Categories
#catatan-harian #menulis

“MENGHADAPI MULUT BESAR DENGAN DIAM”

“Menghadapi Mulut Besar dengan Diam”

Siapa sih, yang cocok dapat julukan ‘mulut besar’? Tukang membual? Bully yang hobi menjatuhkan Anda, baik dengan nyinyiran halus hingga makian kasar – terutama di depan umum?

Apakah itu tukang gosip yang hobi menyebar aib, fitnah, hoax, dan sejenisnya?

Menurut saya, ketiganya termasuk bermulut besar. Meskipun tingkat keparahannya berbeda-beda, mereka sama-sama merusak. Ya, merusak reputasi diri sendiri hingga hubungannya dengan orang lain.

Tukang membual, bully, dan tukang gosip tanpa sadar sama-sama berbagi satu ‘benang merah’: mencari pengakuan akan eksistensi diri mereka dari orang lain.

Tukang membual hanya ingin dikagumi, bahkan meski dengan risiko ketahuan sebagai pembohong. Bully ingin dihormati sekaligus ditakuti.

Tukang gosip? Hmm, mungkin yang ini sedikit lebih kompleks. Selain pada dasarnya memang senang bercerita, mungkin mereka takut kehilangan bahan obrolan hingga penonton setia. Mereka sangat senang jadi pusat perhatian, meskipun dengan cara yang…yah, tahulah. Jauh dari berkelas.

Tapi, ada juga tukang gosip yang memang sengaja ‘cuap-cuap’ untuk ‘memanaskan suasana’, sekaligus menjatuhkan orang yang nggak mereka suka atau anggap saingan/lawan. Ya, mau nggak mau memang ada juga penggemar dan pencari drama di dunia nyata yang seperti ini. Sepertinya mereka kurang piknik atau malah kurang sibuk, hingga sempet-sempetnya kayak gini.

Bersyukurlah bila Anda (dan semoga saya) termasuk yang selalu berusaha agar tidak terjebak menjadi satu atau lebih jenis ‘mulut besar’ yang disebutkan barusan. Sayangnya, kita akan selalu ketemu model begini di dunia nyata. Ketimbang stres, enaknya gimana, ya?

Dulu, saya sempat nggak sepakat sama Mama seputar menghadapi si ‘mulut besar’. Kebetulan, saya juga termasuk temperamental. Ada yang mengajak saya ribut (padahal saya berusaha nggak pernah usil ama urusan orang lain), rasanya ingin saya timpuk pakai meja. (Entah gimana caranya, apalagi mengingat rata-rata meja itu berat.)

Saran beliau?

Diam saja.

Serius? Beneran. Baru akhir-akhir ini saya merasa bahwa beliau ada benarnya juga. Seperti apa contohnya?

 

1. Menghadapi si tukang membual.

“Ooh, semalem gue abis dinner ama anak bos perusahaan A di penthouse B. Dia baik banget, deh…” (Padahal bukan kencan, tapi urusan bisnis doang.)

“Gue selalu berusaha bijak dan diam aja saat orang-orang nyinyir ama gue.” (Padahal habis itu posting status #nomention di media sosial yang jelas-jelas tentang mereka.)

“Yang nyerang kemaren ada tiga orang, gede-gede pula. Untung gue yang menang.” (Padahal semalam ceritanya cuma ada satu dan pulangnya yang bersangkutan pake acara babak-belur.)

Nggak usah keki, meski keganggu ama model begini. Cukup sibukkan diri Anda. Kalo peduli dan ingin mengajak mereka ‘memanfaatkan kreatifitas’ yang muncul di otak mereka, silakan sarankan profesi ini: PENULIS FIKSI.

Inget, penulis fiksi ya, jangan penulis konten hoax. Udah banyak banget soalnya di sini.

2. Menghadapi si verbal bully.

Banyak alasan kenapa mereka senang mem-bully Anda. Mungkin mereka kurang perhatian dan mencari sosok yang bisa mereka kendalikan. Tough luck kalo strategi basi mereka udah lama kebaca sama Anda.

Jika memang Anda pernah bersalah sama mereka, cukup tanyakan Anda pernah salah apa dan segeralah minta maaf bila memang Anda yang salah. Jika tidak, boleh juga tanyakan kepada mereka apakah mereka punya kesibukan lain selain “bersenandung tidak riang” di telinga Anda, karena – jujur – saat ini Anda sedang nggak butuh mendengar suara mereka. (Bully balas di-bully, hehe.)

Cara bijak Mama? Diam, sambil menunggu mereka ‘kelepasan’, melakukan ‘cacat’ yang sama yang pernah mereka tudingkan ke muka Anda.

Misalnya: pernah ada yang usil selalu dengan berat badan saya, namun ternyata dia kesal saat ada yang usil dengan pilihan gaya hidupnya. Ada juga yang menganggap saya terlalu lemot menanggapi candaan orang (hey, padahal masalah beda selera, lho. Lagipula, nggak semua orang harus jadi komedian, jadi ngapain saya maksain diri? Hahaha!)

Kenyataannya, yang menuduh itu ternyata sama aja sensinya. Lucu, ‘kan?

Ah, sudahlah. Lain cerita bila mereka memang hobi pasang standar ganda. Daripada lelah karena drama, mending cabut aja.

3. Menghadapi si tukang gosip.

Kalo nggak kenal objek yang jadi bahan gosip, nggak usah ikutan nyahut atau komentar. Kalo kenal baik dan merasa kesal, boleh juga membela mereka, selama Anda punya bahan argumen yang kuat. Tahu sendiri ‘kan, rata-rata tukang gosip mudah nggak mau ngalah, karena mereka merasa jadi ‘the it source’?

Nggak perlu juga ngabarin ke korban gosip kalo mereka diomongin. Meski niatnya baik, sama aja dengan adu domba kali. Apa bedanya Anda dengan si tukang gosip sendiri? Cukup klarifikasi baik-baik tanpa menyebut nama si tukang gosip.

