Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“TERLALU DINI UNTUK CINTA?”

“Terlalu Dini untuk Cinta?”

Enggan kusebut ini cinta

Terlalu dini rasanya

mengingat kita jarang berjumpa

 

Kurasa ini masih ambigu

dan aku masih terlalu malu

Mungkin kau tertawa bila tahu

 

Namun ada yang nyata

seperti senyum itu yang mencipta bahagia

atau sajak-sajakmu penembus sukma…

 

…atau air matamu yang membuat pilu

Ah, rasanya aku terlalu lama terpaku

Mungkin ini hanya angan-angan semu

 

Mungkin terlalu dini

Mungkin aku yang harus tahu diri

jangan berharap pada yang belum pasti…

 

Barangkali ini juga ilusi

ibarat candu abadi

penawar rindu dalam sunyi

mencoba berdamai dengan sepi…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“TENTANG KEBAYA DAN ESENSI SEJATI HARI KARTINI”

“Tentang Kebaya dan Esensi Sejati Hari Kartini”

Tahun lalu, saya pernah menulis tentang perayaan Hari Kartini yang – menurut saya, nih – begitu-begitu saja. Kalau nggak lomba berkebaya, dandan secantik-cantiknya, hingga ikut lomba memasak dan kegiatan domestik lainnya.

Ya, mungkin saya agak blak-blakan, sehingga ada yang tersinggung. (http://www.kompasiana.com/rubyastari/memaknai-hari-kartini-tanpa-perlu-jadi-maniak-berkebaya-dalam-sehari_5719e4333dafbd4f0739a7cb) Masalahnya, saya gemas dengan perayaan Hari Kartini yang sudah terlalu lama melenceng jauh dari cita-cita beliau sesungguhnya.

Hak berpendidikan, berkarir, berkarya, dan memilih jalan hidup bagi seorang perempuan. Hak merasa aman keluar rumah hingga menjadi diri sendiri. Hak untuk mandiri dan tidak direndahkan oleh siapa pun, baik dari laki-laki dan bahkan sesama perempuan itu sendiri.

Lalu, apa makna yang bisa didapat dari ‘hanya berkebaya dalam sehari’? Nggak perlu menunggu Hari Kartini, mau ke kawinan saja juga bisa. Mau pakai tiap hari juga nggak ada yang melarang, selama Anda nggak harus lari-lari mengejar bus kota, naik kereta yang kadang pijakan gerbongnya (terlalu) tinggi, hingga keribetan khas ibukota lainnya sehari-hari.

Lalu, tentang lomba memasak. Meskipun tidak ada yang salah dengan kegiatan ini, saya tetap tidak bisa menemukan hubungannya dengan perayaan Hari Kartini. Toh, pada dasarnya semua manusia tetap butuh makan tiap hari.

Masih menganggap memasak kegiatan yang harus terkait gender tertentu? Ah, kuno. Terus, apa kabar para laki-laki yang jadi koki resto dan hotel?

Oke, saya nggak akan memaksa pencinta tradisi untuk tetap meneruskan sesuatu yang selama ini terasa nyaman. Itu hak Anda.

Namun, saya juga enggan membiarkan diri ini terlena. Masih banyak anak perempuan yang putus sekolah dan (dipaksa) menikah dini, terutama atas nama ekonomi. Masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, yang pastinya nggak bisa diabaikan begitu saja – apalagi hanya dengan simbol ‘kebaya’ yang jelas-jelas nggak relevan.

Intinya, saya nggak akan bosan untuk mengingatkan: masih banyak hal yang jauh lebih penting dan mendesak untuk ditangani, daripada sekadar tampil cantik berkebaya dalam sehari. 

Selamat Hari Kartini. Semoga perempuan tidak lagi hanya dipandang sebagai beban ekonomi, sehingga dipaksa menikah dini yang berujung pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kehancuran diri…

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“TANGAN-TANGAN PENGATUR SI CANTIK”

“Tangan-tangan Pengatur Si Cantik”

“Kamu cantik.”

