Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Tak Ada Highlights untuk Tahun 2023 Ini

Kurasa hati ini lebih dari patah

oleh kekejian Zionis Israel.

Aku ingin kebebasan untuk Palestina

agar tiada lagi yang menderita.

 

Tak ada highlights untuk 2023.

Tidak, tidak saat dunia tidak berbuat banyak atas kekejaman yang ada.

Aku tak peduli semua prestasi pribadimu.

Apa yang harus dirayakan,

saat masih ada yang jadi korban genosida?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Catatan Akhir Tahun 2023

Catatan Akhir Tahun 2023

Mohon maaf, akhir-akhir ini aku sibuk luar biasa di dunia nyata. Inilah akibatnya bila fokus kita terpecah ke mana-mana. Satu ke pekerjaan, satu ke hobi, satu ke keluarga, satu ke teman, satu ke diri sendiri … dan seterusnya.

Bukan bermaksud mengeluh, namun kenyataannya … tahun 2023 cukup banyak kejutan yang bikin stres. Meskipun diawali dengan bisa nonton konser Hoobastank gratis di bulan Maret 2023, sisanya cukup … yah, begitulah.

Yang paling bikin shock sedunia mungkin bukan demam Coldplay yang tur keliling dunia. (Aku sampai tidak kebagian tiket nonton karena gagal ‘perang tiket’ di dunia maya. Ya sudah, memang bukan rezekinya!)

Israel kembali berulah dengan brutal menyerang Palestina berkali-kali. Awalnya, mereka sempat berhasil menarik simpati dunia dengan mengaku menjadi korban Hamas, sebuah organisasi militer perlawanan penjajah untuk Palestina.

Aku tidak akan membahas soal 7 Oktober 2023 panjang lebar di sini. Silakan cari sumbernya sendiri, asal jangan ikut termakan propaganda. Bagi yang sudah hidup cukup lama dan mengikuti sejarah, kita tahu bahwa Israel sudah cari gara-gara dengan Palestina sejak 1948.

Mungkin karena sudah pernah jadi korban bullying dan melihat orang-orang hanya menonton, aku muak melihat yang terus terjadi di Palestina hingga kini. Untuk pertama kalinya, kukirim video ini sebagai bentuk dukunganku pada mereka:

IMG_1905 

 

#IstandWithPalestine #FreePalestine #CeaseFireNow

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Hanya Satu Jenis Perdebatan yang Akan Kuladeni

Aku ingat saat masih bekerja di salah satu kantor lama. Seorang rekan kerja lelaki mengeluhkanku begini:

“Elo harusnya tuh, lebih berani mempertahankan pendapat. Berdebat kek, jangan iya-iya aja.”

Waktu itu aku hanya diam. Bukan apa-apa. Kalau berdebat, aku asli milih-milih. Pilihanku berdasarkan tiga (3) kemungkinan di bawah ini, seperti:

  1. Apa tujuan orang itu ngajak debat? Kalau hanya karena mau cari lawan debat untuk mengurangi kebosanan hidup mereka, tentu saja aku ogah meladeni.
  2. Apakah dia sedang mencari pembuktian dan pengakuan kalau dia lebih cerdas dariku? Kalau itu alasannya, aku mah, skip Malas rasanya kalau sampai harus kasih makan ego orang yang gila validasi.
  3. Apakah dia tengah mencari teman diskusi sungguhan, agar bisa sama-sama menemukan solusi suatu masalah? Nah, hanya yang ini yang beneran mau kuladeni.

Sayangnya, kita nggak bisa selalu memilih begini di dunia nyata. Tentu saja, apalagi termasuk urusan pekerjaan. Suka gak suka, kadang kita harus menekan perasaan kita dan menahan diri terhadap manusia menyebalkan – atas nama profesionalisme.

Pokoknya, selama mereka bukan pelaku kekerasan – apalagi kekerasan seksual – hadapi saja dengan berani.

