Pepatah ‘anak tidak pernah meminta dilahirkan’ memang benar adanya. Bahkan, tidak ada seorang pun anak yang bisa memilih orang tua mana yang akan melahirkan mereka.
Pada Sabtu (3 April 2021, pukul 19:00), saya memenuhi undangan Tiar Simorangkir, sutradara film dokumenter “Invisible Hopes” , untuk menghadiri gala premier terbatas di Plaza Senayan. Mengapa terbatas? Berhubung masih pandemi #Covid19, mau tidak mau yang diundang juga harus terbatas. Semua demi keamanan.
Tanpa intro yang terlalu panjang, saya langsung paham begitu melihat keseluruhan liputan kru Lam Horas Film selama berada di rutan (rumah tahanan) dan lapas (lembaga pemasyarakatan) khusus perempuan di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Banyak sekali detail penting yang tidak boleh terlewat untuk menggambarkan kondisi rutan yang memang ‘apa adanya’.
Mungkin agak sulit bagi banyak orang untuk bersimpati pada narapidana perempuan kasus narkoba. Baik sebagai pemakai, pengedar, hingga kurir, semua ada di Pondok Bambu.
Ada juga yang merupakan ‘korban sampingan’ , gara-gara suami atau pasangan mereka yang lebih dulu terlibat dengan kasus narkoba. Apa daya, patriarki memang masih membuat banyak perempuan tergantung hidupnya pada suami. Entah karena menurut atau sama sekali tidak tahu bisnis suami.
Namun, terlepas dari apa pun penyebab para perempuan ini menjadi napi – dalam kondisi hamil pula – semoga film ini mengingatkan kita untuk tetap memanusiakan mereka. Apalagi, bayi-bayi yang terlahir di dalam penjara bersama mereka membutuhkan lingkungan yang jauh lebih layak untuk tumbuh sehat. Kondisi penjara yang sudah penuh sesak, panas, dan kandungan gizi yang kurang dalam makanan para napi bukanlah tempat ideal bagi para bayi untuk tumbuh besar.
Apalagi, stres berlipat ganda yang sering dialami para napi perempuan membuat mereka sering melampiaskan amarah kepada anak-anak mereka sendiri. Padahal, anak-anak itu tidak bersalah. Mereka tidak pernah memilih dilahirkan oleh ibu-ibu yang terlibat kasus narkoba, apalagi sampai harus lahir di penjara.
Kedutaan Besar Norwegia dan Kedutaan Besar Swiss mendukung proses pembuatan film “The Invisible Hopes”. Saran saya sih, bagi yang mau menonton, siap-siap stok tisu, yah. Hehehe. Selain itu, bersabarlah, karena film dokumenter menarik ini akan tayang di bioskop pada bulan Mei 2021.
Semoga sesudah menonton film ini, semakin banyak yang tergerak untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung karena terlahir dan besar di penjara selama dua tahun pertama mereka. Apalagi, ibu-ibu mereka mengaku tidak meminta terlalu banyak: bantuan berupa pakaian, susu, hingga kebutuhan para bayi untuk buah hati mereka.
Untuk sementara, yuk lihat cuplikan resminya di sini:
Percaya atau tidak, pertama kali aku naik bus kota adalah saat tahun keduaku kuliah. (Maaf, bus sekolah tidak ikut dihitung.) Ini gara-gara aku muak jadi bahan tertawaan anak-anak lain di kampusku waktu itu. Kata mereka, aku anak manja, anak mami. Ini gara-gara mereka sering melihatku selalu diantar dan dijemput mamaku sendiri, meskipun usiaku sudah 18 tahun.
Singkat cerita, tadinya aku ingin segera ngekos seperti anak-anak lainnya pas mulai kuliah. Bayangan seru petualangan anak kos dekat kampus sudah memenuhi benak. Sudah kubayangkan banyak ide cerita yang bisa kutulis.
Apa daya, orang tua waktu itu melarang. Saat ingin naik bus, Mama juga keberatan. Alasan beliau, selama masih bisa diantar-jemput keluarga sendiri, kenapa mau repot-repot mengeluarkan ongkos naik bus? Hhh…pokoknya sulit membuat beliau memahami maksudku saat itu – hingga jujur saja…sempat bikin frustrasi.
Tahun kedua di kampus, akhirnya Mama mengalah. Namun, beliau mengajukan satu syarat: seminggu pertama, aku harus ditemani oleh teman kuliah yang sudah pernah naik bus dan kebetulan jurusannya searah. Wita, salah seorang teman sekelasku saat itu, mengajukan diri. Kebetulan, Mama dan ibunya Wita juga teman lama. Maka, jadilah Wita dipercaya Mama untuk “mendampingi”-ku naik bus kota.