Pujian itu selalu kudengar dari kecil. Mereka senang mengajakku bercermin, sambil sesekali memainkan rambut panjangku. Rambut yang tidak boleh dipotong, larang mereka.

“Nanti kamu keliatan kayak anak laki-laki, nggak cantik lagi.”

Padahal, aku gerah. Panas, apalagi siang-siang. Aku juga dilarang main lari-larian di kebun bareng abangku dan para sepupu. Kata mereka, anak perempuan harus anggun, duduk manis, dan penurut. Nggak boleh berkotor-kotor. Nanti nggak cantik lagi.

Jadilah aku duduk di antara para tetua, dengan gaun putih bersihku. Sesekali tangan Bunda membetulkan cara dudukku atau menyibakkan rambutku yang mulai kembali berantakan. Nggak peduli aku yang cemberut karena malu jadi tontonan.

Membosankan.

Bunda, aku bukan boneka. Aku anakmu…

-***-

“Kamu cantik.”

Setiap gadis remaja pasti senang mendengar pujian itu, apalagi dari pemuda yang mereka suka di sekolah.

Begitu pula aku. Dia tersenyum padaku, membuatku tersipu. Katanya dia suka dan ingin aku jadi pacarnya. Kuiyakan saja, meski tidak benar-benar mengerti maksudnya.

Awalnya, semua terasa indah. Lama-lama menyebalkan. Sama saja kayak Bunda dan semua orang. Terlalu banyak aturan. Aku harus dandan sesuai maunya. Nggak boleh pulang terlalu malam, kecuali hanya kalau sedang jalan sama dia. Jangan keseringan nongkrong sama teman-teman, dia kesepian.

Jangan berteman sama laki-laki lain, dia cemburu.

Akhirnya, aku lelah. Aku minta putus. Di luar dugaan, dia malah menamparku. Lalu, malam itu dia membantingku ke tanah. Aku ingin menjerit, namun tangannya langsung beringas membungkamku.

Malam itu, tangannya menjelma seribu. Sia-sia aku melawan. Dia terus menimpaku, memukuliku seakan aku adalah sansak untuk petinju.

Lalu, seperti anak kecil bermain boneka, dia mulai melucuti pakaianku. Satu-satu…

-***-

“Bunda, aku masih cantik, ‘kan?”

Aku bingung. Kenapa Bunda menangis? Aku ‘kan cuma tanya.

Luka-luka di wajah dan tubuhku sudah berkurang banyak, meski hidungku tidak lagi sama. Daguku juga sedikit bergeser.

Mereka tidak pernah menangkapnya. Kata mereka, di sini setidaknya aku aman. Banyak tangan yang mengurusku. Mereka sangat memanjakanku, seperti seorang putri raja. Membangunkanku tiap pagi, memandikanku, mendandaniku seperti boneka cantik. Seperti Bunda dan semua orang dulu.

Mereka sabar dan baik sekali. Mereka menyuapiku saat makan. Kurasa mereka semua malaikat berbaju serba putih.

“Bunda jangan menangis. Lihat, akhirnya aku bisa duduk diam dan anggun. Lihat, kali ini aku menurut, kok. Aku masih cantik ‘kan, Bunda?”

R.

(Dari Monday Flash Fiction Prompt#138: “Tangan-tangan” http://www.mondayflashfiction.com/2017/04/prompt-138-tangan-tangan.html?m=1  – 359 kata.)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“KAU TIDAK PERNAH TAHU”

“Kau Tidak Pernah Tahu”

Kau hanya tahu nama

tanpa pernah ingin mengenalnya

Kau hapal wajah

namun curhatnya mungkin bikin kau lelah

 

Kau terlalu bahagia

Ya, tiada yang sempurna

Kau kira kau tahu semua

termasuk cara menyelamatkan nyawa

 

Kau tidak pernah benar-benar tahu

Kau hanya tahu mereka menyerah

mengejar alam barzah

kalah oleh masalah

 

