Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Bara

Bara

Ada bara di balik dinginku.

Mungkin kau tak tahu.

Kau kira aku lemah dan mudah patah.

 

Ah, kau memang tak peka.

Kau sepelekan amarah, meski tak terasa membara.

Aku lelah meski belum menyerah.

 

Bara ini masih ada, meski belum membakar keluar.

Kau kira urusan sudah kelar,

meski hanya dengan menggampar.

 

“Perempuan tak mungkin marah,”

ejekmu, membuatku makin membara.

“Mereka penakut dan mudah kalah!”

 

Ah, baiklah.

Bara ini belum terasa.

Kau terlalu pongah,

mengira aku akan selalu terima begitu saja.

 

Kutunggu sampai kau lengah,

biarkan diri ini makin membara.

Kubiarkan kau gagal waspada.

 

Tidurlah, wahai lelaki jumawa.

Kau akan terkejut saat terbangun oleh amarah.

Bara ini telah menjelma neraka.

 

Aku, dengan dendam membara.

Kau, dengan kebengisan yang nyata.

Cinta?

Tiada guna.

 

Mereka bertanya,

mengapa amarah ini begitu membara.

Biar kutunjukkan semua luka,

hanya agar mereka percaya…

 

R.

 

(Jakarta, 8 Agustus 2015 – 23:00 – 00:00. Dari #puisimalam nulisbuku.com bertopik: “BARA”.) 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tersenyumlah

­Tersenyumlah,

saat cahaya berpendar

dari mata mereka yang bersinar,

meski diam-diam gemetar

menyembunyikan patahan hati dengan tegar.

 

Tersenyumlah,

saat mereka bertukar tatap dengan cinta.

Bukankah kau senang melihatnya bahagia?

Ini klise tapi nyata.

Tuhan memang ingin mereka bersama.

 

Tersenyumlah, sayang.

Saat ini, kau tak punya banyak pilihan.

Luka ini harus disembunyikan.

Suatu saat, akan ada yang datang

pengganti yang hilang

 

R.

(Jakarta, 31 Desember 2013)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“Dingin…dan Kosong…”

Hai, apa kabarmu?

Sudah lama kita tidak bertemu

Kangen juga dengan senda-gurau itu

meski entah artiku bagimu

atau kau bagiku

 

Hidup ini aneh, ya?

Tak selalu ada jawaban atas segala

Yang banyak malah tanda tanya

Kadang kita keburu kehabisan kata-kata

 

Apa maumu?

Kau tahu apa mauku

Mengapa kita harus bertemu?

Entah kenapa dengan masa-masa singkat itu

Rasanya semu

 

Mengapa kau kecewa?

Kau sendiri juga tidak pernah berjanji apa-apa

Mengapa aku yang harus berkorban untuk semua yang kau pinta,

hanya agar kau puas dan bahagia?

Kita bahkan belum kenal lama

 

Aku bukan mereka

yang mudah terbuai rayuan belaka

lalu kau campakkan begitu saja

atau pencari kesenangan semata

tanpa balas menuntut apa-apa

 

Bila bagimu aku hanya pembuang waktu berhargamu,

silakan simpan semua harapan kosong itu

Kamu tahu kemana harus berlalu

dan kapan saatnya berhenti mengganggu…

 

R.

(Jakarta, 10 Desember 2015 – 9:36)

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Bagaimana Jikalau…

Kau menuntut semua perhatian dari kekasihmu tersayang

seakan dia tidak butuh

hidupnya sendiri secara utuh

 

Ini standar ganda bagi yang merasa berhak

sambil perlakukan mereka bak cadangan

pilihan yang memungkinkan…

 

…hingga kau sendiri kewalahan

sulit berbagi waktu dan perasaan

tapi hai, inilah permainan

yang membuatmu kecanduan

 

Kau singkirkan mereka yang tak sesuai tuntutan

memilah-milah bak perabotan

Padahal, rumah saja kau tak punya

 

Bagaimana jikalau kekasihmu tahu semua aibmu?

Kuharap begitu

karena kau bebal

seperti anjing yang menguber ekor sendiri hingga kesal

Kau akan selalu gagal!

 

R.

(Jakarta, 14 Juli 2018 – 13:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Mau Sampai Kapan?