Setelah merasakan manfaatnya, barulah Mama mengakui bahwa keputusan beliau membiarkanku naik bus sendiri memang tepat. Apalagi, beliau kemudian sudah mulai lelah dan berhenti mengantar dan menjemputku. Beliau juga bahkan belajar naik angkot dan bus dariku seiring waktu. Padahal, dulu waktu beliau seumurku boro-boro. Almarhum Aki sangat melindungi anak-anak perempuan beliau di rumah.
-//-
Setelah bekerja, naik bus sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Santai, meski kadang lelah juga. Banyak pengalaman aneh-aneh juga, mulai dari dirayu penumpang laki-laki yang entah kenapa menginginkan nomor ponselku, pernah kecopetan karena jatuh tertidur di bus, jadi korban pelecehan seksual (sialan, memang banyak penumpang laki-laki yang sebiadab ini sama perempuan!), hingga kesasar karena salah naik bus.
Bahkan, pernah juga malam-malam bus mendadak menurunkan semua penumpangnya di pinggir jalan, padahal tujuan kami belum sampai. Alhasil, aku pernah nekat jalan kaki barang 1 – 2 kilometer hingga sampai rumah. Kenapa tidak naik angkot? Selain jalanan sudah mulai sepi di atas jam sepuluh, kadang suka ngeri juga naik angkot yang sudah sepi. Apalagi, pernah ada kasus perampokan dan pemerkosaan di angkot. Tidak, terima kasih.
Pernah juga aku berhadapan dengan pengamen yang mengerikan. Kalau hanya menyanyi-nyanyi dengan suara sumbang terus meminta sumbangan dengan paksa sih, masih bisa tahan. Masalahnya, kadang mereka suka bikin demo yang seram-seram, seperti menyilet tangan sendiri dan mengisap darahnya. Lalu, mereka bernarasi semacam: “Beginilah kami bila terdesak karena lapar…”
Jangan tanya sebanjir apa keringat dinginku saat selesai demo, salah satunya duduk pas di sampingku di bangku belakang. Ya, masih sambil memamerkan tangannya yang luka-luka. Cara intimidasi paling ampuh untuk membuat penumpang – terutama yang perempuan – terpaksa memberikan uang. Iya kalau hanya tangan mereka yang disayat. Kalau…
Ah, sudahlah…
Aku bersyukur sudah tidak dianggap anak cemen lagi sama teman-teman kampus atau siapa pun begitu mereka tahu akhirnya aku bisa naik bus sendiri. Saat Trans-Jakarta mulai beroperasi, kuputuskan untuk lebih mengutamakan naik Trans-Jakarta bila memungkinkan. Setelah dipikir-pikir, kenapa harus membuktikan diri ke siapa pun dengan menderita berjejalan di dalam bus – hanya biar nggak dibilang anak manja? Manusia berhak memilih yang paling nyaman buat mereka, bukan?
-//-
Saat akhirnya pindah rumah untuk ngekos sendirian di tengah kota, frekuensi naik busku jadi berkurang. Ya, kadang masih suka naik Trans-Jakarta. Namun, bila sedang terburu-buru, aku lebih memilih menggunakan jasa ojek – apalagi saat kemacetan di Jakarta semakin menggila. Kadang bila sedang manja-manjanya, aku memilih naik taksi.
Ya, kamu sudah bisa menebak alur cerita berikutnya saat era ojek dan taksi online muncul. Sekali lagi, bila memang ada pilihan yang lebih nyaman dan menguntungkan, kenapa tidak? Kenapa harus bertahan sama yang menyiksa, bila bisa mendapatkan kenyamanan lebih?
Kini, aku lebih banyak bekerja dari rumah. Bahkan sebelum pandemi, aku sudah mulai membiasakan ritme hidup seperti ini. Hanya sesekali aku menggunakan bus sebelum pandemi.
Apakah aku kangen naik bus? Hmm, mungkin hanya Trans-Jakarta. Kalau suruh balik lagi naik bus kota yang biasa, ogah. Selain suka ngetem lama, mereka juga ngebut gila-gilaan, menjejalkan penumpang seperti ikan sarden kalengan, hingga…suka menyuruh penumpang turun di pinggir jalan seenaknya, padahal tujuan belum sampai. Belum lagi kernet bus yang tiba-tiba suka memaki-maki, marah-marah nggak keruan. Siapa yang tahan?