 

Standar Ganda Gak jelas

Maka, aku pun memenuhi permintaan si rekan kerja lelaki. Di satu rapat berikutnya, aku mulai berani mendebat. Tentu saja, aku tidak mau asal debat. Aku melakukan riset dulu sebelum mendebat demi mempertahankan ideku.

Namun, apa yang kemudian terjadi? Si rekan kerja lelaki malah merajuk kayak anak kecil.

“Gue gak ada maksud mau ‘mematikan’ ide kalian, kok.”

Lha, kok malah jadi dia yang baper? Jujur, saat itu aku antara mau ketawa sekaligus dongkol. Katanya aku harus berani mendebat. Eh, yang minta begitu ternyata malah nggak siap.

Mungkin memang benar kata pepatah ini: “Berhati-hatilah dengan keinginanmu.” Bisa jadi kamu nggak siap saat akhirnya kejadian beneran.

Untunglah, aku sudah lama tidak sekantor lagi dengan lelaki itu. Memang, aku nggak akan seratus persen bebas dari manusia-manusia gila hormat di dunia ini. Tapi, setidaknya aku masih bisa mengurangi / membatasi interaksiku dengan mereka. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara pemberani dan pengecut, ya.

Ini masalah memilih prioritas. Sayang bila waktu dan tenaga habis percuma, hanya gara-gara dipaksa meladeni tukang debat gila hormat. Ya, nggak?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

‘Lebih Baik A atau B?’ Itu Pertanyaan Tendensius

Jika pertanyaan semacam ini main-main belaka, mungkin aku takkan menanggapinya secara negatif. Misalnya: “Mendingan makan es krim pake french fries atau es krim campur pop corn?” Suka-suka yang milih dan bahkan bisa memancing canda dan tawa. Bahkan, boleh jadi satu-satu beneran akan mereka coba.

Namun, bila isu yang dibahas cenderung serius dan kompleks, rasanya pertanyaan “Pilih Mana?” terkesan … tidak adil dan tendensius. Bahkan, banyak yang jelas-jelas memanfaatkannya untuk memancing keributan di media sosial (rage farming) serta memanipulasi orang untuk terpaksa memilih salah satu – padahal bisa jadi malah nggak sreg sama keduanya.

 

Rage Farming – Usaha Penggiringan Opini Dengan Menebar Kebencian

Banyak cara untuk mencari perhatian orang di dunia maya. Salah satunya (dan yang paling sering dipakai banyak orang) adalah rage farming. Rage farming juga lazim dilakukan lewat pertanyaan semacam “Pilih Mana?” atau pernyataan yang membandingkan satu hal sekaligus menjatuhkan satu hal lainnya. Misalnya:

“Pilih mana: cowok ganteng tapi kere atau jelek tapi tajir?”

“Lebih baik single tapi tajir atau nikah tapi melarat?”

Bahkan, ada yang langsung bikin pernyataan yang jelas-jelas mengunggulkan satu pihak dan menjatuhkan satu pihak lain, seperti:

“Perempuan sempurna bukanlah yang bertitel S1, S2, maupun S3, tapi yang akhlaknya saleh dan mengutamakan keluarga.”

Duh, gak usah diterusin, yah? Apalagi kalo yang nulis / ngomong gitu laki-laki. Gak enak baca / dengernya. Meskipun ngakunya ‘hanya berpendapat’, jelas banget tujuan utamanya tetap ingin mengkerdilkan prestasi perempuan. Ngapain coba? Justru malah menunjukkan keminderan / ketidakmampuan yang menulis / berpendapat demikian. Niat banget gitu, mau jatuhin satu pihak hanya karena gak suka?

 

Pertanyaan Tendensius

“Lebih baik A atau B?” itu pertanyaan tendensius bagiku. Mengapa demikian? Pastinya ada salah satu yang harus ‘dijatuhkan’ demi mengunggulkan pihak lain. Kenapa apa-apa perlu perbandingan segala, bahkan sampai ekstrim? Kurang percaya dirikah dengan pilihan sendiri?

