Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“NYATA”

“Nyata”

Akulah nyata bagimu

bukan saat kita saling melempar senyum

atau saling menatap geli dengan senyum dikulum

bahkan bukan selalu saat-saat bahagia itu

 

Aku lebih nyata bagimu

saat benakmu penuh ide-ide itu

agar aku sesuai yang kau mau

namun kau sama sekali tak mengenalku

 

Aku semakin nyata bagimu

bukan sosok ideal, sesuai kriteria

yang akan selalu buatmu bahagia

Ah, kata siapa kamu sendiri segalanya?

 

Aku nyata,

meski di matamu takkan pernah sempurna

Selamat kecewa

karena kau sendiri lupa berkaca…

 

Memangnya kau pikir kau dewa?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“5 ALASAN SAYA BUKAN FOOD BLOGGER”

“5 Alasan Saya Bukan Food Blogger”

Indonesia memang berisi ragam budaya, termasuk dalam hal makanan. Kalau orang Indonesia berkumpul, pasti harus ada makanannya. Mau itu camilan atau makan besar, di rumah atau di resto, pokoknya harus ada.

Apa pun acaranya, jangan lupa makan-makan. Makanya, banyak orang Indonesia yang masih hobi menodong traktiran, menguber diskon di restoran, hingga berharap diundang ke kawinan. Hehehe…

Tidak heran, banyak sekali food blogger di Indonesia. Ada yang cuma karena doyan makan, senang makan sambil nongkrong, hingga beneran suka masak. Bahkan, yang serius sampai membahas latar belakang budaya dan filosofi makanan tersebut.

Lalu, kenapa saya nggak ikutan? Lima (5) alasan ini mungkin dapat menjawab pertanyaan Anda:

1. Saya memang suka makan, namun belum jago masak dan jarang nongkrong.

Selain memang kebutuhan dasar manusia, saya memang suka makan. Ngapain sok jaim? Cuma, rasanya nggak seru kalau hanya itu yang jadi andalan dalam menjadi food blogger. Selain jarang nongkrong (kecuali kalau ada yang mengajak atau memang lagi mood aja), saya juga belum jago masak.

Bahkan, pernah saya keracunan hasil eksperimen sendiri di dapur – sup makaroni dengan campuran daging salmon – yang pastinya GAGAL TOTAL!

2. Saya malas menghadapi kemungkinan komentar-komentar basi dari mereka yang sudah pernah melihat wujud saya.

“Oh, kamu food blogger, toh. Pantes…GENDUT.

Plak!

3. Saya termasuk sulit objektif soal makanan.

Ini sering bikin kesal sahabat saya yang suka masak. Setiap kali dia meminta saya mencoba resep barunya, jawaban saya cuma ada dua: enak atau enak banget.

Kalau sampai ada yang benar-benar nggak enak, kemungkinannya cuma dua:

– Rasanya benar-benar memuakkan sampai bikin saya mau muntah.

– Saya sedang sakit.

Sekian.

4. Saya nggak gitu suka foto-foto makanan dan memamerkannya di blog maupun media sosial.

Daripada keburu dingin, mending langsung dimakan. Apalagi bila saya sudah keburu lapar. Paling gemas kalau pas lagi nongkrong bareng teman, terus mereka melarang saya langsung makan.

“Sebentar ya, Bi.” Klik-klik. “Sabar, gue tau elo udah laper.”

“Buruan.” Begitu kelar…hap!

Selain itu, alasan ini masih relevan dengan alasan nomor dua. Saya ogah dengan kemungkinan munculnya komentar-komentar semacam ini:

“Ya, ampun. Lo makannya beginian semua? Pantes…GENDUT.

*langsung semprotin sambel sebotol ke muka yang ngomong*

5. Sudah banyak food blogger yang lebih keren.

Jujur, saya nggak mau ngekor. Menurut kawan sesama blogger yang sudah lebih profesional, lebih baik cari ciri khas sendiri.

Kalau mau cari info tentang makanan atau tempat nongkrong seru, jangan di sini. Cari saja di Tempat Nongkrong Seru atau QRaved. Atau Google dan tanyalah teman-temanmu yang lebih sering nongkrong daripada saya, hehe.

Lalu, ciri khas saya apa, ya? Seorang teman blogger sudah pernah menebaknya dan dia benar. Kalau menurut kalian apa?

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“KABUT BENAK”

“Kabut Benak”

Kabut menggayut

benak gelap tersaput

Ada lelah dan kalut

 

Wajah-wajah hantu

di balik kabut nan beku

Panas-dingin sendi mengilu

Hati pedih tertikam sembilu

 

Kabut benak

terseret ke peraduan, kau diajak

Lupakan penat

Longgarkan sesak

Belajar pasrah

menerima lelah dan kalah…

 

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

“KOK NGGAK NGUNDANG-NGUNDANG?”

“Kok Nggak Ngundang-ngundang?”

Awal tahun 2017 ini, dua orang kawan baik mengundang saya ke pernikahan mereka. Karena acaranya di luar kota, jauh-jauh hari cuti mengajar hari Sabtu sudah saya urus. Bahkan, sampai niat mau beli tiket kereta segala.

Sayangnya, pas hari H saya malah jatuh sakit. Untung tiket kereta belum terbeli. Daripada konyol pingsan di jalan, mending batal sekalian.

Hiks. Kedua kawan saya untungnya pengertian dan berharap saya cepat sembuh, namun tetap saja saya sedih. Intinya, hari itu saya hanya bisa mengirim doa.

Lima tahunan silam, seorang sahabat lama minta maaf karena tidak bisa mengundang saya ke pernikahannya. Mengapa demikian? Ternyata acaranya di luar negeri, tempat kediaman calon suami.

Selain itu, kedua keluarga calon mempelai sudah sepakat bahwa acaranya akan sangat sederhana dan privat. Hanya keluarga dan kerabat dekat yang diundang.

