Categories
#catatan-harian #menulis

3 Jenis Manusia yang Percuma Kalo Didebat di Media Sosial

3 Jenis Manusia yang Percuma Kalo Didebat di Media Sosial

Era pandemi Covid-19 sepertinya bakalan berlangsung lebih lama dari harapan banyak orang. Meskipun banyak yang sudah keluar rumah menyambut “New Normal” (atau terpaksa), masih banyak juga yang lebih memilih swakarantina atau isolasi mandiri. Berhubung lagi nggak bisa banyak interaksi dengan orang di dunia nyata, maka media sosial lagi-lagi jadi pelarian.

Oke, kita semua udah tahu kalo media sosial selalu rentan jadi ajang debat. Kadang bisa nemu solusi dari masalah yang lagi diributin, tapi seringnya lebih banyak adu pendapat. Termasuk adu pinter-pinteran dan saling julid sampai Lebaran terasa bak hanya numpang lewat.

Males dan capek saat berdebat, padahal niatnya hanya mau berbagi pendapat? Biar hemat tenaga, pikiran, dan kewarasan, ini dia tiga (3) jenis manusia yang percuma kalo didebat di media sosial:

Foto: unsplash.com
  • Yang hobi nyinyir: “Kalian gak bisa nerima perbedaan pendapat, ya? Gak asik!”

Jangan ketipu dan langsung jatuh kasihan dulu dengan mereka yang pake argumen penutup ini saat kalah berdebat di media sosial. Jika mereka memulai debat dengan cara santun seperti: “Maaf, kayaknya kurang setuju dengan opini kamu karena…” masih wajar bila kemudian mereka sakit hati saat dibantah.

Tapi, siapa sih, yang gak kesel kalo dari awal niatnya emang udah nyerang duluan atau ngotot minta pendapatnya langsung diiyain? Misalnya: seorang blogger posting tulisannya tentang keperawanan dari segi medis, eh netizen malah ada yang langsung menuduhnya mengajak pembaca untuk berhubungan seksual sebelum menikah? Siapa yang nggak naik pitam, coba? Apalagi bila si netizen belum tentu baca tulisan si blogger sampai habis.

Tuduhan tipikal pengguna ad-hominem saat debat ini lagi banyak dipake nih, di media sosial. Niatnya sih, mau bikin yang nggak sepaham sama mereka untuk merasa bersalah dan minimal minta maaf. Sayang, usaha gaslighting mereka gagal. Yang ada, mereka malah terdengar seperti ini:

“Lo harus mau terima pendapat gue dong, meski beda.” Ehh, kok maksa? Terima fakta setiap orang beda pendapat bukan berarti Anda otomatis akan langsung dibenarkan. Jangan suka main standar ganda-lah!

  • Si tukang nuduh: “Kok mainnya nyerang / menggeneralisir?”

Ini kebiasaan buruk mereka yang doyan amat pake argumen #tidaksemualakilaki setiap kali ada yang membahas kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Sama juga dengan yang kemaren hobi teriak-teriak #alllivesmatter sebagai balasan untuk #blacklivesmatter.

Kenapa sih, kayaknya pada takut amat dituduh sebagai pemerkosa, padahal faktanya pelaku kekerasan seksual kebanyakan laki-laki? Bahkan, pelaku kejahatan ini yang kebetulan laki-laki juga mengincar korban laki-laki. Kalo memang mengaku baik, harusnya bisa dong, nggak hanya pake argumen basi #tidaksemualakilaki terus-menerus tanpa benar-benar melakukan sesuatu. Gak usah kesinggung.

Sama halnya dengan kampanye #blacklivesmatters terkait video penyiksaan George Floyd, laki-laki berkulit hitam, oleh petugas polisi berkulit putih di Minneapolis, Amerika Serikat kemarin. Coba, memangnya ada yang bilang bahwa hanya karena kampanyenya #blacklivesmatter, berarti nyawa orang lain, seperti kulit putih atau saya yang sawo matang, jadi kalah penting?