Daripada berusaha menjegal sama yang bikin penumpang merasa lebih aman dan nyaman, mendingan mereka usaha meningkatkan kualitas pelayanan…
…sebelum keburu dijual kiloan kayak yang sudah terjadi…
“Ayolah, ini akan menyenangkan,” janjimu padaku dalam bahasa Inggris beraksen Rusia itu. “Travelling berdua, camping, menikmati hutan belantara. Aku bisa memotret alam sesukaku, sementara kamu bisa menulis. Kamu belum pernah travelling ke alam terbuka, ‘kan?”
Entah apa yang membuatku termakan oleh ajakanmu. Kamu yang begitu mempesona sejak awal bertemu. Kata teman-temanku (yang disertai jengit di wajah mereka) sih, kamu jauh dari tampan. Dekil dan berantakan malah. Kalau Mama sampai tahu aku diam-diam pacaran dengan laki-laki bule, gondrong, brewokan tapi nyaris botak di puncak kepala, berkacamata segede pantat botol, dan dengan tampilan kayak nggak mandi seminggu, beliau pasti akan mengamuk.
“Ayolah,” bujukmu sambil membelai ikal gelapku. Kalau sudah begini, aku suka luluh. Tambah luluh lagi saat kamu mencium bibirku dengan penuh napsu. Ah, ke manakah otakku? Biasanya aku selalu berhati-hati.
Mungkin karena saat itu aku sedang jenuh dan muak dengan tuntutan keluarga. Sudah di atas 30, kata mereka. Kapan menikah? Kenapa nggak bisa seperti kakakmu? Mungkin karena menurut mereka aku terlalu gemuk, makanya laki-laki tidak ada yang mau.
Tapi, kamu justru mengaku lebih suka dengan perempuan gemuk. Berbanding terbalik dengan sosokmu yang menjulang, rada kerempeng – tapi hebatnya kuat bawa tas gede pas travelling. Itulah yang kuperhatikan dengan kagum, saat akhirnya – ya, kuputuskan untuk ikut travelling perdana denganmu. Aku sampai bertengkar hebat dengan Tobey, sahabatku laki-laki Australia yang sudah lebih seperti abangku sendiri.
“Rina, please. Aku tahu perempuan macam apa kamu. Aku nggak mau kamu menyesal nanti.”
Kutinggalkan pesan untuk ibu kos sebelum pergi. Aku sengaja tidak memberitahu siapa-siapa lagi, meski ponsel tetap kubawa. Jujur, aku mungkin anak kota yang juga sedang merasa sangat bosan. Aku butuh petualangan.
Dan laki-laki seperti kamu begitu menggiurkan…
-//-
Tiga bulan berlalu. Mungkin aku praktis sudah jadi orang hilang saat itu. Di hutan, terutama yang belantara, waktu seakan berjalan lambat – bahkan nyaris berhenti. Setiap hari terasa sama. Tidak banyak manusia lain, hanya kita berdua. Aku dan kamu. Dengan alasan berhemat, kita akhirnya tidur satu tenda.
Oh, ayolah. Semua pasti sudah tahu apa yang kemudian terjadi. Apalagi, kamu begitu menggebu-gebu. Aku yang tadinya ragu akhirnya pun mau.
Hingga saat itu…
Sial, kenapa aku mual begini, ya?
“Kamu nggak apa-apa?” tanyamu saat aku banyak tertinggal di belakang. Tidak hanya itu, aku pun mulai sering ngos-ngosan dan ingin muntah. Kepalaku pusing, berputar hebat. Saat kulihat wajahku di layar kamera ponsel, astaga. Pucat bukan kepalang.
Aku tahu, yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi. Aku tidak bisa bilang kamu memaksaku, namun entah kenapa aku tidak menolakmu waktu itu. Mungkin karena malam itu hanya kita berdua di dalam tenda…di tengah hutan belantara…
Saat menyempatkan diri ke kota kecil, kudatangi apotik yang sekaligus minimarket. Ajaib, apotik sekaligus minimarket itu menjual test pack. Untunglah, di kota kecil itu belum ada peraturan aneh-aneh soal larangan menjual alat kontrasepsi, alat tes kehamilan, dan semacamnya secara terbuka.
Setelah membayar, buru-buru aku keluar. Aku harus mengetesnya segera. Aku hanya ingin memastikan…
-//-
“Nggak mungkin,” bantahmu saat kuberitahu hasil tes itu. “Aku ‘kan waktu itu pakai pengaman-“
“Mungkin nggak efektif,” tukasku dingin. Kulihat ponselku sudah penuh dengan notifikasi pesan. Ada ratusan. Mama…Tobey…teman-temanku yang lain…
Maafkan aku…
“Aku nggak bisa,” katamu sambil menggeleng-geleng. “Kamu tahu gimana keluargaku. Aku nggak pernah kenal ayahku dan ibuku – “
“Tapi aku nggak bisa pulang dalam keadaan begini!” Tangisku kini pecah. Barulah, di atas tebing dekat hutan, kulihat sosokmu yang sebenarnya. Liar, tak pedulian, dan sepertinya siap menyingkir dariku kapan saja. Kuraih tangannya. “Please…”
“Aku nggak bisa!” Tanpa sengaja kamu menepisku. Saat itulah aku tiba-tiba merasakan tubuhku melayang…jauh…jauh…hingga…
Jatuh. Lalu gelap.