Karena membayangkan mahalnya biaya (dan saat itu saya juga nggak mungkin ke sana), akhirnya saya hanya menenangkan sahabat dan mengirim doa untuknya.

Saat sahabat kemudian berganti status di media sosial (waktu itu masih era pra-Facebook, alias Friendster) menjadi ‘married’, banyak kawan lamanya semasa kuliah langsung heboh.

“Kok nggak ngundang-ngundang, sih? Kirain kita temen!”

Jujur, saya nggak mau berada di posisi sahabat saat itu. Pasti nggak enak banget, meskipun yang hobi komen gitu justru bukan teman-teman dekat, alias pas masih sekampus pun negur aja enggak.

*krik…krik…krik…*

Tapi, gimana kalo ternyata bener-bener teman dekat? Apa kasusnya selalu seperti saya dan sahabat saya waktu itu?

Sebenernya, saya males banget pake argumen basi macam: “Maklum, namanya juga orang Indonesia. Deket nggak deket, pasti ngarep undangan. Lumayan, sekalian makan gratisan.” Saya juga nggak munafik. Mengingat suka makan, dapet makan gratisan pas kondangan selalu bersyukur.

Siapa juga yang nggak pernah kecewa? Mungkin dulu emang pernah nongkrong bareng sebelum lama terpisah oleh kesibukan masing-masing. Namun, sepertinya mereka lupa mengirimkan undangan saat mau menikah.

Apa jangan-jangan undangannya nyasar, ya?

Ah, sudahlah. Daripada terus nyinyir dan bergunjing gak asyik di belakang mereka, mending cek dulu deh, beberapa kemungkinan di bawah ini:

1. Mereka ingin pernikahan sederhana dan kebetulan dananya terbatas.

Tahu sendiri ‘kan, biaya hidup semakin tinggi setiap tahun? Apalagi bila kedua mempelai memutuskan untuk tinggal di kota besar. Untuk mengakalinya, dana harus dipangkas. Sayangnya, ini juga berakibat ‘terpangkas’- nya daftar undangan. Kebetulan, nama Anda ikut terkena. Kenapa?

Mana saya tahu? Mungkin mereka lebih memprioritaskan keluarga besar, apalagi bila jumlahnya sangat banyak. Yang penting cukup sah, bukan? Selain itu, mereka ingin mencegah kemungkinan Anda datang, namun mengomel-ngomel akibat kehabisan makanan di meja prasmanan.

2. Mereka ingin pernikahan sederhana dan privat.

Ada yang berprinsip bahwa pernikahan yang sah dan sakral tidak perlu mengundang banyak orang. Meskipun selama ini sering nongkrong bareng mereka, Anda nggak bisa berbuat apa-apa bila nama Anda nggak ikut tercantum di daftar undangan. Mau ngatur-ngatur apalagi mengemis? Janganlah.

Nggak perlu ngambek atau nyinyir. Cukup berbesar hati, apalagi bila masih bisa beli makanan sendiri.

3. Ada prioritas di luar resepsi gede-gedean.

Mungkin mereka memilih menabung untuk membeli rumah atau apartemen sendiri dulu, daripada menggelar resepsi gede-gedean – demi mengundang orang banyak – tapi buntutnya masih tinggal di “Pondok Mertua Indah”. Siapa tahu?

4. Undangan nyasar atau hilang di tengah jalan.

Ayolah, nggak semua orang suka menyebar undangan lewat media sosial. Lagipula, cara lama lebih berkesan dan elegan.

Ini bukan cuma terjadi di novel, lirik lagu, atau film. Selain kasus salah tulis alamat, bisa jadi saat baru pindahan, Anda yang lupa mengabari mereka. (Nah, kalo ini salah siapa?)

5. Mereka…lupa.

Hayo, jangan baper dulu. Ini bisa terjadi bila tadinya kalian sering nongkrong bareng, lama-lama makin jarang akibat ‘kesibukan masing-masing’. Apalagi bila sampai beda kota/negara.

Lama-lama? Wajar tho, bila mereka lupa? Siapa tahu bukan Anda satu-satunya (yang merasa) teman dekat mereka. Siapa tahu ada yang benar-benar mereka anggap teman dekat. Siapa tahu sosok-sosok lain itulah yang ada nggak pas mereka lagi gembira aja dan bikin mereka merasa nyaman.

Jadi, mereka-lah yang diprioritaskan.

6. Anda yang justru selama ini terlalu sibuk.

Sering menolak ajakan nongkrong bareng mereka? Bisa jadi, lama-lama mereka malas mengundang Anda untuk ke acara apa pun…termasuk pernikahan mereka.

7. Kalian tidak ‘sedekat itu’.

Meski pahit, terimalah kenyataan ini. Sering nongkrong bareng hingga curhat-curhatan (apalagi termasuk rajin saling memberi likes pada postingan masing-masing di media sosial) nggak lantas menjamin Anda sedekat itu sama mereka.

Solusinya? Cukup beri mereka selamat yang tulus saat bertemu, tanpa menyinggung-nyinggung: “Kok nggak ngundang-ngundang?” Mungkin mereka merasa perlu menjelaskan, tapi jangan banyak berharap. Belum tentu Anda sendiri siap mendengarkan alasannya. Hehehe… *seringai kejam*

8. Teman baik?

Sebelum menuduh mereka sebagai teman yang nggak peduli, coba cek diri sendiri dulu: sudahkah Anda menjadi teman yang baik selama ini? Mungkin, selama ini ada ucapan atau perbuatan Anda yang nggak bikin mereka nyaman. Namun, mereka malas terus terang. Bisa jadi Anda termasuk sosok mudah ngambekan dan selalu merasa paling benar sendiri, bahkan saat ditegur baik-baik sekali pun.

