Categories
#catatan-harian #fiksimini #menulis #MondayFlashFiction

“SIAPA DIA?”

“SIAPA DIA?”

Matanya begitu dingin menatapku.

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Takut-takut aku menggeleng. Benakku berputar begitu cepat, berusaha mengingat-ingat wajahnya…

— // —

“Apa-apaan ini?!”

Alan dan Belinda cekikikan begitu melihatku melototi layar laptop-ku. Terpampang di sana, profil dan detailku pada sebuah…situs kencan.

Astaga, ini bener-bener nggak lucu!

“Sori, El,” ucap Belinda takut-takut, begitu menyadari betapa murkanya aku. Disikutnya si Alan (koreksi, maksudku siAlan!) yang entah kenapa masih berani nyengir. “Ini idenya dia.”

“Eh, elo juga kali, yang ngusulin website itu,” balas Alan membela diri. Wajahnya tampak sewot nggak terima. “Niat kita semula mau bantuin Elma cari jodoh, ‘kan?”

“TAPI NGGAK GINI JUGA CARANYA KALI!” bentakku, yang sukses bikin dua mahluk di depanku berjengit. Kutuding layar laptopku dengan geram. “Sekarang hapus akun gue. Nggak mau tau gimana caranya! Gue nggak pernah ngerasa daftar beginian, kok elo pada enak-enaknya bikin profil gue di sini. Pelanggaran privasi, tauk!”

“I…iya-iya, maaf.” Baru saja Alan mau menyentuh keyboard laptop-ku ketika kutepis tangannya dengan langsung.

“Pake punya lo sendiri!” perintahku kasar. “Dalam sejam masih gue liat itu profil, awas lo berdua!”

Tanpa banyak ribut, kedua mahluk yang harusnya jadi sahabatku itu langsung ngacir, balik ke cubicle masing-masing.

Oke, aku tahu maksud mereka baik. Menurut mereka, aku sudah melajang cukup lama. (Terlalu lama, menurut mereka.) Aku juga nggak gitu tertarik sama situs kencan. Takutnya ketemu orang aneh-aneh. Tahu ‘kan, yang pas online kelihatannya sempurna, tahunya pas kopdar…hiii…

Kadang keponya orang Indonesia nyebelin akut. Okelah, mungkin mereka bahagia karena berpasangan. Tapi nggak berarti yang masih lajang selalu merana, ‘kan? Aku masih bisa cari sendiri kok, tentu dengan caraku juga. Kalo emang mereka punya niat baik, mbok ya tanya yang punya profil dulu baik-baik sebelum daftarin sembarangan. Idiih…

Saat kucek lagi website itu, nama dan fotoku sudah nggak ada. Syukurlah. Damai lagi rasanya…

— // —

Oke, nomor siapa ini? Kenapa dia selalu missed-call dan WA-nya ngajakin ketemuan terus?

Berhubung nggak merasa populer, aku cuekin aja. Eh, lama-lama kok, pesannya makin kasar begini, ya?

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

“Masa lupa, kemarin-kemarin kita udah chatting cukup lama?”

“Kenapa? Aku kurang cakep buat kamu ladenin?”

Grrrh! Merasa malas dengan urusan ini, kuhampiri Alan dan Belinda. Kutunjukkan ponselku, masih dengan tampang geram.

“Dugaan gue dari website sialan itu,” ujarku tanpa basa-basi. Maklum, aku masih marah sama mereka. “Gue nggak mau tahu gimana caranya, elo berdua jelasin ke orang ini supaya nggak gangguin gue lagi. Malesin tau, gak?”

“Gue aja, deh.” Alan mengalah. Diteleponnya nomor itu. Wajahnya tampak amat menyesal saat berusaha menjelaskan perihal salah paham ini. Biarin aja. Kutunggu, melihat Alan mengangguk-angguk pasrah sambil meminta maaf.

Akhirnya…

“Udah, El,” katanya lemas. “Dia nggak bakal gangguin kamu lagi.”

“Good.” Aku berbalik tanpa memberi mereka kesempatan untuk bicara. Meskipun kata Alan orang itu sudah tahu, buat jaga-jaga kublokir nomornya.

— // —

Mungkin aku terlalu cuek, karena merasa nggak populer. Privasiku ya, privasiku.

Makanya, aku kaget setengah mati saat malam itu, laki-laki itu mencegatku di parkiran kantor.

“Kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Mungkinkah…

Terlambat. Cipratan air itu melepuhkan kulit wajahku.

 

R.

(500 kata – dari Prompt#144: Siapa Dia? untuk Monday Flash Fiction di http://www.mondayflashfiction.com/2017/07/prompt-144-siapa-dia.html )

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“DI BALIK BAYANG-BAYANG…”

“DI BALIK BAYANG-BAYANG…”

Di balik bayang-bayang,

ada yang tersenyum senang

Mata itu menyorot tajam

tampak puas dan kejam

 

Di balik bayang-bayang,

sosok itu menikmati setiap pertengkaran

bertepuk tangan pada makian

bersorak-sorai, memuji pembantaian

 

Saat ini,

sosok itu masih terlalu nyaman

sangat cerdas, sulit ketahuan

terlalu pengecut untuk hadir di tempat terang

terlalu licik untuk ikuti aturan

 

Di balik bayang-bayang,

sosok itu hanya berani menunjukkan

senyum culas pengadu domba

merayakan setiap luka

sambil berpegang pada standar ganda…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“JUJUR = KASAR?”

“JUJUR = KASAR?”

Baru-baru ini saya keluar dari salah satu grup kepenulisan di Facebook. Bukan karena berantem sama anggota lain atau melanggar peraturan, tapi karena banyak sekali anggota yang – jujur aja – hobi ‘nyampah’ dengan tulisan-tulisan nggak bermutu.

Nggak bermutu? Lalu tulisan saya apa namanya, ya?

Entahlah, terserah yang baca. Hehe. Yang pasti, ada tulisan seorang laki-laki yang bikin saya gerah. Dari judulnya saja, jelas-jelas dia dengan sengaja mengejek para perempuan beragama tertentu karena hobi sharing artikel tentang larangan pacaran dalam agama tersebut, namun pada saat yang sama begitu gandrung dengan ‘Drakor’ (yang ternyata singkatan dari ‘drama Korea’. Sekilas kedengaran mirip ‘Drakula’.)

Nggak tanggung-tanggung, dia menyebut mereka sebagai perempuan-perempuan yang mau-maunya dibego-begoin ama Drakor.

WOW. Saya sendiri memang bukan penggemar drama Korea, namun saya menangkap nada misoginis yang sangat tajam di sana.

Nggak setuju sama pilihan orang lain? Ya, sudah. Nggak usah kasar dan sok ngatur-ngatur selera orang, apalagi sampai menghina segala. Memberi stereotipe miring seperti itu justru malah menunjukkan kualitas kepribadian si penulis yang – sekali lagi jujur aja, nih – ‘enggak banget’.

Sebelum keluar dari grup tersebut, sialnya saya masih sempat tergoda membaca komentar-komentar di bawah postingan tulisan tersebut. Seperti layaknya di media sosial, ada yang pro dan kontra. Bahkan, untungnya nggak sedikit yang nganggep si penulis sinis, dangkal, sombong, sekaligus menggelikan.

Jangan-jangan diem-diem dia baper karena pernah ditolak cintanya sama perempuan penggemar serial drama Korea.

Apa kemudian saya ikut komentar? Enggak. Ngapain? Saya nggak punya waktu untuk berdebat dengan orang-orang yang sedemikian haus perhatian, yang tujuan utama mereka dalam perdebatan hanya untuk menyerang, menang, dan selalu diiyakan.

Ternyata, puasa dan Lebaran hanya ‘numpang lewat’ bagi sebagian orang. Begitu kembali ke hari-hari biasa, mereka mulai lagi deh, dengan kebiasaan buruk yang sama: menghina dan merendahkan sesama. Melelahkan.

Sepertinya masih banyak yang baru belajar sampai sebatas memberi opini. Yang penting jujur, meski kasar. Perkara berguna dan nggak nyakitin orang lain, lain cerita. Mungkin juga bukan urusan mereka, meski lucunya mereka hobi banget ngomentarin urusan pribadi orang lain.

Yah, begitulah. Daripada ikutan sinting, ada kalanya lebih baik melipir dan biarkan orang-orang ini nyinyir di media sosial hingga jari-jari pada keplintir…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“KEMBALI KE AWAL?”

“KEMBALI KE AWAL?”

