Tak terasa, kita sudah di penghujung tahun 2020. Bulan Desember ini, mungkin sudah banyak yang tetap ingin melaksanakan liburan di luar rumah. Banyak juga yang masih khawatir dengan situasi dan kondisi terkini. Makanya, mereka memutuskan untuk liburan di rumah saja. Bahkan, ada yang sudah lama sekali tidak bertemu teman-teman dan keluarga.
Kabar terakhir, angka penularan virus Corona sudah mencapai 8000-an lebih per hari di Jakarta. Hmm, enaknya gimana, ya? Bahkan, mereka yang sudah tertib mengikuti protokol kesehatan masih bisa terkena. Mau marah-marah ke siapa juga percuma. Yang ada kita hanya bisa berusaha.
Banyak sekolah-sekolah yang rencananya akan kembali membuka kelas-kelas biasa pada Januari 2021 nanti. Nah, sampai sini dilemma membuat suara para orang tua terbagi. Ada yang setuju untuk kembali membawa anak-anak mereka ke sekolah. Apalagi, mungkin anak-anak sudah banyak yang kangen dengan teman-teman mereka dan jalan-jalan keluar.
Namun, banyak juga orang tua yang masih belum siap. Alasannya tentu saja takut ketularan. Bahkan, meskipun sudah mengikuti protokol kesehatan, risiko itu tetap ada.
Jadi Enaknya Gimana?
Hmm, rada-rada tricky juga, karena belum tentu semua orang bisa mencapai nilai ideal dalam menjalani New Normal. (Jujur, saya sendiri sebenarnya kurang suka istilah itu. Saya lebih suka menyebutnya “Kebiasaan Baru”.) Ada yang masih harus keluar rumah untuk bekerja dan nggak semua orang punya koneksi internet yang bagus.
Ya, kita semua sedang menunggu vaksin Covid-19 yang diharapkan akan menyudahi pandemi yang praktis mempengaruhi seluruh dunia sepanjang tahun 2020. Apakah tahun 2021 berarti juga harapan baru? Yah, semoga saja begitu.
Yang pasti, jangan merayakan apa-apa kalau Covid-19 belum musnah dulu. Tapi, itu sih, terserah kalian. Jangan marah juga kalau masih banyak yang menjauhi atau menyalahkan kalian bila sampai ada yang ketularan. Masalahnya, ada penderita virus Corona yang sama sekali tidak menunjukkan gejala. Masa kalian masih tega pada sesama?
Hah, apa? Jangan sampai hati bikin sakit? Maksudnya gimana, sih? Bukannya patah hati saja sudah menyakitkan, ya?
Memang. Bohong saja kalo sampai ada yang sok tangguh, mengaku nggak apa-apa. Yang ada hanya mereka yang memutuskan untuk tidak memperlihatkan sakit hati mereka kepada dunia. (Jiaaah…)
Lalu, gimana caranya supaya tidak tambah sakit – alias sakit beneran secara fisik? Oke, waktunya mendetoksifikasi diri sendiri secara bertahap.
Ingat-ingatlah kondisi diri sendiri sebelum bertemu mereka dulu.
Gimana dulu sewaktu belum ketemu / berurusan dengan mereka? Baik-baik saja, ‘kan? Masih punya banyak alasan lain untuk menjalani hidup dengan lebih berbahagia.
Mungkin pas ada mereka, kesannya hidup jadi terasa lebih indah dan penuh warna. Otomatis Anda jadi merasa lebih berbahagia. Pokoknya, luar biasa.
Makanya, begitu mereka pergi (apalagi bila mainnya mendadak begini), Anda langsung patah hati. Wajar sih, tapi usahakan jangan sampai perasaan itu malah bikin Anda jadi sakit badan. Rugi!
Bila sebelum ada mereka hidup masih berjalan, kenapa begitu nggak ada mereka Anda nggak akan mungkin baik-baik saja?
Berilah waktu pada diri sendiri untuk berduka. Tapi, sebaiknya juga jangan terlalu lama. Habis itu, segeralah bangkit kembali.
