Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tidak Semua

Tidak Semua

Terlalu sering kau beralasan serupa:

“Tidak semua…tidak semua…tidak semua…”

Maaf, argumen itu sudah kehilangan makna.

Apa artinya,

bila kekejian serupa terulang jua?

Kau anggap biasa,

bahkan bagian dari canda,

berhubung bukan kau korbannya.

Kau selalu baik-baik saja.

Tak perlu setiap saat ketakutan atau menderita.

Mana paham kau akan luka dan stigma?

“Tidak semua…tidak semua…tidak semua…”

Ya, ya, ya.

Hanya itu yang kau bisa,

membantah setiap tuduhan,

bahkan dengan bukti di tangan,

seakan kau merasa ikut dipersalahkan,

meski kau merasa bukan pelakunya.

Apa sulitnya menerima fakta?

Ya, memang tidak semua,

namun terbukti banyak yang kejam

terhadap perempuan, anak, binatang,

sesama lelaki…sebut saja.

Tak perlu berkilah dengan dua kata yang sama,

lagi-lagi yang itu-itu saja…

…namun lebih sering pura-pura buta,

memilih menutup mata,

alih-alih menegur dan melawan sesama,

mencegah, hentikan kekejaman yang ada.

Apalagi, bagimu korban bukan siapa-siapa.

Menurutmu, kau tak perlu turut serta menjadi pembela.

Tidak semua?

Percuma dikata, bila tak pernah berbuat apa-apa,

bahkan korban ikut kau cela…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Bukan (Selalu) Dendam

Foto: https://unsplash.com/photos/YpFtdLBNIvo

Bukan (Selalu) Dendam

Setiap salah jangan dianggap lumrah.

Bukan wajar, hingga korban diminta sabar.

Lelah diharap mengalah,

sementara yang salah makin kurang ajar.

Terlalu dangkal kau menyebutnya dendam.

Tidak bila sudah terlalu banyak.

Lama-lama korban pasti muak.

Jangan beri peluang.

Pelecehan tak boleh dibiarkan.

Jangan curang,

masih merasa berhak atas kebaikan,

sesudah korban terus kau hina-hina

sedemikian rupa.

Silakan.

Sebut ini dendam,

tapi mereka berhak atas keadilan,

sementara macam kau melenggang pongah,

lebih menjijikan daripada muntah!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Diam!

“………. -”

Apa?

“……………….. –”

Apa katamu?

“………………………… —”

Kamu tak bersuara.

“…………………………………. —-”

Apa yang hendak kamu bicarakan?

“………………………………………….. —–”

Kamu ngambek, ya?

“……….-“

Ah, kamu tak jelas maunya—

KAU YANG TAK PUNYA TELINGA!

KAU YANG BANYAK BICARA!

KAU LEBIH DENGARKAN MEREKA!

AKU SUDAH BERUSAHA,

TAPI KAU TERMAKAN FITNAH MEREKA!

BAH!!

KAU ANGGAP AKU CARI PERHATIAN,

MAHLUK BAPERAN!

PEDULI SETAN!!

SEKARANG DIAM!!!

DIAAAM!!!!

………………..

…..Diam (ssst…..)

Diam…..dan dengarkan.

Sekarang giliranku bicara.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tentang Topeng-topeng Lama

Tak perlu masker pelindung dari Corona,

masih banyak pengguna

topeng-topeng lama

sembunyi cacat di jiwa.

Kini mereka bisa

jadi siapa saja

dari aktivis hingga pemuka agama

bersama pendengar dan pengikut buta.

Mereka tampak baik luar biasa,

tiada cela di mata,

halus tutur bahasa,

rapi atur perilakunya.

Biar, biarkan saja

bermain peranlah mereka

dengan topeng-topeng lama

ilusi sempurna untuk dunia

berharap puji-puja

seakan mereka bersahaja.

Hanya Tuhan,

para korban

mata-mata awas

melihat sisi culas

di balik topeng-topeng lama

yang merapat, kian menyatu dengan wajah.

Tak rela kehilangan penggemar,

namun menipu tanpa malu.

Suatu saat,

semua topeng mereka akan retak.

Habis sudah siasat!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Jeda yang Terlalu Lama

Rasanya seperti menonton film di sinema

dengan proyektor kuno seadanya

18 frame per detik,

setiap adegan lamban, namun menggelitik.

