Ini kasus pertamaku. Aku datang ke vila besar berlantai dua dengan kolam renang di halaman belakang. Malam itu, jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 11:45. Nyaris tengah malam.
Jenazah
lelaki itu terkapar di ruang tengah, berlumuran darah. Permadani Turki yang
mahal itu ternoda. Darah mulai mengering dari luka terbuka di perut lelaki itu.
Sang
Istri yang tersedu-sedu sedang diwawancarai oleh Detektif Senior di ruangan
lain. Tim Forensik sibuk memotret, menyapu berbagai permukaan untuk mencari dan
mengumpulkan contoh sidik jari dan barang-barang bukti lainnya. Tim Pemeriksa
Medis yang termasuk bagian dari Tim Forensik kemudian membawa jenazah ke
laboratorium mereka untuk divisum lebih lanjut.
Katanya
sih, usaha perampokan yang gagal total. Perampok Amatiran yang masuk terpergok
Sang Suami (yang sekarang berstatus Almarhum atau Korban) dan mereka pun
berkelahi. Pecahan kaca di dekat jenazah Sang Suami membuktikan bahwa
kemungkinan besar senjatanya adalah salah satu potongan dari pecahan kaca yang
ada. Lukanya agak terlalu lebar untuk pisau biasa.
Namun,
berdasarkan laporan sementara Tim Forensik dan yang kulihat, ada yang janggal.
Pertama,
kenapa hanya pintu belakang yang menuju kolam renang terbuka dan jendela besar
di sampingnya yang pecah? Tembok di belakang terlalu tinggi untuk dipanjati
dengan cepat. Kecuali ada manusia super di dunia nyata dan pelakunya pakai alat
pendaki (niat banget!), terlalu
mustahil untuk jadi jalur masuk dan keluar.
Kedua,
hanya ada jejak kaki berdarah yang mengarah ke halaman belakang…dan berhenti
pas di pinggir kolam renang.
“Dez, coba lihat ini, deh.”
Ben,
salah satu anak Tim Forensik, menunjukkan foto-foto file rumah sakit terdekat. Kulihat Sang Istri sering sekali harus
ke UGD (unit gawat darurat) di sana. Patah lengan. Kaki keseleo. Hidung patah. Gigi tanggal. Mata lebam.
Semuanya
tertulis: KECELAKAAN. Tapi kok, sering sekali, bisa sampai sebulan-dua bulan
sekali selalu harus ke rumah sakit atau berobat ke dokter?
“Ben, aku mau nyebur dulu.”
“Hah?” Terlambat. Byur! Hanya berbekal senter tahan air, aku menyelam untuk menyinari lantai kolam renang. Tak peduli sudah tengah malam dan aku akan menggigil kedinginan…
Foto: unsplash.com
-***-
“Dez, kamu ngapain?” Detektif
Senior bingung melihatku menggigil karena basah kuyup. Kutunjukkan sebilah
besar pecahan kaca yang kutemukan di dasar kolam renang.
“Senjata pembunuhan.”
Mendadak
Sang Istri tampak gugup. Kuperhatikan satu tangannya yang ternyata sedang
diperban. Kutanya:
Pertanyaan
basa-basi ini mungkin sudah biasa dan normal bagi dua orang yang saling kenal
lama – dan mungkin juga saling sayang. Contohnya:
Mama:
“Hari ini hujan deras. Kamu lagi
ngapain?”
Saya:
“Lagi di kosan. Baru aja pulang.”
Namanya
juga emak-emak. Wajar saja kalau saban hari ngecekin keberadaan anak-anaknya
kalau lagi kangen. Gak peduli bila anak-anaknya sudah dewasa dan (relatif) bisa
jaga diri sendiri.
Yang Bikin Ilfil
Sayangnya,
basa-basi serupa justru malah bikin ilfil bila bukan dari orang yang tepat.