Tapi, gimana kalo mereka yang ‘bermasalah’? Ya, sudah. Ngapain ngarep undangan mereka? Masih banyak kegiatan lain yang bisa Anda lakukan.

Kecewa boleh, asal jangan kelihatan kayak orang yang minta dikasihani. Hargailah diri Anda sedikit.

9. Kombinasi dari kedelapan hal di atas.

Banyak kemungkinan yang terjadi di sini. Sekian.

Karena inilah, saya agak takut menuduh: “Kok nggak ngundang-ngundang?” Memangnya mereka nggak bakalan kecewa, jika teman yang sudah merengek-rengek minta diundang – buntutnya malah nggak datang? Yang lebih parah, nggak kasih kabar pula.

Buat mereka yang pernah mengundang saya ke pernikahan mereka, terima kasih. Bila saat itu berhalangan, saya mohon maaf.

Bagi yang tidak mengundang? Tenang, saya tidak marah. Saya bahkan tetap mendoakan yang terbaik untuk kalian semua.

Semoga saat giliran saya tiba, tidak ada yang terlewat hingga kecewa akibat undangan tak sampai. Aamiin…

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“CEMBURU”

“Cemburu”

Oh, cemburu

Cinta berbelenggu

Perasaan memiliki itu

mengubah rela menjadi paksa

menjajah sesama manusia

yang harusnya bahagia

 

bukan curiga

bahkan murka

hingga gelap mata

Serasa properti

sesak setengah mati

sulit jadi diri sendiri

 

Cemburu

ibarat amarah yang tak mau tahu

rindu dan dendam bersatu

membakar jiwa hingga membara

menyisakan hati penuh luka

oleh benak berprasangka

 

hingga tak sadar

semua kau buat buyar

hingga akhirnya bubar!

 

R.

(Jakarta, 14 Februari 2017 – 9:00)

 

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

“WASPADALAH! INI 13 TANDA SI DIA CEMBURU BUTA”

“WASPADALAH! Ini 13 Tanda Si Dia Cemburu Buta”

Banyak yang masih percaya bahwa cemburu adalah bumbu dari percintaan. Kata mereka, kalau nggak cemburu, berarti nggak benar-benar sayang. Pacar terlalu dekat sama teman lain, kita santai saja. Padahal, bisa saja mereka malah ‘keenakan’ dan buntutnya malah selingkuh.

Selain nggak sayang, nggak cemburu bisa jadi ‘diam-diam selingkuh’. Makanya, jangan tenang dulu kalau si dia santai-santai saja saat kita terlalu dekat dengan kawan yang berlainan jenis. Bisa jadi ini taktiknya agar nggak ketahuan ‘jalan sama yang lain juga’.

Banyak teori seputar kadar cemburu yang wajar. Misalnya: Anda marah saat pacar memanggil teman dengan sebutan ‘sayang’ dan di depan Anda pula? Ya, wajar. Jika pacar saya seperti itu, saya pasti akan langsung mengajaknya ke tempat sepi daaan… (silakan bayangkan sendiri kalau berani.)

Tapi, wajar nggak sih, kalau sedikit-sedikit cemburu? Ini dia 13 tanda si dia sudah cemburu buta, alias kebablasan. Waspadalah!

 

  1. Anda hanya bersikap ramah sama mereka, namun habis itu si dia jutek seharian.

Ini tanda paling klasik sekaligus paling cepat kelihatan. Coba ingat-ingat lagi: gimana interaksi Anda dengan orang lain selama ini, terutama lawan jenis? Masih suka merangkul erat sahabat dan terlalu lama di depan pacar? Jangan heran bila si dia marah.

Namun, bila pasangan keki hanya karena Anda mencium adik atau tersenyum ramah pada pelayan restoran, kemungkinan rasa cemburunya sudah overdosis.

 

  1. Kalian sering berantem hanya karena masalah kecil, seperti lelucon atau perkara naksir selebriti.

Sering mengalami hal konyol macam ini? Anda ketahuan suka dengan selebriti. Lalu si dia bertanya, lebih ganteng/cantik siapa – dia atau mereka?

*krik…krik…krik…*

Sayangnya, apa pun jawaban Anda, ‘bom’ itu akan tetap terpicu dan meledak. Nggak jawab? Makin dicecar, karena Anda dianggap ‘cari mati’. Wakwaw!

 

  1. Kayaknya, si dia butuh banget tahu seluruh perincian kegiatan harian Anda – kalau perlu sampai per detik. Bahkan, medsos Anda pun ikut dipantau!

“Sayang, hari ini mau ke mana?”

“Kerja.”

“Habis itu?”

“Nge-gym.”

“Ama siapa aja?”

“Andi, Niko, Desi, Ivan – “

“Sebentar, Desi itu siapa?”

“Pacarnya Ivan?”

“Beneran? Kok biasanya dia gak ikut?”

“……….”

 

“Habis kerja kujemput, ya?”

“Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok.”

“Kok nggak mau? Hayo, jangan-jangan mau ketemu cowok diem-diem, ya? Siapa dia? Jawab!”

“……….”

 

“Sayang, itu siapa sih, yang suka nge-like sama komen foto-foto kamu di FB? Ganjen amat!”

Sebentar, ini pacar apa satpam? Jangan bilang Anda harus bikin laporan khusus tiap hari. Masih bisa napas?

 

  1. Si dia sampai rela jadi ‘bayangan’ atau bahkan ‘kembar siam’ ..bila memungkinan.

Sekilas rasanya seperti selebriti dan bodyguard-nya. Bedanya, si bodyguard bukan hadir untuk melindungi Anda, melainkan mengawasi Anda agar tidak macam-macam atau ‘dimacam-macamin’ sama orang lain (entah seperti apa maksudnya).

Sekian.

 

  1. Tuduhan “Kamu selingkuh!” lebih sering keluar daripada ucapan sayang.

Ada dua tipe untuk pacar seperti ini. Pertama, yang sok cool depan umum, lalu ‘meledak’ pas tinggal berdua. Masih relatif sopan, padahal hanya jaim agar perilaku ganjil mereka nggak cepat ketahuan.