Faktanya, warga kulit hitam (termasuk saudara-saudari kita di Papua) banyak yang masih mengalami diskriminasi. Nggak hanya berupa kekerasan fisik. Mau masuk mal saja suka ditanya-tanya satpam lebih lama. Ada juga yang dengan tega menyebut mereka dengan nama binata…ah, sudahlah.

Coba cek kembali deh, privilege Anda, sebelum nuduh kalo hanya karena mereka dibela, lantas hak-hak dasar Anda sebagai manusia akan otomatis terpinggirkan. Nggak semua hal harus dipandang se-biner itu, kali. Parno amat.

  • Yang doyan ngambek: “Iya deh, kamu selalu benar. Orang lain selalu salah.”

Ini lagi yang makin terdengar seperti anak kecil. Namanya juga debat. Dalam perdebatan, pasti ada yang argumennya kuat dan ada yang lemah. Kalo masih mutusin bahwa ya, boleh setuju untuk nggak selalu sependapat, ya nggak masalah.

Lain cerita kalo dari awal niat mendebat adalah memaksa mereka agar sependapat dengan Anda. Begitu enggak, eh…Anda malah ngambek kayak anak kecil dan lantas bilang: “Iya deh, kamu selalu benar. Orang lain selalu salah.” Coba, siapa yang gak ogah meladeni kalo respon Anda udah kayak gitu? Gak beda sama nomor satu, Anda berusaha bikin mereka merasa bersalah dengan playing victim begitu.

Nah, ini dia tiga (3) jenis manusia yang percuma kalo didebat di media sosial, karena intinya dari awal mereka memang udah gak mau sepakat. Gak hanya itu, mereka juga keukeuh orang lain harus seiya sekata sama mereka. Daripada waktu, tenaga, sama kewarasan terbuang percuma, mending cuekin aja.

Moga-moga Anda juga bukan termasuk di antara mereka, ya. Semoga Anda sudah termasuk yang lebih dewasa.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Tentang Topeng-topeng Lama

Tak perlu masker pelindung dari Corona,

masih banyak pengguna

topeng-topeng lama

sembunyi cacat di jiwa.

Kini mereka bisa

jadi siapa saja

dari aktivis hingga pemuka agama

bersama pendengar dan pengikut buta.

Mereka tampak baik luar biasa,

tiada cela di mata,

halus tutur bahasa,

rapi atur perilakunya.

Biar, biarkan saja

bermain peranlah mereka

dengan topeng-topeng lama

ilusi sempurna untuk dunia

berharap puji-puja

seakan mereka bersahaja.

Hanya Tuhan,

para korban

mata-mata awas

melihat sisi culas

di balik topeng-topeng lama

yang merapat, kian menyatu dengan wajah.

Tak rela kehilangan penggemar,

namun menipu tanpa malu.

Suatu saat,

semua topeng mereka akan retak.

Habis sudah siasat!

R.

Categories
#catatan-harian #menulis

3 Alasan Saya Ogah Meladeni Internet Troll

Puasa nggak puasa, mereka selalu ada. Sial memang. Mulai dari sekadar kasih komentar jelek, menghina, hingga yang asli gak nyambung dengan yang lagi dibahas di postingan. Tujuannya?

Ya, bikin rame aja. Mungkin para internet troll itu kurang kerjaan (atau malah enggak punya kerjaan.) Mungkin mereka sadar kalo di dunia nyata, mereka sebenernya bukan siapa-siapa maupun apa-apa.

Bisa jadi internet troll ibarat macan ompong di dunia nyata. Hanya bernyali di dunia maya, tapi bungkam 1000 bahasa di dunia nyata. Makanya, inilah tiga (3) alasan saya sekarang sudah ogah meladeni internet troll:

  • Buang-buang waktu, tenaga, dan kewarasan diri sendiri.

Apa yang bisa didapat dari para internet troll dari melecehkan user lain di dunia maya? Rasa puas karena telah berhasil bikin orang lain kesal, merasa terganggu, hingga tidak tenang. Setidaknya, meski sementara, mereka bisa menikmati ilusi perasaan berkuasa.