Bagimu mereka pengecut

yang baru segitu sudah kalut

Kamu sibuk bikin status tentang mereka

jiwa-jiwa merana

tanpa peduli kawan dan keluarga

yang kehilangan dan berduka

lalu kian terluka

setelah membaca gunjinganmu di social media…

 

Kau kira kau tahu segalanya

tapi bahkan enggan mendekati mereka

mengajak bicara

menjadi pendengar yang sabar

mencegah mereka menyerah…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“BUNUH DIRI”

BUNUH DIRI:

“Tentang Mereka yang ‘Menyerah’ dan yang Ditinggalkan…”

Masih segar di ingatan saya saat mendengar kabar duka mengenai Tommy Page, salah satu penyanyi pop favorit masa remaja saya, serta video live bunuh diri seorang laki-laki yang sempat menggegerkan hadirin Facebook dan sekitarnya.

Jumat minggu lalu, saya makan siang di salah satu warung langganan saat yang punya memberi kabar mengejutkan:

Ada mahasiswa dari kampus dekat warung yang terjun dari lantai teratas gedung kampusnya malam sebelumnya, sekitar pukul sepuluh. Penyebabnya? Hingga kini saya memilih tidak mau tahu, meski rasa penasaran sempat mendorong saya ke TKP hari itu juga. Penasaran dan mumpung dekat.

Apa yang saya harapkan begitu tiba di sana? Jujur, nyaris tidak ada. Karena kejadiannya malam sebelumnya dan pas jam-jam sepi, pasti penanganannya lebih cepat.

Benar dugaan saya. Nggak ada lagi police line. Semua sudah dibersihkan. Bahkan, dengar-dengar pihak kampus melarang pers memasuki wilayah kampus dan mencari tahu lebih lanjut.

Yang ada hanya desas-desus hingga spekulasi. Kata “bunuh diri” disebut berkali-kali. Ada wajah-wajah bingung bercampur penasaran.

Seperti kasus-kasus serupa, efek domino pun terjadi. Sebagian bisa dibayangkan, sisanya silakan dilihat.

Orang tua, keluarga, dan kawan-kawan dekat mendiang yang bersedih. Kenalan yang nggak begitu dekat dan bertanya-tanya, entah dalam hati atau ke sana kemari.

Lalu, tukang gosip, para spekulator, hingga pembagi opini ‘cuma-cuma’. Nggak bisa dicegah, meski sayangnya…mereka nggak sadar dengan bahayanya. Bolehlah berpendapat dan mengingatkan bahwa bunuh diri itu dosa dalam semua ajaran agama, apa pun alasannya.

Yang bablas adalah para spekulator dan pemberi opini ini blak-blakan menyebut semua pelaku bunuh diri sebagai pendosa berwatak lemah, cengeng, dan mudah menyerah. Lucunya, kenal aja juga enggak.

Benarkah mahasiswa itu bunuh diri? Entahlah. Kalau dipikir-pikir, ngapain dia selarut malam itu ada di gedung kampus, lantai teratas pula? Ada yang tahu?

Kita nggak pernah benar-benar tahu penyebab bunuh diri seseorang, kecuali bila mereka meninggalkan pesan atau usaha gagal dan mereka dipaksa bercerita. Atau ada ahli medis dan keluarga yang mengetahui lebih jelas sejarah depresi mereka.

Sayangnya, masalah gangguan mental atau depresi masih begitu mudah distigma di sini. Mereka yang dengan entengnya mencerca, terutama di media sosial, sering melupakan satu hal penting ini:

Orang tua, keluarga, dan teman-teman dekat pelaku yang berduka. Bayangkan perasaan mereka saat membaca komentar merendahkan di media sosial mengenai sosok yang mereka sayangi, rindukan, dan mungkin kasihani. Komentar-komentar dari orang-orang yang tidak kenal lagi.

Singkat saja, ya. Kalau belum bisa membayangkan perasaan mereka, sekarang mari kita balik keadaannya:

Bagaimana bila pelaku bunuh diri adalah orang yang Anda kenal (dan mungkin sangat Anda sayangi), lalu Anda membaca komentar-komentar bernada menghakimi serupa di media sosial tentang mereka?

