenarnya nggak mau nyebut-nyebut begini, karena takut langsung dituduh nggak ikhlas. Tau sendiri ‘kan, orang suka gampang banget menyimpulkan? Ada single yang menghidupi ortu yang udah pensiun dan mungkin sakit. Ada yang malah bantuin sodara-sodara mereka yang justru udah menikah duluan. Kayak gini kita selalu dianggap nggak ada tanggungan dan bebas-bebas aja?

“Gue jadi curiga, jangan-jangan yang suka ngomong gitu diem-diem nyesel udah nikah tapi belum puas single-nya…”

4. Ini lagi yang bikin saya diam-diam bergidik: orang single yang dengan entengnya ngomong gini sama yang udah married:

“Elo enak, soal duit tinggal minta suami.”

Nyinyir semua. Nggak yang single, nggak yang udah married. Nggak ada bedanya.

Saya jadi ingat tulisan Ayu Utami dalam “Parasit Lajang”. Banyak perawan tua (perempuan yang tidak pernah menikah dan punya anak, apa pun alasannya) nyinyir karena sebenarnya mereka terluka dan dilukai secara sosial. Dianggap nggak cukup cantik, nggak cukup baik, nggak laku (kayak barang jualan, bukannya orang!), dan sebutan merendahkan lainnya. Karena diperlakukan demikian, mereka jadi nyinyir sama yang sudah menikah.

Padahal, kenyataannya nggak semua begitu. Ada yang cuek dan memilih bahagia dengan hidup serta pilihan mereka, apa pun alasannya dan terlepas dari mulut usil mereka yang nggak terima.

Lagipula, kalau mereka masih bisa sabar, kenapa orang lain harus pada ribut, coba?

Barangkali ini tidak banyak terjadi pada laki-laki lajang, namun saya pernah terlibat obrolan ‘nggak enak’ ini sama…yah, nggak usah sebut nama, deh. Ntar ada yang baper lagi karena merasa kesindir.

“Kamu sekarang ngekos, tinggal sendirian?”

“Iya.”

“Berarti nggak ikut ngurus para keponakan di rumah, dong?”

Jujur, saya malas menjawab. Bukannya nggak sayang sama para keponakan (meski lagi-lagi, mereka yang berpikiran sederhana mungkin nggak akan sepakat). Gemas saja dengan anggapan mereka bahwa para lajang pasti lebih banyak waktu luang dan nggak sesibuk mereka yang sudah menikah.

Bahkan, jika para lajang beneran sibuk (kerja, hang out sama teman, memperluas jaringan bisnis, menekuni hobi, hingga…ya, usaha cari jodoh sendiri), kenyinyiran masih berlanjut:

“Pantes lo gak kawin-kawin. Sibuk melulu, sih.”

Terus, kenapa sih, pada hobi nyinyir? Ada hubungannya sama status? Ya, nggak juga, kok.

  1. Mereka ingin kelihatan (dan dianggap) superior. Kalau yang single bangga dengan kekuasaan mereka untuk mengatur hidup dan waktu mereka, yang married bangga karena merasa status sosial mereka ‘naik’. Yang single merasa bahwa yang married (apalagi yang ketahuan ribut ingin secepat mungkin, biasanya karena desakan ortu, lingkungan, atau merasa ‘dikejar umur’) itu orang-orang kesepian yang nggak bisa sendiri. Yang married memandang yang single (apalagi kalau dia perempuan di atas usia 30) sebagai sosok egois, pemalas, dan pengecut karena dianggap enggan ‘membuka hati’ dan membagi hidup dengan orang lain.
  2. Mereka sebenarnya sedang punya masalah dan nggak se-bahagia itu, lalu melampiaskannya ke orang lain (terutama yang nggak senasib) dengan cara yang ‘enggak banget’.

Contoh:

(Single tapi melarat): “Elo enak, duit tinggal minta suami.”