Terus Anda dapat apa dari hanya meladeni mereka? Rasa marah, waktu yang terbuang percuma? Terganggunya kegiatan lain Anda di dunia nyata?

Yang pasti, lebih banyak ruginya. Paling parah, Anda malah juga bisa ikutan gila. Nggak mau, ‘kan?

Memang benar, ada kalanya yang waras sebaiknya mengalah…

Foto: unsplash
  • Internet troll sering sok berahasia.

Kalo diperhatiin, internet troll kebanyakan nggak berani pakai akun asli. Iyalah, mana mau mereka balas diincar sama korban pakai UU ITE.

Kalo pun pake akun asli, biasanya akunnya mereka set jadi private. Alasannya sih, biar akun mereka nggak gantian diserang netizen lain sesudah mereka bebas ‘nyampah’ di akun orang lain, tanpa rasa bersalah pula. Boleh saja bilang mereka curang.

Buat internet troll, itu namanya cari aman.

Jadi, ngapain pula terus nanggepin mereka, apalagi sampai buang-buang waktu berharga Anda? Mau report mereka juga percuma, karena mereka bisa ganti akun kapan saja. (Bahkan, kalo emang asli kurang kerjaan atau gak punya kehidupan lain yang lebih menyenangkan di dunia nyata, mereka bisa punya akun ganda di berbagai platform.)

Solusinya? Tinggal blokir terus-terusan kalo perlu.

Gambar: brilio.net
  • Internet troll rata-rata hanya ingin pansos (panjat sosial).

Banyak cara kilat buat jadi terkenal, tapi mereka lebih sering memilih yang negatif. Gak hanya asal kasih komen negatif di laman orang lain.

Kadang mereka juga sengaja bikin status kontroversial di media sosial. Tujuannya tentu saja hanya untuk caper (cari perhatian). Semakin banyak komentar berupa cacian yang mampir di laman mereka, jadinya semakin viral, deh.

Bahkan, mereka bakalan tambah senang bila konten sampah mereka sampai di-reshare / retweet / reupload. Intinya, mereka makin banyak dikenal tanpa perlu bersusah payah.

Nah, kalo udah gini, yang rugi siapa? Belum tentu juga mereka. Yah, setidaknya mereka nggak merasa. ‘Kan tujuan utama mereka hanya minta perhatian di dunia maya, berhubung di dunia nyata mungkin mereka merasa dianggap bukan siapa-siapa. Gak penting.

Makanya, sekarang saya sudah malas meladeni internet troll. Lebih baik cari kegiatan lain saja yang jauh lebih penting dan bermanfaat.

Lagipula, saya sibuk.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Jeda yang Terlalu Lama

Rasanya seperti menonton film di sinema

dengan proyektor kuno seadanya

18 frame per detik,

setiap adegan lamban, namun menggelitik.

Urusan tertunda.

Jadwal tinggal wacana,

meski ada yang berubah.

Demi aman, kata mereka,

banyak yang harus mengalah.

Dalam jeda yang terlalu lama,

apakah kamu baik-baik saja?

Apakah kamu sama sepertiku,

memeluk rahasia di balik pintu?

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #tips

“2 Nilai Filosofis Catur Ini Sebenarnya Bagus untuk Kehidupan Sehari-hari”

Jujur, saya paling payah dalam bermain catur. Entah karena nggak minat atau dulu malas menghapal banyak aturan buat tiap pion, pokoknya ini bukan olahraga favorit saya. Almarhum ayah sempat sampai frustrasi saat mengajarkan cara bermain catur.

Tapi, saya tetap suka dengan dua (2) nilai filosofis dalam permainan papan yang populer ini. (Sampai di universitas Rusia ada Jurusan Catur segala!) Apa saja, sih?

  • Harus berpikir setidaknya tiga langkah ke depan.

Ini alasannya banyak pemain catur profesional yang kelihatan cerdas sekaligus bijak. Ada juga sih, yang menganggap mereka terlalu banyak berpikir dan menganalisa segala sesuatu – sehingga jarang bertindak langsung atau spontan.

