Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Kisah Klasik Pembunuhan

Kisah Klasik Pembunuhan

Ini kasus pertamaku. Aku datang ke vila besar berlantai dua dengan kolam renang di halaman belakang. Malam itu, jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 11:45. Nyaris tengah malam.

Jenazah lelaki itu terkapar di ruang tengah, berlumuran darah. Permadani Turki yang mahal itu ternoda. Darah mulai mengering dari luka terbuka di perut lelaki itu.

Sang Istri yang tersedu-sedu sedang diwawancarai oleh Detektif Senior di ruangan lain. Tim Forensik sibuk memotret, menyapu berbagai permukaan untuk mencari dan mengumpulkan contoh sidik jari dan barang-barang bukti lainnya. Tim Pemeriksa Medis yang termasuk bagian dari Tim Forensik kemudian membawa jenazah ke laboratorium mereka untuk divisum lebih lanjut.

Katanya sih, usaha perampokan yang gagal total. Perampok Amatiran yang masuk terpergok Sang Suami (yang sekarang berstatus Almarhum atau Korban) dan mereka pun berkelahi. Pecahan kaca di dekat jenazah Sang Suami membuktikan bahwa kemungkinan besar senjatanya adalah salah satu potongan dari pecahan kaca yang ada. Lukanya agak terlalu lebar untuk pisau biasa.

Namun, berdasarkan laporan sementara Tim Forensik dan yang kulihat, ada yang janggal.

Pertama, kenapa hanya pintu belakang yang menuju kolam renang terbuka dan jendela besar di sampingnya yang pecah? Tembok di belakang terlalu tinggi untuk dipanjati dengan cepat. Kecuali ada manusia super di dunia nyata dan pelakunya pakai alat pendaki (niat banget!), terlalu mustahil untuk jadi jalur masuk dan keluar.

Kedua, hanya ada jejak kaki berdarah yang mengarah ke halaman belakang…dan berhenti pas di pinggir kolam renang.

“Dez, coba lihat ini, deh.”

Ben, salah satu anak Tim Forensik, menunjukkan foto-foto file rumah sakit terdekat. Kulihat Sang Istri sering sekali harus ke UGD (unit gawat darurat) di sana. Patah lengan. Kaki keseleo.  Hidung patah. Gigi tanggal. Mata lebam.

Semuanya tertulis: KECELAKAAN. Tapi kok, sering sekali, bisa sampai sebulan-dua bulan sekali selalu harus ke rumah sakit atau berobat ke dokter?

“Ben, aku mau nyebur dulu.”

“Hah?” Terlambat. Byur! Hanya berbekal senter tahan air, aku menyelam untuk menyinari lantai kolam renang. Tak peduli sudah tengah malam dan aku akan menggigil kedinginan…

Kisah Klasik Pembunuhan
Foto: unsplash.com

-***-

“Dez, kamu ngapain?” Detektif Senior bingung melihatku menggigil karena basah kuyup. Kutunjukkan sebilah besar pecahan kaca yang kutemukan di dasar kolam renang.

“Senjata pembunuhan.”

Mendadak Sang Istri tampak gugup. Kuperhatikan satu tangannya yang ternyata sedang diperban. Kutanya:

“Tangan Ibu kenapa?”

  • Selesai –

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Pelanggar Kodrat?

Pelanggar Kodrat?

Ada masa-masa

bingung luar biasa

saat dianggap melanggar kodrat.

Wanita?

Ah, aku lebih suka sebutan perempuan.

Seperti biasa,

harus ini, harus itu.

Banyak sekali.

Sampai pusing kepala ini.

Tidak boleh ini dan itu,

seakan paling tahu

yang terbaik untukku.

Bah, berlebihan!

Aku sudah lelah dan muak, tahu?

Boleh suka olahraga,

tapi jangan sepak bola

atau apa pun yang dianggap ‘khas pria’.

Lebih baik jadi balerina

atau sekalian menari Jawa,

meskipun tari-tarian tidak dianggap setara

dengan olahraga

padahal sama-sama gerak badan

sampai berkeringat tak keruan.