Toh, komentar-komentar itu cuma hanya akan semakin melukai hati mereka yang ditinggalkan. Kenal juga belum tentu.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“UNTUK PUJANGGA DENGAN SAJAK-SAJAK INDAHNYA”

“Untuk Pujangga dengan Sajak-sajak Indahnya”

Terlalu malu kusebut namamu

terutama karena kita jarang bertemu

Ah, siapakah aku?

Hanya sosok yang senang belajar selalu

 

Kau tak tahu

wajahmu mulai terpatri di benakku

Mungkin karena sajak-sajak itu

menumbuhkan rasa yang mungkin masih ambigu

atau malah semu dan tabu

 

Untuk saat ini,

aku hanya ingin menikmati sajak-sajakmu

Mungkin aku masih belum berani

berharap lebih dari itu…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis

“BESAR PASAK DARIPADA TIANG”

“Besar Pasak Daripada Tiang” (Tantangan Menulis Kontenesia Gathering, 19 Februari 2017)

Dulu saya sempat berjanji pada kru redaksi Kontenesia. Janji apa? Saya akan mem-posting tantangan menulis lucu-lucuan ini waktu di Jogja.

Namun, catatan kemarin sempat hilang. Berdasarkan ingatan, inilah tantangan menulis lucu-lucuan yang sempat saya lakukan bareng Saudara Adi waktu itu:

“Besar Pasak Daripada Tiang”

(Dua orang baru saja dinobatkan sebagai pemburu vampir. Tugas perdana mereka? Membasmi pasukan vampir yang menguasai satu kota. Namun, malam itu keduanya sibuk berdebat perihal penggunaan senjata.)

Adi: “Kita pake tiang aja.”

Ruby: “Apa? Nggak salah, tuh? Mending pake pasak aja.”

Adi: “Ah, ngapain? Tiang lebih gampang ditemukan. Lebih panjang pula.”

Ruby: “Tapi pasak lebih besar.”

Adi: “Tiang!”

Ruby: “Pasak!”

Adi: “Tiang!”

Ruby: “Pasak!”

Adi: “Tiang!”

Ruby: “Pasak!”

(Sayangnya, pertengkaran mereka terdengar oleh pasukan vampir. Kedua pemburu vampir itu pun tewas mengenaskan…bahkan sebelum melaksanakan tugas perdana mereka. Semuanya gara-gara mereka sibuk meributkan senjata apa yang mau mereka gunakan: pasak apa tiang?)

Sekian.

Garing? Biarin. Kadang ini yang bisa didapat dari mengikuti tantangan menulis selama 30 menit. Tapi, waktu itu sih, kami cukup bikin ketawa para kru redaksi.

Ingin tahu kami bisa menulis apa lagi? Tenang, tidak hanya lelucon jayus. Kami juga bisa menulis yang serius. Cek saja website kami di http://kontenesia.com/.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“SENDIRIAN VERSUS BARENGAN”

“SENDIRIAN VERSUS BARENGAN: Mau Mandiri atau Main Tunggu-tungguan?”

Dalam perjalanan ke bioskop terdekat, saya papasan sama teman dan pacarnya. Kami pun terlibat dalam percakapan ini:

Teman: “Mo kemana?”

Saya: “Nonton.”

Teman: “Nonton apaan?”

Saya: (menyebutkan judul film)

Teman: (sumringah) “Wah, aku juga mo nonton itu sebenernya.” (langsung nyenggol dan berpaling pada pacarnya) “Tapi dia gak mo nonton itu, sih.”

Pacar: (nyengir)

Teman: (melihat saya) “Mo nonton ama siapa?”

Saya: “Sendiri.”

Teman: (kaget) “Kok sendiri?”

Oke, adegannya saya pause dulu sampai sini, ya. Ntar lanjut lagi.