Sebenarnya, mereka cenderung sangat teliti dan lebih berhati-hati sebelum mengambil keputusan final. Makanya, keputusan mereka untuk melangkah atau melakukan sesuatu bisa memberi mereka lebih banyak waktu dan peluang untuk memenangkan pertandingan.

Dalam kehidupan sehari-hari, berpikir panjang sebelum berbuat sebenarnya bisa jadi pangkal selamat. Anda tidak akan terlihat seperti orang bodoh hanya karena kesalahan sepele. Anda juga penuh pertimbangan dan peduli bahwa keputusan Anda juga bisa mempengaruhi orang-orang sekitar, terutama yang terdekat.

  • Hanya bersuara saat bilang: “Skakmat!”

Memang sih, hal ini hanya berlaku saat pertandingan catur. Kalau hanya main biasa, pasti sesekali Anda masih mengobrol dengan lawan Anda.

Permainan ini memang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, terutama saat berstrategi. Kalau teerus-terusan diajak ngobrol selama bermain, alamat isi kepala bisa buyar seketika. (Kecuali kalau ini taktik lawan untuk bikin Anda kehilangan konsentrasi. Untuk saat pertandingan betulan nggak boleh kayak begini, hihihi…)

Selain itu, kita bisa mempraktikkan strategi semacam ini dalam kehidupan sehari-hari. Tahu sendiri ‘kan, masih banyak manusia yang kerjanya omong doang, padahal belum tentu ada maknanya? Alih-alih bikin diri mereka kelihatan pintar, yang ada malah membuka aib sendiri.

Makanya, yang tidak banyak bicara belum tentu tidak percaya diri. Bisa jadi malah sebaliknya, karena mereka merasa tidak perlu bercerita segalanya kepada semua orang.

Mau jadi pemain catur profesional, sekaligus pribadi yang lebih bijak? Yang pasti butuh kendali diri lebih baik, disiplin, dan dedikasi. Kalau masih membiarkan diri sendiri dikendalikan ego, pastinya nggak mungkin bisa, sih.

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Suatu Hari Nanti

Sayangku, jangan bersedih.

Saat ini, anggap kita sedang diuji

banyak hal, termasuk untuk mandiri.

Berani berkawan dengan sepi,

meski kadang sesak oleh sedih.

Sayangku, simpanlah semua rindu

hingga nanti kita bertemu

tanpa takut akan virus itu

atau apa pun yang mirip hantu.

Hanya kau dan aku,

kembali bersatu.

Hingga saatnya nanti,

bertahanlah di masa kini.

Jadikan pandemi ini,

saat untuk tetap saling menghargai,

hingga waktunya bersama lagi.

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #fiksimini #menulis

Rahasiaku

Wabah Corona memaksa kami semua berhenti ke kantor. Untungnya, tidak sampai berhenti bekerja. Bahkan, jam bekerja kami semakin fleksibel layaknya pekerja lepas / freelance. Meskipun jam kantor resminya 9 to 5, gara-gara beralih jadi WFH (Work From Home), ada kalanya kami dihubungi di luar jam-jam kerja yang wajar. Bahkan, sampai rapat video-call segala.

Jujur, kadang aku sebal dengan kebiasaan baru ini. Misalnya: rapat sesudah jam makan malam. Biasanya, pada waktu itu aku sudah leha-leha di depan TV, nonton serial favoritku. Kadang aku juga duduk membaca buku atau mendengarkan lagu di radio. Kalau sudah terlalu lelah, biasanya aku memilih tidur lebih cepat.

Apa boleh buat. Karena kebanyakan staf kantorku juga orang tua (termasuk si bos), waktu bekerja disesuaikan. Kebanyakan dari mereka harus memenuhi kewajiban sebagai orang tua dulu. Mengurus anak, termasuk menemani mereka belajar – berhubung sekolah mereka juga ikutan online. Berbelanja bahan makanan. Membayar tagihan. Membersihkan rumah dan masih banyak lagi.