-//-
Keluargaku datang menangisi jenazahku. Aku sendiri tidak tahan melihat separuh wajahku yang kini hancur karena menghantam karang di bawah air terjun. Ada yang melihatku, lalu melapor penduduk setempat. Kamu akhirnya diamankan pihak berwajib sebelum jadi sasaran amukan warga, tak peduli bila kamu membela diri dan bilang kalau itu kecelakaan.
Di sudut kamar jenazah, rohku terpaku, memandangi akhir ekspedisiku…
Maaf ya, lama gak update karena kerjaan baru yang lumayan bikin sibuk. Boleh saja perayaan tahun baru 2021 kemarin terasa sepi. Lebih banyak yang memilih di rumah. Tidak banyak juga yang bermain kembang api atau petasan.
Tapi, semangat jangan cepat redup.
Kembali saya mengikuti berbagai berita yang berseliweran di jagat digital. Tidak hanya berita terkini, namun juga dari orang-orang biasa. Ya, keluarga dan teman-teman di media sosial.
Saya juga baru memulai pekerjaan purnawaktu. Berhubung masih dalam tahap penyesuaian diri (kembali), maka saya belum bisa banyak bercerita soal itu di sini. Mungkin juga, saya takkan bercerita soal pekerjaan. Khusus di sini, saya lebih suka bercerita tentang hidup dan cinta sejati saya:
Selamat Tahun Baru 2021. Memang, kali ini rasanya sepi. Nggak ada yang berkumpul, karena harus mengikuti aturan protokol kesehatan. (Yang gak mau ngikut mah, terserah ya…asal jauh-jauh dari yang masih ingin sehat. Selamat bikin kesel petugas kesehatan yang sudah amat sangat kelelahan!)
Jujur, saya sendiri malah ketiduran pada pukul 23:30. Gak lama, karena sejam kemudian terbangun lagi. Countdown terlewatkan.
Ah, sudahlah. Toh, sebenernya perayaan semacam itu juga gak penting-penting amat. Biasa aja.
Kabarnya sih, ada strain baru #Covid-19 dari Inggris. Virus ini juga sudah mulai menyebar.
Sungguh ironis. Belum kelar kita berurusan dengan #Covid-19 , eh…tahunya yang gelombang kedua udah nongol aja.
BALI: Bagaimana Perjalanan di Surga Dunia Ini Membuat Saya Merindukan Bali
Saya beruntung dapat mengenal penyair berbakat lainnya di Indonesia. Saya bertemu Indah P. di Malam Puisi Jakarta. Dia ada di sana untuk mempromosikan antologi puisinya – “BALI: The Journey in Heaven on Earth”.
Sejak awal, saya mengagumi semangat dan kepribadian Indah yang bersemangat, namun rendah hati. Kecintaannya pada seni, terutama puisi, sangat tulus. Ketika dia mempromosikan buku itu, saya memutuskan untuk membeli bukunya tanpa berpikir dua kali.
Jujur saja, buku ini membuat saya sangat merindukan Bali. Saya telah mengunjungi Pulau Dewata itu dua kali dan rasanya masih belum cukup. Indah benar tentang Bali yang magis. Memang ada sesuatu yang agung dan luar biasa tentang surga dunia ini.
Puisi-puisinya dalam antologi ini telah membawa saya kembali ke sana. Saya ingat angin sepoi-sepoi di tepi pantai, matahari terbenam yang menyilaukan, dan tarian Kecak yang ajaib. Saya ingat pemandangan alam yang indah dan penduduk yang ramah.
“The Sunset” mengingatkan saya pada perasaan yang saya miliki, ketika menyaksikan matahari terbenam di sana – pada kunjungan terakhir saya dengan seorang sahabat bermata hazel:
“This is the moment of serenity.
It will last forever, for eternity.
No one can take it away from me.
Because it has been engraved in my memory.”
Saya harus membaca buku ini lagi ketika pandemi # Covid-19 pertama kali melanda. Entah bagaimana, buku ini telah membantu saya bertahan dan menghabiskan waktu.
Nantikan puisi-puisi dan buku-buku berikutnya dari Indah P. Jika penasaran dengan karyanya, silakan cek IG-nya: @thefantasia.art