Pasti sudah banyak yang membahas ini di artikel-artikel lainnya. Saya sendiri pernah menulis tentang ini di sini. Seorang teman dengan blog film-nya, Distopiana, juga pernah menulis hal serupa.

Kenapa, ya? Apa yang salah dengan melakukan apa-apa sendirian? Lagipula juga nggak ganggu orang. Hak asasi pribadi lho, sama kayak bernapas.

Entah kenapa banyak yang langsung memandang saya dengan aneh – atau bahkan terang-terangan menganggap kebiasaan ini menyedihkan, kayak yang bersangkutan nggak punya teman sama sekali.

Oke, sekarang kita lanjutkan lagi sisa obrolan tadi:

Saya: “Iya, sendiri.”

Teman: “Minggu depan aja, deh. Aku gak bisa kalo sekarang atau weekend ini.”

Saya: (menaikkan sebelah alis) “Aku bisanya sekarang.”

Teman: (tampak kecewa) “Oh, oke. Met nonton kalo gitu.”

Bisa dibilang, saya suka menjaga keseimbangan sebisa mungkin dalam hal ini. Nggak ada hubungannya dengan fakta bahwa saya anak tengah. Ada kalanya saya memang ingin bersenang-senang dengan orang lain atau sekelompok orang, seperti: keluarga, teman, atau siapa saja.

Ada kalanya saya hanya ingin melakukan sesuatu sendirian dan rasanya seru juga. Lagipula, kalo dipikir-pikir, nonton film di bioskop sendirian juga nyaman. Kenapa harus selalu menunggu teman? Toh, pas film diputar, kita akan sibuk dengan alam pikiran masing-masing saat menonton. Kalo ngobrol mah, namanya ganggu penonton lain. (Ini juga etiket yang entah kenapa masih belum juga dipahami mayoritas penonton Indonesia, sayangnya.)

Kalo mo nonton sambil ngobrol mah, mending di rumah aja. Nunggu film itu keluar di saluran berbayar macam HBO atau TV lokal (iya kalo ditayangin).Cari DVD ori (kalo ada budget dan bila Anda sangat menghargai karya seni) atau bajakan – atau ngunduh sekalian yang gratisan kalo emang udah nggak sabaran. (Risiko tanggung sendiri, seperti biasa.)

“Tapi ‘kan lebih seru kalo abis nonton langsung ada temen yang bisa diajak diskusi soal film itu.”

Hmm, mungkin itu menurut Anda. Terserah, sih. Tiap orang ‘kan, beda-beda. Termasuk saya. Mungkin saja ada yang tidak merasakan hal itu sebagai kebutuhan yang sangat mendesak.

Butuh banget diskusi sama teman? Nontonnya juga nggak perlu selalu barengan. Bisa aja Anda nonton sekarang sementara besok giliran teman, terus pas ketemu langsung diskusi, deh.

Salah satu yang kadang bikin saya segan saat harus melakukan sesuatu barengan orang lain adalah…perkara main tunggu-tungguan. Ya, nunggu semua teman segeng punya waktu luang di saat yang sama. Nunggu si dia lagi nggak sibuk.

Nunggu ada yang mau nemenin…

Apa iya semua harus kayak gitu? Apalagi bila misalnya selera hiburan Anda termasuk minoritas. Teman-teman segeng lebih suka K-Pop, sementara Anda sukanya musik indie. Si dia ogah diajak nonton musikal, sementara Anda muak nemenin dia nonton film action yang premis ceritanya begitu-begitu aja.

Selain itu, bayangin juga bila Anda sudah janjian sama mereka, entah itu untuk nonton bareng atau cuma ketemuan. Ehh, di saat-saat terakhir mereka malah batal datang. Masih bagus kalo ngabarin atau ngasih alasan.

Kalo enggak? Tinggal coret nama mereka dari daftar undangan, apalagi bila keseringan. Tunggu aja mereka ngabarin bila udah nggak sibuk lagi. Gitu aja, nggak usah pake drama.

Paling parah bila Anda sudah kepalang beli tiket. Meskipun misalnya mereka janji akan mengganti duit yang terlanjur hilang, tetap saja menjengkelkan.