Kalo diri sendiri yang jadi korban gosip? Santai. Kalo emang nggak bener, ngapain pusing? Cukup jawab seperlunya bila ada yang mencari tahu kebenaran kabar miring itu. Bila terlanjur disinisin sama beberapa orang, nggak usah repot ngejar-ngejar mereka untuk memberi penjelasan. Justru dari situ Anda bisa tahu mana yang benar-benar teman Anda.

Bila tahu pelaku penyebaran gosip Anda, nggak usah nyindir-nyindir mereka dengan status #nomention di media sosial. Selama mereka nggak bernyali ngomong langsung, anggap aja mereka nggak ada. Nggak level ribut sama pengecut. Hidup terlalu berharga untuk drama nggak penting kayak gini.

Tapi, mari perlakukan kasus ini dua arah. Terlalu merasa diomongin orang? Jangan-jangan ada ucapan atau perbuatan Anda yang selama ini bikin mereka nggak nyaman, nggak suka, atau sakit hati. (Please, jangan terlalu tinggi menilai diri sendiri dulu dengan ngatain mereka “baper”.)

Kenapa mereka nggak langsung ngomong ke Anda? Jangan-jangan selama ini Anda-lah yang enggan mendengar dan selalu merasa paling benar, terus buntutnya ngambekan. Repot, ‘kan?

 

Menghadapi mulut besar dengan diam? Kata siapa gampang? Tapi, bolehlah terus dicoba. Hitung-hitung belajar sabar.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“NYATA”

“Nyata”

Akulah nyata bagimu

bukan saat kita saling melempar senyum

atau saling menatap geli dengan senyum dikulum

bahkan bukan selalu saat-saat bahagia itu

 

Aku lebih nyata bagimu

saat benakmu penuh ide-ide itu

agar aku sesuai yang kau mau

namun kau sama sekali tak mengenalku

 

Aku semakin nyata bagimu

bukan sosok ideal, sesuai kriteria

yang akan selalu buatmu bahagia

Ah, kata siapa kamu sendiri segalanya?

 

Aku nyata,

meski di matamu takkan pernah sempurna

Selamat kecewa

karena kau sendiri lupa berkaca…

 

Memangnya kau pikir kau dewa?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“SAAT DIAM TIDAK SELALU ‘EMAS’…”

“Saat Diam Tidak Selalu ‘Emas’…

Saya pernah menonton film anak-anak berjudul “An American Girl: Chrissa Stands Strong”. Meskipun untuk anak-anak, film ini membahas masalah yang cukup serius dengan pesan mendalam.

Chrissa anak baru di sekolah. Keluarganya baru saja pindah dari kota lain. Sifatnya yang pendiam dan pemalu membuatnya susah beradaptasi dan bergaul.

Lebih rumit lagi, Chrissa menjadi target penindasan geng Tara, yang berasal dari keluarga kaya dan populer. Menurut Tara dan gengnya, Chrissa konyol, cupu, dan sangat lemah. Mereka juga menindas Gwen, teman sekelas Chrissa yang juga pendiam dan penyendiri.

Saat hanya berupa ledekan, Chrissa masih berusaha mengacuhkannya. Namun, kekerasan fisik dan verbal yang dilakukan Tara dan teman-temannya semakin menjadi-jadi.

Punggung Chrissa pernah ditusuk oleh pensil. Rambut Gwen pernah dipotong secara sembarangan sebelum Tara tertawa sambil menghina: “Nah, sekarang kamu beneran kayak anak gelandangan.” Saat itu, Ibu Gwen baru saja kehilangan rumah sehingga keduanya harus tinggal di tempat penampungan untuk sementara.

Tara bahkan pernah menyebar gosip buruk tentang Chrissa. Namun, saat Chrissa memintanya berhenti, Tara malah balas mengancam:

“Kenapa? Mau jadi tukang ngadu kayak pengecut?”

Ada ucapan menarik dari Nenek saat Chrissa akhirnya mulai terbuka pada keluarganya mengenai bullying yang dialaminya di sekolah:

“Seseorang baru disebut tukang ngadu bila niatnya murni ingin menjatuhkan orang yang diadukan. Yang kamu lakukan adalah speaking up, melaporkan tindakan kekerasan teman sekolahmu agar tidak berlanjut. Justru pelaku bullying semakin berani karena korban mereka selama ini diam saja dan membiarkan diri terus disakiti karena takut melawan.”

Dalam novel remaja berjudul “Kana di Negeri Kiwi” karya Rosemary Kesauly, Kana sakit hati diputusin Rudy. Alasannya? Rudy nggak suka tubuh Kana yang bertambah gemuk.

Akibatnya, Kana jadi minder dan hobi mengeluhkan hal itu pada sahabatnya, Joy. Di luar dugaan, Joy yang cerdas dan pendiam justru punya masalah yang lebih pelik lagi.

Di rumah, Joy diperkosa ayah tirinya saat ibu dan adiknya sedang pergi. Karena diancam akan dibunuh beserta ibu dan adiknya, Joy tidak berani bercerita. Gadis malang itu pun lama-lama tertekan dan menderita depresi.

Puncaknya, Joy nyaris tewas setelah sang ayah tiri memaksanya mengonsumsi obat penggugur janin yang dibeli di pasar gelap. Untunglah, Kana menemukan sahabatnya dan langsung membawanya ke RS sebelum terlambat. Ayah Joy kemudian ditangkap polisi.

Pada kenyataannya, memang laki-laki termasuk pelaku kekerasan terbanyak di dunia. Saya enggan bermain statistik di sini, karena sudah banyak yang melakukannya. Intinya, siapa pun pelakunya dan apa pun jenis kekerasannya, saya tetap tidak setuju. Bahkan, saya sendiri pernah menjadi pelaku kekerasan. (http://www.magdalene.co/news-902-i-was-an-online-bully.html)

Benarkah diam selalu ‘emas’? Diam yang menahan rasa sakit tidak lantas menjadikan Anda seorang jagoan. Diam ini kemudian bisa berbuah dendam, entah kepada pelaku saat korban sudah cukup kuat untuk membalas atau orang lain sebagai pelampiasan. Siklus kekerasan pun berlanjut bagai lingkaran setan, baik kepada orang lain maupun diri sendiri. (Contoh: menyakiti atau membunuh diri sendiri.)