Harus feminin.

Jangan tomboy,

apalagi sampai plek-plek maskulin.

Harus lembut bersuara,

halus tutur bahasa.

Tak boleh memaki,

meski kesal setengah mati.

Yang ada, pria malah lari.

Hiiih!

Hih!

Kenapa harus pura-pura,

hanya demi disukai pria?

Kenapa diri ini tak boleh apa adanya?

Aku masih suka pria,

meski lebih sering dikira suka sesama perempuan.

Ah, mereka tahu apa?

Soal kodrat,

aku enggan banyak kata.

Ini aku apa adanya.

Suka atau tidak,

itu urusan Anda!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

Lagi Ngapain?

Lagi Ngapain?

“Lagi ngapain?”

Pertanyaan basa-basi ini mungkin sudah biasa dan normal bagi dua orang yang saling kenal lama – dan mungkin juga saling sayang. Contohnya:

Mama:

“Hari ini hujan deras. Kamu lagi ngapain?”

Saya:

“Lagi di kosan. Baru aja pulang.”

Namanya juga emak-emak. Wajar saja kalau saban hari ngecekin keberadaan anak-anaknya kalau lagi kangen. Gak peduli bila anak-anaknya sudah dewasa dan (relatif) bisa jaga diri sendiri.

Yang Bikin Ilfil

Sayangnya, basa-basi serupa justru malah bikin ilfil bila bukan dari orang yang tepat.

Sering banget denger keluhan dari banyak teman perempuan soal ini. Singkat cerita, begini masalahnya:

Kenalan sama cowok di aplikasi kencan / dating apps / media sosial – pokoknya online. Berdasarkan profil masing-masing, semula kayaknya mereka merasa saling cocok, gitu.

Sayangnya, pas mulai kontak-kontakan, cowok yang semula tampak menarik ternyata malah gak asik buat ngobrol. Habis, basa-basi seringnya kayak gini doang lewat DM / japri:

“Lagi ngapain?”

“Baru bangun.”

“Oh. Udah makan?”

“Kan barusan aku bilang baru bangun.”

“Oke, makan dulu, gih.”

(Padahal, yang disuruh udah bukan anak kecil lagi. Kalau lapar ‘kan tinggal ambil/masak/beli sendiri, terus, makan, deh. Habis perkara.)

Kelar makan:

“Udah makan?”

“Udah.”

“Makan apa?”

*krik…krik…krik…*

Nah, ngerti ‘kan, kenapa obrolannya jadi berasa garing banget? Yang keseringan ditanya basa-basi begini (apalagi tiap hari) pasti lama-lama bete, merasa diperlakukan seperti anak kecil.

Ini kabar buruk, Tuan-tuan sekalian. Jujur aja, kalo cara pedekate kalian kayak gini, semua perempuan yang pernah kalian suka bakalan cepat bosan. Gak usah nuduh mereka sombong, banyak maunya, dan gak mau kasih kalian kesempatan.

Coba kalau situasinya dibalik: ilfil gak kalo diajak ngobrolnya hanya kayak gini?

Lha, Terus Gimana?

Nih, saya blak-blakan aja, ya. Niat saya hanya ingin membantu kalian, wahai Tuan-tuan yang masih suka bingung mau ngobrol apa sama gebetan.

Biar obrolan (setidaknya) sedikit lebih lancar, silakan coba lima (5) saran di bawah ini:

  • Banyak cari referensi obrolan seru.

Hari gini, pedekate jangan modal rayuan basi, tapi juga gak perlu selevel Einstein, kok. (Ada juga cewek yang ilfil sama cowok yang hobi pamer kecerdasan.) Yang penting, Anda punya wawasan cukup luas. Bukan alasan males nyari atau bingung mulai dari mana, karena kalo mau cari-cari lewat Google sebenarnya banyak.

Percaya deh, lebih baik coba cara ini ketimbang selalu nanya apakah si dia udah makan apa belum.

  • Jangan hanya peduli dengan penampilan luar si gebetan.