Bila acaranya memang benar-benar yang ingin Anda tonton, apakah lantas nggak jadi cuma gara-gara “nggak ada yang nemenin”? Justru malah Anda yang rugi.

Takut garing atau mati gaya? Justru ini saat Anda bisa fokus total sama yang Anda tonton. Nggak perlu keganggu sama temen yang suka komentar atau nyalain hape yang sinar di layarnya bisa bikin sakit mata dan Anda jadi ingin membanting hape mereka ke lantai.

Nggak perlu keganggu pas si dia mendadak ngajak ngobrol atau… (*silakan isi sendiri, saya malah ngeri, hihihi*) Bukannya sok moralis ya, tapi saya bukan orang yang rela buang-buang duit dengan niat nonton film di bioskop…buntutnya malah “bikin adegan film sendiri”. Males banget.

Selain itu, Anda pegang kendali penuh atas hiburan yang Anda inginkan hari itu. Nggak perlu kalah suara sama teman-teman segeng soal selera. Nggak perlu berdebat dengan si dia soal genre pilihan.

Dengan kata lain, ini hari bebas konflik. Silakan puas-puasin memanjakan diri. Nggak perlu tergantung atau menuruti siapa saja (kadang dengan setengah hati, dengan alasan nggak mau ribut atau dicap perusak suasana alias “nggak asyik”.)

Lagipula, kalo merasa bahwa menghabiskan waktu dengan diri sendiri adalah menyedihkan, bayangkan anggapan mereka yang menghabiskan waktu dengan Anda.

Ya, persis.

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“CERMIN UNTUK SANG PRIMADONA”

“Cermin untuk Sang Primadona”

Terkejutlah, wahai sang primadona

kau yang gemar pura-pura

berlagak bersahaja

hanya agar dikagumi semua

namun dusta adanya

 

Ada tipu dalam senyummu

Sikap manis yang palsu

Kau kira kau begitu lucu

setiap kali merendahkanku

 

Aku tak heran, wahai primadona

Aku sudah biasa dihina

termasuk dianggap perasa

Lama-lama aku diam saja

 

Akan ada masa

tabirmu tersibak sempurna

di depan mereka semua

yang melihatmu apa adanya

 

Ah, sekian saja

Ternyata kau punya cacat yang sama

Selamat berkaca

Aku bahkan tak lagi perlu berucap apa-apa…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“5 ALASAN SAYA BUKAN FASHION BLOGGER”

Fashion? Saya? Mungkin yang sudah kenal dan pernah melihat saya tidak akan percaya. Mungkin ada juga yang berharap bahwa akhirnya – sebagai perempuan – saya mulai lebih peduli penampilan. Tapi…ah, kenapa sih, harus selalu dikaitkan dengan ‘perempuan’?

Oke, memang perempuan rata-rata suka dandan dan peduli penampilan. Nggak cuma food blogger, fashion blogger juga banyak. Apakah lantas saya juga wajib ikutan?

Inilah lima (5) alasan saya bukan fashion blogger:

1. Saya memang aslinya nggak gitu suka dandan.

Kapan saya pernah kelihatan dandan? Saat kerja, acara formal, atau ke kawinan. Nge-date mungkin termasuk, meski tergantung jenis acaranya.

Gara-gara pada jarang melihat saya dandan, banyak yang minta: “Tiap hari kayak gini, dong. Biar cantik.” (Hiks, jadi kalo enggak berarti enggak cantik, dong? *baper kumat* )

Alamat bisa telat ngantor dan kurang tidur kalau mau dandan maksimal seperti yang mereka minta kalau tiap hari. Mungkin banyak perempuan lain yang tidak keberatan dan itu terserah mereka. Tapi saya…

 

2. Saya chubby, tomboy, dan…sempet minder.

Dulu sih, fashion untuk kategori XL belum semarak dan semodis sekarang. Pilihannya masih sangat terbatas. Makanya, saya sempat malas belanja pakaian, kecuali kalau memang udah kepaksa banget. Misalnya:

  • Baju lama udah kesempitan. (Hiks, selalu malu mengakuinya.)
  • Warnanya sudah pudar dan kainnya menipis. (Alamat “turun pangkat” jadi baju tidur.)
  • Rusak atau robek.
  • Mulai diprotes banyak orang: “Perasaan baju lo itu-itu terus, deh. Nggak ada yang lain apa?” (Beliin-lah, jangan cuma protes doang. Hehehe.)