Sering
banget denger keluhan dari banyak teman perempuan soal ini. Singkat cerita,
begini masalahnya:
Kenalan
sama cowok di aplikasi kencan / dating
apps / media sosial – pokoknya online. Berdasarkan profil masing-masing,
semula kayaknya mereka merasa saling cocok, gitu.
Sayangnya,
pas mulai kontak-kontakan, cowok yang semula tampak menarik ternyata malah gak
asik buat ngobrol. Habis, basa-basi seringnya kayak gini doang lewat DM /
japri:
“Lagi ngapain?”
“Baru bangun.”
“Oh. Udah makan?”
“Kan barusan aku bilang baru bangun.”
“Oke, makan dulu, gih.”
(Padahal,
yang disuruh udah bukan anak kecil lagi. Kalau lapar ‘kan tinggal
ambil/masak/beli sendiri, terus, makan, deh. Habis perkara.)
Kelar
makan:
“Udah makan?”
“Udah.”
“Makan apa?”
*krik…krik…krik…*
Nah,
ngerti ‘kan, kenapa obrolannya jadi berasa garing banget? Yang keseringan
ditanya basa-basi begini (apalagi tiap hari) pasti lama-lama bete, merasa
diperlakukan seperti anak kecil.
Ini
kabar buruk, Tuan-tuan sekalian. Jujur aja, kalo cara pedekate kalian kayak
gini, semua perempuan yang pernah kalian suka bakalan cepat bosan. Gak usah
nuduh mereka sombong, banyak maunya, dan gak mau kasih kalian kesempatan.
Nih,
saya blak-blakan aja, ya. Niat saya hanya ingin membantu kalian, wahai
Tuan-tuan yang masih suka bingung mau ngobrol apa sama gebetan.
Biar obrolan (setidaknya) sedikit lebih lancar, silakan coba lima (5) saran di bawah ini:
Banyak cari referensi obrolan seru.
Hari
gini, pedekate jangan modal rayuan basi, tapi juga gak perlu selevel Einstein,
kok. (Ada juga cewek yang ilfil sama cowok yang hobi pamer kecerdasan.) Yang
penting, Anda punya wawasan cukup luas. Bukan alasan males nyari atau bingung
mulai dari mana, karena kalo mau cari-cari lewat Google sebenarnya banyak.
Percaya
deh, lebih baik coba cara ini ketimbang selalu nanya apakah si dia udah makan
apa belum.
Jangan
hanya peduli dengan penampilan luar si gebetan.
Saran
di atas khusus kalian yang beneran ingin mencari pasangan serius, ya. Okelah,
saya gak bilang kalian gak boleh tertarik sama perempuan yang kalian anggep
cantik atau menarik secara fisik.
Tapi,
sebuah hubungan tidak akan bertahan lama bila kalian hanya peduli dengan yang
ada di permukaan. Baca juga profilnya. Saya yakin, perempuan secantik
supermodel pun akan bosan bila obrolan kalian hanya seputar check-in kayak absensi sama guru piket
sekolah.
Coba
variasikan obrolan.
Daripada
cuma nanya udah makan apa belum, mending ajak si dia makan bareng aja sekalian.
Anda juga bisa cerita Anda lagi suka atau habis makan apa. Tanyakan juga menu
favoritnya, termasuk restoran dan lain-lain. Pokoknya, kembangin aja percakapan
seputar topik kuliner ini.
Oke,
ini hanya contoh. Intinya, biarkan percakapan mengalir apa adanya. Gak perlu
dibuat-buat atau berlagak (paling) tahu segalanya. Jadi sendiri aja.
Gak
usah merasa terancam dengan kecerdasan si dia.
Ini
kesalahan yang banyak dilakukan laki-laki. Pas mulai ngobrol dengan perempuan
incaran dan ternyata dia pintar, langsung deh, pada mundur teratur. Alasannya
apa lagi kalo bukan minder dan merasa terancam.
Ada
juga sih, yang berusaha mengubah si perempuan. Mulai dari menyebutnya terlalu
kaku, serius, gak asik, hingga yang terang-terangan bilang begini:
“Jangan pinter-pinter amat. Ntar
cowok pada takut.”