Dunia ini masih butuh kamu.
Sibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang lebih berarti.
Ayolah, hidup Anda tidak mungkin hanya berkutat di sekitar mereka. Pasti masih banyak lagi hobi maupun kegiatan yang bisa jadi jauh lebih seru dan bermakna. Bila masih punya pekerjaan bergaji bagus (apalagi di era pandemi #Covid19 ini), bersyukurlah.
Saya nggak menjamin bahwa sakitnya akan langsung hilang karena banyak kegiatan. Saya hanya bisa menjamin bahwa semua kegiatan tersebut adalah pengalih perhatian.
Mau sampai kapan? Maaf, itu bukan keputusan saya. Semua tergantung pada usaha dan kepasrahan Anda. Lho, kok pasrah? Ya, iyalah. Meskipun pengen sembuh patah hatinya cepat, ada kalanya berpura-pura bahwa diri baik-baik saja sama sekali bukan solusi. Jalani saja dulu prosesnya…
Tetap menjaga kondisi tubuh.
Sedih kehilangan sosok tersayang itu wajar. Namun, jangan sampai lupa untuk tetap merawat diri. Nggak usah langsung yang serba ekstrim seperti mendadak ganti gaya rambut atau penampilan. Yang sederhana aja dulu, seperti tetap makan makanan sehat, berolahraga teratur, dan tidur yang cukup. Terdengar klise? Coba aja dulu, baru ngomong.
Soalnya, semakin lalai menjaga kondisi tubuh, semakin mudah kita terserang depresi. Nah, nggak mau, ‘kan? Yuk, mulai kembali menyayangi diri sendiri secara bertahap. Yang butuh dukungan orang lain jangan malu untuk meminta tolong.
Berproses untuk merelakan.
Untuk melupakan seseorang yang pernah sangat berarti memang berat. Ada yang butuh waktu lama untuk merelakan, ada yang cepat. Nggak ada yang benar atau salah dalam hal ini.
Nggak usah merasa bersalah bila masih susah move on. Setiap orang prosesnya beda-beda, kok. Gak perlu takut juga dibilang ‘bucin’ (budak cinta) bila ketahuan masih sedih gara-gara si penyebab patah hati.
Berproseslah untuk merelakan. Memaksakan diri untuk melupakan atau pura-pura nggak kenal justru malah berbahaya bagi kesehatan mental. Berlagak gak sakit hati? Apalagi. Malah berbahaya sekali bagi kewarasan diri.
Sekali lagi, patah hati itu wajar. Namanya juga manusia. Biar saja sesama manusia lainnya menyebut Anda baper, bucin, atau bahkan pecundang. Mereka hanyalah sekumpulan mahluk pongah sok tegar. Nggak penting!
Jangan lupa juga untuk menyayangi diri sendiri. Jangan putus sumber dukungan mental dan spiritual Anda dengan yang lain. Ada keluarga, teman, hingga Tuhan.
Pokoknya, jangan sampai jatuh sakit beneran hanya gara-gara patah hati. Belum tentu juga mereka peduli, malah Anda yang rugi sendiri.
Apa yang ada di benak kita saat mendengar kata ‘tak tampak’, ‘tak kasat mata’, atau ‘invisible’ dalam Bahasa Inggris?
Jika masih anak-anak atau memang dasar hobi berkhayal, ada dua (2) kemungkinan yang tergambar di pikiran:
Yang tidak kelihatan pasti sesuatu yang menyeramkan.
“Hiiih…awas, jangan ke situ! Nanti ada setan.”
Sewaktu kecil, mungkin kita pernah ditakut-takuti seperti itu. Agar menurut, ada orang dewasa (mau itu orang tua sendiri, pengasuh, atau siapa pun itu) suka menunjuk-nunjuk satu tempat, terus bilang begitu.