(Married tapi harus meninggalkan hobi traveling dan nongkrong sama teman, terutama bila pasangan posesif banget): “Elo enak, masih bebas.”

3. Mereka muak terus dinyinyirin sama orang-orang kepo, jadi balas nyinyir. Boleh saja bilang bahwa balas dendam itu nggak baik, tapi kadar kesabaran tiap orang beda, lho. Intinya, jika Anda nggak mau kena semprot, ya jangan mulai nyemprot duluan terus malah menuntut mereka untuk sabar.

Singkat cerita, kita nggak pernah benar-benar tahu semua yang dialami orang lain, begitu pula sebaliknya. Nggak usah saya sebut detailnya, deh. Nggak semua harus dikasih lihat, ‘kan? Lagipula, bukan itu inti dari tulisan ini.

Sayangnya, ini masih jadi potret realita masyarakat kita. Nggak cuma isu ibu rumah tangga versus ibu bekerja kantoran (yang menurut saya sudah nggak ada gunanya lagi diributkan), ada juga married versus single. Nyinyir itu potensi semua orang, terlepas status hingga gender Anda. (Hayo, nggak usah sok macho, Tuan-tuan. Pasti pernah nyinyir juga ‘kan, meski sekali?)

Terlalu biner dalam memandang status juga bikin kita begitu mudah berasumsi dan menghakimi. Tanpa sadar, hasil cablakan kita jadinya begini:

  • Nggak bermanfaat.
  • Menyinggung perasaan orang.
  • Membuka aib sendiri.

Kita sering lupa bahwa dalam setiap fase hidup, masalah akan selalu ada dan beda-beda. Nggak bisa dan sebaiknya memang nggak usah dibandingin, karena memang nggak mungkin dan nggak adil. Setiap orang harus mengatasinya dengan cara terbaik versi mereka, serta sebisa mungkin nggak sampai harus mengecilkan orang lain.

Sudah yakin dengan pilihan Anda? Berbahagialah, nggak usah pakai menjatuhkan nilai diri orang lain. Menyesal dengan pilihan Anda? Ya, jangan melampiaskannya pada orang lain, apalagi mereka yang nggak ngerti apa-apa. Misery loves company? Pasti. Sebaliknya? Belum tentu.

Jadi, mau sampai kapan pada nyinyir?

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“SATU INDONESIA: Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia”

“SATU INDONESIA: Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia”

Di usianya yang ke-60, Astra mengadakan Seminar dengan Para Blogger pada hari Jumat, 23 Desember 2016 di Midtown, sebuah kafe yang terletak di Senopati, Jakarta Selatan. Acara yang berlangsung dari pukul 18:30 hingga 20:30 ini dimaksudkan untuk mengenalkan Satu Indonesia Awards dalam rangka memberikan inspirasi bagi anak bangsa untuk lebih memajukan negeri.

Acara ini diawali dengan film pendek mengenai Astra dan perkenalan para narasumber yang hadir pada malam itu. Yulian Warman dari Manajemen Program Lingkungan Astra menjelaskan sekilas tentang sejarah Astra, berikut Satu Indonesia Awards. SIA diadakan dalam rangka mencari bibit-bibit baru, para pemuda dan pemudi yang dinilai telah berkontribusi positif untuk masyarakat dan lingkungan sekitar.

Maharani, seorang aktivis dari Lombok, juga bercerita perihal kegiatannya menanam gaharu bersama para mahasiswa di sana. Menurut keterangan beliau, sejak tahun 2000, mereka menggunakan teknologi khusus yang dapat mempercepat tumbuhnya tanaman gaharu. Tanaman gaharu kemudian juga bisa dipakai untuk membiayai anak sekolah.

Wicaksono yang juga dikenal sebagai Ndoro Kakung, berbicara mengenai perubahan trend social media di tahun 2017. Yang cukup menggetarkan para blogger, kehadiran dan koneksi antar platform social media yang semakin canggih kemungkinan akan membuat blogging sangat tertinggal oleh zaman.

