Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“DI TENGAH LAUTAN TUGAS YANG TIADA TUNTAS…”

“DI TENGAH LAUTAN TUGAS YANG TIADA TUNTAS…”

 

Di tengah lautan tugas

yang tiada tuntas

saat semua bergegas

membawa yang dikemas

tiada lelah boleh dilepas

waktu bisa sangat lugas

lelah tapi harus tegas

ajaib bila masih waras…

 

…kutemukan keabadian

pada senyummu yang menawan

tatapanmu yang menghanyutkan

meski entah sampain kapan

sebelum aku kembali…

 

…bertugas…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“BARISAN PATAH HATI: STOP NYINYIR!”

“BARISAN PATAH HATI: STOP NYINYIR!

 

“Cowok itu buta sama personality. Mereka selalu maunya sama yang cantik-cantik, langsing, seksi. Perkara itu cewek gak berotak dan mulutnya super bitch urusan belakangan!”

“Kenapa cowok baik-baik lebih banyak yang single? Karena cewek lebih suka bad boy. Lebih menarik, menantang, dan gak ngebosenin.”

 

Kedengaran familiar? Pernah denger kenalan ngomong gini? Jangan-jangan ini juga pernah terucap dari kalimat Anda.

Hmm, gimana ya, ngebahasnya? Baiklah, biar nggak dituduh selalu nyalahin laki-laki, saya akan fair dan mulai dari diri sendiri:

“Kurusin, dong! Mau ‘kan, punya pacar?”

“Kenapa sih, lo gak bisa kayak kakak lo aja?”

“Iya, banyak yang bilang kakak lo lebih cantik daripada elo.”

 

Dari dulu saya bertanya-tanya, kenapa untuk memuji seorang manusia – apalagi perempuan – selalu harus ada perbandingan bernada ‘menjatuhkan’? Sama kayak produk A dan B – atau iklan pemutih kulit (ATAU OBAT DIET!) dengan gambar ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ yang nyebelin banget dan sempet bikin trauma.

Seakan-akan mereka berhak menilai mana yang lebih sempurna, padahal Tuhan sudah menciptakan semua dengan keindahan masing-masing. Berani-beraninya.

Sempat tumbuh dengan kepercayaan diri rendah gara-gara di-bully (yap, dianggap kurang cantik dan kurang berharga untuk dilirik lawan jenis) sempat bikin saya jadi PEMBENCI. Ya, saya membenci diri dan tubuh saya sendiri. Saya membenci sesama perempuan yang entah kenapa selalu dianggap lebih cantik daripada saya. Apalagi, sepertinya mereka punya banyak penggemar laki-laki dan saya…yah, tahu sendirilah.

Saya juga jadi mudah ilfil saat laki-laki yang saya sukai dan mengaku suka cewek baik-baik, buntutnya tetap memilih yang langsing. Meskipun masih berusaha menjaga pertemanan, dalam hati saya memendam sakit hati dan dendam.

Dasar sial, lama-lama kebencian yang begitu menggerogoti dari dalam sempat menghancurkan persahabatan saya dengan seorang laki-laki yang sebenarnya baik sekali. Meskipun sekarang kami sudah berdamai dan saling memaafkan, saya akan selalu mengingat hal itu sebagai pelajaran.

Tapi ini beneran, dulu waktu perempuan (yang dianggap) cantik disukai oleh laki-laki yang saya sukai namun bertabiat jelek, kemarahan saya sempat timbul. Apa sih, yang kurang dari saya? Kurang kurus? Oke, tapi ‘kan selama ini saya udah berusaha baik sama cowok ini. Kok dia nggak ngeh juga, ya?

Waktu itu, saya belum sadar bahwa saya adalah korban verbal bullying yang masih memendam sakit hati, sehingga berubah sombong sekali. Saya baik? Kata siapa?

Banyak yang dengan mudahnya dulu hanya bisa menyuruh saya untuk bersikap cuek dan percaya diri. Nggak pernah ada teguran buat para bully yang dengan entengnya menghina fisik saya dan menganggapnya sebagai ‘cacat’ penyebab laki-laki enggan tertarik dengan saya.