Namanya juga anak-anak. Karena nggak bisa melihat apa pun yang disebut ‘setan’ oleh orang dewasa, imajinasi kita sebagai anak berkembang. Kita mulai mudah (dibuat) cemas atau ketakutan oleh sesuatu yang tidak tampak.
Tapi, ada juga anak-anak yang berani dan malah (tambah) penasaran. Mereka akan balas bertanya:
“Mana setannya? Nggak kelihatan, tuh.”
Selain itu, mereka juga bakal berkhayal seperti ini:
Seperti jubah gaib Harry Potter hingga Invisible Girl –nya Fantastic 4.
Enak ya, kalo punya jubahnya Harry Potter? Bisa menghilang kalo lagi kepingin. Ke mana-mana bebas, gak bakalan kelihatan. Kalo lagi kepingin ngumpet, tinggal pake…terus mojok, deh.
Sayangnya, Susan Storm dari Fantastic 4 nggak bisa milih semudah itu. Kalo lagi stres berat, dia bisa nggak kelihatan seketika. Butuh usaha super ekstra untuk akhirnya bisa mengendalikan diri – biar enggak asal menghilang. Bayangin kalo kamu mendadak jadi tak kasat mata di depan orang yang rentan kena serangan jantung. Hiii…
Nah, itu kalo anak-anak. Kalo remaja dan orang dewasa gimana?
Lebih Rumit: Antara Ingin Dilihat Sekaligus Mendingan Ngumpet Saja
Percaya atau tidak, ternyata banyak juga adegan di novel-novel dan film-film komedi romantis yang terinspirasi dari kejadian nyata. Remaja suka ada yang serba salah: berharap dilirik gebetan, tapi kadang terlalu malu-malu untuk menegur duluan.
Sialnya, yang terjadi justru malah diperhatikan gebetan pada saat yang salah. Misalnya: jatuh di depan umum dengan posisi yang memalukan. Duh, rasanya seperti berharap ditelan bumi sekalian. Begitu pula yang mungkin terjadi saat dewasa.
Kali ini, contohnya juga banyak. Berharap nggak kepergok atasan pas pengen pulang tepat waktu jam kantor selesai, sebelum keburu ditahan buat lemburan. (Meski kerjaan hari itu sudah selesai, bukan nggak mungkin atasan nggak tiba-tiba minta kita ngerjain yang lain, kan? Hmmm…) Berharap ada yang ngeh dengan prestasi di kantor tanpa harus dicap penjilat.
Selain itu, kadang ada harapan ide di kantor tidak terendus duluan oleh rival, yang kemungkinan siap membajak kapan saja kita lengah. Terdengar paranoid? Hmm, hari gini apa yang nggak mungkin, sih?
Dalam hubungan romantis juga demikian. Ada harapan pasangan yang cuek akan lebih menunjukkan penghargaan atas kontribusi Anda dalam hubungan kaliam berdua. Kalau si dia cuek hanya karena kurang ekspresif sih, masih nggak masalah. Lain cerita kalau ternyata dia memang (udah) nggak peduli (lagi). Mau terus atau udahan? Terserah Anda, seperti biasa.
Saya setuju dengan ucapan seorang teman:
“Setiap kali mendengar kata ‘invisible’, kesan yang gue dapet cuma kalo rasanya sedih.”
Bila masih banyak yang berpendapat bahwa sendirian itu menyedihkan, menurut saya malah tidak selalu. Ada yang jauh lebih menyedihkan, yaitu perasaan ‘tidak dianggap’. Ada, namun lebih seperti tiada artinya. Berada di tengah kerumunan, namun tetap merasa kesepian. Lebih sering diperlakukan seperti pajangan, dipamerkan ke mana-mana tanpa pernah ditanya maunya.
Bila bersuara, dianggap sumber keributan. Perusak suasana. Jadinya nggak damai, deh.