Apalagi dengan kehadiran Vurb, di mana pengguna dapat memanfaatkannya sebagai neo-PDA (new personal digital assistant). Mau mengecek film yang sedang main di bioskop terdekat atau tempat makan yang mudah dicapai? Tinggal gunakan aplikasi ini.

Ada lagi Spectacles, kamera video mini yang dapat dipasang di kaca mata hitam. Kini yang biasa terlihat di film-film fiksi ilmiah telah menjadi nyata. Sebagai travel blogger, writer, atau bahkan videographer, Anda dapat memanfaatkan aplikasi ini.

Arbain Rambey, fotografer profesional yang sudah malang-melintang di dunia media, baik cetak maupun online, juga  berbicara mengenai hadirnya kamera ponsel yang mengubah dunia fotografi secara signifikan. Kini, semua orang bisa memotret. Bahkan, beberapa media dipercaya telah menggunakan foto-foto dari para netizen yang diposting di laman social media mereka. Ada yang membelinya dan maupun hanya memintanya, selama masih seizin yang punya.

Semoga Satu Indonesia Awards dari Astra dapat semakin menginspirasi anak bangsa untuk lebih banyak memberi sumbangan positif bagi negeri, daripada hanya caci-maki.

astra3

astra4

astra5

astra6

astra7

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“JUJUR?”

“Jujur?”

Jujur selalu?

Ah, jangan naif begitu

apalagi disertai kekasaran itu

meski sesuai maumu

hanya agar mereka tahu

semua isi benakmu

Persetan dengan sopan-santun palsu

bagai munafik yang berlaku

 

Jujur selalu?

Ya, kamu merendahkanku

yang memilih diam membisu

bak pengecut yang enggan berjibaku

sembunyi di balik slogan damai

netralitas tukang cari aman sejati

atas nama toleransi

Sosok egois yang tidak peduli

hanya memikirkan diri sendiri

 

Jujur selalu dan sekali?

Aku muak setengah mati

Kamu hanya menghina tanpa henti

berkoar-koar ke sana kemari

bikin orang sakit hati

tanpa ada tawaran solusi

Kesombonganmu memuakkan sekali

Entah kapan kamu mau berhenti

 

Jujur saja?

Aku muak dengan drama

Lagi-lagi keributan yang sama

tanpa menghasilkan apa-apa

kecuali saling menghina

mengutuk yang berbeda

mencela yang tidak tahu apa-apa

menyumpahi yang diam saja

 

Jujur?

Rasanya ingin kabur

sebelum ada yang keburu takabur

Namun, kamu akan kembali menyebutku pengecut

dengan mulut yang kecut

sementara panggung ini masih penuh badut…

 

R.

(Jakarta, 14 Desember 2016 – 16:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“TERUNTUK #ALEPPO”

“TERUNTUK #ALEPPO”

Di satu sisi dunia,

semua ceria

jalani hidup seperti biasa

di bawah cerahnya angkasa

 

Di sisi lainnya,

banyak yang terluka

kehilangan dan penuh duka

lari dan sembunyi, bertaruh nyawa

 

Di mata media,

ada ragam cerita

Ada yang percaya

Ada yang menuduh pura-pura

 

Datang, datanglah ke sana

Lihat sendiri, apa adanya

Mungkin kau akan beruntung, masih bernyawa

saksi hidup perjuangan nyata…

 

R.

(Jakarta, 17 Desember 2016 – 16:15)

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“5 Orang Pintar Menurut Mata Awam Saya”

“5 Orang Pintar Menurut Mata Awam Saya”

Entah kenapa kepikiran untuk menulis tentang ini. Mungkin karena sekarang sudah makin banyak contoh ‘ajaib’ seputar orang pintar (dari yang asli pintar sampai yang pintar kw sekian.)