Menganggap saya “LEBAY” (berlebihan) atau “BAPER” (bawa perasaan)? Sumpah, saya paling benci dua kata itu, apalagi bila diucapkan saat korban belum selesai bicara.

Tidak hanya dua kata sialan yang sangat merendahkan itu, tuduhan “TUKANG NGADU” juga sering dipakai pelaku kekerasan untuk membungkam korban. Mengapa demikian? Semua pelaku kekerasan PENGECUT, apalagi bila mainnya keroyokan. Mereka enggan disalahkan. Inilah cara dangkal mereka membela diri.

Bagaimana dengan ancaman, terutama pembunuhan? Sama saja pengecutnya. Mereka kira mereka jagoan. Padahal, ada logika sederhana yang enggan mereka terima:

“Kalau sudah yakin bahwa diri sendiri kuat dan berkualitas, kenapa harus melemahkan orang lain, hanya untuk mencari perbandingan?”

Dalam “An American Girl: Chrissa Stands Strong”, ternyata Tara sangat takut tersaingi Chrissa dalam tim renang. Untuk menyingkirkan saingan, Tara menggunakan cara kotor, yaitu menakut-nakuti Chrissa agar tidak betah dan keluar dari tim. Berkat dukungan keluarga, teman-teman, dan guru, Chrissa akhirnya berani melawan Tara dengan cara yang elegan.

Dalam “Kana di Negeri Kiwi”, ayah tiri Joy pengangguran, sementara ibunya bekerja. Bukannya berusaha keras mendapatkan pekerjaan agar bisa seperti istrinya, perasaan inferior malah membuatnya memperkosa putri tirinya sendiri.

Kedua alasan di atas sama sekali tidak bisa dimaklumi. Alasan saya sebagai pelaku cyber-bullying dulu juga tidak bisa dibenarkan: muak dihina terus-terusan karena ukuran tubuh, sehingga melampiaskannya pada gadis kurus yang entah kenapa selalu dianggap lebih ideal dan lebih cantik oleh masyarakat patriarki.

Lalu, bagaimana bila ternyata Anda adalah pihak yang dicurhati oleh korban kekerasan, terutama bila mereka orang terdekat? Sudikah mendengarkan cerita mereka hingga selesai? Mau dan mampukah Anda berempati, meskipun berikutnya hanya bisa membantu semampu Anda (terutama karena bukan terapis andal)?

Ataukah Anda akan menyebut mereka dengan ketiga ucapan bernada sangat hina itu – “BAPER”, “LEBAY”, dan “TUKANG NGADU PENGECUT”? Apakah Anda akan berlaku sama seperti pelaku kekerasan maupun banyak orang lain di luar sana?

Apakah dengan entengnya Anda akan meminta mereka untuk bersabar dan “Jangan buka-buka aib orang”? Akankah Anda menuduh mereka dengan “Mungkin ada perbuatan kamu yang bikin mereka begitu”?

Sudah pernah di posisi mereka? Yakin Anda kuat? Yakin bisa sabar saat pasangan menuduh Anda sebagai ‘mahluk tolol nggak berotak’ setiap kali dia marah?

Yakin Anda nggak bakalan tersiksa dan depresi, saban hari bolak-balik ke UGD dengan luka-luka dan cerita bohong yang sama? Yakin Anda masih akan aman-aman saja? Bila masih kuat, baguslah. Tapi ingat, nggak semua kayak Anda kalau memang Anda mengklaim demikian.

Masih belum tahu bedanya ‘tukang ngadu’ sama mereka yang benar-benar butuh bantuan dan perlindungan?

Jangan sampai ucapan “BAPER”, “LEBAY”, hingga “TUKANG NGADU” bikin mereka malas dan akhirnya berhenti bercerita. Bisa jadi, itulah saat terakhir Anda masih bisa mendengar suara mereka.

Bisa jadi, ‘diam’ itu kemudian benar-benar ‘membungkam’ mereka untuk selamanya. Bisa jadi mereka lelah dengan dunia atau pelaku memutuskan untuk menghabisi nyawa mereka. Mengapa? Karena kita yang enggan berbuat apa-apa. Memilih buta dan menutup telinga. Membiarkan hati mati rasa dan terlalu menyombongkan logika.

Jika demikian, masih pantaskah ‘diam’ itu dianggap emas?

TIDAK.

 

R.

Sumber:

https://en.wikipedia.org/wiki/An_American_Girl:_Chrissa_Stands_Strong

http://www.goodreads.com/book/show/1539982.Kana_di_Negeri_Kiwi

http://www.magdalene.co/news-902-i-was-an-online-bully.html

http://www.vemale.com/lentera/102290-belajar-dari-nilam-sari-berani-bicara-lawan-kekerasan-emosional.html

Categories
#catatan-harian #menulis

“5 ALASAN SAYA BUKAN FOOD BLOGGER”

“5 Alasan Saya Bukan Food Blogger”

Indonesia memang berisi ragam budaya, termasuk dalam hal makanan. Kalau orang Indonesia berkumpul, pasti harus ada makanannya. Mau itu camilan atau makan besar, di rumah atau di resto, pokoknya harus ada.

Apa pun acaranya, jangan lupa makan-makan. Makanya, banyak orang Indonesia yang masih hobi menodong traktiran, menguber diskon di restoran, hingga berharap diundang ke kawinan. Hehehe…

Tidak heran, banyak sekali food blogger di Indonesia. Ada yang cuma karena doyan makan, senang makan sambil nongkrong, hingga beneran suka masak. Bahkan, yang serius sampai membahas latar belakang budaya dan filosofi makanan tersebut.