Selain itu, kenapa hobi banget (berusaha) membatasi pilihan hidup orang? Bila kedua pilihan dalam pertanyaan ini sama-sama tidak enak, harusnya boleh dong, kita memilih yang lain lagi – di luar pertanyaan itu?

Kalo ternyata nggak boleh milih selain dua pilihan dalam pertanyaan tendensius macam ini, mending nggak usah milih sekalian. Toh, bukankah tidak memilih juga sebuah pilihan?

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Malas Berdebat Bukan Berarti Pengecut

Malas Berdebat Bukan Berarti Pengecut

Ada yang bilang, semakin tua bisa berarti salah satu dari dua (2) kemungkinan di bawah ini:

  1. Semakin keras kepala dalam berdebat.
  2. Semakin malas berdebat, kecuali kala terdesak.

Bila kamu termasuk golongan pertama, maka sebisa mungkin aku akan enggan berurusan denganmu. Aku termasuk yang kedua, karena akhir-akhir ini aku semakin malas buang-buang waktu.

Mungkin banyak yang akan menyebutku pengecut atau orang yang “tidak bisa menerima perbedaan pendapat” alias “tidak mau berpikiran terbuka” (close-minded). Padahal, aku lebih suka berdiskusi untuk memecahkan masalah bersama, ketimbang saling ngotot karena merasa (paling) benar – lalu buntutnya malah musuhan.

 

Gaslighting Manusia Kurang Kerjaan

Kadang aku suka geli mendengar klaim mereka yang begitu seenak hati. Pasalnya, mereka dengan enteng sengaja memelintir kalimat sesuai kebutuhan mereka.

“Elo gak bisa menerima pendapat gue yang beda, berarti elo gak open-minded!”

Padahal kenyataannya, yang suka ngomong begini tuh, sebenarnya sangat manipulatif. Yang diajak ngomong sebenarnya bisa menerima pendapat mereka. Hanya orang yang berpikiran terbuka yang bisa begitu.

Namun, yang menuduh mereka “tidak berpikiran terbuka” sebenarnya hanya kesal karena pendapat mereka tidak disetujui. Padahal, kemungkinan pendapat mereka disetujui atau tidak – dengan alasan apa pun – tetap bisa terjadi. Memangnya mereka harus selalu benar?

Memangnya semua hal dalam hidup harus ada kaitannya sama mereka? Kalau sudah begini, siapakah yang sesungguhnya “tidak berpikiran terbuka” – termasuk menerima fakta bahwa tidak semua orang akan selalu setuju sama pandangan mereka?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Cara Mengatasi Perubahan Negatif Sikap Sahabat

3 Cara Mengatasi Perubahan Negatif Sikap Sahabat

Ada yang bilang, kejadian semacam ini biasanya terasa lebih berat saat kamu masih muda. (Contoh: masa remaja.) Kata mereka, semakin dewasa rasanya semakin mudah saja.

Pada kenyataannya, tidak selalu demikian. Apalagi bila sahabat ternyata tidak hanya sudah cukup lama berada di dalam hidupmu. Sahabat sudah dekat juga dengan teman-temanmu yang lain dan keluargamu. Makanya, saat ada masalah besar dan kalian saling menjauh, rasanya seperti kehilangan anggota keluarga. Lebih menyakitkan.

 

Penyebab Rusaknya Persahabatan

Ada banyak sebab perusak persahabatan, mulai dari yang remeh sampai serius. Yang pasti, kalau urusannya sudah sampai soal prinsip, saling ngotot juga tidak akan mendapatkan titik temu.

Yang pasti dibutuhkan kedewasaan semua pihak dalam persahabatan untuk “agree to disagree” (paham kalau kalian tidak akan selalu sepakat dalam segala hal).

 

Cara Mengatasi Rusaknya Persahabatan

Sayangnya, kamu tidak bisa mengendalikan semua hal dalam hidup. Bila ini yang terjadi, ada tiga (3) cara untuk mengatasinya:

  • Terimalah kenyataan.