Kedua, si pembuat drama. Yang ini bahkan nggak segan-segan membentak-bentak Anda di depan umum atau – sialnya – melakukan kekerasan fisik. Tujuannya? Tentu saja mempermalukan Anda sekaligus mencari dukungan para penonton.

Enakan yang mana? Nggak ada. Yang satu bikin Anda merasa deg-degan bak main di film thriller, yang satu bikin keki karena berasa main di sinetron basi.

 

  1. Teman-teman merasa tidak nyaman saat Anda datang dengan si dia.

Iya, mereka tahu betapa Anda sangat mencintainya, meski sulit memahami alasannya. Mungkin Anda punya kesabaran luar biasa.

Masalahnya? Mereka ngeri dengan pacar Anda.

 

  1. Si dia mulai membatasi dengan siapa Anda boleh bicara dan berteman. Bahkan, yang ekstrim adalah sampai ngotot meminta password ponsel dan akun media sosial Anda!

“Aku nggak percaya sama si Indro. Dia pasti mau rebut kamu dariku.”

“Jangan temenan sama Naya lagi, deh. Jijik aku lihat dia keganjenan sama kamu.”

Apa repotnya punya pacar kayak begini? Lama-lama jumlah teman Anda bisa habis. Bahkan, tipe seperti ini nggak segan-segan melarang teman-teman Anda (terutama yang beda gender) untuk dekat-dekat. Ini juga dilakukan di belakang Anda.

Jangan heran kalau lama-lama semua teman Anda lantas melipir…lalu ngacir. Awas, ada anjing – eh, pacar – galak!

Jangan pernah memberikan password ponsel dan akun media sosial Anda. Bisa-bisa separuh daftar nama teman hilang dalam sekejap. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia?

 

  1. Anda mulai sering dilanda stres.

Kapan terakhir kali bisa tersenyum dan tertawa lepas? Sering sakit kepala dan susah tidur? Kadar emosi naik-turun tanpa sebab jelas?

Jangan-jangan Anda stres. Cinta sama pasangan sih, boleh. Tapi, sayangilah diri Anda juga. Jangan sampai kesehatan Anda jadi korban.

 

  1. Si dia malah selingkuh beneran untuk ‘membalas perbuatan Anda’.

Hiks, beramah-tamah sama pelayan restoran saja dihadiahi selingkuh. Tapi, untuk yang satu ini, Anda patut curiga. Jangan-jangan ini hanya alasan mengada-ada, karena sebenarnya dia-lah yang tukang selingkuh namun egois.

 

  1. Anda mulai sering ‘kucing-kucingan’ dan tidak bisa lagi jujur sama si dia. Bahkan, bisa jadi Anda malah memilih selingkuh beneran agar ‘penderitaan’ Anda berakhir, meski mengorbankan reputasi Anda.

Ini ibarat lirik lagu Slank:

“Ngebohong salah…jujur malah tambah salah…”

Anda lelah dicurigai terus-terusan. Lama-lama Anda memilih ‘kucing-kucingan’ sama pacar, bahkan selingkuh beneran. Tanggung amat, biar putus sekalian.

Sayangnya, cara ini juga berisiko ‘merusak’ reputasi Anda. Si dia pasti akan bercerita ke mana-mana mengenai betapa brengseknya Anda dan dia-lah yang jadi korban. Mau?

 

  1. Si dia sering banget mengancam “Putus!” Eh, giliran dikabulkan, malah mengancam bunuh diri!

Emotional blackmailer selalu berusaha bikin Anda merasa bersalah karena nggak mau menuruti semua keinginan mereka. Bahkan, ucapan khas mereka lainnya adalah: “Aku nggak mungkin kayak gini kalo bukan gara-gara kamu.”

Nah, lho.

 

  1. Saat mengajak teman-teman kumpul tanpa kehadiran si dia, mereka malah was-was.

Mereka senang melihat Anda. (Ya, apalagi sudah lama sekali kalian nggak nongkrong bareng.) Namun, pertanyaan berikut mereka keluar dengan nada was-was:

“Pacarmu mana?”

Ini sudah pertanda sangat serius bila Anda sampai harus menunggu si dia sibuk, keluar kota, atau keluar negeri sekalian – hanya biar bisa nongkrong sama teman-teman.

 

  1. Puncaknya: Anda atau si dia sama-sama berpotensi sebagai pelaku kekerasan dalam hubungan.

Silakan cek berita kriminal. Ada berapa kasus kekerasan dan pembunuhan akibat cemburu buta?

 

Tentu saja, kita tidak bisa langsung memperlakukan pasangan pencemburu buta sebagai pribadi mengerikan yang harus dijauhi. Kalau memang masih sayang dan percaya bahwa hubungan kalian masih bisa diselamatkan, kenapa tidak mencari tahu sebabnya dan mencari solusinya bersama-sama?

Mungkin si dia punya trauma masa lalu, seperti pernah ditinggalkan pacar sebelumnya karena selingkuh. Mungkin juga rasa minder membuatnya begitu posesif sama Anda karena takut kehilangan. Apa pun itu, cobalah mendampinginya dalam masa pemulihan. Jangan takut konseling ke psikolog bila diperlukan.

Kalau si dia masih cemburu juga? Semua terserah Anda. Masih mau mempertahankan cinta tapi terpenjara dan tersiksa…atau mencari hubungan yang lebih ‘sehat dan seimbang’?

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“‘TIDAK’ ARTINYA ‘TIDAK'”

‘Tidak’ Artinya Tidak”

Mata menerawang

jauh ke depan

Sosok familiar

berubah total

menjawab tantangan

demi rasa penasaran

 

Tubuh (di)rusak

Jiwa berontak

sebelum total (di)rombak

Hilang pegangan

Tiada yang aman

terlambat menolak

 

“Yang penting senang.”