Terus,
habis ngomong gitu masih ngarep perempuan bakal menurut dan mengubah diri
mereka sendiri, terus kasih kalian kesempatan? Ha-ha, hari gini. Please, dah!
Setiap
manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Gak perlu merasa insecure. Biasa aja. Justru, sebuah
hubungan akan semakin meriah dengan saling berbagi ilmu. Jika masih menganggap
perempuan (bahkan yang sedang disukai) adalah saingan – apalagi ancaman – hanya karena menurut Anda dia
sangat cerdas, berarti masalahnya bukan di perempuan itu.
Anda-lah
yang belum siap menjalin hubungan serius dan dewasa, karena masih menganggap
perempuan cerdas sebagai saingan yang mengancam. Gimana mau kerjasama sebagai
pasangan untuk membangun relasi yang sehat, kalau belum apa-apa sudah insecure duluan dan parno si dia bakalan
meremehkan Anda?
Gimana
kalo si dia ternyata terbukti sombong? Ya, udah. Langsung cari aja yang menurut
Anda enggak. Gak perlu maksa, apalagi pake acara nyinyir dan ngancem-ngancem segala.
Udah gak zaman merespon penolakan dengan cara yang teramat kekanak-kanakan.
Gak
usah maksa kalo ternyata si dia gak tertarik juga.
Ini
juga salah satu kesalahan yang banyak dilakukan laki-laki di dating app. Baru aja kenalan sebentar,
ekspektasi terlanjur tinggi. Maunya langsung sama-sama suka dan lantas jadian.
Nah,
lagi-lagi saya harus mengingatkan: ini
bukan dongeng atau sinetron. Memang, banyak orang yang bisa bikin Anda
kecewa, sebaik apa pun usaha Anda untuk menyenangkan mereka.
Namun,
percuma juga memaksa mereka untuk menyukai Anda lebih dari sebagai teman.
(Sekali lagi, gak usah sinis juga dengan konsep ‘friendzone’, karena masih jauh lebih baik daripada dimusuhin dan
dicap ‘creepy’.) Kalo gak kuat dengan
penolakan, mending mundur ketimbang bikin drama yang gak perlu.
Anda
juga gak suka ‘kan, bila ada cewek yang maksa-maksa Anda harus mau jadian sama
mereka? Yang ada malah Anda katain gampangan dan putus-asa lagi.
Coba
asah dulu kemampuan ngobrol Anda, siapa tahu ada yang mau. Jangan lupa, semua
yang bagus-bagus itu ada prosesnya, lho. Kalau mau terus bersabar sambil
berusaha tanpa ngoyo, ntar ketemu
juga dengan jodoh. Yang penting, coba terus dan harus tahu kapan harus beralih
ke yang lain dan gak gengsi untuk terus memperbaiki diri.
5 Cara Kilat Move On Dari Gebetan yang Udah Jadian
Foto: Freepik
Udah lama gak nulis yang ringan-ringan kayak gini. Mumpung masih di blog sendiri, hihihi…
Pernah diam-diam naksir gebetan, tapi
sialnya udah keduluan orang lain? Meskipun mungkin patah hatinya belum tentu
separah orang yang ditinggal mati/diselingkuhin/diputusin/di-stashing (diperlakukan seperti pacar pas
lagi berdua doang, tapi gak pernah dikenalin ke siapa-siapa-nya si dia)/di-ghosting…rasa sakit dan kecewa itu
pasti tetap ada.
Gak apa-apa. Kalau pun ada yang
nganggep kalian lebay dan belum apa-apa udah jadi ‘bucin’, biar mereka ke laut aja. Minta ditenggelamin banget, biar
bisa main sama ubur-ubur sekalian.
Jadi, gimana cara move on dari gebetan yang ternyata sudah jadian sama orang lain? Berdasarkan pengalaman dan hasil curhat beragam narsum, inilah lima (5) cara kilat yang bisa dicoba:
Akui perasaan sedih.