Begitu pula dengan mereka yang tiba-tiba (memilih?) ‘menghilang’ dari kehidupan kita…
Bisa jadi, ada rasa tak aman yang tengah mendera. Ketakutan akan disakiti oleh salah satu – atau mungkin lebih – dari mata-mata yang tengah mengawasi mereka. Siapa kawan, siapa lawan? Entahlah. Manusia selalu mudah berubah. Sering, mereka rentan kehilangan arah.
Tentu saja, risikonya adalah terpaksa tidak terlihat oleh orang-orang yang sangat menyayangi mereka. Sedih, itu pasti. Mereka pasti akan merasa sangat kehilangan. Meninggalkan rasa rindu berupa ketidakpastian seperti ini sungguh kejam, tapi mungkin mereka sedang tidak punya pilihan.
Apa salah yang ditinggalkan? Mungkin tidak ada. Mungkin masalahnya jauh lebih rumit dari yang dikira.
Apa pun itu, semoga kita tidak perlu merasa tidak terlihat atau tidak dianggap. Pasti ada kok, yang ngeh dengan keberadaan Anda dan artinya bagi mereka. (Semoga juga selalu karena hal positif, ya.)
Kadang memang lebih baik yang memperhatikan Anda yang berkualitas meski hanya sedikit. Setia, tidak mudah menjatuhkan saat Anda terpuruk. Mendukung, namun juga tetap mengkritik agar Anda tetap ingat untuk selalu memperbaiki diri.
Semoga tidak ada lagi yang (merasa perlu) menghilang, hanya demi merasa aman. Suara Anda berhak didengar. Jangan biarkan mereka – atau siapa pun – memaksa Anda untuk bersembunyi.
Memang, tidak semua hal harus diceritakan pada dunia. Namun, mohon jangan biarkan mereka yang menyayangi Anda berduka terlalu lama. Kabar-kabarilah.
Siapa pun dan di mana pun Anda berada saat ini, semoga Anda baik-baik saja. Semoga Anda hanya butuh waktu sendiri, bukan karena takut akan disakiti.
Apa sih, yang ada di benak Anda saat mendengar kata vaksin? Selain imunisasi untuk si kecil, soal vaksin baru terpikirkan saat hendak menikah. Sebagai bagian dari paket perawatan pra-nikah, suntik vaksin dapat membantu kita terhindar dari berbagai penyakit.
Tapi, orang dewasa ternyata juga butuh.
Tentu saja, soal vaksin juga baru terpikirkan saat munculnya virus baru, seperti Covid-19 atau Corona. Sambil menunggu perkembangan penanganan virus tersebut, inilah sekilas tentang vaksin.
Apa Itu Vaksin?
Vaksin adalah bahan antigenik yang merupakan campuran produk biologis antara virus, bakteri, atau campuran keduanya yang dibuat lemah. Pemberian vaksin dinamakan imunisasi – dan tidak hanya bayi dan anak-anak yang mendapatkannya.
Memang, bayi dan anak-anak menjadi prioritas utama dalam pemberian vaksin. Namun, bukan berarti orang dewasa sudah tidak membutuhkannya lagi. Banyak alasan bahwa orang dewasa pun masih membutuhkan vaksin, seperti:
Mereka yang sudah berusia lanjut.
Ibu yang sedang hamil maupun menyusui.
Mereka yang mengidap penyakit kronis, seperti: diabetes, jantung, kolesterol, asma, dan masih banyak lagi.
Mereka yang punya riwayat penyakit berat, infeksi serius, hingga pernah menjalani operasi, sehingga otomatis berdaya tahan tubuh lebih lemah.
Mereka yang belum pernah mendapatkan imunisasi wajib apa pun.
Mereka yang berprofesi di tempat-tempat rawan penyebaran penyakit. Misalnya: tenaga kesehatan yang saat ini masih menangani kasus penderita Covid-19. Mereka tetap membutuhkan vaksin agar ketahanan tubuh mereka terjaga dengan baik.
Beberapa Penyakit Oleh Virus Ini Membutuhkan Vaksin:
Meskipun saat ini dunia masih sibuk menangani Covid-19, jangan lupakan pentingnya mendapatkan vaksin untuk beberapa penyakit lain.