Jujur, butuh waktu lama untuk saya agar sadar. Memang benar, seharusnya saya nggak mudah termakan ucapan jahat mereka bahwa perempuan baru dianggap ‘cantik’ kalau sudah memenuhi syarat-syarat bias patriarki: harus kurus, bisa dan suka dandan, berkulit putih, berambut panjang, dan…yang paling penting, nih. Disukai banyak laki-laki, apalagi yang termasuk kategori tampan standar ‘alpha male’.

Cuma, dasar sial habis ini terganjal standar ganda lagi. Boleh disukai banyak laki-laki selama masih lajang, apalagi kalau bisa ampe bikin mereka taruhan buat menaklukkan si perempuan. Kalau perlu pake berantem segala karena rebutan, berasa si perempuan nggak beda dengan ‘piala berlapis emas’. Huek.

Tapi, perempuan juga jangan sampai jadi ‘murahan’ (lagi-lagi menurut versi patriarki). Nggak boleh ‘tebar pesona’. (Entah menurut versi siapa.) Harus setia (sementara pasangannya boleh ‘ke mana-mana’, bahkan ‘punya lebih dari satu’.)

Jujur, ada keuntungannya juga jadi saya. Mendengar teman-teman sesama perempuan yang pernah dibegitukan, saya jadi kasihan. Harusnya mereka dihargai jauh lebih dari sekadar ‘penaklukkan’. ‘Kan sama-sama manusia. Gimana, sih?

“Nggak tau kenapa gue masih single, padahal gue cowok baik-baik.”

Tuan-tuan, kalo ada yang pernah curhat begini sama saya dan tanggapan saya dingin-dingin saja, maafkan. Jujur, ucapan di atas bikin trauma – mengingatkan saya akan saya yang dulu.

Percaya deh, ngeluh-ngeluh kayak gitu (apalagi ampe ke mana-mana dan di media sosial pula!) nggak bakal ngundang simpati siapa-siapa. Intinya, kita nggak bisa ngatur-ngatur perasaan orang. (Memangnya kita sendiri mau diatur-atur kayak gitu? Silakan jawab sendiri.) 

Kalau orang yang kita suka ternyata menganggap kita bukan tipe mereka dan enggan memberi kesempatan, ya udah. Mundur aja dan nggak usah pake drama.

Kecewa dan sakit hati? Iya, ngerti. Tapi percaya deh, nyinyir soal pilihan mereka akan pasangan hidup nggak akan menyembuhkan. Malah, orang bakal ragu apakah Anda beneran baik dan…dewasa.

Tuhan juga Maha Adil, jadi nggak mungkin hanya orang-orang berkriteria tertentu saja yang berhak bahagia, mencintai, dan dicintai. Be the best version of YOU. Nggak perlu ngikutin orang lain.

Ngapain ngurusin badan buat orang yang sama sekali nggak peduli atau menghargai perasaan kita? Mending lakukan itu buat diri sendiri. Ngapain sok-sokan keliatan badung biar dapat perhatian? Rugi. Kalau pun ada yang cepat tertarik sama kalian, sebuah hubungan memang akan mulai…namun berlandaskan kepura-puraaan. Mau seumur hidup akting jadi orang lain terus, cuma biar pasangan senang?

Begitu ketahuan aslinya, iya kalau mereka mau terima. Kalau kecewa? BYE.

Sosok yang tepat akan mencintai Anda apa adanya dan selalu berusaha membahagiakan Anda. Nggak perlu mentah-mentah ‘mengaminkan’ ucapan manusia mana pun, termasuk yang mengaku sebagai the dating expert. Kenapa? Karena mereka nggak tahu segalanya.

Kalau lain kali denger laki-laki mengklaim bahwa mereka tahu segalanya tentang perempuan (begitu pula sebaliknya, perempuan yang mengaku tahu segalanya tentang laki-laki), ketawain aja. Memangnya mereka udah survei ke seluruh dunia? Jangan-jangan mainnya masih di pojokan aja.

