Categories
#catatan-harian #menulis #tips

“TIPS BILA DIKEJAR ANJING DAN KENYATAANNYA”

“TIPS BILA DIKEJAR ANJING DAN KENYATAANNYA”

Ini mungkin traumatis bagi yang tidak suka anjing. Buat yang suka mungkin akan sedih, kecuali bila tahu cara menanganinya.

Saya mendatangi satu kantor untuk urusan pekerjaan. Setiap selesai sesi, saya selalu keluar dari gedung dengan perasaan deg-degan. Mengapa demikian?

Seekor anjing berbulu cokelat yang selalu mangkal di bawah mobil sedan hitam yang terparkir di luar rajin menyalak setiap saya lewat. Entah kenapa. Para ahli ‘sahabat manusia’ ini bisa berpendapat bahwa saya telah masuk ke dalam ‘wilayah kekuasaan’-nya. Jadi, si doggy merasa terancam dengan kehadiran saya. (Ya’elah, memangnya saya mau ngapain, sih? Ke sana saja juga cuma seminggu sekali!)

Selama dua kunjungan pertama, saya masih aman-aman saja. Cukup ikuti pepatah “anjing menggonggong, kafilah berlalu” secara harafiah. Serius. Saya hanya melenggang santai sementara si anjing ribut menyalak dari bawah mobil, terutama karena saya sudah diyakinkan pak satpam bahwa si doggy cuma ‘menang gertak’ doang.

Merasa aman-aman saja, kunjungan ketiga saya juga pakai cara yang sama selesai sesi pagi itu. Eh, di luar dugaan, si anjing tidak hanya menyalak – tapi mendadak juga keluar dari bawah mobil dan mulai mengejar. Meskipun belum pernah punya anjing sendiri, saya cukup tahu bedanya anjing yang hanya mengajak main dengan yang beneran ingin mengejar.

Ekor si anjing kaku, tidak bergerak-gerak.

Apakah saya tetap bersikap cool? Sayangnya tidak.

“WAAAAA!!”

“GUKGUKGUKGUKGUK!!”

“TOLOOONG…!!” Silakan bayangkan sosok chubby berbaju kantoran (lengkap dengan sepatu hak tingginya) berlarian di lapangan parkir kantor orang lain dalam rangka menghindari manuver agresif si doggy. Jangan heran bila saya kemudian sukses menjadi tontonan – hiburan gratis lebih tepatnya – pagi itu untuk para satpam dan tukang parkir. Ada yang tertawa, ada juga yang berusaha membantu. Sayangnya, saya keburu panik.

“Bu, tenang, bu…jangan lari…”

“WAAAAA, TOLOOONG…!!”

Untunglah, akhirnya salah satu satpam berhasil menangkap dan menahan si anjing – pas sebelum pipa celana panjang saya tersambar moncongnya dan saya nyaris loncat ke atas kap mobil terdekat. Maklum, refleks.

Si doggy berbulu cokelat yang sebenarnya tampak lucu itu (kalau tidak menyerang) baru diam menurut – dan dengan muka takut – setelah kepalanya dipukul sama pak satpam. Hiks, sebenarnya saya malah jadi kasihan melihatnya. Tapi, mau bagaimana lagi?

Meski gemetaran, saya masih bisa pulang sendirian. Sempat cerita-cerita sama beberapa teman. Saran-saran yang saya dapat rata-rata sama: jangan panik, jangan teriak, jangan lari, dan…jongkok. (Lho??)

Penasaran, akhirnya malam itu juga saya iseng Google mencari tips seputar tindakan bila mendadak dikejar anjing. Inilah yang saya dapatkan:

  1. Jangan lari.

Oke, berhubung mereka berkaki empat, larinya pasti lebih cepat. Kata orang, semakin kita lari, mereka akan semakin mengejar.

Kenyataannya: sumpah, tadinya saya beneran hanya mau jalan. Masalahnya, saya sama sekali tidak mengira bahwa si anjing bakal memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan mulai mengejar.

Selain itu, ada tiga skenario terburuk yang langsung menghantui benak saat itu:

  • Kalau digigit, saya harus disuntik anti rabies. Belum lagi air liurnya yang mengandung najis itu. Hiiih…
  • Kalau hanya celana yang digigit, alamat harus belanja yang baru. (Saya malas.)
  • Saya tidak mau sampai harus menyakiti si anjing, bahkan atas nama membela diri. Misalnya: menendang, menimpuk dengan batu, hingga mengayunkan tas ke kepalanya. (Kalau sesama manusia, lain cerita.)

2. Bersikap tenang.

Menurut sumber yang saya baca, bila kita bersikap cuek, si doggy bakalan bosan dan berhenti mengganggu.

Kenyataannya: gara-gara dua kunjungan pertama saya masih aman-aman saja, yang namanya kejutan pasti bakal bikin siapa pun kelabakan. Makanya, pepatah lama yang saya pakai di atas tadi harusnya ditambahkan sedikit:

Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Wahai, kafilah. Pastikan anjing itu tidak menggonggong sambil menghampirimu.”

