Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Kenopsia

Source: Freepik

Kenopsia

Jangan sebut ini duka,

meski semua beranjak,         

menjauh atau raib sekalian.

Berhentilah berucap:

“Pada masa itu…”

“Dulu semua begitu…”

Mungkin rasa terlantar dan nostalgia

ibarat racun sarin dalam air.

Tidak terdeteksi

sebelum ada yang hampir mati.

Tempat dan masa itu memang contoh indahnya kenangan

yang sayang takkan pernah bisa diulang.       

Lihat, ada pesan bertuliskan TUTUP

tergantung di kenop pintu.

Suara-suara yang kau dengar hanya hantu

tertinggal selamanya di masa lalu,

mencoba keluar dari dalam ingatanmu…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

5 Hal yang Harus Disiapkan Saat Menulis dan Memposting Artikel Opini

5 Hal yang Harus Disiapkan Saat Menulis dan Memposting Artikel Opini

Hari gini pasti udah banyak banget yang (doyan) beropini. Gak hanya di media sosial, di media digital lainnya (terutama yang alternatif dan terima karya kontributor lepasan) juga ada. Mau nulis di blog sendiri juga bisa.

Cuma, harus siap-siap bila artikel opini yang sudah terpublikasi – bahkan sampai viral – menuai beragam reaksi. Gak hanya pujian, celaan juga pasti ada. (Makin banyak juga bila isi artikelmu asli ngaco atau dianggep kontroversial – atau malah keduanya.) Tahu sendiri ‘kan, dunia nyata (ternyata) juga sama saja.

Biar nggak kaget, ini lima (5) hal yang harus kamu siapkan saat menulis dan memposting artikel opini:

  • Biarpun opini, lebih oke pake riset.

Seperti yang sudah disebutkan, setiap orang bebas beropini. Meskipun bukan bersifat berita (news), lebih oke lagi kalo tulisanmu pake riset serius juga. Hal ini akan mengurangi kemungkinan tulisanmu dituding pembaca sebagai ‘curhatan doang’  atau tulisan yang bersifat (terlalu) subjektif.

Hmm, kalo pun emang berawal dari curhatan, trus kenapa? Namanya juga sharing pengalaman sendiri. Kalo bohong namanya fiksi.

  • Usahakan melihat/memaparkan setidaknya dua sisi berbeda secara berimbang.

Dalam setiap topik pasti ada beragam opini. Nah, tulisanmu akan semakin kaya bila mau mengulas topik tulisan tidak hanya dari satu sisi. (Baca: pendapat yang paling kamu setujui saja.) Biarkan pembaca belajar menganalisa suatu masalah tidak hanya dari perspektifmu.

Bisa jadi kamu sudah yakin benar akan satu hal. Tidak masalah. Boleh kok, mempertahankan pendapatmu. Selama juga punya bukti pendukung yang kuat, maka makin valid-lah pendapatmu saat ditulis.

Namun, menyebutkan pendapat lain yang berlawanan dengan pendapatmu juga penting, loh. Selain menunjukkan bahwa kamu mengakui adanya perbedaan (termasuk perbedaan pendapat), kamu tidak akan terdengar seperti orang yang ‘merasa paling benar sendiri’. Udah ya, soalnya yang gitu udah banyak banget, nih.

  • Cantumkan sumber-sumber tulisan lain yang mendukung pendapatmu di dalam artikelmu.

Sama seperti di dunia nyata, banyak macam orang di dunia maya. Mulai dari yang hanya asal komentar tanpa membaca (kecuali hanya judulnya), sampai yang punya argument berupa tulisan tandingan.

Bahkan, banyak juga yang emang niat membantah. Nah, kalau sudah begini, siap-siap hadapi aja, deh. Memang, meskipun misalnya argumen mereka (ternyata) terbukti lebih valid, nggak semua tahu atau bahkan peduli untuk pake cara yang santun untuk menegur.

Semoga kamu nggak akan mudah kepancing sama mereka yang sombong dan gemar merendahkan sesama karena merasa lebih benar. Mulai dari yang hobi menyindir “Belajar lagi yang bener deh, baru nulis beginian” sampai yang melenceng jauh – menuduhmu cari sensasi belaka.

Yang penting, sumber-sumber tulisanmu jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Contoh: jurnal ilmiah, media digital yang sudah terkenal bagus reputasinya (bukan yang hobi sebar gosip), dan masih banyak lagi. Mau dari blog orang lain juga boleh, selama isinya benar-benar kredibel.