Kebetulan, saya juga tomboy. Lebih suka pakai kaos dan celana panjang (yah, meski sekarang mulai sedikit lebih kompromi). Dulu suka kesal saat ke bagian pakaian perempuan dan nggak nemu ukuran saya.

Solusinya? Beli baju laki-laki atau pinjam punya adik yang sudah lama tidak dipakai. Tapi, lama-lama adik protes: “Beli sendiri-lah!” Kakak perempuan juga sama: “Jangan pake baju cowok terus, dong!”

Solusi dari Mama? Beli kain dari toko lalu ke penjahit langganan. Selain itu, lebih banyak berburu barang di distro atau ITC.

From: dreamstime.com

3. Saya memang nggak suka belanja baju maupun ke salon.

Saya lebih tertarik ke bazaar buku murah daripada midnight sale. Yang bikin kesel, komentar-komentar yang muncul seperti ini:

“Kok aneh, ya? Padahal elo ‘kan cewek.”

Begitu pula soal ke salon. Kalau nggak kepaksa banget, mendingan nggak usah. (Catatan: Jangan pernah sekali pun menyuruh saya bereksperimen seperti ini: meluruskan/mengecat rambut dan mencabut alis. Lebih baik cabut geraham bungsu daripada cabut alis dan merusak tekstur rambut. TITIK.)

Padahal, nggak lantas saya langsung berganti kelamin ‘kan, hanya gara-gara nggak suka dua kegiatan itu? Memang, kadang manusia suka aneh. Ngakunya menerima perbedaan, tapi giliran tahu soal ini, saya langsung dianggap ‘ajaib’. Padahal ini soal selera, kayak hobi dan makanan favorit.

4. Saya lebih suka sepatu keds dan sandal daripada high heels. Saya bakalan lebih memilih ransel atau tas besar sesuai keperluan.

Entah siapa yang mula-mula punya ide gila bernama sepatu hak tinggi dan menyebar paham bahwa perempuan pasti akan terlihat lebih cantik dan seksi saat memakainya. Bahkan, dengar-dengar malah bangsawan laki-laki di Prancis dulu memakainya atas nama simbol status.

Padahal, lama-lama sepatu high heels amat menyiksa, apalagi yang model stiletto. (Cocok buat senjata pembunuhan. Serius. Tonton aja “Single White Female” kalo nggak percaya.) Selain berisiko kecelakaan saat lari, susah jalan, hingga hak yang tersangkut di lubang trotoar, ini dia daftar beberapa gangguan kesehatan kaki akibat kelamaan memakai high heels:

  • Tumit pecah-pecah
  • Jari-jari kapalan
  • Kuku kaki mudah retak
  • Nyeri sendi
  • Kemungkinan terkena varises di usia senja

Dengan kata lain: seksi di mananya? Mau itu bikinan si Juragan Jimmy atau Mas Manolo yang harganya sampai berdigit-digit itu, tetap saja saya ngeri bila harus memakainya dalam waktu lama.

Hehe, kayak saya sanggup beli aja…

5. Sudah banyak fashion blogger lain yang lebih keren.

Contohnya? Silakan cek punya teman saya: Talkative Tya atau beberapa fashion blogger kece lainnya di sini: https://www.hitsss.com/ini-dia-10-fashion-bloggers-influencers-indonesia-nan-stylish-dan-populer-bagian-1/.

Jadi, kalau mau cari tips seputar penampilan atau review produk kosmetik terbaru, jangan di sini, ya.

R.