Lalu, kenapa saya nggak ikutan? Lima (5) alasan ini mungkin dapat menjawab pertanyaan Anda:

1. Saya memang suka makan, namun belum jago masak dan jarang nongkrong.

Selain memang kebutuhan dasar manusia, saya memang suka makan. Ngapain sok jaim? Cuma, rasanya nggak seru kalau hanya itu yang jadi andalan dalam menjadi food blogger. Selain jarang nongkrong (kecuali kalau ada yang mengajak atau memang lagi mood aja), saya juga belum jago masak.

Bahkan, pernah saya keracunan hasil eksperimen sendiri di dapur – sup makaroni dengan campuran daging salmon – yang pastinya GAGAL TOTAL!

2. Saya malas menghadapi kemungkinan komentar-komentar basi dari mereka yang sudah pernah melihat wujud saya.

“Oh, kamu food blogger, toh. Pantes…GENDUT.

Plak!

3. Saya termasuk sulit objektif soal makanan.

Ini sering bikin kesal sahabat saya yang suka masak. Setiap kali dia meminta saya mencoba resep barunya, jawaban saya cuma ada dua: enak atau enak banget.

Kalau sampai ada yang benar-benar nggak enak, kemungkinannya cuma dua:

– Rasanya benar-benar memuakkan sampai bikin saya mau muntah.

– Saya sedang sakit.

Sekian.

4. Saya nggak gitu suka foto-foto makanan dan memamerkannya di blog maupun media sosial.

Daripada keburu dingin, mending langsung dimakan. Apalagi bila saya sudah keburu lapar. Paling gemas kalau pas lagi nongkrong bareng teman, terus mereka melarang saya langsung makan.

“Sebentar ya, Bi.” Klik-klik. “Sabar, gue tau elo udah laper.”

“Buruan.” Begitu kelar…hap!

Selain itu, alasan ini masih relevan dengan alasan nomor dua. Saya ogah dengan kemungkinan munculnya komentar-komentar semacam ini:

“Ya, ampun. Lo makannya beginian semua? Pantes…GENDUT.

*langsung semprotin sambel sebotol ke muka yang ngomong*

5. Sudah banyak food blogger yang lebih keren.

Jujur, saya nggak mau ngekor. Menurut kawan sesama blogger yang sudah lebih profesional, lebih baik cari ciri khas sendiri.

Kalau mau cari info tentang makanan atau tempat nongkrong seru, jangan di sini. Cari saja di Tempat Nongkrong Seru atau QRaved. Atau Google dan tanyalah teman-temanmu yang lebih sering nongkrong daripada saya, hehe.

Lalu, ciri khas saya apa, ya? Seorang teman blogger sudah pernah menebaknya dan dia benar. Kalau menurut kalian apa?

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“KABUT BENAK”

“Kabut Benak”

Kabut menggayut

benak gelap tersaput

Ada lelah dan kalut

 

Wajah-wajah hantu

di balik kabut nan beku

Panas-dingin sendi mengilu

Hati pedih tertikam sembilu

 

Kabut benak

terseret ke peraduan, kau diajak

Lupakan penat

Longgarkan sesak

Belajar pasrah

menerima lelah dan kalah…

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

“KOK NGGAK NGUNDANG-NGUNDANG?”

“Kok Nggak Ngundang-ngundang?”

Awal tahun 2017 ini, dua orang kawan baik mengundang saya ke pernikahan mereka. Karena acaranya di luar kota, jauh-jauh hari cuti mengajar hari Sabtu sudah saya urus. Bahkan, sampai niat mau beli tiket kereta segala.

Sayangnya, pas hari H saya malah jatuh sakit. Untung tiket kereta belum terbeli. Daripada konyol pingsan di jalan, mending batal sekalian.

Hiks. Kedua kawan saya untungnya pengertian dan berharap saya cepat sembuh, namun tetap saja saya sedih. Intinya, hari itu saya hanya bisa mengirim doa.

Lima tahunan silam, seorang sahabat lama minta maaf karena tidak bisa mengundang saya ke pernikahannya. Mengapa demikian? Ternyata acaranya di luar negeri, tempat kediaman calon suami.

Selain itu, kedua keluarga calon mempelai sudah sepakat bahwa acaranya akan sangat sederhana dan privat. Hanya keluarga dan kerabat dekat yang diundang.

Karena membayangkan mahalnya biaya (dan saat itu saya juga nggak mungkin ke sana), akhirnya saya hanya menenangkan sahabat dan mengirim doa untuknya.

Saat sahabat kemudian berganti status di media sosial (waktu itu masih era pra-Facebook, alias Friendster) menjadi ‘married’, banyak kawan lamanya semasa kuliah langsung heboh.

“Kok nggak ngundang-ngundang, sih? Kirain kita temen!”

Jujur, saya nggak mau berada di posisi sahabat saat itu. Pasti nggak enak banget, meskipun yang hobi komen gitu justru bukan teman-teman dekat, alias pas masih sekampus pun negur aja enggak.

*krik…krik…krik…*

Tapi, gimana kalo ternyata bener-bener teman dekat? Apa kasusnya selalu seperti saya dan sahabat saya waktu itu?

Sebenernya, saya males banget pake argumen basi macam: “Maklum, namanya juga orang Indonesia. Deket nggak deket, pasti ngarep undangan. Lumayan, sekalian makan gratisan.” Saya juga nggak munafik. Mengingat suka makan, dapet makan gratisan pas kondangan selalu bersyukur.

Siapa juga yang nggak pernah kecewa? Mungkin dulu emang pernah nongkrong bareng sebelum lama terpisah oleh kesibukan masing-masing. Namun, sepertinya mereka lupa mengirimkan undangan saat mau menikah.

Apa jangan-jangan undangannya nyasar, ya?