Mau sampai kapan?

Kita kerap mempersulit yang (harusnya) mudah

namun hobi menggampangkan masalah

pura-pura tidak ada yang salah

meski tanpa sadar, kita makin terpuruk dalam kalah

 

Mau sampai kapan?

Kita senang melempar gunjingan

ibarat mainan

namun racun penyebab permusuhan

Ah, selalu ada cara untuk menang dalam persaingan

 

Mau sampai kapan?

Kita ribut mencari kambing hitam

saling membuat sesama naik pitam

hingga amarah sulit padam

hati dan jiwa remuk-redam

tertumbuk lisan nan kejam

 

Mau sampai kapan?

Kita mencampuri urusan remeh orang lain tanpa henti

Halo, apa kabar diri sendiri?

Tiada yang suci

meski kerap kita merengek lebih cengeng dari bayi

 

Mau sampai kapan?

Lihat mereka

Di luar sana, banyak yang berusaha

mencari solusi tanpa banyak bicara

Tak perlu bukti, hanya tindakan nyata

bahkan tak perlu pengakuan dari siapa-siapa

 

Mau sampai kapan?

Waktu dan tenaga terbuang percuma

dengan mencaci-maki di media sosial

seakan tak takut hati akan kebal

atau otak yang bertambah bebal…

 

R.

 

(Jakarta, 18 Desember 2014)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Bah!

Aku lelah!

Semakin hari semakin resah

Terlalu banyak sampah

menggunung, tak tertampung, tak terbendung

menyesakkan dada

bau busuk tiada tara

 

Sumpah!

Aku mau muntah

Dimana-mana makin banyak sampah

Bantar Gebang tak lagi cukup, tak dapat menutup

Tak hanya benda dan sisa-sisa

namun yang keluar dari hati dan otak manusia

 

Ah, semakin banyak yang membuang sampah

Janji-janji palsu, omong-kosong para bedebah

Semua tak mau kalah

Jiwa-jiwa yang terbakar amarah

terus menyampah

tak kenal lelah

mulai dari menyampah dengan sumpah

hingga menyampah dengan sumpah-serapah

tanpa henti bagai air bah

BAH!

 

R.

(Jakarta, 30 September 2014)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Cinta? Bedebah!

Jangan lancang mengatasnamakan cinta

bila hanya napsu yang ada

dan ego yang selalu bicara

mulut penuh dusta

 

Dasar bedebah!

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Kejam

Aku tahu,

aku takkan kurus di bawah kakimu

Tidak ada yang secepat itu

Semua perlu waktu

 

Kau anggap aku pijakan

Mudah, tinggal kujatuhkan

Mungkin aku kejam

Kau yang mulai duluan

 

Aku tahu,

kau butuh merendahkan sesama

hanya agar kau tampak istimewa

seakan kau segalanya

 

Kau anggap aku tak berharga,

namun kau yang lupa berkaca.

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“AKU BERMIMPI MEMBUNUHMU”

“AKU BERMIMPI MEMBUNUHMU”

 

Kau tersenyum

Aku kalem

Kau ingin mencium

Kau kupentung

Kau pun berhenti tersenyum

 

Ah, terlalu keras?

Astaga, kau tewas!

Kenapa aku tampak puas?

Sorot mataku keras

Giliranku menyeringai buas

 

Matilah kau, tukang selingkuh

Maaf, harus kubunuh

Amarah membuat otak keruh

Matilah, tukang selingkuh

 

Matilah…

Matilah…

Matilah…

 

…dan aku terbangun

tanpa senyum…

 

Aduh.

 

R.

(Jakarta, 27 Juni 2018 – 12:15)

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“ATAS NAMA DENDAM”

“ATAS NAMA DENDAM”

1001 alasan kau kemukakan

atas nama dendam

yang penting ada pembalasan

agar dia selalu terkecam

 

“Dia bajingan.

Dia pikir dia pujaan.

Kenapa tidak mati saja?

Aku ingin bahagia.”

 

1001 alasan dan pemakluman

banyak pembenaran

kau terluka

harusnya dia juga

mata dibalas mata

semakin panas api angkara

 

bukan, bukan cahaya

semuanya buta…

 

R.

(Jakarta, 26 Juni 2018 – 15:30)