Flu/Influenza HA
Masih banyak yang menyamakan penyakit ini dengan pilek biasa (common cold). Padahal, virus yang menyerang berbeda. Memang, keduanya sama-sama menyerang hidung, tenggorokan, hingga paru-paru. Penderita akan mengalami serangkaian gejala, seperti: demam, sakit kepala, pilek, batuk, hingga hidung tersumbat.
Flu lebih parah dan selalu menyerang mendadak daripada pilek biasa. Tidak hanya tiga hingga empat hari sesudah penderita tertular, bahkan sebelum gejalanya muncul, virus dapat tersebar dengan cepat dan mudah.
Meningitis
Sekilas gejalanya mirip dengan flu, karena diawali sakit kepala dan demam. Namun, meningitis adalah peradangan yang menyerang lapisan pelindung otak dan saraf tulang belakang. Beberapa penyebabnya bisa karena infeksi bakteri, virus, jamur, atau parasit. Sistem imunitas tubuh yang sedang lemah juga rentan diserang oleh meningitis dan bakteri penyebabnya adalah pnemokokus (streptococcus pneumoniae).
Sekilas Soal Pnemokokus:
Infeksi akibat bakteri pnemokokus (streptococcus pneumoniae) dapat menyebabkan berbagai penyakit berbahaya, seperti: meningitis dan pneumonia. Untuk melindungi diri dari bakteri ini, kita harus mendapatkan vaksin PCV (pneumococcal conjugative vaccination).
Cara Mendapatkan Vaksin
Sekarang sudah banyak pilihan tempat untuk mendapatkan vaksin untuk orang dewasa. Bagi yang tinggal di Medan, mendapatkan vaksin Medan untuk orang dewasa sudah lebih mudah. Halodoc merekomendasikan Klinik Zap di Medan. Sun Plaza termasuk salah satu tempat Klinik Zap berada.
Bila masih ingin mencari pengetahuan lebih atau berkonsultasi mengenai vaksin, ada aplikasi Halodoc. Berdiri sejak 2016 di bawah PT.Media Dokter Investama, Halodoc dapat diakses lewat web maupun aplikasi kapan saja. Anda bisa konsultasi bebas dan aman dengan dokter pilihan dan terhubung dalam tiga menit. Ratusan dokter umum dan spesialis yang terdaftar di IDI telah bergabung menggunakan aplikasi ini. Dokter pun hadir dalam 24 jam.
Ini tahun pertamaku bekerja di sebuah lembaga kursus bahasa asing di Kuningan. Waktu itu, aku belum memutuskan untuk tinggal di rumah kosan seperti sekarang ini. Aku masih pulang-pergi ke rumah orang tuaku yang cukup jauh.
Seperti biasa, setiap selesai mengajar di hari Sabtu, sahabatku di tempat kerja, Tony, suka mengajakku nongkrong bareng dulu. Kadang kami makan siang super telat (mengingat kelas kami paling akhir biasanya baru selesai pukul empat sore) di Plaza Festival. Kadang kami main-main sebentar ke apartemennya, duduk mengobrol sambil menonton TV. Kadang aku membantunya memasak sebelum makan malam bersama di sana.
Lalu, bagaimana bila kebetulan Tony sedang tidak bisa menemani setiap Sabtu sore? Tidak masalah. Berlawanan dengan anggapan salah seorang teman kami yang pernah menuduhku terlalu tergantung sama sahabatku itu, aku baik-baik saja. Aku masih bisa makan dan ke mana-mana sendiri. Aku cukup mandiri.
“Kamu belum pernah ke Epicentrum, ya?” tanya Tony suatu ketika. “Coba ke sana deh, isinya juga lebih beragam. Biar mainnya nggak ke Pasfes melulu.”
“Oke.” Makanya, suatu Sabtu sore, kuikuti sarannya. Sampai di Epicentrum, kulihat lantai bawahnya sedang ramai. Ada panggung yang cukup besar di sana. Sebagian kecil kerumunan berada di pinggir panggung.