Meski banyak yang menyamakan momen Idul Fitri kemarin dengan ‘kembali ke awal’, saya agak tergelitik dengan beberapa hal:

  • Kenapa harus menunggu momen tertentu untuk memulai atau mengakhiri sesuatu, seperti berusaha menjadi lebih baik dan mengakhiri perselisihan dengan seseorang? Bukankah setiap hari adalah momen yang baru?
  • Beneran menyesal dan memaafkan – atau formalitas belaka? Apakah kita meminta maaf hanya biar tidak kena marah lalu sudah? Tidak ada tanggung jawab lanjutan atau kesepakatan untuk menghindari pengulangan?

Begitu pula saat kita memaafkan. Benarkah tulus dari hati? Benarkah masa lalu tidak akan diungkit-ungkit lagi, terutama saat perdebatan baru muncul di kemudian hari?

  • Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, bisakah acara ‘kembali ke awal’ ini tidak dirusak oleh tanya-tanya ‘kepo’ dan komen-komen ‘ganggu’ dan nyakitin macam: “Kok betah melajang?” sama “Kok belum hamil-hamil juga? Yang lain anaknya udah tiga…” ?

Mungkin catatan kecil ini terdengar sinis, tapi anggap aja pengingat. Buat siapa? Ya, kita semua.

Nggak ada larangan buat memulai yang baru dan lebih baik di hari nan fitri. Asal nggak musiman, alias cuma pas lagi momennya, lalu menguap begitu saja. Buntutnya kita malah kembali melakukan kesalahan yang sama atau malah lebih parah.

Yakin udah tulus memberi maaf? Jangan sampai habis itu masalah yang ‘katanya sudah selesai’ disinggung-singgung lagi. Emang enak jadi orang yang selalu dihakimi dari masa lalu mereka?

Selain itu, cobalah berubah menjadi orang yang lebih menyenangkan dengan tidak menyindir atau membanding-bandingkan kekurangan orang lain. Jangan juga hanya berlaku baik pas Lebaran.

Selamat memulai dari awal. Semoga menjadi pribadi yang lebih baik.

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“MENCARI SENYUMMU DI TENGAH KEKACAUAN DUNIA…”

“MENCARI SENYUMMU DI TENGAH KEKACAUAN DUNIA…”

 

Aku mencari senyummu

di antara kekacauan dunia

Mungkin saja,

senyum itu senjata terampuh

seperti mata bersorot teduh

yang mampu membunuh

semua angkara di dada

kalau perlu tanpa sisa…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“JATUH. BANGUN. JATUH. BANGUN LAGI.”

“JATUH. BANGUN. JATUH. BANGUN LAGI.”

Sebenarnya saya enggan terlalu banyak bercerita tentang diri sendiri, meskipun ini blog pribadi. Tapi, bisa dibilang, 1-2 bulan terakhir ini adalah saat-saat penuh cobaan. Nggak perlu secara spesifik disebut. Intinya saya lagi lumayan struggling banget akhir-akhir ini.

Kali ini, saya memutuskan untuk nggak cerita ke semua orang. Takutnya (terutama mengingat saya masih lajang dan tinggal sendirian pula), yang datang kebanyakan komentar “nggak banget” – terlalu menghakimi sekaligus menggampangkan, seperti:

1. Mereka akan menyarankan saya untuk kembali pulang dulu, dengan dua alasan berbeda yang sama-sama nggak enak didengar:

“‘Kan masih ada keluarga ini. Ngapain sih, sok-sok tinggal sendiri?”

“Cewek gak bisa hidup mandiri. Kalo ampe ada, berarti bukan cewek atau aneh.”

Grrr…grrr…grrrh…izinkan saya menimpuk muka mereka pake kamus, meski dengan risiko batal puasa. (Untung saya tetap lebih mempertahankan puasa ampe waktu buka.)

2. Mereka akan berkomentar dengan nada meremehkan:

“Udah, nyante aja. Elo ‘kan cewek. Ntar pas married juga udah gak perlu lagi terlalu pusing mikirin duit. Tinggal nodong suami.”

Astaga, naif sekali. Udah gitu, bahasanya itu, lho. Selain memperlakukan pernikahan bagai solusi kilat finansial, suami hanya dianggap mesin ATM sementara istri dianggap cuma tukang belanja dan morotin suami doang. Huekk!

3. Mereka akan cenderung menyalahkan dan menuduh yang enggak-enggak:

“Elo juga sih, jadi cewek keras kepala dan egois banget. Gak pernah dengerin orang lain.”

Ahem, yakin segitu kenalnya sama saya? Gak pernah dengerin orang lain, apa cuma Anda doang?