Gak perlu gengsi. Perasaan sedih dan
kecewa itu pasti ada. Gak perlu diumbar ke seluruh dunia juga, sih. Setidaknya,
akui pada diri sendiri. Mau cerita ke beberapa orang terdekat saja juga boleh.
Beri waktu buat diri sendiri.
Gak perlu maksain diri pasang muka
sok tegar di depan si dia (dan pacar barunya). Yang ada malah aneh, apalagi
bila Anda termasuk yang susah menyembunyikan emosi.
Bila perasaan sudah netral kembali,
Anda bisa muncul kembali di hadapan si dia kayak gak (pernah) ada apa-apa. Kalo
gak mau urusan lagi sama si dia juga gak apa-apa, selama kalian berdua belum
keburu jadi sahabat.
Lho, kok? Kalo si dia udah nganggep
Anda sahabat, pastilah dia akan bertanya-tanya saat Anda tiba-tiba menghilang
dan susah dihubungi. Sekalinya bisa, alasan Anda ada saja untuk menolah
ketemuan. Bukannya nanti dia malah akan curiga?
Sibukkan diri dengan berbagai kegiatan
seru.
Ini beda dengan berlagak gak ada
apa-apa, ya? Masih merasa sedih itu boleh dan wajar. Bodo amat dengan mereka
yang bilang Anda galau dan baperan. Yang penting, Anda jujur dengan diri
sendiri. Gak perlu jelasin apa-apa ke semua orang, apalagi sampai harus
pura-pura bahagia biar mereka senang.
Menyibukkan diri bisa jadi pengalih
perhatian, supaya gak kepikiran si dia terus. Selain itu, anggap saja
penghasilan positif dari produktivitas Anda ibarat kompensasi patah hati.
Betul, gak?
Gak perlu maksa harus buru-buru
jadian sama orang lain.
Memang sih, ada yang awalnya hanya ‘rebound’ (pelarian) sebelum akhirnya
jadi sayang beneran. Tapi, gak semuanya kayak gitu juga, kali. Emangnya film
Hollywood? Semua perlu proses dan perasaan gak bisa (dan sebaiknya juga jangan)
dipaksa.
Gak usah sinis sama konsep ‘friendzone’.
Kenapa sih, di-‘friendzoned’ kesannya hina dan pecundang banget? Patah hati,
sedih, atau kecewa boleh saja. Namanya berharap tapi gak sampai, perasaan
negatif semacam itu pasti ada.
Tapi, bersyukurlah bila si dia masih
menganggapmu teman. Itu masih lebih baik daripada tidak atau malah dianggap
bukan siapa-siapa.
Meskipun tetap jadi teman, jangan
terlalu berharap kalau peluang masih terbuka buat Anda. Selain lagi-lagi
perasaan gak bisa dipaksa, ini sama saja gak menghargai si dia yang masih mau
menjadikan Anda teman.
Siapa tahu, Anda dan si dia ternyata
hanya ditakdirkan untuk menjadi teman baik dan malah lebih awet. Bahkan,
bukannya tidak mungkin kalo si dia yang tadinya sempat bikin Anda tergila-gila,
ternyata malah mengenalkan Anda pada jodoh yang sesungguhnya dan lebih baik.
Siapa tahu, ‘kan?
Ayolah. Gak ada salahnya sesekali
berpikir positif sedikit. Lagipula, patah hati hanya akan berlangsung selamanya
bila tidak ada usaha dari si pemilik hati untuk menyembuhkan diri sendiri.
Banyak hal yang bisa ditulis. Percaya
atau tidak, Anda tidak akan mudah kekurangan ide atau inspirasi. Setidaknya
menurut pengalaman saya, kuncinya ada tiga, yaitu:
Jeli mengamati situasi dan kondisi.
Menjaga konsistensi.
Berani bereksplorasi.