Ada untungnya sih, masih melajang di era Corona ini. Apalagi bila tinggal sendirian seperti aku. Aku hanya harus mengurus diriku sendiri. Merasa sepi, sesekali pasti terjadi. Tapi, nikmati saja waktu luang yang ada sebisa mungkin. Setidaknya aku masih punya pekerjaan, meskipun gaji terpangkas sedikit karena kita tidak perlu lagi uang transport untuk ke kantor.

Malam Selasa, ternyata ada rapat tim. Seperti biasa, aku sudah siaga di depan laptop kesayanganku. Meskipun di rumah, aku tetap mengenakan kemeja rapi dan rok panjang. Biasa, untuk berjaga-jaga bila tiba-tiba harus berdiri di depan webcam. Aku tidak ingin terlihat tidak pantas, berhubung hitungannya masih bekerja.

Singkat cerita, rapat berlangsung selama sejam. Kebanyakan rekan kerjaku tampak cuek, hanya mengenakan kaus dan jins. Tidak apa-apa sih, sampai tiba-tiba salah seorang hampir berdiri, sebelum tersadar dan buru-buru menutupi bawahannya dengan selimut. Di kamera, kami semua nyengir geli. Ada yang terkikik.

Hmm, makanya berdandan rapi saat rapat live di chatroom tetap penting. Beda kalau hanya chatting dengan teman-teman dekat.

“Ran, tumben kamu pakai rok panjang,” tegur Anna, salah satu rekan kerjaku di tim. Waktu itu, aku sedang berdiri sebentar untuk meluruskan punggungku sebelum duduk kembali.

“Lagi malas pakai celana panjang,” ujarku cuek.

Ketika rapat sudah selesai, aku mematikan webcam, laptop dan bernapas lega. Dengan perlahan aku beranjak ke tempat tidur. Setelah duduk di ranjang, dengan hati-hati kulepaskan satu kaki palsuku sebelum tertidur.

Selama ini, aku berhasil menyembunyikan rahasiaku di kantor. Sebelum pindah ke perusahaan ini, aku pernah mengalami kecelakaan yang membuat satu tungkaiku harus diamputasi. Untunglah, berkat terapi berbulan-bulan, akhirnya aku bisa kembali berjalan seperti orang normal. Tidak ada yang curiga, karena aku tidak pernah terlihat pincang. Toh, yang diamputasi masih di bawah lutut. Aku masih bisa menekuk kakiku.

Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin dikasihani. Bayangkan, apa jadinya kalau tadi aku rapat tanpa bawahan yang cukup panjang…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Serius?

Tak perlu bertanya.

Biarkan air muka

bereaksi apa adanya.

Tanpa pura-pura,

termasuk palsukan tawa.

Memangnya kenapa?

Serius bukan dosa,

tidak seperti lelucon yang menghina.

Tak perlu memaksa.

Untuk apa menciptakan drama?

Tak perlu juga mengatur.

Wajah ini bukan papan catur.

Sebaiknya kau kabur,

karena ingin kulumat kau jadi bubur.

Serius.

R.

Categories
#catatan-harian #CSW-Club #menulis

Mencari Hiburan di Tengah #Swakarantina

Sudah sebulan lebih aku tidak keluar rumah. Wabah Covid-19 atau yang lebih dikenal dengan Virus Corona sukses membuat seluruh dunia kalah – atau lebih tepatnya, dipaksa mengalah.

Semua rencanaku bubar jalan. Mau menerbitkan buku puisi Bahasa Inggris perdanaku, editorku harus pulang dulu ke kampung halamannya. Apa boleh buat, rencana itu terpaksa ditunda. Pekerjaanku apa lagi. Tidak ada lagi acara ke kantor (padahal hanya itu satu-satunya kesempatanku untuk mengobrol dengan si periset imut-imut dari Estonia. Singkat cerita, kami berkenalan dan jadi teman hanya gara-gara tanpa sengaja rebutan kursi di co-working space tempat kami bekerja.)