Merasa sedih, marah, atau kecewa dengan perubahan negatif sikap sahabat itu wajar. Sama seperti urusan putus cinta, berpura-pura sahabat tidak pernah ada dalam hidupmu justru malah akan semakin menyakitkan.

Namun, hindari juga membiarkan perasaan sedih berlarut-larut. Ingat, hidup terus berjalan. Gak ada yang mau selamanya nungguin kamu berhenti merasa sedih dulu.

  • Pertimbangkan dulu matang-matang sebelum memutuskan untuk mengakhiri persahabatan selamanya.

Manusia memang mudah berubah hatinya. Yang kemaren ngaku sayang, hari ini bisa benci setengah mati. Yang dulu kompak, sekarang bisa berseberangan – dan bahkan sampai musuhan.

Bila mengikuti emosi, mungkin kamu bisa mengambil keputusan gegabah. Misalnya: memutuskan untuk mengakhiri persahabatan karena sakit hati. Wajar sih, tapi apa kamu yakin itu satu-satunya cara terakhir yang mau kamu ambil?

Bagaimana kalau ternyata masih ada cara untuk memperbaikinya? Bagaimana bila suatu hari, ternyata salah satu dari kalian – atau kalian semua – terpikir untuk menjalin kembali persahabatan?

Ya, semuanya mungkin saja, sih. Namun, pastikan bila ternyata persahabatan kalian benar-benar sudah tidak bisa dilanjutkan lagi, alasannya masuk akal. Contoh: sahabat berubah menjadi sosok yang berpotensi mengancam kesehatan mentalmu serta keselamatan nyawamu. Bukan lebay, lho.

  • Selain introspeksi diri, siapkan diri melangkah maju dengan cara elegan.

Jangan lupa introspeksi diri. Mungkin saja kamu juga punya andil dalam berakhirnya persahabatan kalian.

Namun, bila memang benar-benar sudah tidak bisa diperbaiki lagi, cukuplah berusaha tidak mengulangi kesalahan serupa dengan teman lain.

Melangkah maju dengan cara elegan bisa kamu mulai secara bertahap. Gak perlu menjelek-jelekkan mantan sahabat atau pun mengumbar semua ‘rahasia kotor’-nya ke semua orang karena dendam.

Kamu bisa memilih menyibukkan dirimu, seperti layaknya orang yang baru putus cinta. Kamu bisa fokus pada pekerjaan, ibadah, keluarga, dan teman-temanmu yang lain, hingga pasangan. (Kalau ada).

Hidup terus berjalan. Orang-orang datang dan pergi, termasuk (yang merasa ingin atau sudah jadi) sahabat (yang katanya sejati). Tak ada yang abadi. Semoga kamu tetap bisa berbahagia, meski tak lagi sejalan dengan sahabat.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Kadang Beranjak Pergi Lebih Baik

Kadang beranjak pergi lebih baik

“Choose your battles wisely.” (Tidak semua perdebatan harus kamu menangkan.)

 

Aku seorang pemarah. Ini pengakuan jujur. Ada yang bilang, ini terkait zodiakku: Scorpio.

Jujur, aku nggak begitu percaya kalau zodiak bisa mengendalikan perilaku kita. Lagipula, bukankah manusia selalu punya pilihan? Ngomong-ngomong soal pilihan, dulu pilihanku lebih banyak langsung bereaksi marah. Mau itu balas mengejek atau membentak, pokoknya wajib membela diri setiap kali (merasa?) diserang.

Awalnya, cara ini terkesan keren. Apalagi, kulihat banyak orang seperti ini yang kemudian ditakuti.

 

Lalu, Apa yang Kemudian Mengubahku?

 

Lama-lama rasanya melelahkan juga. Bukan apa-apa. Sebenarnya, aku sangat benci marah-marah. Aku tidak suka dibentak-bentak atau dihina, apalagi di depan umum. Apalagi, pelakunya sama sekali tidak berminat mendengarkanku. Pokoknya, yang penting bentak-bentak saja dulu. Peduli setan bila yang dibentak-bentak kemudian sakit hati. Peduli amat kalau kemudian mereka dicap sok ngatur, sombong, dan sok paling beres sejagad!