Jangan salah, saya ngomong begini
juga bukan karena (merasa) jago menulis. Malah, justru lebih banyak tulisan reject (yang rata-rata sengaja saya
posting sendiri secara online) daripada yang diterima oleh media.
Tapi, cuek sajalah. Namanya juga
terus belajar dan berproses. Tidak ada orang yang langsung bisa – dan
bagus-tidaknya tergantung mereka yang menikmati. Yah, se-subyektif mereka yang
kemarin-kemarin sempat berkomentar soal kumpulan puisi seorang selebriti lokal
yang menurut mereka jelek.
Berdasarkan pengalaman pribadi, tiga (3) hal di atas cukup membantu saya untuk terus bisa menulis:
Jeli mengamati situasi dan kondisi.
Pernah merasa hidup monoton dan
membosankan? Nah, lho. Jangan-jangan Anda hanya belum jeli menemukan yang seru
dari hidup Anda sendiri.
Jangan pernah meremehkan peran siapa
pun dalam hidup. Kalau mau jeli, bahkan yang kelihatan sepele dan membosankan
pun sebenarnya bisa dibikin seru dan menarik, kok.
Contoh: dulu saya pernah jaga kafe
bisnis keluarga. Sekilas pekerjaan ini sempat terasa membosankan bagi saya,
karena saya sebenarnya suka bergerak dan bersosialisasi. Apalagi kalau kafe-nya
kebetulan lagi sepi.
Padahal, banyak cara untuk menemukan
ide cerita atau tulisan, bahkan dari situasi paling monoton dan membosankan sekali
pun. Misalnya: iseng diam-diam mengamati pelanggan yang datang atau membaca
buku/artikel digital saat kafe sedang sepi.
Banyak penulis yang survive, tetap bisa bikin tulisan
meskipun di tengah keterbatasan atau situasi monoton. Contoh: Zlata Filipovic,
gadis Bosnia-Herzegovina berusia 11 tahun di era ’90-an yang terpaksa nggak
bisa keluar rumah karena negaranya sedang konflik perang saudara dengan Serbia.
Dalam buku hariannya, Zlata pernah menulis tentang dirinya yang sedang
mengkhayalkan makanan enak. (Kasihan.)
Atau Behrouz Boochani yang telah
menerbitkan otobiografinya yang berjudul “No
Friend But The Mountains”. Mungkin kita yang beruntung hidup biasa-biasa
saja akan menganggap kisah hidup jurnalis asal Iran dan Kurdistan ini seru
banget. Padahal, bisa jadi dia berusaha keluar dari situasi monoton yang rentan
bikin depresi dengan cara…ya, apalagi kalau bukan menulis pengalamannya
selama ditahan di Manus Island, Papua Nugini.
Nah, apa kabar kita yang mungkin
punya lebih banyak akses dan kesempatan untuk menulis?
Menjaga konsistensi.
Baru sekali-dua kali menulis, terus
ada yang menganggap tulisan Anda jelek? Terus mau menyerah? Yah, jangan. Justru
dengan rajin berlatih, keahlian Anda akan semakin terasah baik.
Pastinya, perkembangan setiap orang
akan berbeda-beda. Ada yang memang sudah berbakat dari sananya. Baru sebentar
menulis sudah jadi yang bagus.
Tapi, yang hanya mengandalkan bakat
tanpa latihan konsisten bakalan kalah dengan mereka yang lebih gigih. Selama
rajin berlatih, terus memperbaiki diri, dan mau menerima kritik, kemampuan
menulis akan berkembang.
Sama seperti aset lainnya, percuma
punya bakat bila tidak dikembangkan.
Berani bereksplorasi.
Nah, mungkin ini masih menjadi salah
satu kelemahan saya dalam menulis. Kadang-kadang saya masih merasa ragu untuk
bereksplorasi.
Misalnya: jangan menulis yang
seram-seram terus. (Sayangnya, hingga saat ini saya masih kesulitan menulis
cerita ringan dengan akhir yang happy, hehe.)