Orderan menulis jadi terpangkas. Mau tidak mau, aku terpaksa berjibaku lebih giat lagi mencari order tambahan. Kalau tidak, ya judulnya tidak makan. Iya kalau jadinya kurusan. Kalau buntutnya sakit dan rentan ketularan? Hiii…aku belum siap berkafan dan masuk kuburan.

Tadinya, Mama minta aku pulang. Tentu saja, permintaan beliau terpaksa kutolak demi keamanan semua orang. Mama sudah di atas 60, tinggal sama para keponakan yang menderita asma. Kira-kira?

Mau tidak mau, aku terpaksa bertahan hidup seorang diri. Mulai berhemat, meski sebisa mungkin tetap harus makan. Baca buku, termasuk yang sudah pernah dan akhirnya kuulang. Menulis seperti orang gila. Menyanyi meskipun bukan diva. Nonton TV sampai bosan luar biasa. Mendengarkan radio biar kamar nggak terasa sepi-sepi amat.

Banyak video-call sama teman-teman, meski belum tentu ada stok bahan obrolan.

Banyak cerita cukup lucu sepanjang wabah Covid-19. Bila harus kusebutkan, entah beneran lucu atau miris. Misalnya: ada saat aku mencoba video-call dengan Mama. Diangkat sih, tapi butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari kenapa di layar hanya tampak pipi beliau.

Yah, Mama kira itu hanya voice-call. Huhuhu…padahal lagi ingin melihat wajah beliau…

Jalan masuk ke pemukiman tempat tinggalku diportal. Jangan mikir aneh-aneh dulu soal caraku untuk keluar-masuk, hanya untuk belanja di Alfamart. Berhubung bukan sosok atletis, nggak mungkin kan, tiba-tiba aku sok-sokan lompat galah?

Dalam tiap radius beberapa meter, ada dispenser dan botol sabun cair yang nganggur. Fungsinya tentu saja buat cuci tangan gratis. Satu waktu, aku menderita bosan akut hingga iseng bikin balon-balon dari gelembung sabun saat cuci tangan. Kutiup-tiup dengan suka cita hingga balon-balon sabun tersebut mengudara. Rasanya cukup menyenangkan…

…hingga kusadari mata-mata para tetangga yang tengah menatapku, seolah-olah aku sudah gila.

Apa lagi, ya? Oh, ini juga hobi yang sudah pernah kulakukan waktu kecil. Aku hobi mengejr-ngejar kucing di jalanan. Biasanya baru berhenti bila kucing incaranku ngumpet di bawah mobil, masuk ke rumah orang, atau loncat ke atap rumah sekalian.

Bila masih loncat ke atap mobil? Hihihihi…belum puas rasanya bila belum bikin si kucing trauma. Biasanya mobil itu kugoyang-goyangkan hingga si kucing akhirnya terpaksa loncat dan pindah ke tempat persembunyian lain.

Sialnya, pas menjelang tengah malam sehabis belanja di Alfamart, aku agak terlalu heboh menggoyang-goyangkan mobil tempat kucing incaranku mangkal di atap. Nggak hanya si kucing yang loncat menyelamatkan diri, aku juga harus lari gara-gara alarm mobil mendadak berbunyi. Gak mungkin kan, aku punya penjelasan bagus saat para tetangga sekitar – termasuk yang punya mobil – keluar dan memergokiku di TKP?

Entah kapan wabah ini berakhir. Moga-moga, aku masih waras sesudah Corona tertangani…

R.

Categories
#catatan-harian #menulis #puisi

Misoginis Luar Biasa

Misoginis Luar Biasa

Bodyshaming
Foto: freepik.com

Memuliakan, tapi menghina –

mulai dari rupa hingga busana.

Kecerdasan dianggap ancaman.

Wajah dibilang fitnah.

Ego sembunyi di balik agama

lewat dalil yang dimanipulasi

khusus menguntungkan kaumnya

Untuk apa menikah

bila salah satu dipaksa harus selalu mengaku salah

dan selalu jadi pihak yang kalah?

Yang ada hanya neraka

bertambah di dunia.

Korban dituntut sabar,

meski di rumah diperlakukan kasar

oleh pemilik hati barbar

dan otak bebal!

R.