  • Siapkan mental saat membaca berbagai komentar pembaca.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada pembaca yang baru lihat judul artikel saja sudah langsung komentar. Ada juga yang masih bisa objektif saat berkomentar, itu pun karena sudah membaca tulisanmu sampai habis. Yang nggak suka lantas mengajak ribut? Banyak juga.

Apa bedanya orang di dunia nyata dengan dunia maya? Mereka jauh lebih berani di dunia maya, karena bisa pake akun samaran. Yang biasanya kelihatan sopan sehari-hari ternyata malah jauh lebih kasar saat di social media.

Mempersiapkan mental bukan hanya perkara jangan ‘baperan’ (bawa perasaan – satu istilah yang sebenarnya sangat saya benci, karena sudah terlalu sering dipakai mereka yang sok tangguh untuk mengejek dan merendahkan sesama.) Okelah, banyak komentar sadis menyakitkan di dunia maya, tapi nggak semuanya harus atau layak kamu tanggapi.

Sayang bila waktumu terbuang hanya untuk meladeni mereka yang senang cari ribut demi sensasi (viralitas). Hidupmu pasti masih jauh lebih menarik daripada mereka. Lagipula, memangnya mereka sudah berani berkarya?

Yuk, mending nulis lagi aja terus…

  • Siapkan stok untuk ide tulisan-tulisanmu berikutnya.

Sama seperti musisi, hindari hanya menjadi ‘one hit wonder’. Jangan langsung puas hanya karena satu tulisan viral, habis itu berhenti begitu saja. Saatnya menggali ide lain dan terus menulis.

Bila memang suka menulis, lanjutkan saja. Tak perlu terlalu memusingkan komentar orang lain, apalagi yang tidak kamu kenal dan belum tentu punya karya yang (lebih) bagus. Cukup ikuti saran-saran yang menurutmu berguna dan kembali berkarya.

Yuk, mulai menulis.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Chrysalim

Hanya Se-peluk
Foto: https://unsplash.com/photos/nwWUBsW6ud4

Chrysalim

Badai dan hujan

kau ributkan,

sementara kutemukan damai

saat melihat jatuhnya jutaan rinai.

Mungkin ricuh di luar jendela,

namun ada sunyi bersemayam di kepala,

meredam suara keluhanmu

yang kian merana karena jemu.

Ada untungnya jadi penulis.

Kau bisa bebas berkelana dan jenuh tertepis.

Tak banyak yang bisa kita lakukan sekarang,

kecuali menanti redanya hujan.

Masih saja kau keluhkan bosan

tanpa berbuat apa-apa.

Ah, sayang.

Sepertinya kau kurang membaca.

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Sebuah Ulasan:

Secercah Harapan di Balik Jeruji Penjara

Pepatah ‘anak tidak pernah meminta dilahirkan’  memang benar adanya. Bahkan, tidak ada seorang pun anak yang bisa memilih orang tua mana yang akan melahirkan mereka.

Pada Sabtu (3 April 2021, pukul 19:00), saya memenuhi undangan Tiar Simorangkir, sutradara film dokumenter “Invisible Hopes” , untuk menghadiri gala premier terbatas di Plaza Senayan. Mengapa terbatas? Berhubung masih pandemi #Covid19, mau tidak mau yang diundang juga harus terbatas. Semua demi keamanan.

Tanpa intro yang terlalu panjang, saya langsung paham begitu melihat keseluruhan liputan kru Lam Horas Film selama berada di rutan (rumah tahanan) dan lapas (lembaga pemasyarakatan) khusus perempuan di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Banyak sekali detail penting yang tidak boleh terlewat untuk menggambarkan kondisi rutan yang memang ‘apa adanya’.

Mungkin agak sulit bagi banyak orang untuk bersimpati pada narapidana perempuan kasus narkoba. Baik sebagai pemakai, pengedar, hingga kurir, semua ada di Pondok Bambu.

Ada juga yang merupakan ‘korban sampingan’ , gara-gara suami atau pasangan mereka yang lebih dulu terlibat dengan kasus narkoba. Apa daya, patriarki memang masih membuat banyak perempuan tergantung hidupnya pada suami. Entah karena menurut atau sama sekali tidak tahu bisnis suami.