Mending banyak-banyakin kesibukan yang positif…sambil terus berbuat baik sama orang. Nggak perlu berharap hasil instan, karena kebanyakan makan mi instan sendiri aja juga nggak sehat.

R.

 

Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“SIAPA DIA?”

“SIAPA DIA?”

Matanya begitu dingin menatapku.

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Takut-takut aku menggeleng. Benakku berputar begitu cepat, berusaha mengingat-ingat wajahnya…

— // —

“Apa-apaan ini?!”

Alan dan Belinda cekikikan begitu melihatku melototi layar laptop-ku. Terpampang di sana, profil dan detailku pada sebuah…situs kencan.

Astaga, ini bener-bener nggak lucu!

“Sori, El,” ucap Belinda takut-takut, begitu menyadari betapa murkanya aku. Disikutnya si Alan (koreksi, maksudku siAlan!) yang entah kenapa masih berani nyengir. “Ini idenya dia.”

“Eh, elo juga kali, yang ngusulin website itu,” balas Alan membela diri. Wajahnya tampak sewot nggak terima. “Niat kita semula mau bantuin Elma cari jodoh, ‘kan?”

“TAPI NGGAK GINI JUGA CARANYA KALI!” bentakku, yang sukses bikin dua mahluk di depanku berjengit. Kutuding layar laptopku dengan geram. “Sekarang hapus akun gue. Nggak mau tau gimana caranya! Gue nggak pernah ngerasa daftar beginian, kok elo pada enak-enaknya bikin profil gue di sini. Pelanggaran privasi, tauk!”

“I…iya-iya, maaf.” Baru saja Alan mau menyentuh keyboard laptop-ku ketika kutepis tangannya dengan langsung.

“Pake punya lo sendiri!” perintahku kasar. “Dalam sejam masih gue liat itu profil, awas lo berdua!”

Tanpa banyak ribut, kedua mahluk yang harusnya jadi sahabatku itu langsung ngacir, balik ke cubicle masing-masing.

Oke, aku tahu maksud mereka baik. Menurut mereka, aku sudah melajang cukup lama. (Terlalu lama, menurut mereka.) Aku juga nggak gitu tertarik sama situs kencan. Takutnya ketemu orang aneh-aneh. Tahu ‘kan, yang pas online kelihatannya sempurna, tahunya pas kopdar…hiii…

Kadang keponya orang Indonesia nyebelin akut. Okelah, mungkin mereka bahagia karena berpasangan. Tapi nggak berarti yang masih lajang selalu merana, ‘kan? Aku masih bisa cari sendiri kok, tentu dengan caraku juga. Kalo emang mereka punya niat baik, mbok ya tanya yang punya profil dulu baik-baik sebelum daftarin sembarangan. Idiih…

Saat kucek lagi website itu, nama dan fotoku sudah nggak ada. Syukurlah. Damai lagi rasanya…

— // —

Oke, nomor siapa ini? Kenapa dia selalu missed-call dan WA-nya ngajakin ketemuan terus?

Berhubung nggak merasa populer, aku cuekin aja. Eh, lama-lama kok, pesannya makin kasar begini, ya?

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

“Masa lupa, kemarin-kemarin kita udah chatting cukup lama?”

“Kenapa? Aku kurang cakep buat kamu ladenin?”

Grrrh! Merasa malas dengan urusan ini, kuhampiri Alan dan Belinda. Kutunjukkan ponselku, masih dengan tampang geram.

“Dugaan gue dari website sialan itu,” ujarku tanpa basa-basi. Maklum, aku masih marah sama mereka. “Gue nggak mau tahu gimana caranya, elo berdua jelasin ke orang ini supaya nggak gangguin gue lagi. Malesin tau, gak?”

“Gue aja, deh.” Alan mengalah. Diteleponnya nomor itu. Wajahnya tampak amat menyesal saat berusaha menjelaskan perihal salah paham ini. Biarin aja. Kutunggu, melihat Alan mengangguk-angguk pasrah sambil meminta maaf.