Saran di atas khusus kalian yang beneran ingin mencari pasangan serius, ya. Okelah, saya gak bilang kalian gak boleh tertarik sama perempuan yang kalian anggep cantik atau menarik secara fisik.

Tapi, sebuah hubungan tidak akan bertahan lama bila kalian hanya peduli dengan yang ada di permukaan. Baca juga profilnya. Saya yakin, perempuan secantik supermodel pun akan bosan bila obrolan kalian hanya seputar check-in kayak absensi sama guru piket sekolah.

  • Coba variasikan obrolan.

Daripada cuma nanya udah makan apa belum, mending ajak si dia makan bareng aja sekalian. Anda juga bisa cerita Anda lagi suka atau habis makan apa. Tanyakan juga menu favoritnya, termasuk restoran dan lain-lain. Pokoknya, kembangin aja percakapan seputar topik kuliner ini.

Oke, ini hanya contoh. Intinya, biarkan percakapan mengalir apa adanya. Gak perlu dibuat-buat atau berlagak (paling) tahu segalanya. Jadi sendiri aja.

  • Gak usah merasa terancam dengan kecerdasan si dia.

Ini kesalahan yang banyak dilakukan laki-laki. Pas mulai ngobrol dengan perempuan incaran dan ternyata dia pintar, langsung deh, pada mundur teratur. Alasannya apa lagi kalo bukan minder dan merasa terancam.

Ada juga sih, yang berusaha mengubah si perempuan. Mulai dari menyebutnya terlalu kaku, serius, gak asik, hingga yang terang-terangan bilang begini:

“Jangan pinter-pinter amat. Ntar cowok pada takut.”

Terus, habis ngomong gitu masih ngarep perempuan bakal menurut dan mengubah diri mereka sendiri, terus kasih kalian kesempatan? Ha-ha, hari gini. Please, dah!

Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Gak perlu merasa insecure. Biasa aja. Justru, sebuah hubungan akan semakin meriah dengan saling berbagi ilmu. Jika masih menganggap perempuan (bahkan yang sedang disukai) adalah saingan – apalagi ancaman – hanya karena menurut Anda dia sangat cerdas, berarti masalahnya bukan di perempuan itu.

Anda-lah yang belum siap menjalin hubungan serius dan dewasa, karena masih menganggap perempuan cerdas sebagai saingan yang mengancam. Gimana mau kerjasama sebagai pasangan untuk membangun relasi yang sehat, kalau belum apa-apa sudah insecure duluan dan parno si dia bakalan meremehkan Anda?

Gimana kalo si dia ternyata terbukti sombong? Ya, udah. Langsung cari aja yang menurut Anda enggak. Gak perlu maksa, apalagi pake acara nyinyir dan ngancem-ngancem segala. Udah gak zaman merespon penolakan dengan cara yang teramat kekanak-kanakan.

  • Gak usah maksa kalo ternyata si dia gak tertarik juga.

Ini juga salah satu kesalahan yang banyak dilakukan laki-laki di dating app. Baru aja kenalan sebentar, ekspektasi terlanjur tinggi. Maunya langsung sama-sama suka dan lantas jadian.

Nah, lagi-lagi saya harus mengingatkan: ini bukan dongeng atau sinetron. Memang, banyak orang yang bisa bikin Anda kecewa, sebaik apa pun usaha Anda untuk menyenangkan mereka.

Namun, percuma juga memaksa mereka untuk menyukai Anda lebih dari sebagai teman. (Sekali lagi, gak usah sinis juga dengan konsep ‘friendzone’, karena masih jauh lebih baik daripada dimusuhin dan dicap ‘creepy’.) Kalo gak kuat dengan penolakan, mending mundur ketimbang bikin drama yang gak perlu.

Anda juga gak suka ‘kan, bila ada cewek yang maksa-maksa Anda harus mau jadian sama mereka? Yang ada malah Anda katain gampangan dan putus-asa lagi.