Namun, terlepas dari apa pun penyebab para perempuan ini menjadi napi – dalam kondisi hamil pula – semoga film ini mengingatkan kita untuk tetap memanusiakan mereka. Apalagi, bayi-bayi yang terlahir di dalam penjara bersama mereka membutuhkan lingkungan yang jauh lebih layak untuk tumbuh sehat. Kondisi penjara yang sudah penuh sesak, panas, dan kandungan gizi yang kurang dalam makanan para napi bukanlah tempat ideal bagi para bayi untuk tumbuh besar.

Apalagi, stres berlipat ganda yang sering dialami para napi perempuan membuat mereka sering melampiaskan amarah kepada anak-anak mereka sendiri. Padahal, anak-anak itu tidak bersalah. Mereka tidak pernah memilih dilahirkan oleh ibu-ibu yang terlibat kasus narkoba, apalagi sampai harus lahir di penjara.

Kedutaan Besar Norwegia dan Kedutaan Besar Swiss mendukung proses pembuatan film “The Invisible Hopes”. Saran saya sih, bagi yang mau menonton, siap-siap stok tisu, yah. Hehehe. Selain itu, bersabarlah, karena film dokumenter menarik ini akan tayang di bioskop pada bulan Mei 2021.

Semoga sesudah menonton film ini, semakin banyak yang tergerak untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung karena terlahir dan besar di penjara selama dua tahun pertama mereka. Apalagi, ibu-ibu mereka mengaku tidak meminta terlalu banyak: bantuan berupa pakaian, susu, hingga kebutuhan para bayi untuk buah hati mereka.

Untuk sementara, yuk lihat cuplikan resminya di sini:

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Gnossienne

Gnossienne

Waktu hanyalah angka,

hitungan jelas durasi

meski belum tentu semakna.

Apa yang telah kulihat?

Ada indah dalam jiwamu,

beserta lembut suara itu.

Aku bahkan bisa berimajinasi

akan rasanya dalam dekapanmu.

Hangat, seperti matahari pagi       

atau air suam-suam kuku

yang biasa kupilih untuk dicampur dengan kopi.

Tentu saja,

tak semua sudi kau tampakkan.

Kau tinggalkan remah-remah roti

yang dengan rakus kutangkap

namun tiada yang melengkapi

potongan-potongan yang raib

dalam kisah hidupmu.             

Tak ada yang pas

dan aku benci teka-teki

yang tak kunjung usai.

Aku mengenalmu,

sekaligus tidak.

Mana sisi dirimu yang sejati?

Sendiri, aku terus mencari tanpa henti.

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Kilas Balik Tentang Pengalaman Naik Bus

Sumber: Merdeka.com

Kilas Balik Tentang Pengalaman Naik Bus

Percaya atau tidak, pertama kali aku naik bus kota adalah saat tahun keduaku kuliah. (Maaf, bus sekolah tidak ikut dihitung.) Ini gara-gara aku muak jadi bahan tertawaan anak-anak lain di kampusku waktu itu. Kata mereka, aku anak manja, anak mami. Ini gara-gara mereka sering melihatku selalu diantar dan dijemput mamaku sendiri, meskipun usiaku sudah 18 tahun.

Singkat cerita, tadinya aku ingin segera ngekos seperti anak-anak lainnya pas mulai kuliah. Bayangan seru petualangan anak kos dekat kampus sudah memenuhi benak. Sudah kubayangkan banyak ide cerita yang bisa kutulis.

Apa daya, orang tua waktu itu melarang. Saat ingin naik bus, Mama juga keberatan. Alasan beliau, selama masih bisa diantar-jemput keluarga sendiri, kenapa mau repot-repot mengeluarkan ongkos naik bus? Hhh…pokoknya sulit membuat beliau memahami maksudku saat itu – hingga jujur saja…sempat bikin frustrasi.

Tahun kedua di kampus, akhirnya Mama mengalah. Namun, beliau mengajukan satu syarat: seminggu pertama, aku harus ditemani oleh teman kuliah yang sudah pernah naik bus dan kebetulan jurusannya searah. Wita, salah seorang teman sekelasku saat itu, mengajukan diri. Kebetulan, Mama dan ibunya Wita juga teman lama. Maka, jadilah Wita dipercaya Mama untuk “mendampingi”-ku naik bus kota.