Tatapanku jatuh pada sebuah laptop kurus tipis berwarna abu-abu di dalam lemari kaca di samping panggung. Ketika kulihat seorang lelaki berseragam merk laptop tersebut sedang menulis di depan rombongan orang yang berbaris, kuhampiri dia. Kutanya: “Ini lagi ada acara apa, sih?”
“Oh, ini lagi ada acara lomba menangin laptop,” jawab lelaki itu santai. Ketika melirikku, dia bertanya, “Mbak mau daftar?”
“Bisa?”
“Boleh.”
Aku girang bukan kepalang. Sesudah mendaftar, kutunggu di bibir panggung bersama yang lainnya dengan sabar. Asli, aku hadir seorang diri, membawa tas kantorku yang lebih mirip tas ibu-ibu sosialita, namun dengan dandanan seadanya. Kaos ungu, jins, sepatu selop, dan rambut ikal panjang yang berantakan ke mana-mana. (Kelar mengajar, biasanya aku suka malas berdandan, kecuali kalau perlu ke acara lain.)
Jadi, cara mendapatkan laptop di lemari kaca itu begini:
Naik ke panggung. Tunggu aba-aba dari layar di depanmu. Begitu mulai, segeralah bergaya dan beraksi segila mungkin di depan kamera. Bagian bawah panggung dilengkapi dengan sensor yang dihubungkan langsung ke kamera dan meteran digital yang tampak di layar. Semakin gila gayamu, semakin tinggi hasil skor meteran pada layar.
Sempat aku menyesal begitu mendaftar. Rata-rata kontestan yang ikutan tampak lebih atletis, fit, dan pede daripada aku. Apalagi yang laki-laki. Mungkinkah si gemuk ini punya peluang?
Ketika giliranku tiba, kuputuskan untuk bersikap masa bodoh. Kalau kalah, ya sudah. Sambil naik ke panggung, kutinggal tas di pinggir dan kulepas sepatuku. Aku bersiap di tengah panggung dan mengatur napas.
Saat kulihat aba-aba dimulai, aku sudah tidak berpikir lagi dan mulai bertingkah sesukanya. Pokoknya, di benakku hanya ada lagu-lagu Metallica satu album dan tubuhku terus bergerak tanpa henti. Entah sudah seperti apa ekspresiku, aku tak lagi peduli.
Aku baru berhenti saat tiba-tiba alarm peringatan berbunyi. Ternyata…meteran digital di layar sudah menunjukkan hasil tertinggi: INSANELY EXCITED! Aku terlalu shock hingga tak sadar kedua lututku gemetaran karena berhenti mendadak sesudah berjoget asal dan gila-gilaan di atas panggung. Penonton bersorak histeris dan bertepuk tangan, lalu tertawa saat melihatku jatuh seketika di panggung.
Sejam kemudian, aku berada di Comic Café, duduk dan masih memandangi laptop baruku dalam kemasan dengan perasaan tidak percaya. Bahkan, saat kukirim SMS ke semua orang yang kuingat saat itu, termasuk Tony, jawaban mereka seakan mendukung rasa tidak percayaku:
“Ma/Dek, jangan kaget, ya.”
“Apaan?”
“Aku baru dapat laptop gratis.”
“…..”
“Tony, guess what?”
“What?”
“I’ve just won myself a free laptop.”
“Very funny.”
-***-
Dua bulan kemudian, adik lelakiku tiba-tiba ditelepon sahabatnya yang bekerja di periklanan. Suaranya terdengar geli.
“Lo dah tau kakak lo menangin laptop?”
“Iya. Dia pulang bawa laptopnya.”
Sementara itu, Tony berhasil menemukan rekaman acara tersebut di YouTube – dan selalu membagikannya ke orang baru, setiap kali percakapan soal itu muncul di tengah-tengah acara nongkrong bareng.
Laptop itulah yang kemudian mengawali karirku di dunia kepenulisan dan digital…