Coba asah dulu kemampuan ngobrol Anda, siapa tahu ada yang mau. Jangan lupa, semua yang bagus-bagus itu ada prosesnya, lho. Kalau mau terus bersabar sambil berusaha tanpa ngoyo, ntar ketemu juga dengan jodoh. Yang penting, coba terus dan harus tahu kapan harus beralih ke yang lain dan gak gengsi untuk terus memperbaiki diri.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Lagi-lagi Lelaki Pendengki

Lagi-lagi Lelaki Pendengki

Sumber: Isaiah Rustad

Cerita lama,

membosankan dan sama saja

lagi-lagi di dunia maya.

Lelaki pendengki yang berspekulasi

perempuan berpendidikan tinggi

bukan calon istri sejati.

Padahal,

dia-lah yang ngeri

ketakutan setengah mati.

Tiada yang lebih kerdil

dari lelaki bermental kecil

lalu berusaha membuat perempuan merasa bersalah

hanya agar dirinya tak perlu merasa kalah.

Hiduplah kau, wahai lelaki pendengki

dengan racun kebencian di hati,

karena tiada perempuan waras yang sudi

memanjakan egomu tanpa henti.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Cara Kilat Move On Dari Gebetan yang Udah Jadian

5 Cara Kilat Move On Dari Gebetan yang Udah Jadian

Foto: Freepik

Udah lama gak nulis yang ringan-ringan kayak gini. Mumpung masih di blog sendiri, hihihi…

Pernah diam-diam naksir gebetan, tapi sialnya udah keduluan orang lain? Meskipun mungkin patah hatinya belum tentu separah orang yang ditinggal mati/diselingkuhin/diputusin/di-stashing (diperlakukan seperti pacar pas lagi berdua doang, tapi gak pernah dikenalin ke siapa-siapa-nya si dia)/di-ghosting…rasa sakit dan kecewa itu pasti tetap ada.

Gak apa-apa. Kalau pun ada yang nganggep kalian lebay dan belum apa-apa udah jadi ‘bucin’, biar mereka ke laut aja. Minta ditenggelamin banget, biar bisa main sama ubur-ubur sekalian.

Jadi, gimana cara move on dari gebetan yang ternyata sudah jadian sama orang lain? Berdasarkan pengalaman dan hasil curhat beragam narsum, inilah lima (5) cara kilat yang bisa dicoba:

  • Akui perasaan sedih.

Gak perlu gengsi. Perasaan sedih dan kecewa itu pasti ada. Gak perlu diumbar ke seluruh dunia juga, sih. Setidaknya, akui pada diri sendiri. Mau cerita ke beberapa orang terdekat saja juga boleh.

  • Beri waktu buat diri sendiri.

Gak perlu maksain diri pasang muka sok tegar di depan si dia (dan pacar barunya). Yang ada malah aneh, apalagi bila Anda termasuk yang susah menyembunyikan emosi.

Bila perasaan sudah netral kembali, Anda bisa muncul kembali di hadapan si dia kayak gak (pernah) ada apa-apa. Kalo gak mau urusan lagi sama si dia juga gak apa-apa, selama kalian berdua belum keburu jadi sahabat.

Lho, kok? Kalo si dia udah nganggep Anda sahabat, pastilah dia akan bertanya-tanya saat Anda tiba-tiba menghilang dan susah dihubungi. Sekalinya bisa, alasan Anda ada saja untuk menolah ketemuan. Bukannya nanti dia malah akan curiga?

  • Sibukkan diri dengan berbagai kegiatan seru.

Ini beda dengan berlagak gak ada apa-apa, ya? Masih merasa sedih itu boleh dan wajar. Bodo amat dengan mereka yang bilang Anda galau dan baperan. Yang penting, Anda jujur dengan diri sendiri. Gak perlu jelasin apa-apa ke semua orang, apalagi sampai harus pura-pura bahagia biar mereka senang.

Menyibukkan diri bisa jadi pengalih perhatian, supaya gak kepikiran si dia terus. Selain itu, anggap saja penghasilan positif dari produktivitas Anda ibarat kompensasi patah hati. Betul, gak?

  • Gak perlu maksa harus buru-buru jadian sama orang lain.