Aku tidak mau seperti mereka. Membayangkan kemungkinan itu saja sudah sangat menjijikan.

Namun, aku juga masih ingin membela diriku saat diserang. Apalagi bila pelakunya seperti punya sentimen / dendam pribadi, hingga terus melakukannya setiap kali melihatku. Entah untuk apa. Mungkin memang ada orang ‘sakit’ yang baru bahagia sekali bila bisa menyakiti orang lain.

 

Tidak Semua Pencari Ribut Layak Dapat Perhatian

 

Begitu menginjak usia 35 ke atas, aku mulai bisa memilih. Ada yang masih kuladeni, sementara sisanya lebih banyak kudiamkan. Coba tebak? Rasanya lebih damai. Berkurang deh, stres karena drama. Memang benar nasihat teman tersebut. Tidak semua perdebatan – apalagi yang cetek tapi sangat mengganggu – harus kamu menangkan.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Ortu Mendampingi Anak Usia Dewasa: Memangnya Tidak Boleh?

Ortu Mendampingi Anak Usia Dewasa: Memangnya Tidak Boleh?

Mungkin sudah banyak yang familiar dengan fakta ini: Kalau mau cari netizen Indonesia dengan komentar paling keji, silakan cek Twitter. Dari masalah remeh hingga besar, ada saja twit salty dengan tujuan mengejek atau merendahkan, sekaligus membuat si pengirim merasa “sedang mengangkat derajat mereka sendiri”. (Padahal … yah, silakan nilai sendiri.)

Mengapa saya menyinggung warga Twitter berkode +62? Salah satu media nasional Indonesia memuat berita tentang seorang ibu yang dengan sabar menunggui putrinya mengikuti UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) untuk masuk UGM (Universitas Gajah Mada). Keduanya datang berboncengan di motor dari Temanggung. Dalam foto, sang ibu dengan sabar duduk menunggui putrinya selesai mengerjakan ujian.

Sekilas berita ini terasa biasa, meskipun cukup banyak yang terharu atas ekspresi kasih sayang sang ibu. Buat saya biasa, mengingat dulu Mama pun pernah menemani saya mengerjakan ujian UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri – sebutan jauh sebelum UTBK dulu). Bukan saya yang meminta, Mama yang menawarkan untuk mengantar dan menunggui.

Namun, tak sedikit yang menyayangkan – dan bahkan mencela – putri sang ibu lewat komentar di Twitter. Mulai dari yang mengaku mengasihani si ibu yang sudah sepuh (“Memang anaknya nggak bisa pergi sendiri apa?”) hingga yang mengejek generasi putrinya yang menurut mereka “manja, lembek, dan tidak mandiri”.

Seperti biasa, netizen Indonesia memang paling gercep dan “kreatif” dalam berasumsi soal yang mereka lihat hanya dari permukaan. Ya, HANYA DARI PERMUKAAN.

Kuliah Semester 1 dan Separuh Semester 2 – Diantar-Jemput Ibu

Dulu saya malu mengakui fakta ini. Bukan apa-apa, saya masih ingat ledekan senior – dan bahkan beberapa teman seangkatan – saat mereka tahu Mama masih saja mengantar-jemput saya pada tahun pertama dan awal tahun kedua saya kuliah. Meskipun tidak semua yang terang-terangan menyebut saya sebagai “anak manja” dan “anak mami”, saya bisa merasakan energi negatif dari setiap komentar maupun senyum geli mereka yang mengejek. Bahkan, pertanyaan basa-basi macam “Emang nggak bisa pergi sendiri?” lazim terdengar.

Sama seperti kebanyakan mahasiswi tahun pertama yang mengalami transisi fase hidup, bodohnya saya ‘termakan’ ejekan mereka sehingga menjadi ‘gamang’. Saya jadi tidak mensyukuri perhatian Mama yang belum tentu didapatkan oleh anak-anak lain seusia saya waktu itu. Bahkan, penghiburan dari seorang teman sekelas yang ibunya sedang sakit parah saat itu juga tidak cukup meredakan emosi saya yang masih mudah tersinggung:

“Kalo gue jadi elo, gue akan seneng banget, By … punya nyokap yang masih sehat dan bisa meluangkan waktu bareng gue.”