3. Hindari kontak mata dengan si anjing.

Sama saja bila berurusan dengan tukang gencet di sekolah dulu. Semakin kita berani menatap, semakin kita diganggu.

Kenyataannya: hah, boro-boro! Dia di bawah mobil, kapan pula kita saling lihat-lihatan?

4. Klaim wilayah Anda.

Kenyataannya: apanya yang mau diklaim kalau saya hanya ke sana seminggu sekali?

Masih banyak lagi sih, tips-nya. Cuma, berhubung saya masih selamat – alias tidak sampai tergigit – jadi cukup sampai di sini saja.

“Sebentar, Ibu ke sini tiap hari apa saja?”

“Selasa, Pak.”

“Oke.”

Hmm, sepertinya mereka akan mengungsikan si anjing dulu setiap kali saya datang. Waduh, jadi makin nggak enak hati, nih. Tapi, kalau adegan kejar-kejaran pagi itu di lapangan parkir difilmkan, kira-kira masuk genre mana, ya? Jeritan saya sih, lumayan buat dipakai di film horor. Hehe…

Mungkin ada juga yang menganggap saya penakut. Ah, biarin. Memangnya mereka sendiri seberani itu? Belum tentu. Anggap saja saya diingatkan mahluk berkaki empat dan berbulu cokelat itu untuk mulai berolahraga. Jadi, lain kali…

Sebentar. Lain kali?

Nggak. Pokoknya nggak ada lain kali. Jangan sampai kejadian lagi.

Amit-amit!

R.

Sumber pendukung:

http://www.kompasiana.com/ervipi/10-tips-ampuh-ketika-kamu-dikejar-anjing_54f3a8d6745513992b6c7d65

eyeondna.com (Gambar)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“DI PERSIMPANGAN JALAN…”

“DI PERSIMPANGAN JALAN…”

Akulah sosok yang dulu kau sayang,

sekaligus kau kendalikan

yang katamu anak kecil yang tidak tahu apa-apa

dan cengeng luar biasa

 

Akulah sosok yang kau tekan,

yang katamu tak pernah mendengarkan

Setelah semua yang kau lakukan,

bagimu akulah yang kau anggap pengkhianat

pergi melenggang

 

Begitu saja?

Ah, cerita lama

Dari dulu, tuduhanmu itu-itu saja

Selalu seluruh dunia yang membuatmu terluka

 

Akulah yang mungkin masih kau sayang,

namun kali ini tidak bisa lagi kau kendalikan

Kau tak mungkin tahu segalanya

Kau bukan tuhan

 

Mungkin aku memang keras kepala

Setidaknya, kini aku baik-baik saja

Tiada dendam, hanya mati rasa

Kau telah membunuh semua yang ada

hingga tiada lagi yang tersisa

 

Tiada benci

Lebih baik jalan sendiri-sendiri

daripada kau memaksa untuk kembali

masuk ke dalam hidupku lagi

mencederai damai

meracuni dengan rasa iri dan sakit hati…

R.

(Jakarta, 30 Juli 2016 – 21:35)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“ANTARA MENULIS DAN SAYA”

“ANTARA MENULIS DAN SAYA”

Boleh dibilang, saya sudah gandrung dengan menulis dari kecil. Pokoknya, pelajaran Bahasa Indonesia dan Inggris menjadi favorit saya waktu sekolah. (Makanya, sekarang saya juga menjadi pengajar Bahasa Inggris dan penerjemah selain menulis.) Paling suka dapat kado berupa buku tulis atau buku harian. Apalagi kalau cover-nya lucu, warna-warni dan bergambar animasi.

Di kelas dulu, kalau bisa menyelesaikan tugas dengan cepat, saya malah mengumpulkannya belakangan. Alasannya? Tentu saja biar bisa ‘colongan’ menulis di kelas selama sisa jam pelajaran berlangsung. Apa saja yang waktu itu saya tulis? Ya, terserah saya. Kadang puisi, kadang cerpen. Kadang curhatan tidak jelas. Bodo amat. Pokoknya, menulis bisa bikin saya lebih rileks dan tidak stres.

Entah kenapa, saya lebih suka menulis daripada berbicara. (Kemungkinan besar bakal banyak yang menganggap pernyataan ini tidak akurat, hehehe!) Terutama saat berdebat dan lawan bicara bersikap menyebalkan: enggan mendengar, selalu memotong ucapan saya, hingga merasa diri sendiri yang paling benar. Kalau sudah begitu, jangan heran bila saya jadi malas meneruskan pembicaraan. Biarlah mereka bebas mengira-ngira dan merasa sudah tahu segalanya tentang saya. Memang, emosi selalu berpotensi mengganggu semua panca indera dan menggelapkan perasaan.

Maka itulah, saya memutuskan untuk menulis saja. Sekalian mengeluarkan ‘suara-suara dari dalam kepala’, meski bukan berarti saya gila.

R.