Berdasarkan beberapa pengalaman di atas, saya memutuskan untuk nggak sembarangan bercerita. Nggak semua orang bisa dipercaya. Yang niatnya paling baik pun belum tentu bisa memberi solusi, bukannya kritikan doang – terlepas emang saya yang salah atau bukan. (Gak perlu juga selalu bermanis-manis ama saya, tapi nyinyir juga gak ada gunanya.)

Intinya, gak semua orang se-suportif itu. Kenyataannya memang demikian.

Banyak orang yang merasa sudah tahu segalanya tentang kita. Saat kita jatuh, belum tentu mereka bakalan ikut jatuh kasihan dan tergerak untuk membantu. Bisa saja mereka malah menuduh, menyalahkan, dan menghakimi dengan mudah. Nggak bisa atau nggak mau bantuin gak apa-apa, serius.

Asal mulut gak jadi jahat aja.

“Elo gak hati-hati, sih. Makanya ketipu. Baik ama orang boleh, tapi jangan gak pake otak gitu, dong.”

“Elo terlalu percaya ama dia sih, makanya dimanfaatin.”

“Elo itu gak pernah bener-bener mandiri, karena elo selalu ikut kata orang.”

“Elo ‘kan gak pernah traveling maupun hidup sendiri. Emang bisa?”

Padahal, dari mana bisa tahu saya bakalan gagal kalo gak nyoba? Lalu, apakah jumlah kegagalan seseorang lantas sah membuat mereka dicap sebagai pecundang?

Banyak yang lupa, hidup ini selalu penuh dengan proses ‘jatuh-bangun’. Bahkan, orang paling cerdas, kuat, dan berhati-hati sekali pun mengalaminya. Pilihan juga selalu banyak.

Mau terus mengasihani diri sendiri atau bangkit lagi? Mau break sebentar atau langsung ganti strategi?

Mau gengsi – atau menerima tawaran dan bantuan dari mereka yang benar-benar peduli, bahkan sebelum Anda memintanya? Mau terus dengerin berisiknya para bully atau mengingat ucapan mereka yang selalu menyemangati?

Banyak ya, pilihannya? Mau yang mana?

Jatuh. Bangun. Jatuh? Ya, bangun lagi. Saatnya ganti strategi dan belajar kembali.

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“SAAT SALAH MENJADI MOMOK SEKALIGUS BAHAN TERTAWAAN…”

“SAAT SALAH MENJADI MOMOK SEKALIGUS BAHAN TERTAWAAN…”

“Sebenernya pengen sih, belajar sekaligus praktik. Cuma takut salah.”

“Kenapa takut salah?”

“Ntar diketawain dan dibilang bodoh.”

—//—

“Bego amat, sih. Baru gini doang gak bisa.”

Salah. Takut salah. Takut kelihatan bodoh dan jadi bahan tertawaan.

Kedengaran familiar? Pernah mengalami? Mungkin perasaan ini jauh lebih parah daripada kena marah. Tapi, apa hubungan contoh kejadian pertama di atas dengan yang kedua?

Jadi bully bagi sebagian orang emang enak. Ada perasaan kuat, berkuasa, hingga ‘lebih’ lainnya saat bisa menertawakan atau merendahkan orang lain. Agar perasaan kuat itu terus ada, mereka butuh ‘pembanding’.

Biar terus menang, jangan cari pembanding yang seimbang atau lebih berkualitas dari mereka. (Halah, anak kecil juga tau kali! Eh, tuh ‘kan, saya jadi ikutan.) Kalo bisa yang ‘lebih rendah’ atau ‘di bawah banget’ dari mereka. Semakin aneh atau cupu, semakin seru dijadiin bahan tertawaan. Lumayan, hiburan gratisan. Receh banget deh, pokoknya.

Lalu, gimana kalo yang bermental bully ini mendadak harus belajar hal yang baru banget, alias belum mereka kuasai sama sekali?

Bisa jadi mereka malah berani namun cenderung meremehkan atau malah ketar-ketir cari alasan buat mundur. Gengsi dong, kalo ketauan punya kekurangan. Namanya juga bully. Kalo gak sok sibuk, mereka bakalan ngeles, bilang kalo kegiatan itu nggak ada gunanya atau “Bukan gue banget.”

Padahal, mencoba saja belum pernah. Dari mana bisa tahu kalau itu ‘bukan mereka banget’?