Ah, sudahlah. Daripada terus nyinyir dan bergunjing gak asyik di belakang mereka, mending cek dulu deh, beberapa kemungkinan di bawah ini:

1. Mereka ingin pernikahan sederhana dan kebetulan dananya terbatas.

Tahu sendiri ‘kan, biaya hidup semakin tinggi setiap tahun? Apalagi bila kedua mempelai memutuskan untuk tinggal di kota besar. Untuk mengakalinya, dana harus dipangkas. Sayangnya, ini juga berakibat ‘terpangkas’- nya daftar undangan. Kebetulan, nama Anda ikut terkena. Kenapa?

Mana saya tahu? Mungkin mereka lebih memprioritaskan keluarga besar, apalagi bila jumlahnya sangat banyak. Yang penting cukup sah, bukan? Selain itu, mereka ingin mencegah kemungkinan Anda datang, namun mengomel-ngomel akibat kehabisan makanan di meja prasmanan.

2. Mereka ingin pernikahan sederhana dan privat.

Ada yang berprinsip bahwa pernikahan yang sah dan sakral tidak perlu mengundang banyak orang. Meskipun selama ini sering nongkrong bareng mereka, Anda nggak bisa berbuat apa-apa bila nama Anda nggak ikut tercantum di daftar undangan. Mau ngatur-ngatur apalagi mengemis? Janganlah.

Nggak perlu ngambek atau nyinyir. Cukup berbesar hati, apalagi bila masih bisa beli makanan sendiri.

3. Ada prioritas di luar resepsi gede-gedean.

Mungkin mereka memilih menabung untuk membeli rumah atau apartemen sendiri dulu, daripada menggelar resepsi gede-gedean – demi mengundang orang banyak – tapi buntutnya masih tinggal di “Pondok Mertua Indah”. Siapa tahu?

4. Undangan nyasar atau hilang di tengah jalan.

Ayolah, nggak semua orang suka menyebar undangan lewat media sosial. Lagipula, cara lama lebih berkesan dan elegan.

Ini bukan cuma terjadi di novel, lirik lagu, atau film. Selain kasus salah tulis alamat, bisa jadi saat baru pindahan, Anda yang lupa mengabari mereka. (Nah, kalo ini salah siapa?)

5. Mereka…lupa.

Hayo, jangan baper dulu. Ini bisa terjadi bila tadinya kalian sering nongkrong bareng, lama-lama makin jarang akibat ‘kesibukan masing-masing’. Apalagi bila sampai beda kota/negara.

Lama-lama? Wajar tho, bila mereka lupa? Siapa tahu bukan Anda satu-satunya (yang merasa) teman dekat mereka. Siapa tahu ada yang benar-benar mereka anggap teman dekat. Siapa tahu sosok-sosok lain itulah yang ada nggak pas mereka lagi gembira aja dan bikin mereka merasa nyaman.

Jadi, mereka-lah yang diprioritaskan.

6. Anda yang justru selama ini terlalu sibuk.

Sering menolak ajakan nongkrong bareng mereka? Bisa jadi, lama-lama mereka malas mengundang Anda untuk ke acara apa pun…termasuk pernikahan mereka.

7. Kalian tidak ‘sedekat itu’.

Meski pahit, terimalah kenyataan ini. Sering nongkrong bareng hingga curhat-curhatan (apalagi termasuk rajin saling memberi likes pada postingan masing-masing di media sosial) nggak lantas menjamin Anda sedekat itu sama mereka.

Solusinya? Cukup beri mereka selamat yang tulus saat bertemu, tanpa menyinggung-nyinggung: “Kok nggak ngundang-ngundang?” Mungkin mereka merasa perlu menjelaskan, tapi jangan banyak berharap. Belum tentu Anda sendiri siap mendengarkan alasannya. Hehehe… *seringai kejam*

8. Teman baik?

Sebelum menuduh mereka sebagai teman yang nggak peduli, coba cek diri sendiri dulu: sudahkah Anda menjadi teman yang baik selama ini? Mungkin, selama ini ada ucapan atau perbuatan Anda yang nggak bikin mereka nyaman. Namun, mereka malas terus terang. Bisa jadi Anda termasuk sosok mudah ngambekan dan selalu merasa paling benar sendiri, bahkan saat ditegur baik-baik sekali pun.

Tapi, gimana kalo mereka yang ‘bermasalah’? Ya, sudah. Ngapain ngarep undangan mereka? Masih banyak kegiatan lain yang bisa Anda lakukan.

Kecewa boleh, asal jangan kelihatan kayak orang yang minta dikasihani. Hargailah diri Anda sedikit.

9. Kombinasi dari kedelapan hal di atas.

Banyak kemungkinan yang terjadi di sini. Sekian.

Karena inilah, saya agak takut menuduh: “Kok nggak ngundang-ngundang?” Memangnya mereka nggak bakalan kecewa, jika teman yang sudah merengek-rengek minta diundang – buntutnya malah nggak datang? Yang lebih parah, nggak kasih kabar pula.

Buat mereka yang pernah mengundang saya ke pernikahan mereka, terima kasih. Bila saat itu berhalangan, saya mohon maaf.

Bagi yang tidak mengundang? Tenang, saya tidak marah. Saya bahkan tetap mendoakan yang terbaik untuk kalian semua.

Semoga saat giliran saya tiba, tidak ada yang terlewat hingga kecewa akibat undangan tak sampai. Aamiin…

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #lomba #menulis

“MOMEN FACE TIME”

Momen Face Time: Antara Tur dan Pulang ke Rumah”

Tur 1:

“Kamu masih marah?”

“Enggak. Kenapa?”

“Terakhir kali kamu cuma bilang: ‘Ya udah, pergi aja sana.’”

“Lha, emang kamu juga harus pergi, bukan?”

“Tapi kamu kayak nggak rela gitu.”

“Bukannya nggak rela.” Wajah bundar berbingkai rambut ikal gelap sebahu itu tampak murung. Lalu, dengan malu dia mengakui: “Kesepian. Kangen.”

Wajah brewokan di layar tertawa. “Ah, kamu,” katanya renyah. “Tinggal dua minggu lagi. Sabar, ya.” Saat si wajah bundar tersenyum lagi, si brewok melanjutkan: “Nanti kalo novel berikutmu sukses lagi hingga difilmkan, kamu juga bakal dapet giliran tur promo di jalan.”