Urusan tertunda.

Jadwal tinggal wacana,

meski ada yang berubah.

Demi aman, kata mereka,

banyak yang harus mengalah.

Dalam jeda yang terlalu lama,

apakah kamu baik-baik saja?

Apakah kamu sama sepertiku,

memeluk rahasia di balik pintu?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Suatu Hari Nanti

Sayangku, jangan bersedih.

Saat ini, anggap kita sedang diuji

banyak hal, termasuk untuk mandiri.

Berani berkawan dengan sepi,

meski kadang sesak oleh sedih.

Sayangku, simpanlah semua rindu

hingga nanti kita bertemu

tanpa takut akan virus itu

atau apa pun yang mirip hantu.

Hanya kau dan aku,

kembali bersatu.

Hingga saatnya nanti,

bertahanlah di masa kini.

Jadikan pandemi ini,

saat untuk tetap saling menghargai,

hingga waktunya bersama lagi.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Serius?

Tak perlu bertanya.

Biarkan air muka

bereaksi apa adanya.

Tanpa pura-pura,

termasuk palsukan tawa.

Memangnya kenapa?

Serius bukan dosa,

tidak seperti lelucon yang menghina.

Tak perlu memaksa.

Untuk apa menciptakan drama?

Tak perlu juga mengatur.

Wajah ini bukan papan catur.

Sebaiknya kau kabur,

karena ingin kulumat kau jadi bubur.

Serius.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Misoginis Luar Biasa

Misoginis Luar Biasa

Bodyshaming
Foto: freepik.com

Memuliakan, tapi menghina –

mulai dari rupa hingga busana.

Kecerdasan dianggap ancaman.

Wajah dibilang fitnah.

Ego sembunyi di balik agama

lewat dalil yang dimanipulasi

khusus menguntungkan kaumnya

Untuk apa menikah

bila salah satu dipaksa harus selalu mengaku salah

dan selalu jadi pihak yang kalah?

Yang ada hanya neraka

bertambah di dunia.

Korban dituntut sabar,

meski di rumah diperlakukan kasar

oleh pemilik hati barbar

dan otak bebal!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Pelanggar Kodrat?

Pelanggar Kodrat?

Ada masa-masa

bingung luar biasa

saat dianggap melanggar kodrat.

Wanita?

Ah, aku lebih suka sebutan perempuan.

Seperti biasa,

harus ini, harus itu.

Banyak sekali.

Sampai pusing kepala ini.

Tidak boleh ini dan itu,

seakan paling tahu

yang terbaik untukku.

Bah, berlebihan!

Aku sudah lelah dan muak, tahu?

Boleh suka olahraga,

tapi jangan sepak bola

atau apa pun yang dianggap ‘khas pria’.

Lebih baik jadi balerina

atau sekalian menari Jawa,

meskipun tari-tarian tidak dianggap setara

dengan olahraga

padahal sama-sama gerak badan

sampai berkeringat tak keruan.

Harus feminin.

Jangan tomboy,

apalagi sampai plek-plek maskulin.

Harus lembut bersuara,

halus tutur bahasa.

Tak boleh memaki,

meski kesal setengah mati.

Yang ada, pria malah lari.

Hiiih!

Hih!

Kenapa harus pura-pura,

hanya demi disukai pria?

Kenapa diri ini tak boleh apa adanya?

Aku masih suka pria,

meski lebih sering dikira suka sesama perempuan.

Ah, mereka tahu apa?

Soal kodrat,

aku enggan banyak kata.

Ini aku apa adanya.

Suka atau tidak,

itu urusan Anda!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Lagi-lagi Lelaki Pendengki

Lagi-lagi Lelaki Pendengki

Sumber: Isaiah Rustad

Cerita lama,

membosankan dan sama saja

lagi-lagi di dunia maya.

Lelaki pendengki yang berspekulasi

perempuan berpendidikan tinggi

bukan calon istri sejati.

Padahal,

dia-lah yang ngeri

ketakutan setengah mati.

Tiada yang lebih kerdil

dari lelaki bermental kecil

lalu berusaha membuat perempuan merasa bersalah

hanya agar dirinya tak perlu merasa kalah.

Hiduplah kau, wahai lelaki pendengki

dengan racun kebencian di hati,

karena tiada perempuan waras yang sudi

memanjakan egomu tanpa henti.

R.