Masalah masih berlanjut bagi yang berani mencoba terus melakukan kesalahan. Contoh: belajar bahasa asing. Dari segi teori sih, oke banget. Kosakata hapal mati.

Tapi, giliran praktiknya kebat-kebit. Alasannya? Ya, takut salah. Takut diketawain. Kalo ampe beneran kejadian, biasanya mereka malah marah atau jadi malu. Gengsi dan ogah nyoba lagi, deh. Game over.

Kadang takut salah belum tentu ada hubungannya sama kurangnya kepercayaan diri. Bisa jadi, sadar nggak sadar, selama ini kita udah kepedean dan cepet puas, makanya malah jadi sombong namun enggan berkembang. Ngeliat orang jatuh aja masih suka refleks ngetawain. Padahal, kalo kita sendiri yang ngalamin pasti sakitnya dua kali. Ya, sakit badan karena jatuh plus sakit hati karena yang ngeliat gak punya empati.

Gimana caranya supaya cepat bisa mempelajari sesuatu? Ya, coba dulu baru tahu. Kalo salah? Ya, belajar dari situ.

Intinya, jika pernah atau masih punya rasa takut salah saat mempelajari sesuatu yang baru, coba cek dulu. Jangan-jangan selama ini kita masih hobi ngetawain kesalahan orang lain – dan alam bawah sadar sedang getol-getolnya ngingetin pas kita gantian di posisi mereka…

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

“SELAMAT DATANG DI ALAM MIMPIKU”

“SELAMAT DATANG DI ALAM MIMPIKU”

 

Semalam aku kembali melihatmu

muncul di luar kendaliku

Haruskah aku terganggu?

Aku tak tahu

Rasa ini masih ambigu

 

Bagaimana ini?

Kenapa kau bisa di sini?

Padahal, gerbang ini sudah lama kukunci

Tidak sembarang orang bisa kemari

Lagi-lagi diri mengkhianati

 

Akankah kau kembali ada

di malam-malam berikutnya?

Tak sudi aku kehilangan daya

Setengah mati kuhindari satu kata

khawatir merasa bodoh dan berakhir kecewa

kembali pada bencana yang sama

seperti semua kisah lama

 

Ah, sepertinya waktuku telah tercuri

bahkan saat lelap sendiri

Mungkin kau memang harus di sini

meski entah sampai kapan…atau akankah kau juga pergi

dan aku kembali sendiri

 

Selamat datang di alam mimpiku

meski kau sendiri tidak tahu…

 

R.

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“5 BERKAH DARI MENJADI SOSOK CHUBBY”

“5 BERKAH DARI MENJADI SOSOK CHUBBY”

Seperti yang selalu saya percaya, hak otonomi tubuh seharusnya milik masing-masing orang. Mau kurus terserah, mau gemuk juga. Sayangnya, masih saja ada orang yang kurang kerjaan dan mengurusi tubuh orang lain.

Nah, daripada kesel dengerin mulut-mulut usil yang seakan tiada henti (bahkan termasuk mereka yang bertanya-tanya apakah berat Anda akan turun banyak di bulan puasa ini), boleh jadi 5 berkah di bawah ini dapat menghibur hati Anda:

 

1. Nggak gampang diculik.

Ya, meme semacam ini sempat bertebaran di media sosial. Boleh dianggap lucu, boleh enggak. Kecuali pelakunya emang ‘niat banget’ (seperti sampai mengerahkan sekompi hanya buat menciduk Anda seorang), kayaknya banyak yang lebih milih mundur atau mikir ribuan kali sebelum punya niat jelek ini.

2. Nggak gampang diceburin ke kolam renang saat dikerjain.

Sesungguhnya poin ini hampir mirip dengan yang pertama. Dua kali ultah, saya sendiri pernah dikerjain dengan cara yang sama. Kalo cuma berdiri di tepi kolam sih, gampang banget. Tinggal dorong dan byur!

Tapiii, coba bayangin kalo orang yang mau Anda kerjain begitu kebetulan chubby…dan meronta-ronta setengah mati.

Berdasarkan pengalaman pribadi, butuh seenggaknya enam orang laki-laki berbadan besar (entah kekar atau gempal, terserah) untuk mengangkut saya sebelum sukses menceburkan saya ke kolam renang. Catet ya: ENAM LAKI-LAKI KEKAR atau GEMPAL. Not just any guys.