Mungkin fakta ini tidak penting bagi mereka yang merasa sudah mendapatkan cukup bukti bahwa saya anak manja dan tidak mandiri. Kalau mandiri itu ya, pergi sendiri. Bisa naik bus atau kereta sendiri, bukannya diantar-jemput mami.

Mama saya memang aslinya suka jalan-jalan. Karena saat itu sedang break dari kerjaan kantor dan memutuskan untuk mencoba menjadi ibu rumah tangga (setelah dua dekade lebih berkarir sebagai sekretaris korporat), mengantar-jemput anak-anaknya – yang meski sudah bukan sosok-sosok cilik lagi – adalah bentuk petualangan beliau. Beliau ingin melihat sisi hidup anak-anaknya di luar rumah, mulai dari tempat kuliah/kantor hingga tempat nongkrong.

Bahkan, Mama mungkin juga ingin sedikit bernostalgia dan menikmati melihat perubahan sosok dan hidup anak-anaknya. Yang dulu masih bayi, digendong-gendong, hingga menjadi anak kecil yang suka berlarian – sampai akhirnya lulus sekolah/kuliah dan bekerja. Salahkah keinginan beliau ini? Mengapa waktu itu saya malah melarangnya, hanya karena termakan ucapan sebagian orang baru yang kenal saya saja tidak? Apa iya semua orang tua harus di rumah saja, tidak boleh bersenang-senang dengan cara ini karena selalu diasumsikan sudah jompo dan tidak kuat jalan jauh dan lama-lama? Namanya ageism, dong!

Lagipula, saya tidak pernah meminta diantar-jemput Mama.  Bahkan, mereka yang pernah mengejek saya (meski, mungkin kalau di-call out sekarang, sudah banyak yang lupa atau mereka akan beralasan hanya bercanda dan saya yang baperan. Biasa banget, ‘kan?) tidak akan peduli kalau pada akhirnya saya sempat menyakiti perasaan Mama saat meminta beliau untuk berhenti mengantar dan menjemput saya di kampus. Buat mereka, saya adalah anak manja. Sekian.

Memangnya Tidak Boleh?

Sesudah semester satu, Mama memutuskan untuk berhenti mengantar-jemput saya ke kampus. Bukan, bukan karena permintaan saya hanya agar saya berhenti diejek dan diremehkan. Beliau memang akhirnya beneran lelah, sehingga memilih memberi saya uang transportasi untuk pulang-pergi. Apalagi, saat itu saya sudah mulai menghapal rute transport umum dari rumah ke kampus, berkat bantuan seorang teman yang sudah berpengalaman.

Memang, ejekan-ejekan itu kemudian berhenti. Namun, saya sudah terlanjur malas untuk berteman lebih dekat dengan mereka. Minat sudah hilang, mengingat mereka dengan enaknya menghakimi saya tanpa mau peduli cerita lengkapnya.

Saya juga tidak akan berterima kasih pada mereka, meskipun sekarang sudah bisa sendirian melanglang buana. Saya mandiri karena pilihan sendiri. Memang, mungkin benar … ada anak yang selalu merajuk, menuntut perhatian, dan antar-jemput dari orang tuanya, meskipun ortu lelah atau sibuk. Tapi, seperti pembelaan “Tidak Semua Laki-laki” setiap kali kasus pelecehan seksual dengan pelaku laki-laki dibahas, tidak semua anak usia dewasa yang ditemani ortunya datang ke suatu acara adalah anak manja yang tidak bisa atau enggan pergi sendirian.

Aidan Martin, penyanyi pop asal Newcastle, Inggris, bahkan datang ke audisi X Factor UK 2017 ditemani kedua orang tua serta beberapa temannya. Waktu itu usianya sudah 27 dan dengan bangganya dia menjawab saat diwawancara: “Mamaku dan aku sangat dekat!”