Memang sih, ada yang awalnya hanya ‘rebound’ (pelarian) sebelum akhirnya jadi sayang beneran. Tapi, gak semuanya kayak gitu juga, kali. Emangnya film Hollywood? Semua perlu proses dan perasaan gak bisa (dan sebaiknya juga jangan) dipaksa.

  • Gak usah sinis  sama konsep ‘friendzone’.

Kenapa sih, di-‘friendzoned’ kesannya hina dan pecundang banget? Patah hati, sedih, atau kecewa boleh saja. Namanya berharap tapi gak sampai, perasaan negatif semacam itu pasti ada.

Tapi, bersyukurlah bila si dia masih menganggapmu teman. Itu masih lebih baik daripada tidak atau malah dianggap bukan siapa-siapa.

Meskipun tetap jadi teman, jangan terlalu berharap kalau peluang masih terbuka buat Anda. Selain lagi-lagi perasaan gak bisa dipaksa, ini sama saja gak menghargai si dia yang masih mau menjadikan Anda teman.

Siapa tahu, Anda dan si dia ternyata hanya ditakdirkan untuk menjadi teman baik dan malah lebih awet. Bahkan, bukannya tidak mungkin kalo si dia yang tadinya sempat bikin Anda tergila-gila, ternyata malah mengenalkan Anda pada jodoh yang sesungguhnya dan lebih baik. Siapa tahu, ‘kan?

Ayolah. Gak ada salahnya sesekali berpikir positif sedikit. Lagipula, patah hati hanya akan berlangsung selamanya bila tidak ada usaha dari si pemilik hati untuk menyembuhkan diri sendiri.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Diva 2

Diva 2

Tak perlu penguasa panggung,

meski pesonanya terasa tanggung.

Kadang mereka yang selalu ingin didengar,

Selalu dianggap benar.

Enggan dibantah,

apalagi terima nasihat.

Sesaat,

hidup seperti itu enak.

Tak perlu merasa jengah,

tinggal cuap-cuap, suka-suka.

Namun,

mereka akan sulit berkembang,

dikelilingi dayang-dayang

yang selalu seiya-sekata.

Mau sampai kapan?

Entahlah.

Menjadi diva memang penuh lena,

abai dengan fakta

di balik mata-mata

penuh kekaguman dan cinta,

ada pisau di tangan

di balik punggung mereka

siap menikam

saat kau lengah…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Banyak

Banyak

Banyak hal yang bisa ditulis. Percaya atau tidak, Anda tidak akan mudah kekurangan ide atau inspirasi. Setidaknya menurut pengalaman saya, kuncinya ada tiga, yaitu:

  1. Jeli mengamati situasi dan kondisi.
  2. Menjaga konsistensi.
  3. Berani bereksplorasi.

Jangan salah, saya ngomong begini juga bukan karena (merasa) jago menulis. Malah, justru lebih banyak tulisan reject (yang rata-rata sengaja saya posting sendiri secara online) daripada yang diterima oleh media.

Tapi, cuek sajalah. Namanya juga terus belajar dan berproses. Tidak ada orang yang langsung bisa – dan bagus-tidaknya tergantung mereka yang menikmati. Yah, se-subyektif mereka yang kemarin-kemarin sempat berkomentar soal kumpulan puisi seorang selebriti lokal yang menurut mereka jelek.

Berdasarkan pengalaman pribadi, tiga (3) hal di atas cukup membantu saya untuk terus bisa menulis:

  • Jeli mengamati situasi dan kondisi.

Pernah merasa hidup monoton dan membosankan? Nah, lho. Jangan-jangan Anda hanya belum jeli menemukan yang seru dari hidup Anda sendiri.

Jangan pernah meremehkan peran siapa pun dalam hidup. Kalau mau jeli, bahkan yang kelihatan sepele dan membosankan pun sebenarnya bisa dibikin seru dan menarik, kok.

Contoh: dulu saya pernah jaga kafe bisnis keluarga. Sekilas pekerjaan ini sempat terasa membosankan bagi saya, karena saya sebenarnya suka bergerak dan bersosialisasi. Apalagi kalau kafe-nya kebetulan lagi sepi.