Saatnya perkaya sumber bacaan. Jangan kelamaan di zona nyaman.
Tapi, jangan lupa juga untuk
menemukan gaya menulis sendiri. Namanya juga bagian dari eksplorasi.
Banyak banget kok, hal yang
sebenarnya bisa ditulis. Semoga sedikit saran di atas juga dapat membantu.
Seperti apa sih, rata-rata nasib perempuan Indonesia sesudah menikah? Pastinya bermacam-macam. Mengingat kebudayaan yang masih sangat patriarkal, kebanyakan istri otomatis mengikuti suami tanpa banyak bacot. (Biasa, ancaman disebut durhaka dan dimasukkan ke dalam neraka menurut agama). Pokoknya, keinginan suami nomor satu. Kalau bisa, istri tidak usah punya mau kecuali manut.
Hell hath no fury like a woman’s
scorned. Tiada yang bisa melampaui murkanya perempuan.
Dulu,
aku pernah bangga dengan pepatah itu. Kesannya keren dan gagah. Hati-hati bila
perempuan sudah marah. Semua yang di depannya pun bisa habis seketika.
Sayangnya,
pepatah di atas juga bisa jadi bahan ejekan. Kata mereka, perempuan kalau marah
itu lebay. Histeris seperti orang
gila. Emosional, tidak masuk akal.
Itulah
persepsi tirani sosial bernama patriarki yang sangat kubenci. Bila yang marah
lelaki, mereka menganggapnya tegas dan berani. Pokoknya, jantan sekali. Tak
peduli mereka kasar, pakai memukul dan memaki.
Sementara
perempuan? Bah, jangan harap dapat nilai sama. Kalau tidak disebut bawel,
banyak maunya, tidak sopan, hingga…ahem,
melawan suami. Tidak peduli bila perempuan itu kemudian terbukti benar.
Pasti ada saja alasan mereka semua untuk pura-pura tidak sadar. Benar-benar
minta ditampar!
Intinya,
jangan sampai laki-laki kelihatan atau dituding salah di depan khalayak. Bisa ambyar harga diri dan ego mereka.
Duh,
celakalah bila suami pilihanku seperti itu…
-***-
Bagaimana
bila suami belum bisa punya rumah sendiri, alias masih tinggal bersama orang
tuanya? Otomatis, istri harus ikhlas mengurus mereka semua. Apalagi, ibu adalah
perempuan paling pertama dalam hidup suami. Jangan pernah sekali-sekali
memintanya memilih antara ibu dan istri. Sama saja cari mati atau minta cerai.
Respect the elders, always.
Aku
tidak bodoh. Aku bisa hormat dan sopan sama yang lebih tua. Tak perlu
mengancamku dengan kata ‘durhaka’,
‘dosa’, hingga ‘masuk neraka’.
Tapi,
apa kabar dengan mereka yang lebih tua – tapi hobi semena-mena dengan sesama?
Gila hormat dan selalu minta diperlakukan seperti dewa. Lupa kalau masih
sama-sama manusia. Bisa juga berbuat salah.
Oh,
tidak, tidak. Jangan pernah permalukan mereka yang lebih tua. Kasihan, sudah
uzur. Mereka lebih sensitif, sayangnya hanya bila menyangkut perasaan mereka
sendiri. Tak peduli mereka hobi mendamprat yang lebih muda, lebih kecil, atau
bahkan lebih miskin daripada mereka – di depan umum pula. Maklumi saja. Sudah,
jangan membantah. Meskipun memang kamu yang (terbukti) benar, yang ada malah
tetap dianggap kurang ajar sama mereka. Tidak punya adat. Tidak tahu sopan
santun. Okay, boomers.
Tirani
sosial ini bernama hierarki. Aku benci sekali, karena banyak orang tua yang
terlalu menuruti ego mereka sendiri. Anak yang tadinya punya potensi jadi tidak
kenal diri sendiri gara-gara orang tuanya berperan sebagai pengendali. Tidak
terbayangkan bila suatu saat orang tuanya pergi. Bisa tidak, anak itu
menentukan nasibnya sendiri?