Setelah merasakan manfaatnya, barulah Mama mengakui bahwa keputusan beliau membiarkanku naik bus sendiri memang tepat. Apalagi, beliau kemudian sudah mulai lelah dan berhenti mengantar dan menjemputku. Beliau juga bahkan belajar naik angkot dan bus dariku seiring waktu. Padahal, dulu waktu beliau seumurku boro-boro. Almarhum Aki sangat melindungi anak-anak perempuan beliau di rumah.

-//-

Setelah bekerja, naik bus sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Santai, meski kadang lelah juga. Banyak pengalaman aneh-aneh juga, mulai dari dirayu penumpang laki-laki yang entah kenapa menginginkan nomor ponselku, pernah kecopetan karena jatuh tertidur di bus, jadi korban pelecehan seksual (sialan, memang banyak penumpang laki-laki yang sebiadab ini sama perempuan!), hingga kesasar karena salah naik bus.

Bahkan, pernah juga malam-malam bus mendadak menurunkan semua penumpangnya di pinggir jalan, padahal tujuan kami belum sampai. Alhasil, aku pernah nekat jalan kaki barang 1 – 2 kilometer hingga sampai rumah. Kenapa tidak naik angkot? Selain jalanan sudah mulai sepi di atas jam sepuluh, kadang suka ngeri juga naik angkot yang sudah sepi. Apalagi, pernah ada kasus perampokan dan pemerkosaan di angkot. Tidak, terima kasih.

Pernah juga aku berhadapan dengan pengamen yang mengerikan. Kalau hanya menyanyi-nyanyi dengan suara sumbang terus meminta sumbangan dengan paksa sih, masih bisa tahan. Masalahnya, kadang mereka suka bikin demo yang seram-seram, seperti menyilet tangan sendiri dan mengisap darahnya. Lalu, mereka bernarasi semacam: “Beginilah kami bila terdesak karena lapar…”

Jangan tanya sebanjir apa keringat dinginku saat selesai demo, salah satunya duduk pas di sampingku di bangku belakang. Ya, masih sambil memamerkan tangannya yang luka-luka. Cara intimidasi paling ampuh untuk membuat penumpang – terutama yang perempuan – terpaksa memberikan uang. Iya kalau hanya tangan mereka yang disayat. Kalau…

Ah, sudahlah…

Aku bersyukur sudah tidak dianggap anak cemen lagi sama teman-teman kampus atau siapa pun begitu mereka tahu akhirnya aku bisa naik bus sendiri. Saat Trans-Jakarta mulai beroperasi, kuputuskan untuk lebih mengutamakan naik Trans-Jakarta bila memungkinkan. Setelah dipikir-pikir, kenapa harus membuktikan diri ke siapa pun dengan menderita berjejalan di dalam bus – hanya biar nggak dibilang anak manja? Manusia berhak memilih yang paling nyaman buat mereka, bukan?

-//-

Saat akhirnya pindah rumah untuk ngekos sendirian di tengah kota, frekuensi naik busku jadi berkurang. Ya, kadang masih suka naik Trans-Jakarta. Namun, bila sedang terburu-buru, aku lebih memilih menggunakan jasa ojek – apalagi saat kemacetan di Jakarta semakin menggila. Kadang bila sedang manja-manjanya, aku memilih naik taksi.

Ya, kamu sudah bisa menebak alur cerita berikutnya saat era ojek dan taksi online muncul. Sekali lagi, bila memang ada pilihan yang lebih nyaman dan menguntungkan, kenapa tidak? Kenapa harus bertahan sama yang menyiksa, bila bisa mendapatkan kenyamanan lebih?

Kini, aku lebih banyak bekerja dari rumah. Bahkan sebelum pandemi, aku sudah mulai membiasakan ritme hidup seperti ini. Hanya sesekali aku menggunakan bus sebelum pandemi.

Apakah aku kangen naik bus? Hmm, mungkin hanya Trans-Jakarta. Kalau suruh balik lagi naik bus kota yang biasa, ogah. Selain suka ngetem lama, mereka juga ngebut gila-gilaan, menjejalkan penumpang seperti ikan sarden kalengan, hingga…suka menyuruh penumpang turun di pinggir jalan seenaknya, padahal tujuan belum sampai. Belum lagi kernet bus yang tiba-tiba suka memaki-maki, marah-marah nggak keruan. Siapa yang tahan?