Benarkah demikian?

Dia yang untung

Kau yang buntung

Ikuti maunya

berakhir terluka

 

Cinta?

Ah, tidak juga

Dia pura-pura

Kau tidak tahu apa-apa

Berikan semua

tapi belum tentu menerima

 

Dia akan pergi

Kau kembali sendiri

Banyak yang baru

dan kau akan tergugu

Dunia tak mau tahu

hanya menganggapmu

murahan dan dungu

 

Tinggal rasa benci

Tiada sisa lagi

Masihkah harga diri

dengan tubuh ini?

Dia tak peduli

banyak yang sakit hati

 

Mata selesai

menerawang dengan ngeri

Oh, prediksi

Diri terselamatkan Ilahi

dari mahluk tak tahu diri

budak birahi

 

Tataplah dia

Usahakan tak tergoda

Katakan “Tidak!”

dengan tegas dan apa adanya

Jika dia murka,

tinggalkan saja

 

Kau terlalu berharga

Dia begitu hina

Lebih baik cari yang lain saja

Daripada dengannya,

berakhir sia-sia

bahkan terseret ke neraka…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“SEKADAR CANTIK?”

“Sekadar Cantik?”

Jujur, kalau soal tokoh perempuan, saya lebih suka membaca media luar ketimbang media lokal. Ya, meski media luar masih sama juga – tidak bisa lepas dari pakem ‘super basi’ yang mereka gunakan dalam menggambarkan tokoh perempuan yang mereka liput. Apalagi di dunia hiburan.

Okelah, memang sulit mengelak gambaran fisik bila temanya dunia hiburan. Contohnya, fashion dan runway. Pasti supermodel disebut ganteng atau cantik.

Lalu, kenapa untuk tema-tema lainnya, seperti: figur politik, sosial, hukum, dan bahkan olahraga – tokoh perempuan yang kebetulan langsing, terlihat anggun dan elegan harus disematkan embel-embel ‘cantik’ selalu, padahal isi beritanya bukan itu?

Beberapa kali saya pernah menyinggung hal ini dengan beberapa orang yang saya kenal. Sayangnya, reaksi mereka kurang menyenangkan. Nggak hanya nggak sepakat (nggak maksa juga sih, saya), mereka langsung menganggap saya aneh, lebay (berlebihan), hingga – yang paling lazim keluar – sirik.

“Ah, itu mah, udah biasa kali. Kenapa dimasalahin?”

“Namanya juga cewek. Pasti seneng dong, kalo dianggep cantik. Emang lo gak suka?”

“Elo aja kali yang sirik, karena nggak ada yang bilang elo cantik!”

Begitulah. Karena sudah terbiasa, lama-lama dianggap wajar dan nggak apa-apa. Namanya juga pemikiran yang “sangat sederhana”. Siapa pun bisa.

Ada yang salah dengan pujian ‘cantik’? Sama sekali tidak. Cantik itu pujian yang baik untuk perempuan, meski seharusnya tidak diperlakukan sebagai satu-satunya pujian yang baik untuk kaum saya.

Kalau ada yang bilang saya cantik, saya senang. Wajar, tho? Saya juga senang memuji keponakan perempuan saya yang bernama Gira dengan kata-kata ini:

“Gira-ku, you’re so pretty!”

Namun, saya juga memujinya sebagai gadis kecil yang baik, cerdas, dan berani. Mengapa? Meski bukan ibunya, saya tidak ingin Gira tumbuh dengan kepercayaan dangkal bahwa kesuksesan terbesar seorang perempuan hanyalah dari banyaknya orang yang memujinya ‘cantik’ (secara fisik).

Saya tidak ingin saat dia menyadari bahwa saat tidak semua orang memperhatikan dan mengaguminya, pertanyaan pertama yang hinggap di benaknya adalah: “Aku kurang cantik, ya?”

Oke, balik lagi ke persoalan pemberitaan perempuan di media massa. Mungkin para pemikir yang “sangat sederhana” menganggap saya berlebihan dan mencari-cari masalah yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Sayangnya, bahkan dari sesama perempuan juga begitu.

Apakah saya hanya sirik karena malah dianggap nggak secantik kakak saya (mamanya Gira, seperti waktu kami remaja dulu) atau nggak seperti teman perempuan yang selalu sukses membuat laki-laki hetero menoleh saat dia lewat?

Saya nggak akan muna. Dulu iya, karena tahu sendiri betapa kejamnya manusia menghina sesama, bahkan sama mereka yang nggak pernah mau ganggu siapa-siapa. Sudah begitu pakai alasan ‘hanya bercanda’, dengan harapan tidak kena marah.

Saya yakin, saya bukan satu-satunya yang mengalami perlakuan demikian. Tidak heran, akhirnya perempuan malah jadi musuh paling kejam dan saling ‘menjegal’ sesamanya dengan berbagai cara. Kalau kata teman saya: nggak pake kode etik sisterhood yang benar.

Ada juga yang beralasan agar beritanya lebih ‘menjual’. Sialnya, ini menyebabkan tokoh perempuan yang jadi berita lebih banyak terfokus pada hal-hal yang teramat dangkal, alias yang tampak di permukaan saja.

Contohnya sudah terlalu banyak. Dulu, polwan cantik pernah jadi #trendingtopic. Tahu sendiri kriteria standarnya, ‘kan? Masih muda, tinggi semampai, langsing, berambut indah (lurus dan gelap) serta rapi, muka ramping, kulit putih nan mulus, jago dandan, dan murah senyum. Lalu, sempat ada netizen yang berkomentar bahwa saat para polwan yang dianggap cantik itu jadi pusat perhatian, rekan-rekan mereka yang dianggap tidak termasuk kategori tersebut seakan kurang layak jadi bahan liputan.