Akhirnya…

“Udah, El,” katanya lemas. “Dia nggak bakal gangguin kamu lagi.”

“Good.” Aku berbalik tanpa memberi mereka kesempatan untuk bicara. Meskipun kata Alan orang itu sudah tahu, buat jaga-jaga kublokir nomornya.

— // —

Mungkin aku terlalu cuek, karena merasa nggak populer. Privasiku ya, privasiku.

Makanya, aku kaget setengah mati saat malam itu, laki-laki itu mencegatku di parkiran kantor.

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Mungkinkah…

Terlambat. Cipratan air itu melepuhkan kulit wajahku.

 

R.

(500 kata – dari Prompt#144: Siapa Dia? untuk Monday Flash Fiction di http://www.mondayflashfiction.com/2017/07/prompt-144-siapa-dia.html )

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“DI BALIK BAYANG-BAYANG…”

“DI BALIK BAYANG-BAYANG…”

Di balik bayang-bayang,

ada yang tersenyum senang

Mata itu menyorot tajam

tampak puas dan kejam

 

Di balik bayang-bayang,

sosok itu menikmati setiap pertengkaran

bertepuk tangan pada makian

bersorak-sorai, memuji pembantaian

 

Saat ini,

sosok itu masih terlalu nyaman

sangat cerdas, sulit ketahuan

terlalu pengecut untuk hadir di tempat terang

terlalu licik untuk ikuti aturan

 

Di balik bayang-bayang,

sosok itu hanya berani menunjukkan

senyum culas pengadu domba

merayakan setiap luka

sambil berpegang pada standar ganda…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“JUJUR = KASAR?”

“JUJUR = KASAR?”

Baru-baru ini saya keluar dari salah satu grup kepenulisan di Facebook. Bukan karena berantem sama anggota lain atau melanggar peraturan, tapi karena banyak sekali anggota yang – jujur aja – hobi ‘nyampah’ dengan tulisan-tulisan nggak bermutu.

Nggak bermutu? Lalu tulisan saya apa namanya, ya?

Entahlah, terserah yang baca. Hehe. Yang pasti, ada tulisan seorang laki-laki yang bikin saya gerah. Dari judulnya saja, jelas-jelas dia dengan sengaja mengejek para perempuan beragama tertentu karena hobi sharing artikel tentang larangan pacaran dalam agama tersebut, namun pada saat yang sama begitu gandrung dengan ‘Drakor’ (yang ternyata singkatan dari ‘drama Korea’. Sekilas kedengaran mirip ‘Drakula’.)

Nggak tanggung-tanggung, dia menyebut mereka sebagai perempuan-perempuan yang mau-maunya dibego-begoin ama Drakor.

WOW. Saya sendiri memang bukan penggemar drama Korea, namun saya menangkap nada misoginis yang sangat tajam di sana.

Nggak setuju sama pilihan orang lain? Ya, sudah. Nggak usah kasar dan sok ngatur-ngatur selera orang, apalagi sampai menghina segala. Memberi stereotipe miring seperti itu justru malah menunjukkan kualitas kepribadian si penulis yang – sekali lagi jujur aja, nih – ‘enggak banget’.

Sebelum keluar dari grup tersebut, sialnya saya masih sempat tergoda membaca komentar-komentar di bawah postingan tulisan tersebut. Seperti layaknya di media sosial, ada yang pro dan kontra. Bahkan, untungnya nggak sedikit yang nganggep si penulis sinis, dangkal, sombong, sekaligus menggelikan.

Jangan-jangan diem-diem dia baper karena pernah ditolak cintanya sama perempuan penggemar serial drama Korea.

Apa kemudian saya ikut komentar? Enggak. Ngapain? Saya nggak punya waktu untuk berdebat dengan orang-orang yang sedemikian haus perhatian, yang tujuan utama mereka dalam perdebatan hanya untuk menyerang, menang, dan selalu diiyakan.

Ternyata, puasa dan Lebaran hanya ‘numpang lewat’ bagi sebagian orang. Begitu kembali ke hari-hari biasa, mereka mulai lagi deh, dengan kebiasaan buruk yang sama: menghina dan merendahkan sesama. Melelahkan.