Daripada berusaha menjegal sama yang bikin penumpang merasa lebih aman dan nyaman, mendingan mereka usaha meningkatkan kualitas pelayanan…

…sebelum keburu dijual kiloan kayak yang sudah terjadi…

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Ekspedisi Terakhirku

“Ayolah, ini akan menyenangkan,” janjimu padaku dalam bahasa Inggris beraksen Rusia itu. “Travelling berdua, camping, menikmati hutan belantara. Aku bisa memotret alam sesukaku, sementara kamu bisa menulis. Kamu belum pernah travelling ke alam terbuka, ‘kan?”

Entah apa yang membuatku termakan oleh ajakanmu. Kamu yang begitu mempesona sejak awal bertemu. Kata teman-temanku (yang disertai jengit di wajah mereka) sih, kamu jauh dari tampan. Dekil dan berantakan malah. Kalau Mama sampai tahu aku diam-diam pacaran dengan laki-laki bule, gondrong, brewokan tapi nyaris botak di puncak kepala, berkacamata segede pantat botol, dan dengan tampilan kayak nggak mandi seminggu, beliau pasti akan mengamuk.

“Ayolah,” bujukmu sambil membelai ikal gelapku. Kalau sudah begini, aku suka luluh. Tambah luluh lagi saat kamu mencium bibirku dengan penuh napsu. Ah, ke manakah otakku? Biasanya aku selalu berhati-hati.

Mungkin karena saat itu aku sedang jenuh dan muak dengan tuntutan keluarga. Sudah di atas 30, kata mereka. Kapan menikah? Kenapa nggak bisa seperti kakakmu? Mungkin karena menurut mereka aku terlalu gemuk, makanya laki-laki tidak ada yang mau.

Tapi, kamu justru mengaku lebih suka dengan perempuan gemuk. Berbanding terbalik dengan sosokmu yang menjulang, rada kerempeng – tapi hebatnya kuat bawa tas gede pas travelling. Itulah yang kuperhatikan dengan kagum, saat akhirnya – ya, kuputuskan untuk ikut travelling perdana denganmu. Aku sampai bertengkar hebat dengan Tobey, sahabatku laki-laki Australia yang sudah lebih seperti abangku sendiri.

“Rina, please. Aku tahu perempuan macam apa kamu. Aku nggak mau kamu menyesal nanti.”

Kutinggalkan pesan untuk ibu kos sebelum pergi. Aku sengaja tidak memberitahu siapa-siapa lagi, meski ponsel tetap kubawa. Jujur, aku mungkin anak kota yang juga sedang merasa sangat bosan. Aku butuh petualangan.

Dan laki-laki seperti kamu begitu menggiurkan…

-//-

Tiga bulan berlalu. Mungkin aku praktis sudah jadi orang hilang saat itu. Di hutan, terutama yang belantara, waktu seakan berjalan lambat – bahkan nyaris berhenti. Setiap hari terasa sama. Tidak banyak manusia lain, hanya kita berdua. Aku dan kamu. Dengan alasan berhemat, kita akhirnya tidur satu tenda.

Oh, ayolah. Semua pasti sudah tahu apa yang kemudian terjadi. Apalagi, kamu begitu menggebu-gebu. Aku yang tadinya ragu akhirnya pun mau.

Hingga saat itu…

Sial, kenapa aku mual begini, ya?

“Kamu nggak apa-apa?” tanyamu saat aku banyak tertinggal di belakang. Tidak hanya itu, aku pun mulai sering ngos-ngosan dan ingin muntah. Kepalaku pusing, berputar hebat. Saat kulihat wajahku di layar kamera ponsel, astaga. Pucat bukan kepalang.

Aku tahu, yang kutakutkan selama ini akhirnya terjadi. Aku tidak bisa bilang kamu memaksaku, namun entah kenapa aku tidak menolakmu waktu itu. Mungkin karena malam itu hanya kita berdua di dalam tenda…di tengah hutan belantara…

Saat menyempatkan diri ke kota kecil, kudatangi apotik yang sekaligus minimarket. Ajaib, apotik sekaligus minimarket itu menjual test pack. Untunglah, di kota kecil itu belum ada peraturan aneh-aneh soal larangan menjual alat kontrasepsi, alat tes kehamilan, dan semacamnya secara terbuka.