Padahal, banyak cara untuk menemukan ide cerita atau tulisan, bahkan dari situasi paling monoton dan membosankan sekali pun. Misalnya: iseng diam-diam mengamati pelanggan yang datang atau membaca buku/artikel digital saat kafe sedang sepi.

Banyak penulis yang survive, tetap bisa bikin tulisan meskipun di tengah keterbatasan atau situasi monoton. Contoh: Zlata Filipovic, gadis Bosnia-Herzegovina berusia 11 tahun di era ’90-an yang terpaksa nggak bisa keluar rumah karena negaranya sedang konflik perang saudara dengan Serbia. Dalam buku hariannya, Zlata pernah menulis tentang dirinya yang sedang mengkhayalkan makanan enak. (Kasihan.)

Atau Behrouz Boochani yang telah menerbitkan otobiografinya yang berjudul “No Friend But The Mountains”. Mungkin kita yang beruntung hidup biasa-biasa saja akan menganggap kisah hidup jurnalis asal Iran dan Kurdistan ini seru banget. Padahal, bisa jadi dia berusaha keluar dari situasi monoton yang rentan bikin depresi dengan cara…ya, apalagi kalau bukan menulis pengalamannya selama ditahan di Manus Island, Papua Nugini.

Nah, apa kabar kita yang mungkin punya lebih banyak akses dan kesempatan untuk menulis?

  • Menjaga konsistensi.

Baru sekali-dua kali menulis, terus ada yang menganggap tulisan Anda jelek? Terus mau menyerah? Yah, jangan. Justru dengan rajin berlatih, keahlian Anda akan semakin terasah baik.

Pastinya, perkembangan setiap orang akan berbeda-beda. Ada yang memang sudah berbakat dari sananya. Baru sebentar menulis sudah jadi yang bagus.

Tapi, yang hanya mengandalkan bakat tanpa latihan konsisten bakalan kalah dengan mereka yang lebih gigih. Selama rajin berlatih, terus memperbaiki diri, dan mau menerima kritik, kemampuan menulis akan berkembang.

Sama seperti aset lainnya, percuma punya bakat bila tidak dikembangkan.

  • Berani bereksplorasi.

Nah, mungkin ini masih menjadi salah satu kelemahan saya dalam menulis. Kadang-kadang saya masih merasa ragu untuk bereksplorasi.

Misalnya: jangan menulis yang seram-seram terus. (Sayangnya, hingga saat ini saya masih kesulitan menulis cerita ringan dengan akhir yang happy, hehe.) Saatnya perkaya sumber bacaan. Jangan kelamaan di zona nyaman.

Tapi, jangan lupa juga untuk menemukan gaya menulis sendiri. Namanya juga bagian dari eksplorasi.

Banyak banget kok, hal yang sebenarnya bisa ditulis. Semoga sedikit saran di atas juga dapat membantu.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Gema

Gema

Gema itu bernama standar ganda.

Kau lakukan yang kau suka,

namun marah saat mereka berlaku sama.

Tanpa sadar, sebenarnya kau sedang berkaca.

Hanya saja, kali ini posisimu beda.

Kaulah sang penerima buruknya laku mereka.

Tak perlu bermuram durja, apalagi sampai murka.

Menggelikan bila kau menyindir mereka,

layaknya pencinta standar ganda.

Sudah, terima saja.

Tak perlu merasa paling benar se-alam raya.

Bila tak suka, tak ada yang akan memaksa.

Bila masih terganggu dengan gema,

sepertinya kau harus kembali berkaca…

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Tirani Itu Bernama Patriarki dan Hierarki

Tirani Itu Bernama Patriarki dan Hierarki

Bodyshaming
Foto: freepik.com

Seperti apa sih, rata-rata nasib perempuan Indonesia sesudah menikah? Pastinya bermacam-macam. Mengingat kebudayaan yang masih sangat patriarkal, kebanyakan istri otomatis mengikuti suami tanpa banyak bacot. (Biasa, ancaman disebut durhaka dan dimasukkan ke dalam neraka menurut agama). Pokoknya, keinginan suami nomor satu. Kalau bisa, istri tidak usah punya mau kecuali manut.