Sepertinya masih banyak yang baru belajar sampai sebatas memberi opini. Yang penting jujur, meski kasar. Perkara berguna dan nggak nyakitin orang lain, lain cerita. Mungkin juga bukan urusan mereka, meski lucunya mereka hobi banget ngomentarin urusan pribadi orang lain.

Yah, begitulah. Daripada ikutan sinting, ada kalanya lebih baik melipir dan biarkan orang-orang ini nyinyir di media sosial hingga jari-jari pada keplintir…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“KEMBALI KE AWAL?”

“KEMBALI KE AWAL?”

Meski banyak yang menyamakan momen Idul Fitri kemarin dengan ‘kembali ke awal’, saya agak tergelitik dengan beberapa hal:

  • Kenapa harus menunggu momen tertentu untuk memulai atau mengakhiri sesuatu, seperti berusaha menjadi lebih baik dan mengakhiri perselisihan dengan seseorang? Bukankah setiap hari adalah momen yang baru?
  • Beneran menyesal dan memaafkan – atau formalitas belaka? Apakah kita meminta maaf hanya biar tidak kena marah lalu sudah? Tidak ada tanggung jawab lanjutan atau kesepakatan untuk menghindari pengulangan?

Begitu pula saat kita memaafkan. Benarkah tulus dari hati? Benarkah masa lalu tidak akan diungkit-ungkit lagi, terutama saat perdebatan baru muncul di kemudian hari?

  • Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, bisakah acara ‘kembali ke awal’ ini tidak dirusak oleh tanya-tanya ‘kepo’ dan komen-komen ‘ganggu’ dan nyakitin macam: “Kok betah melajang?” sama “Kok belum hamil-hamil juga? Yang lain anaknya udah tiga…” ?

Mungkin catatan kecil ini terdengar sinis, tapi anggap aja pengingat. Buat siapa? Ya, kita semua.

Nggak ada larangan buat memulai yang baru dan lebih baik di hari nan fitri. Asal nggak musiman, alias cuma pas lagi momennya, lalu menguap begitu saja. Buntutnya kita malah kembali melakukan kesalahan yang sama atau malah lebih parah.

Yakin udah tulus memberi maaf? Jangan sampai habis itu masalah yang ‘katanya sudah selesai’ disinggung-singgung lagi. Emang enak jadi orang yang selalu dihakimi dari masa lalu mereka?

Selain itu, cobalah berubah menjadi orang yang lebih menyenangkan dengan tidak menyindir atau membanding-bandingkan kekurangan orang lain. Jangan juga hanya berlaku baik pas Lebaran.

Selamat memulai dari awal. Semoga menjadi pribadi yang lebih baik.

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“MENCARI SENYUMMU DI TENGAH KEKACAUAN DUNIA…”

“MENCARI SENYUMMU DI TENGAH KEKACAUAN DUNIA…”

 

Aku mencari senyummu

di antara kekacauan dunia

Mungkin saja,

senyum itu senjata terampuh

seperti mata bersorot teduh

yang mampu membunuh

semua angkara di dada

kalau perlu tanpa sisa…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“JATUH. BANGUN. JATUH. BANGUN LAGI.”

“JATUH. BANGUN. JATUH. BANGUN LAGI.”

Sebenarnya saya enggan terlalu banyak bercerita tentang diri sendiri, meskipun ini blog pribadi. Tapi, bisa dibilang, 1-2 bulan terakhir ini adalah saat-saat penuh cobaan. Nggak perlu secara spesifik disebut. Intinya saya lagi lumayan struggling banget akhir-akhir ini.

Kali ini, saya memutuskan untuk nggak cerita ke semua orang. Takutnya (terutama mengingat saya masih lajang dan tinggal sendirian pula), yang datang kebanyakan komentar “nggak banget” – terlalu menghakimi sekaligus menggampangkan, seperti:

1. Mereka akan menyarankan saya untuk kembali pulang dulu, dengan dua alasan berbeda yang sama-sama nggak enak didengar:

“‘Kan masih ada keluarga ini. Ngapain sih, sok-sok tinggal sendiri?”