Mengapa demikian? Terakhir kali ada satu yang kurus di antara mereka, dia malah sukses ikut tercebur. Ya, selain fakta bahwa waktu itu saya juga ikut menariknya.

3. Lebih kreatif dalam urusan berbusana.

Kata siapa cewek chubby gak bisa atau gak boleh kelihatan gaya? Hare gene. Come on. Udah ada toko-toko baju khusus plus-size, mau yang tinggal disamperin atau online. Perpaduan fashion untuk si chubby juga udah banyak. Tinggal pilih sesuai selera dan kenyamanan masing-masing.

Di Amrik aja juga udah biasa ada fashion show khusus untuk plus-size models. Kalo di toko langganan nggak jual outfit incaran? Tinggal andelin penjahit langganan buat bikin versi besarnya.

4. Dari semua bully yang hobi ‘cuap-cuap’ soal tubuh Anda yang menurut mereka ‘enggak banget’, masih ada teman-teman sejati yang bener-bener sayang sama Anda.

Nggak usah main kuantitas, yang penting kualitas. Berterima kasihlah pada ‘mulut-mulut kurang ajar’ itu. Anda bisa tahu siapa saja yang layak dijadikan teman dan disayang, siapa yang enggak. Kalo yang mulutnya reseh anggota keluarga sendiri? Yah, interaksi seperlunya aja. Tetap sopan, tapi gak usah deket-deket amat juga nggak apa-apa.

5. Sama seperti nomor empat, ada beda antara beneran mendukung dengan yang sebenernya cari-cari alasan – dan bahkan pembenaran – untuk menjatuhkan.

“Kurusin, dong. Mau ‘kan, punya pacar?”

“Kita olahraga, yuk. Biar lebih sehat.”

Ngerti bedanya? Kalo masih enggak, kebangetan namanya.

 

Nah, itu dia lima (5) berkah dari menjadi sosok chubby. Masih ada yang nggak suka? Tantang aja ke mereka, berani nggak protes ke Sang Pencipta? Wong yang punya badan siapa, kok yang ribut siapa?

 

R.

 

 

Categories
#catatan-harian #menulis

“(EX)PERIENCE-NYA REZA PAHLEVI”

(EX)PERIENCE-NYA REZA PAHLEVI: Barisan Para Mantan dan Realita”

Terlibat dalam salah satu workshop menulis sebagai panitia mempertemukan saya dengan buku ini…sekaligus pengarangnya. Karena selama ini sudah terbiasa membaca yang ‘gelap-gelap’ (terutama yang seram), kali ini mau coba yang sedikit lebih ringan.

Kesan pertama, saya lihat Eja ini orangnya lucu, sederhana dan apa adanya. Alhasil, saat workshop dia sukses bikin banyak hadirin tertawa. Makin penasaran-lah saya dengan isi bukunya, makanya saya beli.

Mungkin karena bacaannya ringan (atau usia saya sudah di luar target pasaran, hahaha!), saya bisa menyelesaikan buku ini dalam waktu singkat. Lucunya cukup sih, meski nggak sampai bikin saya ngakak hebat. Paling-paling hanya nyengir.

Awalnya, saya kira buku ini hanyalah tentang seorang womanizer yang membanggakan barisan para mantan yang pernah dia ‘taklukkan’. (Teman-teman sudah banyak yang tahu kalau saya paling alergi sama laki-laki model begini. Alerginya ngalahin alergi makan cumi yang udah berusia sekian hari.)

Tadinya saya juga mengira bahwa buku ini berisi curhatan “Nice Guy KW Sekian” soal perlakuan kejam para mantannya. Mengapa KW? Banyak laki-laki mengaku ‘nice guy’, tapi hobi mengeluhkan penolakan perempuan alias ‘always playing the victim’. (Terlepas dari siapa yang salah, ya.)

Ternyata? Meski rasanya seperti baca buku harian orang lain, saya cukup terhibur dan menikmatinya. Memang, diselingkuhin dengan alasan apa pun selalu menyakitkan.

Namun, Eja masih menceritakannya dengan gaya humor sederhana. Dia juga nggak plek-plek menjelek-jelekkan semua mantannya. Bahkan, dia masih menulis bahwa selalu ada nilai positif dari kegagalan relasinya dengan para mantan.

Hmm, sekarang saya jadi mikir begini:

Kalau yang bikin kayak begini perempuan, kira-kira jadinya bakalan kayak apa, ya?

R.