Jadi, inilah mereka:

1. Orang yang (beneran) pintar.

Orang ini bisa kelihatan dari banyak sisi. Juara satu di kelas, juara umum di sekolah, atau IPK selalu di atas 3.5 selama kuliah? Yang pasti, lebih banyak prestasi nyata ketimbang sensasi belaka.

Enggak hanya itu, mereka juga jago menghibur orang, kreatif dalam mendesain karya seni, jagoan olahraga di lapangan, hingga…jago padu-padan dalam hal berpakaian dan dandan. (Nah, tolong jangan nganggep mereka dangkal dulu. Enggak semua orang punya selera fashion yang bagus, lho.)

Apa pun jenis kepintaran mereka, bakalan makin oke bila mereka rela ‘membagi’-nya dengan orang lain yang mau belajar, alias enggak disimpen sendiri. Selain itu, mereka juga pintarnya karena usaha, bukan cuma-cuma. Otak cerdas kalo enggak terus dimanfaatkan sama aja dengan otot lembek akibat jarang (atau malah enggak) olahraga. Ups! *langsung noyor diri sendiri*

2. Orang pintar yang (terlalu) bahagia dengan diri sendiri.

Nggak ada yang salah dengan jadi pintar, apalagi sampai berbahagia karenanya. Selain hidup terasa lebih mudah, yang hormat dan kagum sama kita juga banyak.

Jeleknya? Terlalu bahagia bisa menciptakan kesombongan. Berbagi kepintaran dengan orang lain beda dengan sekadar memamerkannya. Bukan kagum yang didapat, lama-lama malah muak yang melihat.

Haruskah kita membenci sosok macam ini? Menurut saya sih, biarin aja. Mungkin diam-diam mereka belum yakin kalau mereka pintar dan berharga, makanya masih cari-cari pengakuan dengan cara pamer ke mana-mana. Nggak apa-apa, itu hak mereka. Mau sebal, kasihan, atau peduli setan, itu juga hak Anda.

Merasa keganggu? Cuekin aja, selama mereka nggak secara langsung menyakiti Anda. Ya, asal mereka nggak sampai menjadi kategori nomor berikut ini:

3. Orang yang pintar menjatuhkan orang lain di depan umum.

Saya enggak sedang bicara soal adegan slapstick basi, di mana Karakter A sengaja menyandung Karakter B hingga jatuh, lalu ngakak sepuas-puasnya sementara si B mengaduh kesakitan. Untuk orang macam ini, mungkin ada yang akan memberikan pembelaan yang enggak kalah basi dengan adegan di atas:

“Wajar, namanya juga orang pintar.”

Oke, apa IQ di atas 140-sekian berarti legitimasi untuk menghina atau merendahkan orang? Hmm, kok jadi inget psikopat atau sosiopat di film-film thriller psikologi, yah?

Orang pintar yang masuk kategori ini harus hati-hati, apalagi bila dengan enaknya mereka mengatai korban mereka yang marah dengan sebutan “baper” (bawa perasaan). Mungkin mereka bakalan komen begini:

“Enggak usah baper gitu, deh! B ajah. Gue ‘kan cuma bercanda. Abis elo,,,(lemot/terlalu serius/terlalu sensi/dll.), sih.”

Kenapa mereka harus hati-hati? Selain kemungkinan bakalan disumpahin kejedot ampe gegar otak kronis sama korbannya atau disakiti oleh mereka yang mau balas dendam, tipe ini juga berisiko mengalami kemandekan. Karena merasa udah paling pintar daripada yang lain, biasanya mereka malah enggak terpacu untuk memperbaiki dan mengembangkan diri. Padahal, mendiang Steve Jobs aja pernah ngomong gini:

“Stay hungry. Stay foolish.” (Jangan cepat puas. Jangan merasa sudah pintar.)