Ah,
aku kok jadi jahat begini, sih? Tapi beneran, deh. Bagaimana kamu bisa
menghormati mereka yang justru malah tak layak untuk dihormati, tapi merasa
berhak?
-***-
Kebetulan,
aku beruntung sekali menikahi laki-laki yatim piatu yang baik sekali. Selain
tidak perlu berurusan dengan mertua yang belum tentu berkenan dengan pendamping
hidup pilihan putranya, suamiku untungnya juga lebih menghargai keluargaku. Dia
tak punya ibu lagi, makanya dia sangat memanjakan mamaku.
Amara,
kembaranku, ternyata tidak seberuntung itu. Setelah menikah, dia langsung ikut
suaminya ke luar kota. Tinggal bersama keluarga mertua.
Awalnya,
semua baik-baik saja. Sikap mertua mulai berubah saat usaha suaminya bangkrut.
Sayangnya, suami Amara kurang cepat tanggap dan gigih dalam menyikapi perubahan
ekonomi keluarganya, sehingga Amara harus ikut mencari nafkah. Namun, urusan
pengasuhan anak dan rumah tangga pun tetap dibebankan padanya.
Intinya,
sejak saat itu, Amara lebih banyak diperlakukan seperti babu. Sering
dibentak-bentak dan dimarahi, bahkan untuk kesalahan paling remeh sekali pun.
Semua harus serba sempurna. Selalu diingatkan bahwa Amara dan suaminya hanya ‘menumpang’. Tahu dirilah, jangan
merepotkan.
Anehnya,
suami Amara tidak pernah kena marah karena belum punya penghasilan tetap lagi.
Menurut pengakuan Amara, di sana laki-laki diperlakukan seperti raja. Selalu
dimanja, seakan-akan tidak pernah salah. Bahkan, ibu mertuanya sendiri sampai
pernah bilang begini:
“Kalau
sama laki-laki, ngomongnya harus lembut.” Astaga, selemah itu-kah mereka?
Alasan basi mereka, istri-lah yang harus selalu lebih sabar dan kuat. Lucunya,
laki-laki tetap harus dianggap sebagai pemimpin keluarga dan dijaga wibawanya.
Benar-benar standar ganda menjijikan!
Lalu,
apa yang terjadi bila Amara marah dan membela diri? Gaslighting pun terjadi. Amara dibilang gagal paham dan sensi.
Padahal, jelas-jelas mereka-lah yang gemar memaki.
Makanya,
aku tidak heran ketika suatu hari, Amara pulang dengan koper seadanya dan mata
sembab. Wajahnya tampak lelah dan lebih tua, padahal kami kembar identik. Amara
datang tanpa suaminya. Aku tak perlu bertanya. Bibirnya yang tampak pucat
gemetar.
“Anita…”
Tangisnya
pun pecah. Kami berpelukan. Dua istri yang sama-sama sadar, ini masih Indonesia
yang sama. Mendewakan patriarki dan senioritas, namun tak pernah
sungguh-sungguh dengan jargon ‘memuliakan
perempuan’.
Seperti
biasa, paling mereka hanya menuntut bahwa istri harus selalu sabar, ikhlas, dan
lebih banyak menurut dalam diam. Tidak hanya pada suami, namun pada keluarga
suami. Bila memang tidak setuju dengan perempuan pilihan putra mereka untuk
menjadi istri, kenapa tidak dari dulu melarang? Kenapa tetap merestui, bila
pada akhirnya hanya untuk bebas menyakiti?
Di
Indonesia, kamu sedikit lebih beruntung sebagai perempuan dengan beberapa privilege ini: lebih tua, lebih kaya,
dan lebih berkuasa. Sayangnya, kamu bisa terjebak kultur patriarki sehingga
tetap misoginis secara internal. Akhirnya kamu pun bisa sama saja, malah ikut
menindas sesama perempuan…