Hell hath no fury like a woman’s scorned. Tiada yang bisa melampaui murkanya perempuan.

Dulu, aku pernah bangga dengan pepatah itu. Kesannya keren dan gagah. Hati-hati bila perempuan sudah marah. Semua yang di depannya pun bisa habis seketika.

Sayangnya, pepatah di atas juga bisa jadi bahan ejekan. Kata mereka, perempuan kalau marah itu lebay. Histeris seperti orang gila. Emosional, tidak masuk akal.

Itulah persepsi tirani sosial bernama patriarki yang sangat kubenci. Bila yang marah lelaki, mereka menganggapnya tegas dan berani. Pokoknya, jantan sekali. Tak peduli mereka kasar, pakai memukul dan memaki.

Sementara perempuan? Bah, jangan harap dapat nilai sama. Kalau tidak disebut bawel, banyak maunya, tidak sopan, hingga…ahem, melawan suami. Tidak peduli bila perempuan itu kemudian terbukti benar. Pasti ada saja alasan mereka semua untuk pura-pura tidak sadar. Benar-benar minta ditampar!

Intinya, jangan sampai laki-laki kelihatan atau dituding salah di depan khalayak. Bisa ambyar harga diri dan ego mereka.

Duh, celakalah bila suami pilihanku seperti itu…

-***-

Bagaimana bila suami belum bisa punya rumah sendiri, alias masih tinggal bersama orang tuanya? Otomatis, istri harus ikhlas mengurus mereka semua. Apalagi, ibu adalah perempuan paling pertama dalam hidup suami. Jangan pernah sekali-sekali memintanya memilih antara ibu dan istri. Sama saja cari mati atau minta cerai.

Respect the elders, always.

Aku tidak bodoh. Aku bisa hormat dan sopan sama yang lebih tua. Tak perlu mengancamku dengan kata ‘durhaka’, ‘dosa’, hingga ‘masuk neraka’.

Tapi, apa kabar dengan mereka yang lebih tua – tapi hobi semena-mena dengan sesama? Gila hormat dan selalu minta diperlakukan seperti dewa. Lupa kalau masih sama-sama manusia. Bisa juga berbuat salah.

Oh, tidak, tidak. Jangan pernah permalukan mereka yang lebih tua. Kasihan, sudah uzur. Mereka lebih sensitif, sayangnya hanya bila menyangkut perasaan mereka sendiri. Tak peduli mereka hobi mendamprat yang lebih muda, lebih kecil, atau bahkan lebih miskin daripada mereka – di depan umum pula. Maklumi saja. Sudah, jangan membantah. Meskipun memang kamu yang (terbukti) benar, yang ada malah tetap dianggap kurang ajar sama mereka. Tidak punya adat. Tidak tahu sopan santun. Okay, boomers.

Tirani sosial ini bernama hierarki. Aku benci sekali, karena banyak orang tua yang terlalu menuruti ego mereka sendiri. Anak yang tadinya punya potensi jadi tidak kenal diri sendiri gara-gara orang tuanya berperan sebagai pengendali. Tidak terbayangkan bila suatu saat orang tuanya pergi. Bisa tidak, anak itu menentukan nasibnya sendiri?

Ah, aku kok jadi jahat begini, sih? Tapi beneran, deh. Bagaimana kamu bisa menghormati mereka yang justru malah tak layak untuk dihormati, tapi merasa berhak?

-***-

Kebetulan, aku beruntung sekali menikahi laki-laki yatim piatu yang baik sekali. Selain tidak perlu berurusan dengan mertua yang belum tentu berkenan dengan pendamping hidup pilihan putranya, suamiku untungnya juga lebih menghargai keluargaku. Dia tak punya ibu lagi, makanya dia sangat memanjakan mamaku.

Amara, kembaranku, ternyata tidak seberuntung itu. Setelah menikah, dia langsung ikut suaminya ke luar kota. Tinggal bersama keluarga mertua.