“Ah, nggak segitunya juga kali.”

Benarkah? Adakah yang serius tertarik dengan sepak-terjang mereka di lapangan? Sudah berapa kasus yang mereka tuntaskan? Apakah rekan-rekan mereka yang laki-laki sudah memperlakukan mereka dengan setara, alias nggak sebatas pelayan domestik di kantor yang bisa disuruh-suruh bikin kopi dan sejenisnya?

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan pujian cantik. Yang bikin saya makin lama makin eneg adalah saat kata itu jelas-jelas ‘dipaksakan’ menjadi bagian dari judul berita, padahal isinya jelas-jelas nggak relevan atau bahkan di luar konteks.

Pernah ada berita tentang (masih) polwan cantik yang meninggal. Ngapain perlu ada kata ‘cantik’ di situ? Apakah tujuannya agar pembaca bakal berkomentar: “Kasihan, cantik-cantik meninggal”? Apakah karena mereka dianggap cantik lantas seharusnya berhak hidup lama daripada mereka yang dianggap ‘nggak masuk hitungan cantik’? Beats me.

Ada juga berita tentang figur politik perempuan. Ya, meskipun program kerja mereka ikut disebut di dalam artikel, entah kenapa kata ‘cantik’ harus diselipkan di sana.

Yang paling terakhir tentu saat jurnalis senior Ira Kusno tampil di TV dalam debat para kandidat untuk Gubernur Jakarta kemarin. (Saya ketinggalan berita? Nggak juga. Biasa aja.) Lagi-lagi hanya pujian ‘cantik’ yang keluar, terutama mengingat usia beliau yang sudah 40-an.

Tidak hanya itu, disebut ‘cantik’ tidak semata-mata membuat perempuan hanya bertabur pujian dangkal. Masih banyak juga yang sinis dan malah bersikap bak misoginis (pembenci perempuan) sejati, seperti para netizen yang mengomentari penampilan Ira Kusno saat itu:

“Cantik-cantik buat apa. Ndak ada yang mau jadikan dia istri.”

“Gajinya buat makan, shopping, sama ngerawat bodi doang kali, ya?”

Memangnya kenapa kalau beliau belum menikah? Lalu, dari mana bisa menyimpulkan bahwa beliau memang menggunakan gajinya hanya untuk kegiatan-kegiatan tersebut? Sudah pernah tanya orangnya langsung, belum? Awas, fitnah.

Kalau memang benar, kenapa sewot? Toh, itu bukan uang Anda. Yang dilakukan seorang perempuan dengan gaji mereka ya, urusan mereka – selama nggak menyakiti orang lain.

Sedihnya, sekarang saya jadi sangsi sendiri. Seberapa banyakkah manusia Indonesia cerdas sekaligus berhati yang sudi memandang perempuan tidak hanya dari penampilan luar belaka? Padahal, sudah banyak perempuan berpendidikan tinggi, lho.

Semoga masih cukup banyak dan media tidak hanya memanjakan pasar berisi rombongan otak “yang demikian”, serta perempuan seharusnya jangan mau juga dilihat dan dianggap ‘sekadar cantik’ saja…

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“SOSOK YANG KAU KENAL”

“Sosok yang Kau Kenal”

Jadi, kamu ingin mengenalku? Maksudmu, benar-benar ingin mengenalku?

Aku tahu, bukan itu persisnya ucapanmu. Semua dari cara kita berinteraksi, bahkan sejak hari pertama bertemu. Dua orang yang berasal dari dua dunia yang jauh berbeda, di ruang guru pagi itu. Menanti jadwal kelas masing-masing, di ruang yang selalu sepi sebelum pukul sepuluh. Dua orang yang awalnya saling berdiam diri, hanya menyapa sedikit sebelum sibuk dengan diri masing-masing.

Lalu, pukul sepuluh tiba dan kita akan mengajar di kelas masing-masing. Setelah itu, kita akan terpisah oleh jadwal. Kamu tetap di tempat kursus itu, sementara aku harus mengajar di cabang lain, mengejar waktu.

Begitu terus selama tahun pertama. Hingga akhirnya kita mulai mengobrol lebih banyak dari sebelumnya. Perlahan membuka diri, saling berbagi cerita. Sama sepertiku, kamu tampak hati-hati. Mata hazel-mu lekat mengawasi.

Benarkah kita berdua bisa saling percaya?

Kamu heran denganku. Setiap kamu menyapaku dengan “How are you?”, butuh waktu lama bagiku sebelum akhirnya menjawab: “Oh, fine. Thanks. You?”

            Mata hazel-mu sekilas menyipit curiga. Itu pertanyaan yang mudah. Kenapa aku jawabnya lama? Karena rasanya aku jarang ditanya, bahkan di rumah. Namun, kamu tidak mengatakan apa-apa.

Kurasa, kamu hanya menunggu saat yang tepat…

—//—

Lima tahun kemudian:

            Jadi, kamu telah mengenalku. Waktu berlalu dan kamu telah cukup – dan bahkan mungkin benar-benar – mengenalku. Jauh lebih banyak dari mereka yang sudah lebih lama berada di dekatku.

Kamu sudah tahu semuanya tentang mereka, meski dengan Mama-lah kamu paling dekat. Aku tahu kamu sedih melihat kami tidak sedekat kamu dan mamamu. Makanya, kita pernah sampai beberapa kali pergi bertiga.

Jangan salah. Aku sayang Mama dan tidak ingin durhaka, namun beliau hanya ingin tahu bahwa semuanya baik-baik saja. Beliau hanya ingin damai, bukan kenyataan maupun kejujuran.

Karena itulah, aku sudah lama berhenti bercerita pada mereka. Tidak ada gunanya. Yang ada aku hanya dianggap aneh, berisik, dan merusak suasana. Tidak normal.