Setelah membayar, buru-buru aku keluar. Aku harus mengetesnya segera. Aku hanya ingin memastikan…

-//-

“Nggak mungkin,” bantahmu saat kuberitahu hasil tes itu. “Aku ‘kan waktu itu pakai pengaman-“

“Mungkin nggak efektif,” tukasku dingin. Kulihat ponselku sudah penuh dengan notifikasi pesan. Ada ratusan. Mama…Tobey…teman-temanku yang lain…

Maafkan aku…

“Aku nggak bisa,” katamu sambil menggeleng-geleng. “Kamu tahu gimana keluargaku. Aku nggak pernah kenal ayahku dan ibuku – “

“Tapi aku nggak bisa pulang dalam keadaan begini!” Tangisku kini pecah. Barulah, di atas tebing dekat hutan, kulihat sosokmu yang sebenarnya. Liar, tak pedulian, dan sepertinya siap menyingkir dariku kapan saja. Kuraih tangannya. “Please…”

“Aku nggak bisa!” Tanpa sengaja kamu menepisku. Saat itulah aku tiba-tiba merasakan tubuhku melayang…jauh…jauh…hingga…

Jatuh. Lalu gelap.

-//-

Keluargaku datang menangisi jenazahku. Aku sendiri tidak tahan melihat separuh wajahku yang kini hancur karena menghantam karang di bawah air terjun. Ada yang melihatku, lalu melapor penduduk setempat. Kamu akhirnya diamankan pihak berwajib sebelum jadi sasaran amukan warga, tak peduli bila kamu membela diri dan bilang kalau itu kecelakaan.

Di sudut kamar jenazah, rohku terpaku, memandangi akhir ekspedisiku…

  • Tamat –
Categories
#catatan-harian #menulis

2021 – Semangat Baru

2021 – Semangat Baru

Maaf ya, lama gak update karena kerjaan baru yang lumayan bikin sibuk. Boleh saja perayaan tahun baru 2021 kemarin terasa sepi. Lebih banyak yang memilih di rumah. Tidak banyak juga yang bermain kembang api atau petasan.

Tapi, semangat jangan cepat redup.

Kembali saya mengikuti berbagai berita yang berseliweran di jagat digital. Tidak hanya berita terkini, namun juga dari orang-orang biasa. Ya, keluarga dan teman-teman di media sosial.

Saya juga baru memulai pekerjaan purnawaktu. Berhubung masih dalam tahap penyesuaian diri (kembali), maka saya belum bisa banyak bercerita soal itu di sini. Mungkin juga, saya takkan bercerita soal pekerjaan. Khusus di sini, saya lebih suka bercerita tentang hidup dan cinta sejati saya:

Menulis.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

Perjuangan Belum Selesai

Perjuangan Belum Selesai

Selamat Tahun Baru 2021. Memang, kali ini rasanya sepi. Nggak ada yang berkumpul, karena harus mengikuti aturan protokol kesehatan. (Yang gak mau ngikut mah, terserah ya…asal jauh-jauh dari yang masih ingin sehat. Selamat bikin kesel petugas kesehatan yang sudah amat sangat kelelahan!)

Jujur, saya sendiri malah ketiduran pada pukul 23:30. Gak lama, karena sejam kemudian terbangun lagi. Countdown terlewatkan.

Ah, sudahlah. Toh, sebenernya perayaan semacam itu juga gak penting-penting amat. Biasa aja.

Kabarnya sih, ada strain baru #Covid-19 dari Inggris. Virus ini juga sudah mulai menyebar.

Sungguh ironis. Belum kelar kita berurusan dengan #Covid-19 , eh…tahunya yang gelombang kedua udah nongol aja.

Hmm, yang ini bisa kita sebut Covid-20 gak, ya?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tak Perlu

Sumber: Isaiah Rustad

Tak Perlu

Tak perlu datang,

jika memang tiada keperluan.

Biar kugunakan waktu luang

untuk yang lebih layak dapat perhatian.

Tak perlu tinggal,

bila merasa seperti dipenjara.

Aku tak pernah memaksa,

meski kuakui, harap itu ada.

Tak usah bertingkah

seakan aku mencoba

membuatmu merasa bersalah.

Pergi saja.

Tak ada yang mengekang.

Aku tidak ,melarang.

Tak sudi aku mengemis

pada yang tiada

pada pemberi seadanya

namun tanpa ketulusan.

Tak perlu.

Serius, sungguh.

Benar-benar tak perlu.

Tiada yang lebih hina

dari yang suka berpura-pura

lancang menyebut kata cinta,

padahal iseng saja,

apalagi sampai beralasan kasihan belaka.

R.