Pembicaraan malam itu berakhir dengan memuaskan. Sosok ramping dan brewokan itu tersenyum saat memutuskan hubungan di ponsel.

“Belum tidur?” tegur laki-laki kribo di ruangan yang sama. Sosok gempal itu sedang membereskan kamera. “Mending tidur dulu. Jam dua nanti kita take shot. Kalo bisa jangan kelamaan.”

“Oke.”

Di tangan si brewok, ada fotonya dengan dua sosok yang paling dicintainya. Dua wajah bundar berambut ikal, ibarat pinang dibelah dua. Namun, keduanya berbeda usia. Yang kecil selalu menagih yang sama setiap kali dia pulang dari perjalanan panjang:

“Kalo Papa bisa ngangkut tas gede ama kamera sekaligus, berarti gendong aku doang juga bisa, dong.”

Lelah? Sangat, namun kapan lagi bisa memeluknya sesuka hati? Sebelum gadis kecil itu terlalu besar dan merasa gengsi.

Tur2:

“Kapan aku pulang? Masih dua minggu lagi.”

“Oh.”

“Kenapa?” Wajah bundar itu tampak geli. “Kewalahan di sana?”

“Nggak.” Wajah brewokan itu tampak malu. Di pangkuannya, ada sosok mungil berwajah bundar juga, namun sudah lama terlelap.

Percuma juga berbohong. Wajah di layar ponsel itu kini menertawakannya.

“Nggak apa-apa.” Sekilas wajah itu tampak menyesal. “Memang kebetulan akulah yang paling banyak di sana.”

“Hei, ini momen kamu,” si brewok langsung buru-buru menenangkan. “Kita sudah sepakat saling mendukung karir masing-masing, tanpa melupakan yang penting.”

“Aku tahu.”

Pembicaraan malam itu berakhir sedikit sendu. Wajah bundar berambut ikal itu tampak agak sedih saat memutuskan sambungan di telepon.

“Kangen rumah?” tanya perempuan berkacamata di sampingnya. “Beruntunglah. Nggak banyak laki-laki atau suami yang berpikiran terbuka seperti dia.” Sosok ini lalu menatapnya dengan senyum penuh pengertian. “Tinggal satu kota lagi, habis itu kamu bisa pulang.”

“Iya.” Wajah bundar itu tersenyum lagi. Di tangan, ada fotonya dengan dua sosok yang paling dicintainya. Ada versi mini dirinya dengan sosok brewok itu.

Versi mininya sudah jago menggombal, terutama setiap kali dia pulang dari perjalanan panjang:

“Papa selalu kangen sama Mama, tuh.”

“Kok tahu?”

“Kata Papa, aku mirip Mama. Habis itu, aku dipeluk dan kita dancing pake lagu kesukaan Mama.”

“Oh.”

 Rumah:

“Hai, sayang.”

Si mungil berwajah bundar dan berambut ikal terbangun. Kedua wajah itu tersenyum di depannya. Hatinya langsung was-was.

“Kali ini Papa atau Mama yang harus pergi?”

Kedua wajah itu tertukar lirik sebelum kembali tersenyum padanya.

“Kali ini nggak ada, sayang,” kata wajah bundar dewasa di depannya. “Papa dan Mama lagi sama-sama di rumah.”

“Asyiiik!” Malam itu, seorang gadis kecil sangat berbahagia, memeluk kedua sosok yang paling dicintainya…

R.

(477 kata)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“CEMBURU”

“Cemburu”

Oh, cemburu

Cinta berbelenggu

Perasaan memiliki itu

mengubah rela menjadi paksa

menjajah sesama manusia

yang harusnya bahagia

 

bukan curiga

bahkan murka

hingga gelap mata

Serasa properti

sesak setengah mati

sulit jadi diri sendiri

 

Cemburu

ibarat amarah yang tak mau tahu

rindu dan dendam bersatu

membakar jiwa hingga membara

menyisakan hati penuh luka

oleh benak berprasangka

 

hingga tak sadar

semua kau buat buyar

hingga akhirnya bubar!

 

R.

(Jakarta, 14 Februari 2017 – 9:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

“WASPADALAH! INI 13 TANDA SI DIA CEMBURU BUTA”

“WASPADALAH! Ini 13 Tanda Si Dia Cemburu Buta”

Banyak yang masih percaya bahwa cemburu adalah bumbu dari percintaan. Kata mereka, kalau nggak cemburu, berarti nggak benar-benar sayang. Pacar terlalu dekat sama teman lain, kita santai saja. Padahal, bisa saja mereka malah ‘keenakan’ dan buntutnya malah selingkuh.

Selain nggak sayang, nggak cemburu bisa jadi ‘diam-diam selingkuh’. Makanya, jangan tenang dulu kalau si dia santai-santai saja saat kita terlalu dekat dengan kawan yang berlainan jenis. Bisa jadi ini taktiknya agar nggak ketahuan ‘jalan sama yang lain juga’.

Banyak teori seputar kadar cemburu yang wajar. Misalnya: Anda marah saat pacar memanggil teman dengan sebutan ‘sayang’ dan di depan Anda pula? Ya, wajar. Jika pacar saya seperti itu, saya pasti akan langsung mengajaknya ke tempat sepi daaan… (silakan bayangkan sendiri kalau berani.)

Tapi, wajar nggak sih, kalau sedikit-sedikit cemburu? Ini dia 13 tanda si dia sudah cemburu buta, alias kebablasan. Waspadalah!

 

  1. Anda hanya bersikap ramah sama mereka, namun habis itu si dia jutek seharian.

Ini tanda paling klasik sekaligus paling cepat kelihatan. Coba ingat-ingat lagi: gimana interaksi Anda dengan orang lain selama ini, terutama lawan jenis? Masih suka merangkul erat sahabat dan terlalu lama di depan pacar? Jangan heran bila si dia marah.