Selamat. Kamu sudah beberapa kali melihat sisi terburukku, yang entah kenapa kamu anggap sangat manusiawi. Kamu sudah melihatnya dan tidak kabur maupun menghakimi. Aku yang suka mengamuk dan kadang meninju dinding atau pintu lemari hingga nyaris remuk. Kalau mereka tahu, paling mereka hanya menyuruhku untuk sabar dan tidak marah-marah, tanpa pernah mau tahu atau peduli dengan penyebab amarahku. Paling mereka hanya akan menganggapku berlebihan. Sekian.

Aku yang pernah beberapa kali menangis sesenggukan atau histeris di pelukmu atau pangkuanmu. Kalau sama mereka, paling aku hanya akan dikatai cengeng, lemah, dan sensi. Apa tuh, sekarang sebutan barunya? Baper, bawa perasaan? Persetan. Seolah-olah manusia yang masih memakai perasaan itu jauh lebih hina daripada mereka yang sudah tidak pedulian.

Aku…yang masih harus mengonsumsi obat penenang.

Aku yakin, mereka juga tidak akan suka bila aku memutuskan untuk berhenti total memakai perasaan dan mulai bersikap kejam. Tapi…ah, sudahlah. Memikirkan mereka akhir-akhir ini melelahkan.

Satu hal yang pasti, kadang keluarga tidak selalu sedarah dan justru malah jauh lebih pengertian.

Dan kita telah saling menemukan…

 

R.

            (Dari Tantangan Menulis Monday Flash Fiction, Prompt#137: “Inside Out” – http://www.mondayflashfiction.com/2017/01/prompt-137-inside-out.html?m=1 – 468 kata)

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“MENURUT SAYA, 5 RESOLUSI TAHUN BARU INI TIDAK REALISTIS”

“MENURUT SAYA, 5 RESOLUSI TAHUN BARU INI TIDAK REALISTIS”

Kemungkinan besar tulisan ini akan mengundang protes, tapi saya punya argumen sendiri.

Sudah lama saya tidak membuat resolusi tahun baru. Kalau ada, biasanya sedikit sekali, namun lebih terarah. Biar lebih realistis, jadi nggak akan rentan stres bila ternyata nggak tercapai.

Beda pendapat itu biasa, jadi nggak masalah kalau pada nggak sepakat sama saya. Ada beda tipis antara keinginan dengan resolusi. Bila keinginan bisa tidak terbatas (hingga yang paling ‘ajaib’ sekali pun), maka resolusi tergantung dari cara mengusahakannya.

Menurut saya, 5 resolusi tahun baru ini tidak realistis. Apa saja dan mengapa?

  1. Ingin menjadi kaya-raya.

Mau sekaya apa? Kaya macam apa? Bila tidak spesifik, jadinya hanya berandai-andai. Apalagi bila kemudian tujuan dari menjadi kaya itu sendiri tidak jelas.

Saran:

            Mungkin banyak penasihat keuangan yang memberi nasihat sejenis, seperti: “Mengurangi belanja yang ‘tidak perlu’…” (dan silakan tentukan sendiri kategori “tidak perlu” yang dimaksud) atau “Menabung lebih banyak dari tahun lalu, yaitu sekitar…persen” (dan silakan isi sendiri, sesuai kebutuhan.)

Ada juga yang mungkin menyarankan untuk berinvestasi, seperti produk asuransi. Jadi isi ATM nggak hanya keluar-masuk dan terpangkas biaya administrasi. Yang pasti, menjadi kaya mendadak hanya terjadi di sinetron…atau bila Anda menang lotere miliaran rupiah (yang kemungkinannya setara dengan melihat artis ibukota lewat pas di depan Anda, alias belum tentu tiap hari.)

2. Ingin segera menikah (namun belum punya calon pendamping hidup atau minimal pacar yang bersedia diajak menikah.)

Saya nggak sinis, alias realistis. Resolusi ini hanya berhasil jika beberapa hal di bawah ini sudah terpenuhi:

  • Kehendak Tuhan. (Nggak dapet ini, ya nggak jalan.)
  • Sudah punya calon pendamping hidup atau pacar yang bersedia diajak menikah. (Kalau belum, terserah. Mau nunggu mereka bersedia atau cari yang punya kemauan sama?)
  • Restu dari keluarga kedua belah pihak. (Percaya deh, secinta-cintanya sama calon pasangan, butuh kesabaran ekstra bila masih ada keluarga yang nggak rela. Kawin lari hanya romantis di novel, karena nggak ada keributan seputar surat-surat resmi, dimusuhi keluarga sendiri, hingga…silakan lanjutkan daftar ini.)
  • Nggak hanya wacana, alias sedang berusaha diwujudkan atau sudah hampir rampung.
  • Punya tujuan menikah yang jelas, alias bukan hanya takut diuber umur (memangnya hantu?), gerah sama omongan orang, hingga…malu menjomblo terus. (Padahal, koruptor miliaran rupiah saja santai meski putus urat malu, sementara kamu hanya belum dipertemukan dengan jodohmu. Sesederhana itu.)

Kalau masih jomblo, nggak ada yang melarang bila ingin segera mencari calon pasangan hidup. Usaha memang perlu, tentu dengan catatan: nggak bikin targetmu lari ketakutan gara-gara baru kenalan sehari, besoknya langsung ngajak nikah. Lain cerita kalau mereka sama ‘bernyali’-nya, meski menikah butuh lebih dari sekadar keberanian – seperti yang sering digadang-gadangkan mereka yang hobi nyinyir sama para lajang sebagai sosok-sosok pengecut.

Saran:

Silakan fokus pada usaha memperbaiki diri sendiri, entah dari segi kepribadian atau yang lainnya. (Ini hanya diri sendiri yang harus tahu. Jangan mau didikte orang lain melulu!) Perluas pergaulan, ikut komunitas, banyak-banyakin kenalan teman baru. Terdengar klise, tapi bisa jadi jodohmu ketemu di situ.