Oke, balik lagi ke soal ibu yang menunggui putrinya ikut UTBK. Buat yang mengejek si anak, coba pikir. Memangnya kalian siapa? Apa mereka butuh izin kalian untuk pergi bareng? Suka-suka si anak kalau memilih diantar ibunya. Suka-suka ibunya yang masih rela mengantar dan menunggui anaknya sendiri. Itu hak mereka. Toh, kalian juga tidak rugi apa-apa. Mereka yang bahagia, kalian hanya dengki belaka.

Bila komentar kalian lahir dari rasa iri karena tidak mendapatkan perhatian serupa dari orang tua sendiri, sekarang sudah bukan tabu lagi kok, bila mau terapi. Menurut saya, cara itu jauh lebih sehat daripada menjadi bully. Percayalah, ejekan kalian tidak akan membuat kalian terlihat seperti jagoan yang layak dapat pujian.

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Yang Tak Terlihat …

 

Foto: https://unsplash.com/photos/xdGigMgUwaQ

Yang Tak Terlihat …

Coba bayangkan situasi ini:

Seorang lelaki dan perempuan pergi makan berdua di resto. Resto-nya mewah dan mahal. Saat selesai, si lelaki inisiatif berdiri dan menghampiri meja kasir untuk membayar. Si perempuan tetap duduk menunggu di meja.

Tak lama kemudian, keduanya beranjak meninggalkan resto. Sekilas, pemandangan itu terlihat biasa saja.

 

Yang tak terlihat:

Ada beberapa skenario yang memungkinkan. Pertama, bisa saja sebenarnya itu bukan uang si lelaki, melainkan si perempuan. Perempuan itu telah memberikannya kepada si lelaki sebelum mereka tiba di resto. Entah apa tujuannya, paling hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.

Kedua, jika kamu melihat si perempuan tengah mengecek ponselnya sembari menunggu lelaki yang sedang di meja kasir, bisa jadi dia tengah mengakses m-banking dan membayar bagiannya dengan cara mentransfer uang ke akun si lelaki. Makan berdua ‘kan, nggak berarti harus si lelaki yang bayar terus. Siapa tahu mereka bukan pasangan.

Kalau pun pasangan, siapa tahu mereka lagi memutuskan untuk bayar patungan. Bisa juga saling gantian bayarin.

Pokoknya, banyak deh, kemungkinan yang bisa terjadi.

 

Kenapa aku tiba-tiba menulis soal ini? Seperti biasa, aku ingin menantang persepsi kita semua. Benarkah selama ini kita telah melihat segalanya dengan utuh? Ingat, bisa jadi persepsi dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan latar belakang budaya.

Yakin tidak ada cerita lain di balik yang kita lihat? Mau cari tahu? Eits, kata siapa harus?

R.

Categories
#catatan-harian #lomba #menulis

Personal Branding #NaikLevel: Harus Konsisten Meskipun Sibuk

Sebelum bercerita, izinkan saya sedikit mengaku dosa:

Kesibukan saya di dunia nyata (yaitu pekerjaan purnawaktu utama) sempat membuat saya membiarkan blog ini terbengkalai. Bahkan, hanya sesekali saya menulis di blog ini. Itu pun hanya berupa cerita fiksimini untuk menjawab tantangan menulis di Instagram.

Apakah lantas saya tidak serius sama sekali dalam menggarap blog ini? Belum tentu. Apalagi demi personal branding. Tentu saja saya ingin #NaikLevel bersama Rumahweb. Apalagi, Hosting di sini murah dan mudah.

Awal Mula Saya Menulis Blog:

Jujur, awalnya saya tidak pernah terpikir untuk mempunyai domain blog sendiri seperti sekarang ini. Saya memilih menulis blog untuk senang-senang. Ya, curhat soal masalah sehari-hari hingga mendokumentasikan kejadian menarik yang saya lihat. Hitung-hitung latihan menulis setiap hari agar terbiasa.