Namun, bila pasangan keki hanya karena Anda mencium adik atau tersenyum ramah pada pelayan restoran, kemungkinan rasa cemburunya sudah overdosis.

 

  1. Kalian sering berantem hanya karena masalah kecil, seperti lelucon atau perkara naksir selebriti.

Sering mengalami hal konyol macam ini? Anda ketahuan suka dengan selebriti. Lalu si dia bertanya, lebih ganteng/cantik siapa – dia atau mereka?

*krik…krik…krik…*

Sayangnya, apa pun jawaban Anda, ‘bom’ itu akan tetap terpicu dan meledak. Nggak jawab? Makin dicecar, karena Anda dianggap ‘cari mati’. Wakwaw!

 

  1. Kayaknya, si dia butuh banget tahu seluruh perincian kegiatan harian Anda – kalau perlu sampai per detik. Bahkan, medsos Anda pun ikut dipantau!

“Sayang, hari ini mau ke mana?”

“Kerja.”

“Habis itu?”

“Nge-gym.”

“Ama siapa aja?”

“Andi, Niko, Desi, Ivan – “

“Sebentar, Desi itu siapa?”

“Pacarnya Ivan?”

“Beneran? Kok biasanya dia gak ikut?”

“……….”

 

“Habis kerja kujemput, ya?”

“Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok.”

“Kok nggak mau? Hayo, jangan-jangan mau ketemu cowok diem-diem, ya? Siapa dia? Jawab!”

“……….”

 

“Sayang, itu siapa sih, yang suka nge-like sama komen foto-foto kamu di FB? Ganjen amat!”

Sebentar, ini pacar apa satpam? Jangan bilang Anda harus bikin laporan khusus tiap hari. Masih bisa napas?

 

  1. Si dia sampai rela jadi ‘bayangan’ atau bahkan ‘kembar siam’ ..bila memungkinan.

Sekilas rasanya seperti selebriti dan bodyguard-nya. Bedanya, si bodyguard bukan hadir untuk melindungi Anda, melainkan mengawasi Anda agar tidak macam-macam atau ‘dimacam-macamin’ sama orang lain (entah seperti apa maksudnya).

Sekian.

 

  1. Tuduhan “Kamu selingkuh!” lebih sering keluar daripada ucapan sayang.

Ada dua tipe untuk pacar seperti ini. Pertama, yang sok cool depan umum, lalu ‘meledak’ pas tinggal berdua. Masih relatif sopan, padahal hanya jaim agar perilaku ganjil mereka nggak cepat ketahuan.

Kedua, si pembuat drama. Yang ini bahkan nggak segan-segan membentak-bentak Anda di depan umum atau – sialnya – melakukan kekerasan fisik. Tujuannya? Tentu saja mempermalukan Anda sekaligus mencari dukungan para penonton.

Enakan yang mana? Nggak ada. Yang satu bikin Anda merasa deg-degan bak main di film thriller, yang satu bikin keki karena berasa main di sinetron basi.

 

  1. Teman-teman merasa tidak nyaman saat Anda datang dengan si dia.

Iya, mereka tahu betapa Anda sangat mencintainya, meski sulit memahami alasannya. Mungkin Anda punya kesabaran luar biasa.

Masalahnya? Mereka ngeri dengan pacar Anda.

 

  1. Si dia mulai membatasi dengan siapa Anda boleh bicara dan berteman. Bahkan, yang ekstrim adalah sampai ngotot meminta password ponsel dan akun media sosial Anda!

“Aku nggak percaya sama si Indro. Dia pasti mau rebut kamu dariku.”

“Jangan temenan sama Naya lagi, deh. Jijik aku lihat dia keganjenan sama kamu.”

Apa repotnya punya pacar kayak begini? Lama-lama jumlah teman Anda bisa habis. Bahkan, tipe seperti ini nggak segan-segan melarang teman-teman Anda (terutama yang beda gender) untuk dekat-dekat. Ini juga dilakukan di belakang Anda.

Jangan heran kalau lama-lama semua teman Anda lantas melipir…lalu ngacir. Awas, ada anjing – eh, pacar – galak!

Jangan pernah memberikan password ponsel dan akun media sosial Anda. Bisa-bisa separuh daftar nama teman hilang dalam sekejap. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia?

 

  1. Anda mulai sering dilanda stres.

Kapan terakhir kali bisa tersenyum dan tertawa lepas? Sering sakit kepala dan susah tidur? Kadar emosi naik-turun tanpa sebab jelas?

Jangan-jangan Anda stres. Cinta sama pasangan sih, boleh. Tapi, sayangilah diri Anda juga. Jangan sampai kesehatan Anda jadi korban.

 

  1. Si dia malah selingkuh beneran untuk ‘membalas perbuatan Anda’.

Hiks, beramah-tamah sama pelayan restoran saja dihadiahi selingkuh. Tapi, untuk yang satu ini, Anda patut curiga. Jangan-jangan ini hanya alasan mengada-ada, karena sebenarnya dia-lah yang tukang selingkuh namun egois.

 

  1. Anda mulai sering ‘kucing-kucingan’ dan tidak bisa lagi jujur sama si dia. Bahkan, bisa jadi Anda malah memilih selingkuh beneran agar ‘penderitaan’ Anda berakhir, meski mengorbankan reputasi Anda.

Ini ibarat lirik lagu Slank:

“Ngebohong salah…jujur malah tambah salah…”

Anda lelah dicurigai terus-terusan. Lama-lama Anda memilih ‘kucing-kucingan’ sama pacar, bahkan selingkuh beneran. Tanggung amat, biar putus sekalian.

Sayangnya, cara ini juga berisiko ‘merusak’ reputasi Anda. Si dia pasti akan bercerita ke mana-mana mengenai betapa brengseknya Anda dan dia-lah yang jadi korban. Mau?

