“DI MATAMU”
Di mataku, kamu sosok yang membingungkan. Ada kalanya kamu membuatku lelah, namun aku belum ingin menyerah.
Ada kalanya, kamu tersenyum ramah padaku, sama seperti pada semua orang. Bagiku, dunia menjadi lebih cerah berkat senyummu yang merekah. Tapi…ah, dasar sial. Aku takut kamu menganggapku gombal.
Siapa yang telah menyebabkanmu berpikir demikian? Mengapa sepertinya sulit bagimu untuk percaya akan tulusnya pujian?
Sesekali sorot matamu masih tampak jauh. Ada kalanya, kamu gagal menyembunyikan luka. Jika sedang begitu, senyummu berubah kaku.
Ada amarah dan pedih yang beku di matamu. Setiap ditanya, kamu hanya mengangkat bahu. Kadang kamu menggeleng dan menjawab: “Nggak apa-apa.”
Kusadari juga sikap beberapa temanmu. Ada yang bermata elang, menatapku curiga. Gerak-gerikku diawasi dengan sedemikian rupa, terutama saat berada terlalu dekat denganmu.
Mereka berusaha menjagamu, entah kenapa. Padahal, kuyakin kamu tidak serapuh itu.
“Sekalinya lengah, perempuan selalu lebih mudah dipermainkan,” ucapmu geram. “Begitu kalah, tetap perempuan yang akan selalu disalahkan!”
Ah, pedihnya nada suaramu. Mungkin karena itulah, malam itu kamu begitu murka. Selepas acara pembacaan puisi dan cerpen yang kita ikuti setiap minggu, acara kumpul bersama berakhir bencana.
Aku menyesal. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin menciummu saat kita berdua sedang di dapur. Sentimental ala film Hollywood. Kamu langsung sadar dan mendorongku.
“Mundur.” Astaga, suaramu sedingin es. Tanpa menunggu responku yang sedang shock, kamu langsung kabur. Meninggalkan acara begitu saja, tak peduli panggilan dari teman-temanmu:
“Lho, Bri?? Kok pergi??”
— *** —
Kamu benar-benar marah. Tidak satu pun telepon dariku yang kamu jawab. Pesan WA dariku juga tidak kamu balas.
Kamu juga menolak duduk dekat denganku setiap acara mingguan itu. Kamu enggan menatapku. Bila terpaksa, kamu seperti menatap mahluk paling hina di matamu. Jujur, aku tidak tahan dianggap begitu. Sama tidak tahannya dengan mendengarmu berdebat dengan teman-temanmu sendiri soal aku. Suaramu meninggi, sarat oleh emosi:
“Okay, fine! Gue yang parno dan lebay kalo gitu, ya?”
Aku harus tahu dari teman-temanmu mengenai yang pernah terjadi. Dari mereka, kutahu soal laki-laki itu. Sosok di masa lalu yang pernah menyakitimu.
Meski berhasil menciummu, setidaknya kamu takkan sudi membiarkannya memaksamu untuk melakukan yang lebih dari itu. Ini bukan masalah moral bagimu. Dia meminta terlalu banyak. Kamu sudah menetapkan pilihan dan laki-laki itu sama sekali tidak menghargaimu.
Rasa kagum sekaligus sedihku bertambah untukmu. Kagum, karena dengan tegas dan berani kamu menampik laki-laki sialan itu. Kamu bahkan tidak takut ditinggal pergi.
Sedih, karena kamu jadi takut bahwa laki-laki hanya mengincar tubuhmu. Aku tidak begitu…
— *** —
Kamu menerima buket mawar putih dan boneka beruang besar berwarna cokelat muda di depan pintu rumahmu. Ada amplop tersemat di antara tangan boneka. Kamu duduk di beranda depan dan membukanya. Suratku kamu baca.
Lalu, kamu hanya memeluk boneka itu. Ada tetes-tetes air dari matamu.
Diam-diam kuamati dirimu dari salah satu mobil yang diparkir di depan rumahmu. Kulirik kotak kecil dari beludru biru di tanganku.
Cincin ini bisa menunggu. Saat ini, aku hanya butuh kamu menerima maaf dariku. Aku akan sabar menunggu, hingga saat kamu bisa melihatku seperti ini di matamu:
Briana, aku bukan laki-laki itu. Aku bukan sosok yang mau menyakitimu…
R.
(Untuk tantangan menulis mingguan “Monday Flash Fiction” dengan prompt #124: “Di Matamu”.)