Ortu Mendampingi Anak Usia Dewasa: Memangnya Tidak Boleh?
Mungkin sudah banyak yang familiar dengan fakta ini: Kalau mau cari netizen Indonesia dengan komentar paling keji, silakan cek Twitter. Dari masalah remeh hingga besar, ada saja twit salty dengan tujuan mengejek atau merendahkan, sekaligus membuat si pengirim merasa “sedang mengangkat derajat mereka sendiri”. (Padahal … yah, silakan nilai sendiri.)
Mengapa saya menyinggung warga Twitter berkode +62? Salah satu media nasional Indonesia memuat berita tentang seorang ibu yang dengan sabar menunggui putrinya mengikuti UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) untuk masuk UGM (Universitas Gajah Mada). Keduanya datang berboncengan di motor dari Temanggung. Dalam foto, sang ibu dengan sabar duduk menunggui putrinya selesai mengerjakan ujian.
Sekilas berita ini terasa biasa, meskipun cukup banyak yang terharu atas ekspresi kasih sayang sang ibu. Buat saya biasa, mengingat dulu Mama pun pernah menemani saya mengerjakan ujian UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri – sebutan jauh sebelum UTBK dulu). Bukan saya yang meminta, Mama yang menawarkan untuk mengantar dan menunggui.
Namun, tak sedikit yang menyayangkan – dan bahkan mencela – putri sang ibu lewat komentar di Twitter. Mulai dari yang mengaku mengasihani si ibu yang sudah sepuh (“Memang anaknya nggak bisa pergi sendiri apa?”) hingga yang mengejek generasi putrinya yang menurut mereka “manja, lembek, dan tidak mandiri”.
Seperti biasa, netizen Indonesia memang paling gercep dan “kreatif” dalam berasumsi soal yang mereka lihat hanya dari permukaan. Ya, HANYA DARI PERMUKAAN.
Kuliah Semester 1 dan Separuh Semester 2 – Diantar-Jemput Ibu
Dulu saya malu mengakui fakta ini. Bukan apa-apa, saya masih ingat ledekan senior – dan bahkan beberapa teman seangkatan – saat mereka tahu Mama masih saja mengantar-jemput saya pada tahun pertama dan awal tahun kedua saya kuliah. Meskipun tidak semua yang terang-terangan menyebut saya sebagai “anak manja” dan “anak mami”, saya bisa merasakan energi negatif dari setiap komentar maupun senyum geli mereka yang mengejek. Bahkan, pertanyaan basa-basi macam “Emang nggak bisa pergi sendiri?” lazim terdengar.
Sama seperti kebanyakan mahasiswi tahun pertama yang mengalami transisi fase hidup, bodohnya saya ‘termakan’ ejekan mereka sehingga menjadi ‘gamang’. Saya jadi tidak mensyukuri perhatian Mama yang belum tentu didapatkan oleh anak-anak lain seusia saya waktu itu. Bahkan, penghiburan dari seorang teman sekelas yang ibunya sedang sakit parah saat itu juga tidak cukup meredakan emosi saya yang masih mudah tersinggung:
“Kalo gue jadi elo, gue akan seneng banget, By … punya nyokap yang masih sehat dan bisa meluangkan waktu bareng gue.”
Mungkin fakta ini tidak penting bagi mereka yang merasa sudah mendapatkan cukup bukti bahwa saya anak manja dan tidak mandiri. Kalau mandiri itu ya, pergi sendiri. Bisa naik bus atau kereta sendiri, bukannya diantar-jemput mami.
Mama saya memang aslinya suka jalan-jalan. Karena saat itu sedang break dari kerjaan kantor dan memutuskan untuk mencoba menjadi ibu rumah tangga (setelah dua dekade lebih berkarir sebagai sekretaris korporat), mengantar-jemput anak-anaknya – yang meski sudah bukan sosok-sosok cilik lagi – adalah bentuk petualangan beliau. Beliau ingin melihat sisi hidup anak-anaknya di luar rumah, mulai dari tempat kuliah/kantor hingga tempat nongkrong.