Awalnya, semua baik-baik saja. Sikap mertua mulai berubah saat usaha suaminya bangkrut. Sayangnya, suami Amara kurang cepat tanggap dan gigih dalam menyikapi perubahan ekonomi keluarganya, sehingga Amara harus ikut mencari nafkah. Namun, urusan pengasuhan anak dan rumah tangga pun tetap dibebankan padanya.

Intinya, sejak saat itu, Amara lebih banyak diperlakukan seperti babu. Sering dibentak-bentak dan dimarahi, bahkan untuk kesalahan paling remeh sekali pun. Semua harus serba sempurna. Selalu diingatkan bahwa Amara dan suaminya hanya ‘menumpang’. Tahu dirilah, jangan merepotkan.

Anehnya, suami Amara tidak pernah kena marah karena belum punya penghasilan tetap lagi. Menurut pengakuan Amara, di sana laki-laki diperlakukan seperti raja. Selalu dimanja, seakan-akan tidak pernah salah. Bahkan, ibu mertuanya sendiri sampai pernah bilang begini:

“Kalau sama laki-laki, ngomongnya harus lembut.” Astaga, selemah itu-kah mereka? Alasan basi mereka, istri-lah yang harus selalu lebih sabar dan kuat. Lucunya, laki-laki tetap harus dianggap sebagai pemimpin keluarga dan dijaga wibawanya. Benar-benar standar ganda menjijikan!

Lalu, apa yang terjadi bila Amara marah dan membela diri? Gaslighting pun terjadi. Amara dibilang gagal paham dan sensi. Padahal, jelas-jelas mereka-lah yang gemar memaki.

Makanya, aku tidak heran ketika suatu hari, Amara pulang dengan koper seadanya dan mata sembab. Wajahnya tampak lelah dan lebih tua, padahal kami kembar identik. Amara datang tanpa suaminya. Aku tak perlu bertanya. Bibirnya yang tampak pucat gemetar.

“Anita…”

Tangisnya pun pecah. Kami berpelukan. Dua istri yang sama-sama sadar, ini masih Indonesia yang sama. Mendewakan patriarki dan senioritas, namun tak pernah sungguh-sungguh dengan jargon ‘memuliakan perempuan’.

Seperti biasa, paling mereka hanya menuntut bahwa istri harus selalu sabar, ikhlas, dan lebih banyak menurut dalam diam. Tidak hanya pada suami, namun pada keluarga suami. Bila memang tidak setuju dengan perempuan pilihan putra mereka untuk menjadi istri, kenapa tidak dari dulu melarang? Kenapa tetap merestui, bila pada akhirnya hanya untuk bebas menyakiti?

Di Indonesia, kamu sedikit lebih beruntung sebagai perempuan dengan beberapa privilege ini: lebih tua, lebih kaya, dan lebih berkuasa. Sayangnya, kamu bisa terjebak kultur patriarki sehingga tetap misoginis secara internal. Akhirnya kamu pun bisa sama saja, malah ikut menindas sesama perempuan…

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Daftar Resolusi

Daftar Resolusi

Gambar: https://unsplash.com/photos/RdmLSJR-tq8

Kertas itu masih kosong.

Yang lalu belum tergenapi.

Sama juga bohong.

Terlalu banyak ingin yang tak sampai.

Tak mungkin aku memintamu.

Tak boleh aku sebodoh itu.

Cinta hanya ada,

bila dua hati sama-sama merasa.

Satu saja,

yang ada hanya derita dan luka.

Harapan kosong belaka.

Percuma.

Apa resolusiku?

Berhenti meminta yang belum tentu nyata:

Kamu, dia…siapa saja.

Kata mereka,

ada satu untuk setiap jiwa di dunia.

Dongeng macam apa yang (ingin) mereka percaya?

Kertas itu masih kosong.

Mungkin aku hanya akan menulis satu pinta:

Aku harus selalu baik-baik saja,

dengan atau tanpa

kamu, dia…siapa saja.

Tak perlu berduka,

apalagi sampai terlalu lama.

PERCUMA!

R.