“Cewek gak bisa hidup mandiri. Kalo ampe ada, berarti bukan cewek atau aneh.”

Grrr…grrr…grrrh…izinkan saya menimpuk muka mereka pake kamus, meski dengan risiko batal puasa. (Untung saya tetap lebih mempertahankan puasa ampe waktu buka.)

2. Mereka akan berkomentar dengan nada meremehkan:

“Udah, nyante aja. Elo ‘kan cewek. Ntar pas married juga udah gak perlu lagi terlalu pusing mikirin duit. Tinggal nodong suami.”

Astaga, naif sekali. Udah gitu, bahasanya itu, lho. Selain memperlakukan pernikahan bagai solusi kilat finansial, suami hanya dianggap mesin ATM sementara istri dianggap cuma tukang belanja dan morotin suami doang. Huekk!

3. Mereka akan cenderung menyalahkan dan menuduh yang enggak-enggak:

“Elo juga sih, jadi cewek keras kepala dan egois banget. Gak pernah dengerin orang lain.”

Ahem, yakin segitu kenalnya sama saya? Gak pernah dengerin orang lain, apa cuma Anda doang?

Berdasarkan beberapa pengalaman di atas, saya memutuskan untuk nggak sembarangan bercerita. Nggak semua orang bisa dipercaya. Yang niatnya paling baik pun belum tentu bisa memberi solusi, bukannya kritikan doang – terlepas emang saya yang salah atau bukan. (Gak perlu juga selalu bermanis-manis ama saya, tapi nyinyir juga gak ada gunanya.)

Intinya, gak semua orang se-suportif itu. Kenyataannya memang demikian.

Banyak orang yang merasa sudah tahu segalanya tentang kita. Saat kita jatuh, belum tentu mereka bakalan ikut jatuh kasihan dan tergerak untuk membantu. Bisa saja mereka malah menuduh, menyalahkan, dan menghakimi dengan mudah. Nggak bisa atau nggak mau bantuin gak apa-apa, serius.

Asal mulut gak jadi jahat aja.

“Elo gak hati-hati, sih. Makanya ketipu. Baik ama orang boleh, tapi jangan gak pake otak gitu, dong.”

“Elo terlalu percaya ama dia sih, makanya dimanfaatin.”

“Elo itu gak pernah bener-bener mandiri, karena elo selalu ikut kata orang.”

“Elo ‘kan gak pernah traveling maupun hidup sendiri. Emang bisa?”

Padahal, dari mana bisa tahu saya bakalan gagal kalo gak nyoba? Lalu, apakah jumlah kegagalan seseorang lantas sah membuat mereka dicap sebagai pecundang?

Banyak yang lupa, hidup ini selalu penuh dengan proses ‘jatuh-bangun’. Bahkan, orang paling cerdas, kuat, dan berhati-hati sekali pun mengalaminya. Pilihan juga selalu banyak.

Mau terus mengasihani diri sendiri atau bangkit lagi? Mau break sebentar atau langsung ganti strategi?

Mau gengsi – atau menerima tawaran dan bantuan dari mereka yang benar-benar peduli, bahkan sebelum Anda memintanya? Mau terus dengerin berisiknya para bully atau mengingat ucapan mereka yang selalu menyemangati?

Banyak ya, pilihannya? Mau yang mana?

Jatuh. Bangun. Jatuh? Ya, bangun lagi. Saatnya ganti strategi dan belajar kembali.

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“SAAT SALAH MENJADI MOMOK SEKALIGUS BAHAN TERTAWAAN…”

“SAAT SALAH MENJADI MOMOK SEKALIGUS BAHAN TERTAWAAN…”

“Sebenernya pengen sih, belajar sekaligus praktik. Cuma takut salah.”

“Kenapa takut salah?”

“Ntar diketawain dan dibilang bodoh.”

—//—

“Bego amat, sih. Baru gini doang gak bisa.”

Salah. Takut salah. Takut kelihatan bodoh dan jadi bahan tertawaan.