Bahkan, Mama mungkin juga ingin sedikit bernostalgia dan menikmati melihat perubahan sosok dan hidup anak-anaknya. Yang dulu masih bayi, digendong-gendong, hingga menjadi anak kecil yang suka berlarian – sampai akhirnya lulus sekolah/kuliah dan bekerja. Salahkah keinginan beliau ini? Mengapa waktu itu saya malah melarangnya, hanya karena termakan ucapan sebagian orang baru yang kenal saya saja tidak? Apa iya semua orang tua harus di rumah saja, tidak boleh bersenang-senang dengan cara ini karena selalu diasumsikan sudah jompo dan tidak kuat jalan jauh dan lama-lama? Namanya ageism, dong!
Lagipula, saya tidak pernah meminta diantar-jemput Mama. Bahkan, mereka yang pernah mengejek saya (meski, mungkin kalau di-call out sekarang, sudah banyak yang lupa atau mereka akan beralasan hanya bercanda dan saya yang baperan. Biasa banget, ‘kan?) tidak akan peduli kalau pada akhirnya saya sempat menyakiti perasaan Mama saat meminta beliau untuk berhenti mengantar dan menjemput saya di kampus. Buat mereka, saya adalah anak manja. Sekian.
Memangnya Tidak Boleh?
Sesudah semester satu, Mama memutuskan untuk berhenti mengantar-jemput saya ke kampus. Bukan, bukan karena permintaan saya hanya agar saya berhenti diejek dan diremehkan. Beliau memang akhirnya beneran lelah, sehingga memilih memberi saya uang transportasi untuk pulang-pergi. Apalagi, saat itu saya sudah mulai menghapal rute transport umum dari rumah ke kampus, berkat bantuan seorang teman yang sudah berpengalaman.
Memang, ejekan-ejekan itu kemudian berhenti. Namun, saya sudah terlanjur malas untuk berteman lebih dekat dengan mereka. Minat sudah hilang, mengingat mereka dengan enaknya menghakimi saya tanpa mau peduli cerita lengkapnya.
Saya juga tidak akan berterima kasih pada mereka, meskipun sekarang sudah bisa sendirian melanglang buana. Saya mandiri karena pilihan sendiri. Memang, mungkin benar … ada anak yang selalu merajuk, menuntut perhatian, dan antar-jemput dari orang tuanya, meskipun ortu lelah atau sibuk. Tapi, seperti pembelaan “Tidak Semua Laki-laki” setiap kali kasus pelecehan seksual dengan pelaku laki-laki dibahas, tidak semua anak usia dewasa yang ditemani ortunya datang ke suatu acara adalah anak manja yang tidak bisa atau enggan pergi sendirian.
Aidan Martin, penyanyi pop asal Newcastle, Inggris, bahkan datang ke audisi X Factor UK 2017 ditemani kedua orang tua serta beberapa temannya. Waktu itu usianya sudah 27 dan dengan bangganya dia menjawab saat diwawancara: “Mamaku dan aku sangat dekat!”
Oke, balik lagi ke soal ibu yang menunggui putrinya ikut UTBK. Buat yang mengejek si anak, coba pikir. Memangnya kalian siapa? Apa mereka butuh izin kalian untuk pergi bareng? Suka-suka si anak kalau memilih diantar ibunya. Suka-suka ibunya yang masih rela mengantar dan menunggui anaknya sendiri. Itu hak mereka. Toh, kalian juga tidak rugi apa-apa. Mereka yang bahagia, kalian hanya dengki belaka.
Bila komentar kalian lahir dari rasa iri karena tidak mendapatkan perhatian serupa dari orang tua sendiri, sekarang sudah bukan tabu lagi kok, bila mau terapi. Menurut saya, cara itu jauh lebih sehat daripada menjadi bully. Percayalah, ejekan kalian tidak akan membuat kalian terlihat seperti jagoan yang layak dapat pujian.
R.