3. Ingin punya momongan tahun ini (terutama karena sekeliling sudah pada ‘sumbang suara’ alias bersuara sumbang, mengingat pernikahan sudah berlangsung lama tanpa tanda-tanda kehadiran calon penerus gen keluarga.)

Mohon maaf bila topik ini sangat sensitif dan berpotensi menyinggung banyak pembaca, tapi percayalah…saya bukan mereka yang hobi cari-cari ‘cacat’ penyebab seseorang sulit punya keturunan, apalagi dengan lidah tajam mereka.

Mungkin kamu dan pasangan sudah lama menikah. Usaha sih, pasti ada, ya. Sayangnya, mungkin kamu berada di antara mereka yang hobi banget nanya-nanya yang sama terus tiap tahun: “Kapan nih, kasih papa-mamamu cucu? Nggak kasihan ama mereka?” Ya, ibarat menagih utang atau memesan menu di restoran. Sampai-sampai menginterogasi, sudah sejauh mana usaha kalian dalam memperoleh keturunan (yang nyata-nyata melanggar ‘wilayah pribadi’ kalian, alias usil.)

Ada juga yang pasti memberi jutaan saran dengan sangat murah hati, yang menurut mereka pasti dijamin ‘tokcer’. (Amin, semoga benar bila kalian memang menginginkannya.) Yang sadis juga nggak kalah ‘heboh’, mulai dari menuduh kalian kurang usaha hingga…mempertanyakan masalah kesuburan.

Padahal, begitu akhirnya punya anak (apalagi dalam jumlah banyak, jaraknya deketan pula atau kembar sekalian!), belum tentu juga mereka mau bantu mengurus atau minimal dititipkan seharian penuh. Nah, lho. Kemarin yang ribut minta anak siapa?

Saran:

Jika ada yang memberi usul mengenai cara-cara bikin anak yang menurut mereka ‘tokcer’, diterima saja sambil mengucapkan terima kasih. Nggak perlu juga selalu laporan sama mereka mengenai usaha kamu dan pasangan. (Memangnya bintang reality show yang dikit-dikit butuh penonton?)

Buat yang mulutnya ngalahin cabe yang harganya lagi selangit, cukup tutup kuping sambil banyak-banyak berdoa untuk menyabarkan diri. Toh, yang penting nggak ikutan kayak mereka, lupa kalau anak itu karunia Tuhan – sama kayak rezeki lain, seperti: harta, tahta, dan jodoh. Minta sih, bisa. Kalau memang belum dikasih, mereka mau apa?

Belum diberi juga? Masih ada alternatif lain, seperti: mengadopsi anak atau merawat anak-anak terlantar. Mungkin bisa juga jadi paman dan bibi kesayangan para keponakan. Bodo amat sama mereka yang entah kenapa kekeuh bilang: “Enakan juga punya anak sendiri.” Nggak seorang pun yang berhak bikin orang lain merasa kurang atau tidak berguna, karena anak bukan piala yang dipamerkan ke mana-mana.

4. Ingin kurus (pokoknya sebelum tahun ini berakhir.)

Saya masih chubby? Iya, tapi resolusi ini sudah lama sekali saya buang entah ke mana. Jujur, dulu sempat termakan ucapan orang-orang berotak dangkal dan berhati kerdil. Kuruslah bila mau punya pacar. Kuruslah biar dianggap cantik sama cowok. Idih.

Berhubung lahir dengan gen tulang besar, jangan harap saya bakalan kayak Ariana Grande yang aslinya memang mungil. Mau pakai pil diet, susu pelangsing, sampai crash diet juga percuma. Yang ada (terutama yang terakhir), saya malah berakhir di ICU.

Saya pernah kehilangan 20 kilogram. Serius. Tapi, butuh dua tahun, berkat program olahraga dan pengaturan pola makan dari ahlinya. Habis itu, masih ada yang berkomentar negatif, mulai dari yang bilang gigi saya jadi gede kayak gigi kuda hingga yang mengira saya berubah jadi penderita anoreksia atau bulimia.

Susah juga, ya? Nggak kelar-kelar kalau terus ngikutin maunya manusia.

Saran:

Fokuslah untuk menjadi lebih sehat, bukan kurus. Olahraga, jaga pola makan, hingga menghindari stres – termasuk yang diakibatkan mulut-mulut usil yang entah kenapa segitu tertariknya sama ekstra lemak di badanmu. Bayangin, tiap ketemu yang disinggung itu melulu. Entah kurang baca buku atau lagi belajar jadi ahli gizi beneran.

Intinya, jangan biarkan orang lain mengatur-atur tubuhmu, kecuali kamu beneran membayar mereka sebagai gym trainer atau ahli gizi pribadi.

5. Resolusinya kebanyakan.

Ini termasuk kasus klasik. Saking banyaknya keinginan, tahu-tahu daftar resolusi tahun baru sampai di poin ke sepuluh dan seterusnya. Kalau memang yakin bisa melunasi semuanya sih, nggak masalah. Yang sering terjadi malah nggak fokus dan stres begitu gagal mencapai semuanya dalam setahun.

Saran:

Ada tiga (3) yang menurut saya bisa dicoba, yaitu:

  • Nggak usah banyak-banyak bila nggak yakin bisa kepegang semua.
  • Kerjakan satu-satu, lalu sisanya bisa dilanjutkan tahun depan bila belum kesampaian.
  • Nggak perlu harus di tahun baru, sebenarnya bikin resolusi bisa kapan saja kamu mau.

Seperti biasa, ada yang sepakat dan enggak. Yang pasti, selama resolusinya bagus-bagus, saya mah tetap mendoakan yang terbaik. Hanya Tuhan kok, yang bisa membantu kita melampaui segala kemustahilan, meski usaha sama berpikir realistis juga perlu. Wajib malah.

R.