Kedengaran familiar? Pernah mengalami? Mungkin perasaan ini jauh lebih parah daripada kena marah. Tapi, apa hubungan contoh kejadian pertama di atas dengan yang kedua?

Jadi bully bagi sebagian orang emang enak. Ada perasaan kuat, berkuasa, hingga ‘lebih’ lainnya saat bisa menertawakan atau merendahkan orang lain. Agar perasaan kuat itu terus ada, mereka butuh ‘pembanding’.

Biar terus menang, jangan cari pembanding yang seimbang atau lebih berkualitas dari mereka. (Halah, anak kecil juga tau kali! Eh, tuh ‘kan, saya jadi ikutan.) Kalo bisa yang ‘lebih rendah’ atau ‘di bawah banget’ dari mereka. Semakin aneh atau cupu, semakin seru dijadiin bahan tertawaan. Lumayan, hiburan gratisan. Receh banget deh, pokoknya.

Lalu, gimana kalo yang bermental bully ini mendadak harus belajar hal yang baru banget, alias belum mereka kuasai sama sekali?

Bisa jadi mereka malah berani namun cenderung meremehkan atau malah ketar-ketir cari alasan buat mundur. Gengsi dong, kalo ketauan punya kekurangan. Namanya juga bully. Kalo gak sok sibuk, mereka bakalan ngeles, bilang kalo kegiatan itu nggak ada gunanya atau “Bukan gue banget.”

Padahal, mencoba saja belum pernah. Dari mana bisa tahu kalau itu ‘bukan mereka banget’?

Masalah masih berlanjut bagi yang berani mencoba terus melakukan kesalahan. Contoh: belajar bahasa asing. Dari segi teori sih, oke banget. Kosakata hapal mati.

Tapi, giliran praktiknya kebat-kebit. Alasannya? Ya, takut salah. Takut diketawain. Kalo ampe beneran kejadian, biasanya mereka malah marah atau jadi malu. Gengsi dan ogah nyoba lagi, deh. Game over.

Kadang takut salah belum tentu ada hubungannya sama kurangnya kepercayaan diri. Bisa jadi, sadar nggak sadar, selama ini kita udah kepedean dan cepet puas, makanya malah jadi sombong namun enggan berkembang. Ngeliat orang jatuh aja masih suka refleks ngetawain. Padahal, kalo kita sendiri yang ngalamin pasti sakitnya dua kali. Ya, sakit badan karena jatuh plus sakit hati karena yang ngeliat gak punya empati.

Gimana caranya supaya cepat bisa mempelajari sesuatu? Ya, coba dulu baru tahu. Kalo salah? Ya, belajar dari situ.

Intinya, jika pernah atau masih punya rasa takut salah saat mempelajari sesuatu yang baru, coba cek dulu. Jangan-jangan selama ini kita masih hobi ngetawain kesalahan orang lain – dan alam bawah sadar sedang getol-getolnya ngingetin pas kita gantian di posisi mereka…

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“SELAMAT DATANG DI ALAM MIMPIKU”

“SELAMAT DATANG DI ALAM MIMPIKU”

 

Semalam aku kembali melihatmu

muncul di luar kendaliku

Haruskah aku terganggu?

Aku tak tahu

Rasa ini masih ambigu

 

Bagaimana ini?

Kenapa kau bisa di sini?

Padahal, gerbang ini sudah lama kukunci

Tidak sembarang orang bisa kemari

Lagi-lagi diri mengkhianati

 

Akankah kau kembali ada

di malam-malam berikutnya?

Tak sudi aku kehilangan daya

Setengah mati kuhindari satu kata

khawatir merasa bodoh dan berakhir kecewa

kembali pada bencana yang sama

seperti semua kisah lama

 

Ah, sepertinya waktuku telah tercuri

bahkan saat lelap sendiri

Mungkin kau memang harus di sini

meski entah sampai kapan…atau akankah kau juga pergi

dan aku kembali sendiri

 

Selamat datang di alam mimpiku

meski kau sendiri tidak tahu…

 

R.