4. Orang pintar yang enggan kelihatan pintar.

Jenis ini juga terbagi dua lagi. Yang pertama, mungkin mereka hanya ingin merendah. Mereka merasa nggak ada gunanya juga pamer ke mana-mana atau bahkan masih merasa kurang pintar. Jadi, lebih baik mereka diam-diam mengembangkan diri, sampai saatnya mereka sudah cukup pede untuk unjuk gigi.

Yang kedua justru jenis yang paling berbahaya, yaitu yang diam-diam karena punya ‘agenda terselubung’ atau modus. Biarin aja banyak orang yang menganggap mereka bego, nggak ngerti apa-apa, dan diam saja pas di-bully. Justru ‘penyamaran’ mereka semakin sempurna berkat anggapan miring orang-orang tersebut.

Jangan senang dulu bila Anda merasa di atas angin karena pernah merendahkan orang lain, karena bisa saja balasan dari mereka akan lebih mengerikan. Ya, karena diam-diam mereka telah merencanakannya dengan super matang, termasuk menghitung jumlah ‘dosa’ Anda selama menyakiti mereka.

Pokoknya, tipe ini juga termasuk kalem dan hati-hati dalam berucap hingga bertindak.

5. Orang pintar…dengan tanda kutip. (Baca: “pintar”.)

Ada yang berusaha kelihatan pintar dengan cara-cara ‘ajaib’. Mulai dari sengaja dandan super rapi kayak karakter nerd/kutu buku di film-film – lengkap dengan kaca mata (padahal mata mereka masih sehat-sehat saja.) Ada yang sengaja bawa buku-buku tebal ke mana-mana. (Perkara itu buku beneran dibaca dan dimengerti, urusan belakangan.)

Begitu pula saat berdiskusi atau berdebat dengan orang ini. Entah kenapa, mendadak ragam definisi maupun istilah canggih, alias ‘kelas berat’ kayak tesis anak S2 keluar semua dari mulut mereka. Jika Anda termasuk orang awam dan langsung minder mendengarnya, wajar saja. Mungkin mereka sedang berusaha kelihatan pintar, alias mengidap ‘superiority complex’. (Duh, saya kok jadi ikutan, ya?)

Yang menggelikan bila terbukti bahwa mereka sebenarnya enggak ngerti-ngerti amat dengan semua jargon tersebut…atau bahkan salah menempatkannya pada konteks percakapan. Waduh.

Untuk yang satu ini, enggak usah benci-benci amatlah sama mereka. Biasa aja. Kalau peduli, bisa kita kasih tahu baik-baik bahwa mereka enggak perlu sedemikian rupa hanya buat bikin kita terkesan. Kalau enggak, diamkan saja.

Ada juga yang “pintar” karena “pemberian lebih” berupa indera ketiga. Nah, ada yang menggunakannya dengan niat menolong orang lain, ada yang malah menyalahgunakannya untuk mengambil keuntungan dari orang lain. Apa pun itu, buat saya percaya sama Tuhan tetap harus nomor satu.

Apakah semua orang bisa pintar? Bisa, meski mungkin kadarnya berbeda dan keahlian yang mereka kuasai juga tidak sama. Namanya juga manusia. Pasti ada ragamnya, dong.

Tapi, jangan harap semuanya bisa didapat dengan cara instan. Kebetulan, saya jadi ingat karakter kekasih dr. Reid (Matthew Gray-Gubler), dr. Maeve Donovan (Beth Riesgraf) dalam serial favorit saya, “Criminal Minds”(Awas, spoiler buat yang belum nonton episode ini!) Sebelum mati, Maeve sempet ngomong gini sama penjahatnya:

“Genious is hard work.” (Jenius itu hasil kerja keras.)

Orang pintar sih, banyak. Cuma, berapa yang benar-benar berkualitas hingga bermanfaat bagi orang lain, alias nggak cuma jadi bully yang tambah bikin keruh suasana?

Mau jadi orang pintar macam apa? Seperti biasa, selamat memilih dan bertanggung jawab.

R.