Awalnya saya hanya menulis di blog dalam bahasa Inggris. Saya juga tengah berlatih menulis dalam bahasa tersebut, sembari mencari teman internasional yang seminat di dunia maya. Makanya, blog saya setting terbuka untuk publik. Meskipun tidak blak-blakan bercerita tentang jati diri saya sebenarnya, waktu itu saya belum terlalu paham maupun sadar akan bahaya ‘terlalu terbuka’ di ranah digital.

Beruntunglah, selama ini saya mendapatkan kenalan yang cukup baik di dunia maya. Ada beberapa yang jadi teman beneran dan ada yang cukup dekat secara personal selama beberapa waktu. Namun, tak ayal, ada juga yang tidak suka dan menganggap tulisan saya sampah. Ah, sudahlah. Namanya juga sudah risiko.

Berlanjut ke Blog Bahasa Indonesia:

Namun, lama-lama saya merasa karir menulis mandek meskipun sudah menulis banyak entri berbahasa Inggris. Saat itu, saya mulai melirik blog-blog berbahasa Indonesia yang mulai menjamur. Bahkan, makin tergelitik saat melihat banyak penulis Indonesia yang berhasil menerbitkan buku sendiri berkat blog mereka yang banyak dibaca orang.

Contoh: Trinity dengan kisah-kisah traveling-nya yang unik. Ada juga Bena Kribo dan masih banyak lagi. Jujur, saya juga sangat ingin seperti mereka. Punya buku sendiri yang dibaca banyak orang dan tulisan-tulisan saya disukai mereka. Masalahnya?

Pertama, saya merasa tidak istimewa. Diri dan kisah hidup saya biasa-biasa saja. Saya juga bukan orang yang suka melucu. Bahkan, banyak yang (pernah saya bikin keki) bilang kalau saya orangnya terlalu serius dan kaku. Saya terbilang lemot menanggapi bercandaan. (Padahal, yang bilang begini kemudian terbukti jauh lebih sensitif dan baperan daripada saya, hehehe.)

Sempat Tidak Konsisten Hingga Mengabaikan Blog Ini

Jika ada yang bertanya mengenai ciri khas tulisan saya, hanya ada satu kata: JUJUR. Saya tidak tahu cara mengesankan orang banyak. Saya benci berpura-pura. Saya tidak mau sok edgy dengan selalu menulis yang gelap-gelap dan marah-marah terus. Saya juga tidak mau sok asik dan melucu.

Sejak dulu, itulah personal branding yang kubawa. Kadang saya bisa melucu, meskipun bukan komedian profesional. Kadang saya tidak mau berpura-pura bahagia dan memilih menulis apa adanya. Sedih ya, sedih. Bahagia ya, bahagia. Bukankah wajar bila manusia sesekali merasakan salah satu atau keduanya sekaligus?

Maka itulah, sekali lagi saya ingin mengaku dosa:

Saya sempat tidak konsisten, bahkan hingga mengabaikan blog ini. Selain mencoba peruntungan menulis di platform lain, saya juga sibuk dengan kerjaan utama, lepasan, serta proyek lain di dunia nyata. Akibatnya, saya sempat beberapa kali kelelahan dan blog ini pun terbengkalai. Sayang, sudah dibayar tidak rajin diisi juga.

Berusaha Kembali Konsisten Menulis Blog

Pandemi 2020 menyadarkan saya bahwa sudah saatnya saya kembali menulis blog. Sudah saatnya saya kembali memperkuat personal branding saya, yaitu sebagai penulis isu perempuan, fiksi, dan puisi. Hanya dengan cara itu saya bisa #NaikLevel , terutama dengan blog ini yang sudah saya miliki dari Rumahweb sejak 2016. Hosting Murah dan caranya juga mudah. Silakan dicoba.

Semoga tulisan ini dapat menjadi pembakar semangat saya untuk kembali konsisten menulis blog, meskipun di tengah kesibukan yang kembali menggila. Aamiin …

R.