 

  1. Si dia sering banget mengancam “Putus!” Eh, giliran dikabulkan, malah mengancam bunuh diri!

Emotional blackmailer selalu berusaha bikin Anda merasa bersalah karena nggak mau menuruti semua keinginan mereka. Bahkan, ucapan khas mereka lainnya adalah: “Aku nggak mungkin kayak gini kalo bukan gara-gara kamu.”

Nah, lho.

 

  1. Saat mengajak teman-teman kumpul tanpa kehadiran si dia, mereka malah was-was.

Mereka senang melihat Anda. (Ya, apalagi sudah lama sekali kalian nggak nongkrong bareng.) Namun, pertanyaan berikut mereka keluar dengan nada was-was:

“Pacarmu mana?”

Ini sudah pertanda sangat serius bila Anda sampai harus menunggu si dia sibuk, keluar kota, atau keluar negeri sekalian – hanya biar bisa nongkrong sama teman-teman.

 

  1. Puncaknya: Anda atau si dia sama-sama berpotensi sebagai pelaku kekerasan dalam hubungan.

Silakan cek berita kriminal. Ada berapa kasus kekerasan dan pembunuhan akibat cemburu buta?

 

Tentu saja, kita tidak bisa langsung memperlakukan pasangan pencemburu buta sebagai pribadi mengerikan yang harus dijauhi. Kalau memang masih sayang dan percaya bahwa hubungan kalian masih bisa diselamatkan, kenapa tidak mencari tahu sebabnya dan mencari solusinya bersama-sama?

Mungkin si dia punya trauma masa lalu, seperti pernah ditinggalkan pacar sebelumnya karena selingkuh. Mungkin juga rasa minder membuatnya begitu posesif sama Anda karena takut kehilangan. Apa pun itu, cobalah mendampinginya dalam masa pemulihan. Jangan takut konseling ke psikolog bila diperlukan.

Kalau si dia masih cemburu juga? Semua terserah Anda. Masih mau mempertahankan cinta tapi terpenjara dan tersiksa…atau mencari hubungan yang lebih ‘sehat dan seimbang’?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“DI DALAM BILIK DAN LAMAN MEDIA SOSIAL”

“Di Dalam Bilik dan Laman Media Sosial”

Dulu sekali, saya pernah membahas ini dengan seorang kawan ekspat. Dulu sekali, sebelum media sosial seberpengaruh ini.

“Kalian aneh, deh,” komentar kawan saya. “Mau milih partai politik atau calon presiden saja pakai cerita ke mana-mana. Padahal pas ‘nyoblos’ juga ngumpet di dalam bilik.”

Iya juga. Lalu, karena waktu itu tidak punya penjelasan cukup masuk akal untuk berargumen, saya biarkan saja kawan saya melanjutkan:

“Kalau begitu, ngapain ‘nyoblos’-nya di balik bilik? Mending di depan semua orang aja sekalian.”

Jujur, saya sepakat dengan argumen kawan saya. Mungkin semakin relevan dengan adanya laman media sosial dan berita digital lainnya. Setiap netizen bebas mengakses info apa pun mengenai calon pemimpin yang mereka jagokan, entah itu konten berita, kampanye, hingga…hoax.

Setelah itu, mereka tinggal reshare konten tersebut pada laman media sosial mereka. Bahkan, sebagai pembanding, mereka juga memposting tautan artikel mengenai “keburukan” para saingan dari calon yang mereka jagokan.

Terdengar familiar? Mungkin Anda pernah – dan masih – melakukannya. Anda bukan satu-satunya. Percayalah, saya dulu juga pernah. Tidak perlu bangga atau terlalu malu. Cukup jadikan pembelajaran saja.

Secara nggak langsung, para pendukung politisi berikut menjadi ‘perpanjangan tangan’ dari juru kampanye mereka. Semakin viral, semakin banyak yang ngeh dengan nama calon tersebut, berikut sepak-terjangnya.

Hmm, bagaimana dengan saya sendiri?

Jujur, saya sempat melakukan kesalahan serupa (setidaknya menurut saya) saat PILPRES (pemilihan presiden) lalu. Meski pas nyoblos ngumpet di dalam bilik, semua orang sudah menebak pilihan saya dari laman media sosial saya. Menarik sih, saat membahas soal politik saat itu – terutama dengan pihak yang berseberangan.

Sayangnya, tidak semua orang bisa bersikap dewasa menghadapi perbedaan. Nggak setuju ya, nggak apa-apa. Pilihan saya dengan ibu saya waktu itu juga berbeda. Masa hanya gara-gara itu saya jadi konyol dan durhaka sama ibu saya?

Yang saya tidak suka adalah sikap kasar, saling menghina, menghakimi, dan bahkan menyumpah-nyumpahi serta mengancam mereka yang pilihannya ‘berbeda’. Saya tidak suka dengan yang hobi mendikte pilihan orang, bahkan diikuti hinaan ‘bodoh’, ‘kafir’, ‘teroris’, ‘ekstrimis’, ‘komunis’, dan ‘is-is’ lainnya yang dianggap negatif. Belum lagi ancaman ‘bunuh’, ‘penggal’, dan ‘bakar’. Sudah terlalu banyak dan maaf…saya sudah kelewat muak.

Apakah dengan memilih satu calon pemimpin (siapa pun dan apa pun alasannya) lantas urusan kita selesai? Apakah calon tersebut lantas saya anggap sempurna tanpa cela?

Harusnya sederhana, kok. Bila kerjaan mereka bagus, saya apresiasi. (Jangan pedulikan ucapan sinis: “Ah, pencitraan!”) Kalau tidak, wajib saya kritik dan kasih saran atau solusi. Kalau cuma kritikan tanpa solusi (dan malah lebih banyak caci-maki), anak kecil juga bisa.

Karena itulah, untuk PILKADA kali ini (15 Februari 2017), saya memilih untuk tidak lagi mengulangi yang sama. Saya tidak akan bercerita pada siapa pun mengenai calon yang akan saya pilih. Terserah mau dibilang pengecut. Saya hanya malas ribut.

Biarlah kali ini cukup saya dan Tuhan yang tahu…

R.